Selasa, 27 Mei 2008

Pengaruh Kadar Estrogen terhadap Kanker Payudara

PENGARUH KADAR ESTROGEN TERHADAP KANKER PAYUDARA



I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Kanker payudara merupakan salah satu kanker yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Biasanya kanker ini ditemukan pada umur 40-49 tahun dan letak terbanyak di kuadran lateral atas. Etiologi dari kanker payudara masih belum bisa diketahui dengan pasti, tetapi terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Salah satunya adalah kadar estrogen yang juga dapat menaikkan risiko kanker payudara.
Untuk pencegahan penyebab kematian yang sangat tinggi ini, perlu diketahui pencegahannya. Dan untuk itu kita juga perlu melihat faktor-faktor yang meningkatkan risiko kanker payudara.
Estrogen sendiri adalah hormon yang diproduksi oleh ovarium dan juga sebagian kecil oleh korteks adrenal. Berfungsi juga untuk tanda-tanda kelamin sekunder pada wanita. Kenaikan kadar estrogen dapat mengganggu proliferasi dari sel-sel yang dipacu oleh estrogen. Sehingga memungkinkan untuk terjadi hiperplasia atau bahkan neoplasia.
SKENARIO I
BENJOLAN PAYUDARA
Seorang wanita berusia 35 tahun mengeluh adanya benjolan pada payudara kiri, sejak 4 bulan yang lalu. Adik dari ibu juga menderita tumor payudara, bahkan sampai meninggal dunia pada usia 45 tahun. Informasi apa lagi yang saudara perlukan?
Jelaskan mengapa!
Untuk menegakkan diagnosis dari benjolan payudara ini diperlukan pemeriksaan yang pada bahasan kali ini akan dijelaskan. Benjolan ini perlu dipikirkan sebagai keganasan sampai dibuktikan tidak
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Terdapat benjolan pada payudara kiri, perlu dipikirkan sebagai keganasan
2. Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Penyebab-penyebab benjolan dan kelainan pada payudara
2. Faktor risiko kanker
3. Mengetahui hubungan estrogen dengan kanker payudara
4. Penatalaksanaan
II. STUDI PUSTAKA
Glandula mammae merupakan kelenjar eksokrin yang mensekresi susu. Glandula mammae merupakan kelenjar tubuloalveolar kompleks yang terdiri dari 15 sampai 25 lobus yang berjalan radial ke arah puting susu dan dipisahkan oleh jaringan ikat dan lemak, setiap lobus memiliki ductus ekskretorius (lactiferus) yang bermuara pada puting susu. Tiap lobus dibagi lagi menjadi lobulus, dengan duktus alveolaris dan alveoli menjadi bagian sekresi dari kelenjar. Disebut juga lactiferus gland (Dorland, 2002). Terdiri dari jaringan kelenjar, fibrosa, dan lemak. Papila mamaria dikelilingi oleh bagian yang berpigmen yang disebut areola. Puting mempunyai perforasi pada ujungnya dengan beberapa lubang kecil, yaitu apertura duktus laktiferus (Price, 2005).
Glandula mammae terletak di ventral m. perctoralis major, m. serratus anterior, dan m. obliquus abdominis externus, meluas dari costae II-VI dan dari sternum sampai linea midaxillaris. Bagian posterior merupakan jaringan pengikat longgar (spatium retromammae). Mammae mengandakan penonjolan sebagai jaringan fibrous yang bersatu dengan jaringan subcutan, tonjolan fibrous ini disebut ligamentum suspensorium (Budianto, 2005).
Glandula mammaria mencapai potensi penuh pada perempuan saat menarke; pada bayi, anak-anak, dan pada laki-laki, glandula ini hanya berbentuk rudimenter (Price, 2005). Pada saat ini kelenjar hipofisis dan ovarium yang infantil akan mampu menjalankan fungsi penuh apabila dirangsang secara tepat(Guyton, 1997). Perkembangan dan struktur dari glandula mammaria berkaitan dengan kulit (Price, 2005).
Selama pertumbuhan, glandula mammae dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron (hormon ovarium) untuk proliferasi ductus dan hormon mammogen/laktogen(hormon hipofisis) untuk laktasi. Pada wanita yang sudah pubertas, mammae tumbuh membesar dan areolae menjadi lebih coklat, membentuk ductus dan lobulus, sedangkan pada wanita immatur dan pria, glandula mammae sama besar (Budianto, 2005). Pembesaran payudara terutama karena bertambahnya jaringan kelenjar dan deposit jaringan lemak. Pada setiap siklus menstruasi, terjadi perubahan-perubahan khusus dari pembesaran vaskular, pebesaran kelenjar pada fase pramenstruasi yang diikuti dengan regresi kelenjar pada fase pasca menstruasi (Price, 2005).
Selama kehamilan tua dan setelah melahirkan, payudara mensekresi kolostrum, cairan encer, kekuningan, sampai kira-kira 3 hingga 4 hari pascapartum, ketika sekresi susu dimulai sebagai respons terhadap rangsangan penyedotan dari bayi . Dengan penyedotan, oksitosin dilepaskan dari kelenjar hipofisