Jumat, 04 April 2008

MIOSITIS

MIOSITIS, SEBUAH PERADANGAN SERABUT OTOT
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Inflamasi atau radang merupakan suatu fungsi pertahanan tubuh terhadap masuknya organisme maupun gangguan lain.Bisa disebabkan oleh infeksi pada daerah tersebut sehingga mengakibatkan peradangan. Tetapi tidak semua infeksi adalah inflamasi tetapi semua inflamasi diakibatkan oleh infeksi. Inflamasi pada dasarnya merupakan reaksi terhadap infeksi yang dilakukan oleh mikrosirkulasi dan apa yang dikandungnya. Terdapat banyak faktor yang berperan dalam proses inflamasi. Proses timbulnya inflamasi kini dapat lebih dimengerti dengan ditemukannya berbagai macam zat yang merupakan mediator dalam mengatur dan mengaktifkan sel-sel, baik dari darah maupun jaringan yang kemudian menimbulkan suatu gejala khas pada jaringan (reaksi lokal) yang mengalami cedera.
Proses peradangan dapat terjadi diberbagai tempat, seperti pada paru-paru, jantung, otot, dan sebagainya. Peradangan yang terjadi pada otot disebut miositis. Miositis dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya adalah karena infeksi bakteri. Bila terjadi infeksi, timbul reaksi lokal, agen infeksius yang dapat menyebar melalui saluran-saluran limfe menuju kelenjar getah bening regional dan bahkan dapat masuk ke dalam peredaran darah. Penyebaran agen infeksius dalam tubuh ini dapat berakibat pada komplikasi yang dapat membahayakan keselamatan jiwa penderita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui secara rinci mengenai miositis dan peradangan.
ii. RUMUSAN MASALAH
Pasien laki-laki umur 27 tahun datang dengan keluhan, jempol tangan kirinya bengkak akibat kena pukul. Bengkak timbul empat hari yang lalu, beberapa jam setelah kena pukul. Kemudian muncul sakit ringan dan sore harinya jempol terasa panas, sakit bila digerakkan disertai badannya meriang. Karena tidak ada luka, maka tidak dibawa ke klinik dan hanya diberi obet borehan dari daun Binahong. Beberapa jam kemudian sakit berkurang, bengkak berkurang, tetapi timbul rasa gatal, dan karena kurang hati-hati digaruk sehingga timbul lecet. Pada hari keempat badan lebih terasa panas, rasa sakit memberat lagi dan terdapat bintik kekuningan pada bagian yang bengkak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Suhu badan aksiller 38,5°C, frekuensi nadi 102x/menit, irama teratur, tekanan darah 124/78, frekuensi nafas 18 x/menit tipe kosto abdominal. Pada pemeriksaan organ dalam batas normal. Status lokalis : jempol tangan kiri terlihat memerah, teraba hangat, nyeri tekan, konsistensi keras, bila digerakkan terasa lebih sakit, terlihat bintik kuning. Hasil pemeriksaan lab : Kadar Hb 13gr%, jumlah leukosit 12.500/mm³, jumlah trombosit 220 x 10³ /mm³. Penderita rawat jalan.
Dari data pada kasus di atas, bagaimana diagnosa penyakit pasien serta bagaimana penatalaksanaan yang tepat?
iii. TUJUAN PENULISAN
1. Mampu menentukan penatalaksanaan masalah kesehatan secara komprehensif dan holistic, dengan menerapkan konsep-konsep dan prinsip ilmu Biomedik, KLinik, perilaku, epidemiologi dan kesehatan masyarakat.
2. Membangun suatu strategi untuk memutuskan secara efektif patogenesis, ancaman-ancaman spesifik suatu penyakit konsekuensinya beserta alas an yang mendasarinya.
3. Menetapkan dengan tepat tujuan terapi dalam tingkatan molekuler dan fisiologi.
4. Mengetahui mekanisme inflamasi serta komplikasinya
5. Mempelajari leukosit,pembentukan, fungsi, serta peranannya dalam inflamasi
iv. MANFAAT PENULISAN
1. Menjelaskan asal, patofisiologi, patogenesis, dan patofisiologi miositis.
2. Menetapkan penyebab utama dari manifestasi klinis yang timbul pada pasien.
3. Menganalisis hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada pasien.
4. Melakukan penetapan diagnosis atau diagnosis banding pada pasien.
5. Menjelaskan berbagai komplikasi yang mungkin muncul pada penyakit akibat inflamasi.
6. Memberikan terapi atau penatalaksanaan dan pencegahan pada pasien.
II. STUDI PUSTAKA
Istilah inflamasi berasal dari kata inflamation yang artinya radang atau peradangan. Sedang istilah inflamasi sendiri asalnya dari bahasa latin, yaitu : inflamation, inflamare, yang artinya membakar. Inflamasi adalah respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Secara histologis, proses inflamasi menyangkut kejadian yang rumit, yaitu mencakup dilatasi arteri, kapiler, dan venula, dan disertai peningkatan permeabilitas aliran darah, eksudasi cairan, termasuk perotein plasma, dan migrasi leukosit ke dalam fokus peradangan. Inflamasi bentuk akut ditandai oleh tanda-tanda pokok peradangan yang mencakup kemerahan (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan perubahan fungsi (fungsio laesa). Bila suatu tanggapan inflamasi berlangsung cukup lama (sampai setahun atau lebih), maka disebut inflamasi kronik. Pada inflamasi kronik, kegagalan mekanisme diri dalam proses inflamasi menyebabkan proses inflamasi berubah bentuk dari mekanisme protektif dan pada kebanyakan kasus menjadi kerusakan yang ireversibel dari jaringan normal. (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007)
Secara skematik proses inflamasi akut adalah sebagai berikut :






















Bila terjadi luka pada jaringan, entah karena bakteri, trauma, bahan kimiawi, panas, atau fenomena lainnya, maka jaringan yang terluka itu akan melepaskan berbagai substansi yang menimbulkan berbagai perubahan sekunder dalam jaringan. Peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran banyak sekali cairan ke dalam ruang interstisial, seringkali diikuti dengan pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakkan sel jaringan. Beberapa dari sekian banyak produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi. (Guyton, 1997)
Dalam beberapa menit setelah peradangan, makrofag telah terdapat dalam jaringan dan segera memulai kerja fagositiknya. Mula-mula sel-sel makrofag mengalami pembesaran. Selanjutnya, banyak makrofag yang sebelumnya terikat menjadi lepas dari pelekatannya dan menjadi mobile. Dalam jam pertama atau jam-jam berikutnya, sejumlah besar netrofil dari darah mulai menginvasi area yang meradang. Banyak bahan kimia dalam jaringan yang menyebabkan netrofil dan makrofag bergerak menuju sumber bahan kimia. Fenomena ini disebut kemotaksis. Bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan kemotaksis ke area yang mengalami radang adalah beberapa racun yang dikeluarkan oleh bakteri, produk degeneratif dari jaringan yang meradang itu sendiri, beberapa produk reaksi kompleks komplemen, dan beberapa produk yang disebabkan oleh pembekuan plasma dalam area yang meradang. Bahan-bahan kimia tersebut mengubah permukaan bagian dalam endotel kapiler, menyebabkan netrofil melekat pada dinding kapiler dalam area yang meradang. Proses pelekatan ini disebut marginasi. Kemudian sel-sel endotel pada kapiler dan venula-venula, yang juga disebabkan karena bahan-bahan kimia tersebut, akan memisah secara mudah dan terbuka sehingga memungkinkan cukup banyak netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis menuju ke dalam ruang jaringan. Dengan mekanisme kemotaksis, netrofil menuju ke jaringan yang cedera dan mulai melakukan fungsinya, yaitu fagositosis. Dalam beberapa jam sesudah dimulainya radang akut, terjadi kenaikan jumlah netrofil yang signifikan dalam darah. Bila netrofil dan makrofag telah selesai melakukan fungsi fagositiknya, maka semua netrofil dan makrofag akan mati. Setelah beberapa hari, dalam jaringan yang meradang akan terdapat rongga yang mengandung berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati, dan cairan jaringan. Campuran seperti ini biasanya disebut nanah (eksudat). Pencairan jaringan nekrotik dipercepat karena leukosit yang mati melepaskan suatu enzim proteolitik, yaitu trypsin. Pencairan jaringan ini memudahkan pengangkutan sisa-sisa jaringan yang mati sehingga memudahkan penyembuhan. Setelah proses infeksi dapat ditekan, cairan eksudat akan mengalami proses autolisis dan diabsorbsi ke dalam jaringan sekitar hingga seluruh proses kerusakan jaringan itu hilang. (Guyton, 1997; Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomik FKUI, 1973)
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Seiring dimulainya reaksi peradangan, arteriol yang memasok darah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau mungkin hanya sebagian merenggang, secara cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan kemerahan lokal pada peradangan akut. Tubuh mengontrol produksi hiperemia pada awal reaksi peradangan, baik secara neurologis maupun kimiawi, melalui pelepasan zat-zat seperti histamin. (Price, 2006)
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan rubor pada reaksi peradangan akut. Sebenarnya, panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingin dari 37ºC (suhu inti tubuh). Daerah peradangan di kulit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya karena lebih banyak darah (pada suhu 37ºC) dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena dibandingkan ke daerah yang normal. Fenomena hangat lokal ini tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang terletak jauh di dalam tubuh karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti 37ºC dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perbedaan. (Price, 2006)
Aspek paling mencolok dari peradangan akut mungkin adalah tumor atau pembengkakan lokal yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas kapiler. Kapiler yang sehat memiliki permeabilitas dinding yang terbatas, yaitu dapat dilalui oleh cairan dan larutan garam-garam, tetapi sukar dilalui oleh larutan protein yang berupa koloid. Bila kapiler cedera, seperti yang terjadi pada radang, maka dindingnya akan lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh zat-zat tersebut di atas. Jumlah cairan yang meninggalkan kapiler dan masuk ke dalam jaringan menjadi lebih banyak. Cairan jaringan mengandung banyak larutan protein sehingga tekanan osmotik tinggi dan hal ini menyebabkan plasma tidak dapat mengalir kembali ke dalam pembuluh. Pembuluh menjadi kekurangan plasma dan butir-butir darah berhenti mengalir (stasis). Jaringan mengandung banyak cairan sehingga mengalami pembengkakan. Cairan yang tertimbun di jaringan pada daerah peradangan ini disebut eksudat. Pada awal perjalanan reaksi peradangan, sebagian besar eksudat adalah cairan, seperti yang terlihat cepat di dalam lepuhan setelah luka bakar ringan pada kulit. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit, meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian eksudat. (Price, 2006; Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomik FKUI, 1973)
Dolor atau nyeri pada suatu reaksi peradangan tampaknya ditimbulkan oleh berbagai cara. Rasa nyeri sebagian disebabkan oleh tekanan pada akhiran saraf sensorik oleh cairan eksudat, terutama jika ruangannya sukar diperbesar. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dan pelepasan zat-zat kimia bioaktif lain juga dapat merangsang ujung-ujung saraf. Kinin merupakan zat yang paling efektif menimbulkan nyeri, sedangkan pelepasan histamin menimbulkan rasa gatal. Prostaglandin dapat bekerja menurunkan nilai ambang tanggapan terhadap zat penyebab rasa nyeri dan memperkuat faktor penyebab rasa nyeri lain. Rasa nyeri ini merupakan suatu pemberitahuan bagi penderita bahwa bagian yang cedera harus lebih diperhatikan dan diistirahatkan. Di sisi lain, rasa nyeri menimbulkan ketidakmampuan bergerak (fungsio laesa). (Price, 2006; Spector, 1993)
Inflamasi dapat menimbulkan beberapa bentuk komplikasi, antara lain abses, sepsis, dan syok septik. Abses adalah rongga pada jaringan lunak yang berisi cairan kental yang mengandung sisa-sisa jaringan yang telah mencair dan sisa-sisa leukosit yang mati (nanah/pus). Saluran yang berasal dari abses ke permukaan kulit disebut dengan saluran sinus. Sepsis adalah adanya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah atau jaringan lain. Terjadinya sepsis melalui proses yang cukup panjang. Jika penyebaran mikrooraganisme tidak terhenti pada kelenjar limfe atau jika mikroorganisme tersebut langsung memasuki vena pada saat pertama kali, maka dapat terjadi infeksi pada aliran darah dan mungkin terjadi ledakan bakteri ( bakterimia). Bakterimia biasanya ditangani secara cepat dan efektif oleh makrofag dari sistem monosit makrofag. Namun, jika organisme yang masuk itu berjumlah sangat besar dan cukup resisten, maka sistem makrofag tidak mampu menaklukkannnya. Hal ini mengakibatkan organisme tersebut dapat menetap di dalam darah. Keadaan ini dinamakan septikemia atau sepsis. Apabila infeksi mikroorganisme telah menyebar luas ke banyak bagian tubuh, dimana infeksi disebarkan lewat darah dari satu jaringan ke jaringan lainnya dan menyebabkan kerusakan yang luas, maka keadaan ini disebut dengan syok septik. (Guyton : 1997, Newman : 2006, Price : 2006)
Myositis adalah bentuk peradangan atau inflamasi pada otot volunter. Pada myositis, inflamasi menyerang serabut-serabut otot. Myositis dapat mengenai satu atau seluruh otot di tubuh. Pada daerah yang mengalami peradangan, terdapat sel-sel radang dan perubahan pada sel-sel otot. Adanya sel-sel radang dan perubahan sel-sel otot bergantung kepada penyebab myositis itu sendiri. Myositis dapat terjadi karena invasi organisme langsung maupun karena berbagai kelainan toksik metabolik dan endokrin. (Newman, 2006; Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi FKUI , 1973)
Myositis terbagi atas beberapa kelompok, antara lain idiopathic inflammatory myopathies, infectious myositis, benign acute myositis, myositis ossificans, dan drug-induced myositis. Idiopathic inflammmatory myopathies adalah kelompok myositis yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Myositis yang tergolong ke dalam kelompok idiopathic inflammatory myopathies adalah dermatomyositis, polymyositis, dan inclusion-body myositis. Infectious myositis adalah kelompok myositis yang terjadi sebagai bagian dari infeksi sistemik (seluruh tubuh) terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Myositis yang tergolong ke dalam kelompok infectious myositis adalah trichinosis dan pyomyositis. Benign acute myositis adalah kelompok myositis yang sering terjadi pada anak-anak dimana penderita biasanya mengalami sakit pada kaki dan tidak dapat berjalan secara normal. Myositis kelompok ini terjadi secara tiba-tiba tetapi gejalanya dapat menghilang dalam waktu beberapa hari. Myositis ossificans adalah salah satu kelompok myositis yang ditandai dengan deposit tulang atau osifikasi otot. Biasanya kelompok myositis ini terjadi apabila penderita mengalami cedera otot, terutama memar. Drug-induced myositis adalah kelompok myositis dimana inflamasi atau peradangan otot terjadi akibat efek samping dari penggunaan obat atau kombinasi dari pemakaian beberapa jenis obat. (American Academy of Orthopaedic Surgeons Myositis, 2007; Newman, 2006; The Myositis Association, 2007)
Myositis menyebabkan abnormalitas pada sistem imun. Pada orang sehat, limfosit berperan dalam sistem pertahanan tubuh yang memproduksi zat-zat untuk menyerang virus, bakteri, dan benda asing lain. Pada penderita myositis, terdapat suatu autoantibodi yang dapat menyebabkan limfosit balik menyerang jaringan tubuh sendiri dan menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu, myositis termasuk dalam autoimmune disease. Penderita myositis memiliki suatu autoantibodi khusus yang disebut myositic-specific autoantibodies. (Anonim 1, 2008)
III. DISKUSI / BAHASAN
Dalam skenario dijelaskan bahwa seorang pria berusia 27 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan jempol tangan kirinya bengkak. Bengkak dirasakan timbul sejak empat hari yang lalu. Ketika kerja bakti jempol tangan kiri kena pukul. Beberapa jam kemudian membengkak, sakit ringan sehingga saat itu tidak dibawa ke klinik. Pada sore harinya jempol terasa panas, sakit bila digerakkan disertai badannya hanya meriang. Karena tidak ada luka, oleh tetanggaa diberi obat borehan dari daun binahong. Beberapa jam kemudian rasa sakit berkurang, bengkak berkurang, tetapi timbul sedikit gatal, dan karena kurang hati-hati digaruk sehingga timbul lecet. Pada hari keempat badan terasa lebih panas, rasa sakit memberat lagi dan terdapat bintik kekuningan pada bagian yang bengkak. Pada pemeriksaan fisik diperoleh data suhu badan aksiler 38,5ºC, frekuensi nadi 102 kali/menit, irama tertaur, tekanan darah 124/78, dan frekuensi nafas 18 kali/menit dengan tipe kosto abdominal. Pada pemeriksaan fisik organ dalam batas normal. Status lokalis pasien antara lain jempol tangan kiri terlihat lebih memerah, teraba hangat, nyeri tekan, konsistensi keras, bila digerakkan terasa lebih sakit, dan terlihat bintik kuning. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 13 gr%, jumlah leukosit 12.500/mm3 dan jumlah trombosit 220 x 103/mm3. Penderita rawat jalan.
Pada kasus di atas jempol tangan kiri pasien bengkak adalah karena proses inflamasi. Pada saat jempolnya kena pukul, maka terjadi trauma yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan yang pada kasus ini adalah jaringan otot. dan timbul inflamasi. Inflamasi yang terjadi pertama-tama adalah inflamasi steril. Manifestasi inflamasi terlihat pada jempol yang membengkak,sakit bila digerakkan, panas dan timbul rasa meriang. Sakit dan bengkak mulai berkurang setelah oleh pasien diberi obat borehan dari daun binahong. Sampai saat ini masih belum jelas mekanisme pengobatan dengan daun binahong. Menurut informasi, daun binahong mengandung zat yang berfungsi sebagai zat antiinflamasi. Rasa gatal yang timbul sesudahnya kemungkinan disebabkan oleh histamine. Bintik kekuningan yang timbul setelah adanya luka pada area inflamasi merupakan eksudat neutrofilik yang terbentuk karena aktivitas neutrofil. Hal tersebut menandakan telah terjadi inflamasi non steril oleh karena masuknya mikroorganisme melalui luka.
Demam pada pasien dan frekuensi nadi yang meningkat juga merupakan manifestasi dari proses inflamasi. Frekuensi nadi yang meningkat merupakan efek dari mekanisme pengaturan panas tubuh.
Inflamasi non steril yang terjadi menyebabkan leukositosis yang terlihat pad hasil pemeriksaan laboratorium. Oleh karena data-data yang ada dalam kasus maupun dalam tinjauan pustaka maka pasien didiagnosis menderita miositis.
Penatalaksanaan miositis ialah pemberian anti inflamasi serta pemberian antibiotic yang disesuaikan dengan kemungkinan jenis mikroorganisme apa yang menginfeksi. Selain itu, untuk mempercepat penyembuhan jaringan, dapat dilakukan insisi untuk mengeluarkan eksudat (nanah) pada area inflamasi yang sebenarnya akan diserap oleh tubuh sehingga akan menghilang dengan sendirinya. Pemberian antibiotic juga bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi dari miositis.
IV. KESIMPULAN
1. Untuk pasien pada skenario menderita myositis.
2. Dilakukan pemeriksaan ke rumah sakit terdekat untuk mengetahui lebih lanjut tentang myositisnya.
3. Daun Binahong berfungsi untuk untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi inflamasi tetapi memiliki efek samping yaitu gatal sehingga pada skenario jari pasien lecet akibat digaruk.
4. Inflamasi pada jari disebabkan oleh mikroorganisme yang masuk pada saat jari lecet.
Bintik kekuningan tersebut diakibatkan oleh leukosit yang menumpuk di jari saat membunuh kuman yang masuk pada jari yang lecet











V. DAFTAR PUSTAKA
Hoffbrand, AV and Petit, JE.1996. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta :EGC.
Robbins, Stanley L. dan Vinay Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1. Edisi 7. Jakarta: EGC
Spector, W. G., 1993. Pengantar Patologi Umum. Yogyakarta : Gama Press
Sudarto, P dkk. 2002. Buku Ajar Patologi I (Umum) edisi ke-7. Jakarta :Sagung Seto

Guyton, Arthur C. and John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC.


Persatuan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi FKUI. 1973. Patologi. Jakarta : FKUI. Selengkapnya...

Drug Induced Trombocytopenia

I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Hemostatis adalah usaha tubuh agar tidak kehilangan darah terlalu banyak bila terjadi luka pada pembuluh darah dan agar darah tetap cair serta aliran darah berlangsung secara lancar. Bila pembuluh darah mengalami cedera atau pecah, hemostatis terjadi melalui beberapa cara, antara lain (1) spasme pembuluh darah, (2) Pembentukan bekuan darah sebagai hasil dari proses pembekuan darah, dan (4) terjadi pertumbuhan jaringan ikat ke dalam bekuan darah untuk menutup lubang pada pembuluh secara permanen.
Trombosit atau platelet memiliki banyak peranan dalam proses hemostatis. Struktur dan unsur yang terkandung di dalam trombosit sangat unik sehingga dapat mendukung proses hemostatis. Jika terjadi gangguan jumlah atau fungsi pada trombosit maka proses hemostatis dapat terganggu. Seperti jika jumlah trombosit menurun atau trombositopenia maka dapat terjadi bercak-bercak perdarahan pada pembuluh darah kapiler. Atau jika jumlahnya sangat rendah maka dapat terjadi perdarahan yang sangat berbahaya.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Terdapat bercak-bercak hitam pada tungkai setelah panas dan minum obat.
2. Jumlah trombosit, hemoglobin dan hematokrit menurun.
3. Jumlah eosinofil naik
4. Setelah obat dihentikan dan dievaluasi tiga hari, jumlah trombosit dan hematokrit tetap turun.
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Melihat struktur, kandungan kimia dan fungsi trombosit dalam tubuh.
2. Mengetahui mekanisme trombopoiesis.
3. Mengetahui hubungan antara obat dan kekurangan jumlah trombosit dalam darah.
II. STUDI PUSTAKA
Segera setelah pembuluh darah terpotong atau pecah, rangsangan dari pembuluh yang rusak itu menyebabkan dinding pembuluh berkontraksi; sehingga dengan segera aliran dari pembuluh darah yang pecah segera berkurang. Kontraksi terjadi sebagai akibat dari refleks saraf, spasme miogenik setempat, dan faktor humoral setempat yang berasal dari jaringan yang terkena trauma dan trombosit darah. Untuk pembuluh darah yang kecil trombosit menyebabkan sebagian besar vasokonstriksi dengan mengeluarkan zat vasokonstriktot tromboksan A2.
Bila celah pada pembuluh darah berukuran sangat kecil (dan setiap hari terbentuk lubang yang sangat kecil) maka lubang itu biasanya ditutup oleh sumbat trombosit, bukan oleh bekuan darah.
Trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval dengan diameter 2-4µm. Trombosit dibentuk di sumsum tulang dari megakariosit, sel yang sangat besar dalam susunan hemopoietik dalam sumsum tulang yang memecah menjadi trombosit, baik dalam sumsum tulang atau segera setelah memasuki kapiler darah, khususnya ketika mencoba untuk memasuki kapiler paru. Tiap megakariosit menghasilkan kurang lebih 4000 trombosit (Ilmu Penyakit Dalam Jilid II). Megakariosit tidak meninggalkan sumsum tulang untuk memasuki darah. Konsentrasi normal trombosit ialah antara 150.000 sampai 350.000 per mikroliter. Volume rata-ratanya 5-8fl. Dalam keadaan normal, sepertiga dari jumlah trombosit itu ada di limpa.
Jumlah trombosit dalam keadaan normal di darah tepi selalu kurang lebih konstan. Hal ini disebabkan mekanisme kontrol oleh bahan humoral yang disebut trombopoietin. Bila jumlah trombosit menurun, tubuh akan mengeluarkan trombopoietin lebih banyak yang merangsang trombopoiesis.
Di dalam sitoplasma trombosit terdapat faktor-faktor aktif seperti (1) molekul akin dan miosin, sama seperti yang terdapat dalam sel-sel otot, juga protein kontraktil lainnya, yaitu tromboplastin, yang dapat menyebabkan trombosit berkontraksi; (2) sisa-sisa retikulum endoplasma dan aparatus golgi yang mensintesis berbagai enzim dan menyimpan sejumlah besar ion kalsium; (3) mitokondria dan sistem enzim yang mampu membentuk adenosin trifosfat dan adenosin difosfat (ADP); (4) sistem enzim yang mensintesis prostaglandin, yang merupakan hormon setempat yang menyebabkan berbagai jenis reaksi pembuluh darah dan reaksi jaringan setempat lainnya; (5) suatu protein penting yang disebut faktor stabilisasi fibrin; (6) faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan penggandaan dan pertumbuhan sel endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah, dan fibroblas, sehingga dapat menimbulkan pertumbuhan sel-sel untuk memperbaiki dinding pembuluh yang rusak.
Pada permukaan membran sel trombosit terdapat glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari pelekatan pada endotel normal dan justru melekat pada dinding pembuluh yang terluka, terutama pada sel-sel endotel yang rusak, dan bahkan melekat pada jaringan kolagen yang terbuka di bagian dalam pembuluh. Membran juga mengandung banyak fosfolipid yang berperan dalam mengaktifkan berbagai hal dalam proses pembekuan darah.
Masa hidup trombosit 8 sampai 12 hari, setelah itu proses kehidupannya berakhir. Trombosit itu kemudian diambil dari sirkulasi, terutama oleh sitem makrofag jaringan; lebih dari separuh trombosit diambil oleh makrofag dalam limpa.
Segera setelah terjadi luka pada pembuluh darah, sel-sel trombosit beradhesi pada jaringan kolagen subendotelial pada luka tersebut. Pada waktu bersinggungan dengan pembuluh darah yang rusak maka sifat-sifat trombosit tersebut akan beruabah secara drastis. Trombosit mulai membengkak, bentuknya menjadi ireguler dengan tonjolan-tonjolan pada permukaannya; protein kontraktilnya berkontraksi dengan kuat dan menyebabkan pelepasan granula yang mengandung berbagai faktor aktif; trombosit itu menjadi lengket sehingga melekat pada serat kolagen; menyekresi sejumlah besar ADP; dan enzim-enzimnya membentuk tromboksan A2, yang juga diskresikan ke dalam darah. ADP dan tromboksan kemudian mengaktifkan trombosit yang berdekatan, dan karena sifat lengket dari trombosit tambahan ini maka akan menyebabkannya melekat pada tombosit semula yang sudah aktif. Sehingga terbentuklah siklus aktivasi trombosit hingga terbentuk sumbat trombosit.
Kemudian untuk memperkuat sumbat trombosit digunakan proses pembekuan darah. Zat-zat aktivator dari dinding pembuluh darah yang rusak dan dari trombosit, dan juga dari protein-protein darah yang melekat pada dinding pembuluh darah yang rusak, akan mengawali proses pembekuan darah. Peneliti-peneliti setuju bahwa pembekuan terjadi melalui tiga langkah utama: (1) Sebagai respon terhadap rupturnya pembuluh darah atau kerusakan darah itu sendiri, maka rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks terjadi dalam darah yang melibatkan lebih dari selusin faktor pembekuan darah. Hasil akhirnya adalah terbentuknya suatu kompleks substansi teraktivasi yang secara kolektif disebut aktivator protrombin. (2) Aktivatior protrombin mengkatalis perubahan protrombin menjadi trombin. (3) Trombin bekerja sebagai enzim untuk mengubah fibrinogen untuk menjadi benang fibrin yang merangkai trombosit, sel darah, dan plasma untuk membentuk bekuan.
Langkah selanjutnya adalah penghancuran bekuan atau fibrinolisin. Protein plasma mengandung euglobulin yang disebut plasminogen atau profibrinolisin. Plasmin adalah enzim proteolitik untuk mencerna benang-benang fibrin dan zat lain di sekeliling darah, seperti fibrinogen, Faktor V, Faktor VIII, protrombin, dan Faktor XII. Jika plasmin dibentuk dalam bekuan darah maka plasmin akan melisis bekuan darah dan merusak banyak faktor pembekuan darah.
Jika terjadi kekurangan jumlah trombosit dalam sistem sirkulasi, keadaan ini dinamakan trombositopenia. Penderita cenderung mengalami perdarahan seperti pada hemofili kecuali bahwa biasanya perdarahan berasal dari venula-venula atau kapiler-kapiler kecil, bukan dari pembuluh yang lebih besar, seperti pada hemofilia. Sebagai akibatnya timbul bintik-bintik perdarahan di seluruh jaringan tubuh. Kulit penderita menampakkan bercak-bercak kecil sehingga penyakit ini disebut trombositopenia purpura. Seperti yang dibicarakan di atas, trombosit terutama diperlukan untuk menutup kebocoran-kebocoran kecil di kapiler dan pembuluh kecil lainnya.
Biasanya perdarahan tidak akan terjadi sampai jumlah trombosit dalam darah turun di bawah 50.000 per mikroliter. Kadar serendah 10.000 per mikroliter sering mengakibatkan kematian.
ITP atau Imun Trombocytioenic purpura adalah keadaan yang disifatkan oleh timbulnya petekia atau ekimosis di kulit atau pada selaput lendir dan ada kalanya terjadi pada berbagai jaringan dan disebabkan oleh gangguan autoimun. Akibatnya terjadi penghancuran trombosit secata dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglobulin G.
Ada berbagai kemungkinan ITP dapat terjadi diantaranya, hipersplenisme, infeksi virus (demam berdarah, morbili, varisela, dan sebagainya), intoksikasi makanan atau obat (asetosal, PAS, fenilbutazon, diamox, kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas), kekurangan faktor pematangan (malnutrisi), DIC (misalnya pada DSS, leukimia, respiratory distress syndrome pada neonatus) dan terakhir dikemukakan bahwa ITP yang terutama adalah penyakit autoimun.
Diperkirakan bahwa ITP diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita ITP, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima transfusi kaya IgG dari seorang pasien ITP. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar pasien, akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagai akibat destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofagdi dalam sumsum tulang, atau karena hambatan pembentukan megakariosit, kadar trombopoietin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal.
Ada juga kelainan destruksi trombosit yang diinduksi obat (Drug induced trombocytopenia). DIT cukup sering dijumpai di masyarakat dan diperkirakan ada lebih dari 200 jenis obat yang menyebabkan terjadinya trombositopenia.
DIT bisa disebabkan oleh hambatan pada proliferasi megakariosit dan produksi trombosit, dapat juga disebabkan oleh penghancuran trombosit di sirkulasi. Penghancuran trombosit terjadi karena adanya reaksi imun yang menyebabkan antibodi berikatan dengan trombosit oleh pengaruh obat tertentu kemudian trombosit tersebut akan dibersihkan oleh sistem retikuloendotelial. Kondisi ini ditandai dengan terjadinya petekiae, lesi purpura, dan yang agak jarang ditemukan terjadi perdarahan intra kranial. Kebanyakan kasus DIT terjadi berdasaran adanya antibodi yang bereaksi dengan epitop yang terbentuk karena interaksi antara obat dengan satu atau lebih glikoprotein membran trombosit.

III. DISKUSI / BAHASAN
Pada kasus di skenario ini, seorang anak perempuan datang dengan bercak-bercak hitam pada tungkai setelah sebelumnya datang ke sarana kesehatan yang lain karena panas. Diberikan puyer diminum tiga kali sehari dan amoxyllin diminum tiga kali setengah tablet. Setelah dua hari minum obat maka timbul bercak-vercak hitam. Kondisi anak ini sekarang tidak lagi panas tetapi masih pilek. Hemoglobin, trombosit dan hematokrit turun. Jumlah leukosit, basofil, netrofil segmen, limfosit, dan monosit normal sedangkan eosinofil naik. Setelah penghentian obat dan dievaluasi tiga hari kemudia jumlah trombosit dan hematokrit tetap menurun.
Panas anak kemudian menurun mugkin disebabkan oleh puyer yang diberikan bersifat simtomatik sehingga panas anak ini turun tetapi pileknya belum sembuh. Seperti pemberian parasetamol misalnya yan dapat menurunkan panas anak dan bersifat simtomatik.
Amoyllin adalah turunan penisilin yang memungkinkan terjadinya DIT. Reaksi obat muncul setelah obat diminum, yaitu muncul bercak-bercak hitam pada tungkai. Setelah obat ini dihentikan dan dievaluasi tiga hari kemudian, jumlah trombosit dan hematokrit tetap menurun. Hal ini mungkin disebabkan karena pembentukan trombosit dalam sumsum tulang berlangsung selama 6-10 hari sehingga pada hari yang ketiga masih belum ditemukan kenaikan jumlah trombosit. Atau mungkin juga disebabkan karena anak ini memang sensitif dengan obat ini, sehingga perlu penanganan khusus untuk menaikkan jumlah trombosit.
Pengobatan dapat dengan pemberian kortikosteroid.Tetapi jika jumlah trombosit dibawah 20.000/mm3 maka perlu diberikan transfusi trombosit untuk menaikkan kadar trombosit. Sebab jika jumlah trombosit di bawah 10.000/mm3 maka dapat membahayakan jiwa penderita. Jumlah trombosit yang sedemikian rendah dapat mengakibatkan perdarahan bahkan tanpa trauma dan akan sangat berakibat fatal jika terjadi perdarahan intrakranial. Tetapi jika jumlah trombosit masih di atas 20.000/mm3 tidak perlu diberikan transfusi sebab tubuh masih dapat mengkompensasi kekurangan dengan mempercepat trombopoiesis. Maka jika transfusi trombosit dilakukan dapat mengganggu proses trombopoiesis sebab jumlah trombosit naik dan sumsum tulang terangsang untuk mengurangi jumlah trombosit yang dibentuk karena dalam peredaran darah sudah mencukupi.
IV. KESIMPULAN
1. Anak ini menderita Drug Induced Trombocytopenia.
2. DIT bisa disebabkan oleh hambatan pada proliferasi megakariosit dan produksi trombosit, dapat juga disebabkan oleh penghancuran trombosit di sirkulasi.
3. Penghancuran trombosit secaa prematur dari peredaran darah diakibatkan oleh reaksi imun yang diakibatkan oleh pengaruh obat tertentu.
4. Penanganan dapat diberikan dengan kortikosteroid atau jika jumlah trombosit dibawah 20.000/mm3 dapat diberikan transfusi trombosit.

V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guyton & Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC
Medicineworld. 2008. Drugs causing thrombocytopenia or low platelet count, (Online), (http://medicineworld.org/physicians/hematology/thrombocytopenia.html, diakses tanggal 27 Februari 2008)
Setiabudy, Rahajunigsih D. 2007. Hemostatis dan Trombosis Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : Infomedika
Waspadji, Sarwono ,Soeparman. 1996. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Lampiran:
List of drugs that causes thrombocytopenia
(anti-neoplastic drugs are not included)
• Quinine/Quinidine group
o Quinine
o Quinidine
• Heparin
o Regular unfractionated heparin
o Low molecular weight heparin
• Gold salts
• Antimicrobials
o Antimony containing drugs
 Stibophen
 Sodium stibogluconate
o Cephalosporins
 Cephamandazole
 Cefotetan
 Ceftazidime
 Cephalothin
o Ciprofloxacin
o Clarithromycin
o Fluconazole
o Fusidic acid
o Gentamicin
o Nilidixic acid
o Penicillins
 Ampicillin
 Apalcillin
 Methicillin
 Meziocillin
 Penicillin
 Piperacillin
o Pentamidine
o Rifampin
o Sulpha group
 Sulfamethoxazole
 Sulfamethoxypyridazine
 Sulfisoxazole
o Suramin
o Vancomycin
• Anti-inflammatory drugs
o Acetaminophen
o Salicylates
 Aspiring
 Diflunisal
 Sodium amiosalicylate
 Sulfasalazine
o Diclofenac
o Fenoprofen
o Ibuprofen
o Indomethacin
o Meclofenamate
o Mefanamic acid
o Naproxen
o Oxyphebutazone
o Phenylbutazone
o Piroxicam
o Sulindac
o Tolmetin
• Cardiac medications and diuretics
o Digoxin
o Digitoxin
o Amiodarone
o Procainamide
o Alprenolol
o Oxprenolol
o Captopril
o Diazoxide
o Alpha-methyldopa
o Acetazolamide
o Chlorothiazide
o Chlorthalidone
o Furosemide
o Hydrochlorothiazide
o Sprinolactone
• Benzodiazepines
o Diazepam
• Anti-epileptic drugs
o Carbamazepine
o Phenytoin
o Valproic acid
H2-antagonists
o Cimetidine
o Ranitidine
• Sulfonylurea drugs
o Chlorpropamid
o Glibenclamide
• Iodinated contrast agents
• Retinoids
o Isotretinoin
o Etretinate
• Anti-histamines
o Antazoline
o Chlorpheniramine
• Illicite drugs
o Cocaine
o Heroin
o Qunine containment
• Antidepressants
o Amitriptyline
o Desipramine
o Doxepin
o Imipramine
o Mianserine
• Miscellaneous drugs
o Tamoxifen
o Actinomycin-D
o Aminoglutethimide
o Danazole
o Desferrioxamine
o Levamizole
o Lidocaine
o Morphine
o Papaverine
o Ticlopidine Selengkapnya...

HIPERSENSITIVITAS

REAKSI IMUN YANG BERLEBIH
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Tubuh manusia memiliki mekanisme untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sebab lingkungan hidup kita mengandung berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup seperti bakteri, virus, jamur, parasit maupun yang mati.
Imunitas spesifik merupakan mekanisme yang ampuh untuk menyingkirkan pathogen dan antigen asing. Mekanisme efektor sistem imun, seperti komplemen, fagosit, sitokin, dan lain-lain tidak spesifik untuk antigen asing. Karena itu respons imun dan reaksi inflamasi yang menyertai respons imun kadang-kadang disertai kerusakan jaringan tubuh sendiri, baik lokal maupun sistemik. Pada umumnya efek samping demikian dapat dikendalikan dan membatasi diri dan juga berhenti sendiri dengan hilangnya antigen asing. Di samping itu, dalam keadaan normal ada toleransi terhadap antigen self (sendiri) sehingga nantinya tidak akan terjadi respons imun terhadap jaringan tubuh sendiri. Namun ada kalanya respons atau reaksi imun itu berlebihan atau tidak terkontrol dan reaksi yang demikian disebut dengan reaksi hipersensitivitas (Abbas, 2000).
Seharusnya sistem pertahanan tubuh kita akan melindungi tubuh dari pajanan dari luar. Tetapi pada keadaan reaksi imun yang berlebihan, sistem imun tubuh kita akan menghasilkan reaksi imun yang patologik, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Pada beberapa kejadian reaksi imun yang tak lazim ini disebabkan kecenderungan “alergik”, yang keadaan alerginya disebabkan alergi atopik. Kecenderungan alergi ini diturunkan secara genetis.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Respon imun normal terhadap pajanan dari luar.
2. Reaksi hipersensitivitas dan klasifikasinya.
3. Alergen pemicu reaksi hipersensitivitas.
4. Apa saja yang berperan dalam hipersensitivitas?
5. Apakah reaksi hipersensitivitas diturunkan?
iii. TUJUAN PENULISAN
1. Mempelajari semua hal yang menyebabkan manifestasi klinis pada Siti dan Ibunya.
2. Memahami reaksi hipersensitivitas tipe I-IV.
iv. MANFAAT PENULISAN
1. Memahami konsep-konsep dasar imunologi manusia.
2. Memahami respon imun fisiologis dan patologis manusia.
II. STUDI PUSTAKA
Tubuh kita sepanjang waktu terpapar dengan bakteri, virus, jamur, dan parasit, semuanya terjadi secara normal dan dalam berbagai tingkatan dalam kulit, mulut, jalan nafas, traktus intestinal, membran yang melapisi mata, dan bahkan traktus urinarius. Banyak dari bahan ini mampu menyebabkan penyakit yang serius jika mereka menyerbu ke jaringan yang lebih dalam. Selain itu, secara intermiten kita berhubungan dengan bakteri dan virus yang sangat infeksius di samping bentuk yang memang dijumpai dalam keadaan normal, dan dapat menimbulkan penyakit yang mematikan, misalnya penumonia, infeksi streptokokus, dan demam tifoid. Namun tubuh kita mempunyai suatu sistem khusus untuk memberantas bermacam-macam bahan yang infeksius dan toksik (Guyton, 1997).
Mekanisme pertahanan ini terdiri atas alamiah atau non spesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired) (Baratawidjaja, 1996).
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung terhadap antigen. Komponen-komponen sistem imun nonspesifik dapat dibagi sebagai berikut :
A. Pertahanan fisik dan mekanik.
Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen yang masuk ke dalam tubuh
B. Pertahanan biokimia (bahan larut).
Beberapa mikroorgnisme dapat masuk melalui badan melalui kelenjar sebaseus, berbagai asam lemak dan enzim yang mempunyai efek antimkrobial, akan mengurangi kemungkinan infeksi melalui kulit. Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas dan telinga berperan dalam pertahanan tubuh. Lisozim dalam keringat, ludan, air mata dan air susu, melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antimikrobial terhadap E.coli dan staphylococcus. HCl dalam lambung, enzim proteolitik dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak mikroorganisme.
C. Pertahanan humoral (bahan larut).
Bahan-bahan yang berperan dalam sistem pertahanan humoral:
1.Komplemen berperan meningkatkan fagositosis (opsonisasi) dan mempermudah destruksi bakteri dan parasit.
2. Interferon (IFN) adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon memiliki sifat antivirus dengan jalan meninduksi sel-sel di sekitarnya sehingga menjadi resisten terhadap virus. Juga berfungsi mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK).
3. C-Reactive protein (CRP) merupakan salah satu contoh dari protein fase akut, yaitu berbagai protein yang meningkat kadarnya dalam darah pada infeksi akut.
D. Pertahanan selular.
Fagosit, makrofag, sel NK dan sel K berperanan dalam sistem imun nonspesifik seluar (Baratawidjaja, 1996).
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang masuk dalam tubuh akan segera dikenal oleh sistem imun spesifik tersebut dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun spesifik dibagi menjadi dua: sistem imun spesifik humoral (limfosit B) dan sistem imun spesifik selular (limfosit T) (Baratawidjaja, 1996).
Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Bila sel dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan mengalami proliferasi dan berdifirensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk zat antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi adalah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan melakukan netralisasi toksin (Soeparman dkk, 1996).
Yang berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel T umumnya ialah:
- membantu sel B memproduksi antibodi
- mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus
- mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
- mengontrol ambang dan kualitas sistem imun
(Soeparman dkk, 1996).
Sel T terdiri atas beberapa subset
a. Sel Th (T helper)
Sel Th berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk membentuk antibodi, kebanyakan antigen harus dikenal lebih dahulu baik oleh sel B maupun oleh sel T. Sel Th juga berpengaruh atas sel Tc dalam mengenal sel yang terinfeksi virus dan jaringan cangkok allogenic.
b. Sel Ts (T Suppresor)
Berperan menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya sel Ts dibagi menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan Ts non spesifik.
c. Sel Td (delayed hypersensitivity)
Berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi hypersensitivitas tipe lambat. Dalam fungsinya sel Td sebenarnya menerupai sel Th.
d. Sel Tc (cytotoxic)
Mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel allogenic dan sel sasaran yang mengancung virus. Th dan Ts disebut sel regulator dan sel Td dan Tc disebut sel T efektor.
Antigen (Ag) adalah zat-zat yang mampu, dalam kondisi yang tepat, menginduksi suatu respon imun spesifik dan bereaksi dengan produk respons tersebut, yakni, dengan antibodi spesifik atau limfosit-limfosit T yang disensitisasi secara khusus, atau keduanya. Antigen dapat berupa zat terlarut, seperti toksin dan protein asing, atau partikel, seperti bakteri dan sel jaringan; akan tetapi, hanya bagian molekul protein atau polisakaridanya saja yang diketahui sebagai antigenic determinant yang bergabung dengan antibodi atau suatu reseptor spesifik suatu limfosit (Dorland, 2002).
Imunogen adalah suatu bahan yang dapat menimbulkan respon imun, dalam kebanyakan konteks bersinonim dengan antigen; dalam beberapa konteks imunogen digunakan untuk menggambarkan perbedaan dengan zat yang mampu bereaksi hanya dengan antibodi (antigen atau hapten) atau untuk menunjukkan bentuk suatu antigen yang menyebabkan respons imun bila dihadapkan pada tolerogen, suatu bentuk yang menyebabkan toleransi (Dorland, 2002)
Antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antibodi mengikat antigen yang menimbulkannya secara spesifik.
Satu klon limfosit hanya responsif terhadap satu tipe antigen tunggal (atau terhadap beberapa antigen yang sifat stereokiminya sama). Sebab pada limfosit B, pada permukaan setiap membran selnya terdapat kira-kira 100.000 molekul antibodi yang hanya akan bereaksi secara sangat spesifik terhadap hanya satu macam antigen spesifik saja. Jadi, bila antigen ini cocok, maka antigen ini segera melekat pada membran sel; keadaan ini menimbulkan proses aktivasi. Pada limfosit T, pada permukaan membran sel T-nya terdapat molekul yang sangat mirip dengan antibodi, yang disebut protein reseptor permukaan (penanda sel T), dan ternyata protein ini juga bersifat sangat spesifik terhadap satu macam antigen tertentu yang mengaktivasinya (Guyton, 1997).
Dalam jaringan limfoid, selain limfosit terdapat juga berjuta-juta makrofag. Kebanyakan organisme yang menyerang difagositosis dan sebagian dicernakan oleh makrofag, dan produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian melewatkan antigen-antigen tersebut dengan cara kontak sel-ke-sel langsung ke limfosit, jadi menimbulkan aktivasi klon yang khusus. Selain itu, makrofag juga menyekresi IL-1 yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik (Guyton, 1997).
Respon imun normal bekerja dengan jalur seperti ini: patogen memasuki jaringan melalui luka pada jaringan. Patogen tersebut diserang oleh makrofag pada tempat infeksi. Kemudian antigen dari patogen dimunculkan pada permukaan makrofag (antigen presenting cell). Sel T memiliki reseptor yang mengenali antigen dan kemudian terikat pada antigen di makrofag. Atau dapat pula Sel B langsung melekat padaantigen. Yang kemudian dibantu oleh limfosit T helper yang melekat pada antigen di sel B untuk merangsang sel B memproduksi sel plasma. Sebagian besar plasma sel memproduksi antibodi yang melekat pada antigen dari sel yang terinfeksi. Sel B juga mempunyai sel B memori untuk kemudian bersama dengan antibodi berada di darah melawan infeksi dari patogen yang sama (Jphjohor, 2008).
Bila terjadi perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respons imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing, keadaan ini disebut hipersensitivitas (Dorland, 2002). Hipersensitivitas yang terjadi akibat respon imun yang berlebih dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Baratawidjaja, 1996)
Reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III dan IV.
I. Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah badan terpapar terhadap alergen. Pada reaksi ini alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun dengan dibentuknya IgE.
Pada hipersensitivitas tipe I, secara berurutan, sebagai berikut (Kresno, 2003) :
1. Produksi IgE oleh sel B sebagai respons terhadap antigen paparan pertama
2. Pengikatan IgE pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil
3. Interaksi antigen paparan kedua dengan IgE pada permukaan sel yang mengakibatkan aktivasi sel yang bersangkutan dan penglepasan berbagai mediator yang tersimpan dalam granula sitoplasma sel tersebut.
Paparan ulang pada IgE yang telah melekat pada mastosit dan basofil oleh alergen spesifik mengakibatkan alergen diikat oleh IgE sedemikian rupa sehingga alergen tersebut membentuk suatu jembatan antara 2 molekul IgE pada permukaan sel, hal ini disebut sebagai crosslinking (Abbas, 2000). Namun, crosslinking hanya bisa terjadi dengan antigen yang bivalen atau multivalen dan tidak terjadi pada antigen yang univalen (Kresno, 2003). Crosslinking yang sama dapat terjadi bila fragmen Fc-IgE bereaksi dengan anti-IgE, atau apabila reseptor FcεRI dihubungkan satu sama lain oleh anti-reseptor Fc. (Kresno, 2003). Dan crosslinking inilah yang merupakan mekanisme awal atau sinyal untuk degranulasi basofil (Abbas, 2000).
Sifat khusus IgE adalah adanya kecenderungan yang kuat untuk melekat pada sel mas dan basofil. Pada saat sel mast dan basofil mengeluarkan beberapa bahan seperti histamin, SRS-A, substansi kemotaktik eosinofil, protease, substansi kemotaktik netrofil, heparin dan faktor pengaktif trombosit. Substansi-substansi ini menyebabkan suatu fenomena seperti dilatasi pembuluh darah setempat, penarikan eosinofil dan netrofil menuju tempat yang reaktif, kerusakan jaringan setempat karena protease, peningkatan permeabilitas kapiler dan hilangnya cairan ke dalam jaringan, dan kontraksi otot polos setempat.
II. Reaksi Hipersensitivitas tipe II
Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut mengaktifkan sel K sebagai efektor Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Selanjutnya ikatan antigen-antibodi dapat mengaktifkan komplemen yang melalui reseptor C3b memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ialah destruksi sel darah merah akibat transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.
Pada hipersensitivitas tipe II, antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen (Kresno, 2003). Konsekuensinya adalah (Abbas, 2000) :
1. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menatikdan mengaktivasi sel efektor lain.
2. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi dan C3d pada membran sel sasaran.
3. Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan membrane attack complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.

III. Reaksi Hipersensitivitas tipe III
Reaksi tipe III ini disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepaskan enzim yang dapat merusak jaringan di sekitarnya.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur) atau dari jaringan sendiri (autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
Sebenarnya dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks imun kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi (Baratawidjaja, 1996).
Pada hipersensitivitas tipe III, pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan antibodi yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Anibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen-antibodi yang kemudian dapat mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh. Pembentukan kompleks imun (kompleks antigen-antibodi) itu akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sitem komplemen, menyebabkan pelepasan anafilatoksin yang kemudian merangsang penglepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Di lain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel-sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim-enzim proteolitik di antaranya proteinase, kolagenase dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi tersebut mengendap di jaringan, prosdes di atas bersama-sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks (Abbas, 2000).
IV. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, Cell Mediated Immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberkulin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar dengan antigen. Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu. Di sini tidak ada peranan antibodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T mengeluarkan limfokin, antara lain Macrophage Inhibition Factor (MIF) dan Macrophage Activation Factor (MAF). Makrafag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing, mikroorganisme intraselular, protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
Untuk reaksi tipe IV diperlukan masa sensitisasi selama 1-2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan serentetan reaksi yang menimbulkan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI (Baratawidjaja, 1996).
Pada hipersensitivitas tipe IV, terdapat 3 macam reaksi penting (Kresno, 2003), yaitu :
1. Reaksi kontak
Ada 2 fase, yaitu fase sensitasi dan elisitasi (Kresno, 2003). Pada fase sensitasi, sel Langerhans membawa antigen ke area parakortikal kelenjar getah bening regional, mempresentasikan antigen yang telah diproses (bersama MHC kelas II) kepada sel CD4+ dan menghasilkan populasi sel CD4+ memori (Barnetson, 2003).
Pada fase elisitasi terjadi degranulasi dan penglepasan sitokin oleh sel mastosit segera estela kontak. TNF-α dan IL-1 yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel, khusunya makrofag, merupakan faktor yang poten untuk menginduksi molekul adhesi endotel. Penglepasan sitokin lokal ini merupakan sinyal bagi sel-sel mononuklear untuk bermigrasi ke kulit dan menimbulkan reaksi kontak. Sebagian besar sel infiltrat adalah CD4+, dan hanya sedikit CD8+. Supresi reaksi inflamasi dapat diperantarai oleh berbagai sitokin. Makrofag dan keratinosit menghasilkan Prostaglandin E yang menghambat produksi IL-1 dan IL-2; sel T mengikat keratinosit yang aktif dan konjugat hapten mengalami degradasi enzimatik (Barnetson, 2003).
2. Reaksi tuberkulin
Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan adanya agregasi dan proliferasi makrofag membentuk granuloma yang menetap selama beberapa minggu (Kresno, 2003). Pemaparan ulang sel T memori pada kompleks antigen MHC kelas II yang ditampilkan oleh APC merangsang sel T CD4+ untuk melakukan transformasi blast disertai pembentukan DNA dan proliferasi sel. Sebagian dari populasi limfosit teraktivasi mengeluarkan berbagai mediator yang menarik makrofag ke tempat bersangkutan. Dalam hal ini makrofag adalah APC utama yang berperan, di samping adanya sel-sel CD1+ yang membuktikan keterlibatan sel Langerhans dalam reaksi ini (Abbas, 2000).
3. Reaksi granuloma
Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas yang jenis lambat yang paling penting karena dapat menyebabkan berbagai keadaan patologis pada penyakit-penyakit yang melibatkan respons imun selular (Kresno, 2003). Biasanya reaksi ini terjadi karena makrofag tidak ampu menyingkirkan mikroorganisme atau partikel yang ada di dalamnya, sehingga partikel itu menetap. Kadang-kadang reaksi ini juga diakibatkan oleh kompleks imun yang persisten. Proses ini mengakibatkan pembentukan granuloma (Barnetson, 2003).
III. DISKUSI / BAHASAN
Skenario II
SITI SERING BIDUREN
Seorang anak, bernama Siti, berusia 10 tahun, sering menderita biduren. Keluhan biduren ini biasanya timbul setelah makan udang. Menurut ibunya, beberapa hari setelah lahir dulu pipinya timbul eczem, yang berwarna kemerahan dan selalu digaruk-garuk. Pada waktu bayi selain mendapat ASI juga mendapat susu formula. Sejak kecil, sehabis makan udang dan kepiting langsung keluar bentol-bentol merah terasa gatal dan juga disertai kolik abdomen disertai diare. Selanjutnya Siti tidak berani lagi makan udang, telur dan semua ikan laut. Setelah diperiksakan ke dokter, dianjurkan pemeriksaan laboratorium darah lengkap dengan hasil Hemoglobin: 13,2 gr/dL; Anthal lekosit: 7,5X103; AT 337X103 Hitung jenis lekosit: eosinofilia relatif. Selanjutnya dokter memberikan obat dan dianjurkan dilakukan pemeriksaan skin prick test.
Ibu dari Siti sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin dan juga menderita asma, dengan gejala sesak nafas dan mengi. Pada waktu hamil ibunya Siti sudah khawatir kalau asmanya menurun kepada anaknya. Mereka konsultasi kepada dokter mengenai hal tersebut.
Ibunya Siti pernah berobat ke praktek dokter diberikan suntikan dan syok. Dokter berusaha menangani syonya tersebut, tetapi tidak membaik dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit.
Pada kasus skenario Siti sering mengalami biduren setelah makan udang. Biduran/ urtikaria sendiri adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan hilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk.
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan penumpukan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat dengan kemerahan.
Vasodilatasi dan penigkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator, misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mas dan basofil. Selain itu terjadi pula inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik, misalnya kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin dalam sel mas.
IgE terikat pada permukaan sel mas dan atau basofil karena adanya reseptor Fc, bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE, maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mas dan basofil (Aisah, 1994).
Siti sering menderita biduren setelah memakan udang. Penelitian membuktikan telah mengidentifikasi alergen tersebut adalah protein pada otot udang, tropomyosin. Tropomyosin adalah protein dengan berat molekul rendah sehingga tidak tercerna dan akhirnya terserap dan megakibatkan alergi (Hererro, 2001).
Beberapa hari sesudah lahir, dia menderita eczem, dan pada waktu bayi dia diberi minum susu formula dan ASI. Eczem adalah dermatitis papulovesikular yang gatal yang timbul sebagai reaksi terhadap banyak agen eksogen dan endogen, pada stadium akut ditandai dengan eritema, edema yang disertai eksudat serosa diantara sel-sel epidermis dan infiltrat radang di dalam dermis, basah dan vesikulasi.
Bisa diakibatkan oleh alergi yang diturunkan melalui gen atopik dari ibunya, yang kemudian manifestasinya adalah eczem. Sampai usia lima tahun kurang lebih 20-25% orang berkulit putih dan 90-95% orang berkulit hitam akan mengalami intoleransi laktosa (Steinman, 2002). Baik susu formula maupun ASI sama-sama memiliki laktosa, namun pada ASI kadarnya jauh lebih rendah.
Setelah makan udang dan ikan laut dia juga menderita kolik abdomen dan diare. Kolik abdomen dan diare adalah tanda-tanda inflamasi yang diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas dari protein.
Hitung darah anak ini ada eosinofilia relatif. Eosinofilia relatif adalah persentase eosinofil >5% tetapi hitung eosinofil <450sel/µL . Kenaikan jumlah eosinofil pada inflamasi ini dialami anak tersebut karena pelepasan-pelepasan substansi-substansi kemotaktik eosinofil, sehingga ada kenaikan jumlah eosinofil pada jaringan yang mengalami alergi (Rodriguez dkk, 2008).
Ibu dari Siti sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin dan juga menderita asma, dengan gejala sesak nafas dan mengi. Disebabkan oleh gen atopik yang ada pada dirinya, sehingga jika terpapar dengan allergen maka bisa menghasilkan reaksi alergi.
Dalam granula-granula basofil/sel mas terdapat trypthase dan chymase. Trythase menyebabkan reaksi berlebihan pada bronkus dan chymase menyebabkan peningkatan sekresi mukus, yang menjadi ciri asma. Penyempitan saluran nafas pada asma terjadi karena Selaput dalamsaluranudara menjadi merah dan bengkak (radang) dan banyakmukus(lendir)mungkin dihasilkan serta otot dikeliling saluran udara menyempit (bronkokonstriksi).
Jika asma ini dipicu karena gen atopik serta lingkungan yang mendukung, maka mungkin anak yang dikandung mempunyai predisposisi untuk asma. Hipersensitivitas yang terjadi karena gen atopik diturunkan kepada keturunannya, dan yang diturunkan hanyalah predisposisi untuk asma. Pada anak bisa muncul dalam bentuk yang lain, bukan hanya asma.
Reaksi anafilaksis yang dialami oleh ibu Siti terjadi karena reaksi sistemik akut sebagai akibat dari kontak dengan antigen. Terdapat kontraksi otot-otot polos dan peninggian permeabillitas pembuluh darah. Akibat pelepasan-pelepasan mediator setelah kontak dengan antigen terjadi dilatasi pembuluh darah, peninggian permeabilitas pembuluh darah, perangsangan sekresi mukus dan kontraksi otot bronkus, tekanan darah dapat menurun dengan cepat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN :
1. Ibu Siti memiliki gen atopik sehingga jika terjadi pajanan dari luar dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas seperti asma dan syok.
2. Siti mewarisi gen atopik sehingga Siti juga mengalami reaksi hipersensitivitas seperti saat makan ikan atau udang, juga saat minum susu formula.
3. Siti mengalami hipersenstivitas tipe I
4. Dalam hipersensitivitas, yang diturunkan adalah gen atopik, sehingga anak yang lahir dari pasangan yang memiliki gen atopik dapat membawa faktor predisposisi untuk hipersensitivitas.
5. Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
SARAN:
1. Hindari makanan atau apapun yang sudah diketahui dapat menimbulkan reaksi alergi pada Siti.
2. Lakukan pemeriksaan skin prick test untuk mengetahui penyebab alergi pada Siti.
















V. DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman MH, 1997. Reaksi Anafilaksis. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak I, 7th ed. Jakarta, Infomedika, pp : 37-40
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS, 2000. Disease caused by immune response: Hypersensitivity and autoimmunity. Dalam: Cellular and molecular immunology, 4th ed. Philadelphia, WB Saunders Co, pp: 404-23
Adhi Djuanda, 1993. Penyakit Kulit: Urtikaria. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 2nd ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI , pp : 133-140
Baratawidjaja K .Garna, 1996. Reaksi Hipersensitivitas. Dalam: Imunologi Dasar. 3th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI , pp : 2-97
Barnetson R, Gawkrodger D dan Briton W. Hypersensitivity type IV. Dalam: Roitt IM, Brostoff J, Male D. (eds). Immunology, 7th ed. London, Mosby Co. 2003; 22.1-22.9
Guyton, Hall, 1997. Resistensi Tubuh Terhadap Infeksi : II. Imunitas dan Alergi. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta, EGC , pp : 555-577
Herrero, Gómez, P. Ojeda , E. Aldaya,I. Moneo. 2001. Shellfish Hypersensiivity and Spesific IgE Detection. http://revista.seaic.es/febrero2001e/13-17.pdf. (25 Maret 2008)
Kresno SB, 2002. IMUNOLOGI: Diagnosis dan Proseur Laboratorium, 4th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp: 136-159
Rodriguez C.Carranza, LIedias J.Pardo, Alvarez A.Muro, Arrelano J.L.Perez. 2008. Cryptic Parasite Infection in Recent West African Immigrants with Relative Eosinophilia. http://www.journals.uchicago.edu/doi/pdf/10.1086/528865 (25 Maret 2008)
Soeparman, Waspadji S, 1990. Asma Bronkial. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam, 2nd ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 21-39
Steinman H. 2002. Milk Allergy and Lactose Intolerance. http://www.scienceinafrica.co.za/2002/may/milk.htm. (25 Maret 2008) Selengkapnya...

IMUNISASI

INDUKSI IMUNITAS
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Tubuh manusia memiliki mekanisme untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sebab lingkungan hidup kita mengandung berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup seperti bakteri, virus, jamur, parasit maupun yang mati.
Sejak lahir anak memiliki sitem imun yang didapat dari ibu, sehingga anak dapat terlindung dari penyakit. Tetapi saat bayi mulai bertumbuh sistem pertahanan didapat ini akan terus menurun dan akhirnya tidak dapat mengandalkan sistem pertahanan didapat.
Saat antibodi dari ibu tidak dapat diandalkan lagi, anak harus memproduksi sendiri antibodinya. Antibodi hanya dapat terbentuk jika ada induksi dari benda yang dianggap asing bagi dirinya.
Imunisasi adalah pencegahan penyakit infeksi dengan menginduksi sistem kekebalan tubuh untuk meningkatkan derajat imunitas seseorang terhadap patogen tertentu.
Di Indonesia diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau lima persen pada balita adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), seperti TBC, dipteri, pertusis, campak, tetanus, polio, dan hepatitis B. Oleh sebab itu, imunisasi penting untuk diberikan kepada setiap anak untuk mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Respon imun tubuh terhadap pajanan dari luar.
2. Waktu yang tepat untuk imunisasi.
3. Respon tubuh pada imunisasi.
4. Prosedur kerja imunisasi.
iii. TUJUAN PENULISAN
1. Mampu menetapkan waktu yang tepat untuk imunisasi dalam upaya pencegahan penyakit.
2. Mampu memberikan imunisasi sesuai keadaan yang tepat.
3. Mampu memberikan penanganan yang tepat pada kejadian ikutan paska imunisasi.
iv. MANFAAT PENULISAN
1. Memahami konsep-konsep dasar sistem imunologi manusia.
2. Memahami respon imun fisiologis dan patologis manusia.
3. Memahami pemeriksaan profil imunologi pada kondisi fisiologis dan patologis.
4. Memahami prinsip-prinsip dasar laboratorium untuk profil imunologi.
II. STUDI PUSTAKA
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme (Wikipedia, 2008).
Mekanisme pertahanan ini terdiri atas alamiah atau non spesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired) (Baratawidjaja, 1996).
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung terhadap antigen. Komponen-komponen sistem imun nonspesifik dapat dibagi sebagai berikut :
A. Pertahanan fisik dan mekanik.
Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen yang masuk ke dalam tubuh
B. Pertahanan biokimia (bahan larut).
Beberapa mikroorgnisme dapat masuk melalui badan melalui kelenjar sebaseus, berbagai asam lemak dan enzim yang mempunyai efek antimkrobial, akan mengurangi kemungkinan infeksi melalui kulit. Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas dan telinga berperan dalam pertahanan tubuh. Lisozim dalam keringat, ludan, air mata dan air susu, melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antimikrobial terhadap E.coli dan staphylococcus. HCl dalam lambung, enzim proteolitik dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak mikroorganisme.
C. Pertahanan humoral (bahan larut).
Bahan-bahan yang berperan dalam sistem pertahanan humoral:
1.Komplemen berperan meningkatkan fagositosis (opsonisasi) dan mempermudah destruksi bakteri dan parasit.
2. Interferon (IFN) adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon memiliki sifat antivirus dengan jalan meninduksi sel-sel di sekitarnya sehingga menjadi resisten terhadap virus. Juga berfungsi mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK).
3. C-Reactive protein (CRP) merupakan salah satu contoh dari protein fase akut, yaitu berbagai protein yang meningkat kadarnya dalam darah pada infeksi akut.
D. Pertahanan selular.
Fagosit, makrofag, sel NK dan sel K berperanan dalam sistem imun nonspesifik seluar (Baratawidjaja, 1996).
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang masuk dalam tubuh akan segera dikenal oleh sistem imun spesifik tersebut dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun spesifik dibagi menjadi dua: sistem imun spesifik humoral (limfosit B) dan sistem imun spesifik selular (limfosit T) (Baratawidjaja, 1996).
Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Bila sel dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan mengalami proliferasi dan berdifirensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk zat antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi adalah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan melakukan netralisasi toksin (Soeparman, Sarwono, 1996).
Yang berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel T umumnya ialah:
- membantu sel B memproduksi antibodi
- mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus
- mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
- mengontrol ambang dan kualitas sistem imun
(Soeparman, Sarwono, 1996).
Sel T terdiri atas beberapa subset
a. Sel Th (T helper)
Sel Th berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk membentuk antibodi, kebanyakan antigen harus dikenal lebih dahulu baik oleh sel B maupun oleh sel T. Sel Th juga berpengaruh atas sel Tc dalam mengenal sel yang terinfeksi virus dan jaringan cangkok allogenic.
b. Sel Ts (T Suppresor)
Berperan menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya sel Ts dibagi menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan Ts non spesifik.
c. Sel Td (delayed hypersensitivity)
Berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi hypersensitivitas tipe lambat. Dalam fungsinya sel Td sebenarnya menerupai sel Th.
d. Sel Tc (cytotoxic)
Mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel allogenic dan sel sasaran yang mengancung virus. Th dan Ts disebut sel regulator dan sel Td dan Tc disebut sel T efektor.
Antigen atau imunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan imun spesifik pada manusia dan hewan. Komponen antigen yang disebut determinan antigen atau epitop adalah bagian anitgen yang dapat mengikat antibodi.
Hapten adalah determinan antigen dengan berat molekul rendah dan batu menjadi imunogen bila diikat oleh molekul besar (carrier), dan dapat mengikat antibodi. Hapten biasanya dikenal oleh sel B dan carrier oleh sel T. Carrier sering digabung dengan hapten dalam usaha imunisasi (Soeparman, Sarwono, 1996).
Antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antibodi mengikat antigen yang menimbulkannya secara spesifik.
Respon imun normal bekerja dengan jalur seperti ini: patogen memasuki jaringan melalui luka pada jaringan. Patogen tersebut diserang oleh makrofag pada tempat infeksi. Kemudian antigen dari patogen dimunculkan pada permukaan makrofag (antigen presenting cell). Sel T memiliki reseptor yang mengenali antigen dan kemudian terikat pada antigen di makrofag. Atau dapat pula Sel B langsung melekat padaantigen. Yang kemudian dibantu oleh limfosit T helper yang melekat pada antigen di sel B untuk merangsang sel B memproduksi sel plasma. Sebagian besar plasma sel memproduksi antibodi yang melekat pada antigen dari sel yang terinfeksi. Sel B juga mempunyai sel B memori untuk kemudian bersama dengan antibodi berada di darah melawan infeksi dari patogen yang sama (Jphjohor, 2008).
Satu klon limfosit hanya responsif terhadap satu tipe antigen tunggal (atau terhadap beberapa antigen yang sifat stereokiminya sama). Sebab pada limfosit B, pada permukaan setiap membran selnya terdapat kira-kira 100.000 molekul antibodi yang hanya akan bereaksi secara sangat spesifik terhadap hanya satu macam antigen spesifik saja. Jadi, bila antigen ini cocok, maka antigen ini segera melekat pada membran sel; keadaan ini menimbulkan proses aktivasi. Pada limfosit T, pada permukaan membran sel T-nya terdapat molekul yang sangat mirip dengan antibodi, yang disebut protein reseptor permukaan (penanda sel T), dan ternyata protein ini juga bersifat sangat spesifik terhadap satu macam antigen tertentu yang mengaktivasinya (Guyton&Hall, 1997).
Dalam jaringan limfoid, selain limfosit terdapat juga berjuta-juta makrofag. Kebanyakan organisme yang menyerang difagositosis dan sebagian dicernakan oleh makrofag, dan produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian melewatkan antigen-antigen tersebut dengan cara kontak sel-ke-sel langsung ke limfosit, jadi menimbulkan aktivasi klon yang khusus. Selain itu, makrofag juga menyekresi IL-1 yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik (Guyton&Hall, 1997).
Kebanyakan antigen mengaktifkan limfosit T dan limfosit B pada saat yang bersamaan. Beberapa sel pembantu (Sel T) menyekresi limfokin yang mengaktifkan limfosit B. Tanpa bantuan sel ini jumlah antibodi yang terbentuk akan menjadi sedikit (Guyton&Hall, 1997).
Sistem pertahanan spesisfik ini sangat efektif dalam memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi dasa imunisasi (Wahab, 2002).
Imunisasi adalah induksi imunitas. Dibagi menjadi tiga yaitu: imunisasi aktif yaitu stimulasi sistem imun untuk membentuk pertahanan terhadap penyakit, imunisasi adaptif yaitu imunisasi pasif dengan transfer limfosit yang tersensitisasi dari donor yang imun dan imunisasi pasif yaitu timbulnya imun spesifik pada individu yang sebelumnya nonimun melalui pemberian sel limfoid tersensitisasi atau serum dari individu yang imun (Kamus Kedokteran Dorland, 2000).
Bila ada antigen masuk tubuh, seperti telah dijelaskan di atas maka tubuh akan berusaha menolaknya dengan membuat zat anti. Reaksi tubuh pertama kali terhadap antigen berlangsung lambat dan lemah, sehungga tidak cukup banyak antibodi yang terbentuk. Pada reaksi atau respon kedua, ketiga dan selanjutnya tubuh sudah mengenal antigen jenis tersebut. Tubuh sudah pandai membuat zat anti, sehingga dalam waktu singkat akan dibentuk zat anti yang lebih banyak. Setelah beberapa lama, jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang. Untuk mempertahankan agar tubuh tetap kebal, perlu diberikan antigen/ suntikan/ imunisasi ulang sebagai rangsangan tubuh untuk membuat zat anti kembali (Markum, 1997).
In utero, fetus biasanya terhindar dari anitgen asing dan infeksi mikroorgaisme, meskipun patogen tertentu dapat menginfektir ibu dan merusak fetus. Imunitas ibu melindungi fetus dengan jalan mengeliminir bahan infektif sebelum memasuki uterus, atau melindungi bayi baru lahir melalui antibodi transplasental atau air susu ibu.
Fetus dan neonatus belum mempunyai kelenjar limfoid yang berkembang kecuali timus. Fetus dapat membentuk IgM pada gestasi 6 bulan. IgG didapatkan sekitar gestasi bulan ke 2 tetapi ini berasal dari ibu. Pada umumnya bayi baru lahir sudah siap membentuk IgM dan dapat memberikan respons terhadap toksoid. Pada saat inilah dapat dilakukan pemberian imunisasi sehingga terbentuk respon imun untuk mengatasi infeksi yang mungkin terjadi (Baratawidjaja, 1996).
Pemberian vaksin bukan tanpa risiko. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi dapat terjadi, misalnya reaksi anafilaksis, persistent incosolable screaming, hypotonic hypresposive episode, toxic shock syndrome. Misalnya pada imunisasi campak dengan anak mengalami kurang gizi berat akan mengakibatkan efek samping yang lebih berat. Karena APC yang sudah mempresentasikan antigen tidak atau sedikit sekali yang bereaksi dengan sel B atau sel T, maka antigen yang menumpang pada APC akan dibawa menuju berbagai jaringan dan dapat menuju sawar darah otak dan mengakibatkan ensefalitis.
III. DISKUSI / BAHASAN
Skenario 1
SUDAH DIVAKSINASI CAMPAK, KOK MASIH KENA CAMPAK?
Ibu Susi punya dua anak. Anak pertama bernama Amir, berumur 5 tahun dan anak kedua bernama Ali berumur 9 bulan. Ibu Susi membawa Ali untuk penimbangan ke Posyandu. Oleh petugas Posyandu disarankan agar Ali diimunisasi campak. Bu Susi ragu-ragu untuk imunisasi campak, sebab Amir pada waktu usia 9 bulan juga sudah diimunisasi campak, tetapi ternyata tidak kebal sehingga pada usia 3 tahun toh kena penyakit campak juga. Apalagi pernah ada anak tetangganya yang setelah mendapatkan imunisasi malah panas. Ada lagi anak lain yang ditempat suntikan imunisasinya malah terjadi radang. Juga ada yang tidak berhasil imunisasinya karena menurut dokter Puskesmas si anak kurang gizi. Masalahnya, ada anak tetangga lain bernama Udin yang sering main ke rumah Bu Susi sekarang sedang menderita penyakit campak. Bu Susi takut anaknya ketularan, tapi Bu Susi juga masih mergukan apakah mungkin setelah diimunisasi si Ali bisa terhindar dari penyakit campak. Kenapa imunisasi campak tidak diberikan sejak lahir saja, dan bagi Udin yang sedang menderita campak, apa harus diimunisasi campak lagi?
Pada usia 9 bulan Amir menerima imunisasi campak tetapi tidak kebal. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan Amir tidak kebal terhadap campak. Perlu dilihat keadaan Amir pada saat imunisasi, apakah kekurangan gizi, sedang terkena penyakit alergi, atau alasan lain. Jika ternyata Amir mengalami kurang gizi maka memang vaksin campak bisa tidak membawa pengaruh. Karena jika Amir mengalami kurang gizi maka tubuh tidak dapat mengeluarkan respon imun seperti sewajarnya. Karena kekurangan gizi maka sistem imun tubuh juga ikut menurun yang berakibat pada tidak terbentuknya reaksi imunitas karena sistem imun tidak terinduksi. Atau kondisi kebal ini dapat pula terjadi karena Amir pada usia 9 bulan masih memiliki sistem imun didapat dari ibu dalam jumlah cukup banyak sehingga vaksin yang diberikan kepada Amir mengalami penolakan dan tidak bereaksi dengan sistem imun adaptive dari Amir. Karena pada beberapa anak terdapat jumlah sistem imun didapat yang cukup tinggi untuk menolak reaksi pemberian vaksin campak sampai usia 15 bulan. Walaupun demikian karena Indonesia merupakan daerah endemik campak maka imunisasi tetap harus dilakukan sebelum 9 bulan.
Vaksinasi campak memang kadang menimbulkan reaski pada sebagian kecil anak. Namun sangat jarang yang serius. Gejala klinis berupa ruam-ruam kulit ringan, demam ringan, pilek adalah reaksi yang paling umum ditemui setelah imunisasi atau adverse events following immunization (AEFI). Jika peradangan terjadi, mungkin terjadi kesalahan pada saat pemberian vaksin yang mengakibatkan adanya patogen yang masuk ke dalam tubuh dan menginduksi peradangan. Atau juga dapat diakibatkan reaksi normal dari induksi sistem kekebalan tubuh yang membutuhkan waktu untuk bereaksi.
Pada saat bayi baru lahir, bayi masih mempunyai sistem imun yang didapat dari ibunya. IgG yang diberikan melalui plasenta dan melalui air susu ibu yang mengandung colostrum (IgA). Dan akan mulai menurun dan pada usia 9 bulan sehingga pada usia ini anak akan mulai memproduksi antibodinya sendiri. Jika imunisasi diberikan dibawah 9 bulan maka tidak akan memberikan hasil karena vaksin yang diberikan akan bereaksi dengan antibodi dari ibu dan tidak akan bereaksi untuk membentuk sistem pertahanan adaptive. Karena itu perlu diberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan.
Sistem pertahanan adaptive pada anak akan mengingat patogen yang pernah menginfeksi dan pada akhirnya akan bereaksi lebih cepat saat patogen yang sama datang untuk menginfeksi. Sehingga jika anak sudah menderita campak tidak perlu diberikan imunisasi ulang.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Imunisasi campak tetap diberikan pada usia 9 bulan walau menurut WHO paling baik di atas usia 9 bulan karena pada saat itu anak sudah dapat mulai memproduksi antibodi sendiri dan sistem kekebalan dari ibu sudah mulai menurun, juga disebabkan karena Indonesia adalah daerah endemik campak.
2. Imunisasi campak tidak diberikan sejak lahir karena vaksin campak akan bereaksi dengan antibodi dari ibu sehingga vaksin tidak akan mengakibatkan reaksi apapun dengan antibodi anak.
3. Anak yang sudah terkena campak tidak perlu diberikan vaksin campak lagi karena sistem pertahanan adaptive akan menghalangi patogen yang sama yang pernah menginfeksi untuk menginfeksi kembali.


V. DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar Edisi ke 7. Jakrta : Badan Penerbit FK UI

Dorland, W.A Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. and John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC.
Jphjohor. 2008. Res_fmd, (Online), (http://www.jphjohor.gov.my/res_fmd.htm, diakses tanggal 16 Maret 2008).

Persatuan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : Infomedika.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak II. Jakarta : Infomedika.

Waspadji, Sarwono ,Soeparman. 1996. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbiy FK UI Selengkapnya...

TIGA ALASAN ANAK MUDA HAVING SEX SEBELUM NIKAH!!!!!!

Menurut Barclay, ada tiga alasan yang
paling kerap dikemukakan orang guna
membenarkan kegiatan seksual yang
dilakukan sebelum-atau di luar-
pernikahan..
PERTAMA
1.ANTISIPASI
Sepasang kekasih merasa yakin akan
menikah, sehingga tanpa ragu
berhubungan seks. "Apa salahnya? Kami
toh pasti menikah."
Motivasi mereka boleh jadi tulus-
mengekspresikan cinta kasih yang murni.
Pertanyaan saya adalah, mengapa tidak
sebaliknya? Mengapa mereka tidak
mengekspresikannya justru dengan TIDAK
berhubungan seks sebelum menikah?
Bukankah salah satu ekspresi cinta yang
sejati adalah kesanggupan mengendalikan
diri??
KEDUA
2. Saya sebut saja SIMULASI
Atau "COBA DULU BARU BELI"
Caranya?? Dengan "hidup bersama" dulu,
yang dianggap sebagai "simulasi" atau
"tiruan" hidup perkawinan yang
sesungguhnya. Dalam kaitan ini, Barclay
mengemukakan sebuah analogi menarik.
Tentang seseorang yang memutuskan hidup
beberapa bulan di daerah kumuh bersama
orang-orang miskin. Tetapi ia salah
perhitungan. Tinggal di daerah kumuh
memang memberi pengalaman berharga.
Namun, tetap tidak mungkin membuat
orang benar-benar tahu "bagaimana
rasanya jadi orang melarat". Sebab si
relawan bisa setiap saat meninggalkan
kemiskinan, sedang orang-orang miskin
itu? Seumur hidup, mereka sudah
terperangkap kemelaratan. Dan ini
melahirkan dua sikap, bahkan mentalitas
yang berbeda!!
INTINYA,"pernikahan" tak dapat
"dieksperimenkan". Pernikahan itu
sebuah "komitmen".Yang mungkin hanyalah
"menerima" atau "menolak". Tidak ada
peluang untuk "coba-coba".
KETIGA
Alasan yang mengatakan bahwa ESENSI
adalah segala-galanya. Pernikahan lebih
dari secarik kertas atau sebuah
seremoni. Esensi pernikahan adalah
komitmen untuk membangun relasi. Inilah
yang terpenting, dengan atau tanpa
formalitas. Argumentasi jitu, bukan??
Esensi dan kualitas tentu lebih utama
ketimbang bungkus luarnya. Tetapi
apakah itu berarti formalitas tak ada
nilainya? Kenyataan menunjukkan, walau
formalitas bukan segalanya, orang
memerlukannya.
Saya khawatir, orang mengatakan bahwa
"komitmen, bukan formalitas yang
penting", sebenarnya menolak komitmen.
Orang yang mengatakan bahwa formalitas
pernikahan tidak penting-sebab hanya
cinta kasih, relasi, dan komitmenlah
yang penting-sering adalah orang yang
menolak untuk membuat komitmen "resmi".
Mereka masuk dari pintu depan, tetapi
diam-diam menyiapkan "pintu darurat" di
belakang, agar sewaktu-waktu bisa
melarikan diri dari komitmen dan
relasi, yang selalu mereka katakan
paling penting itu.Dan, nereka
melarikan diri dengan mudah, tanpa
direpotkan oleh tetek bengek
formalitas, seperti mengurus surat
cerai, dsb. Nah, ketauan belangnya
bukan??


Kekudusan ada untuk kekudusan itu
sendiri, bukan ketakutan karena
"hukuman".. Selengkapnya...

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign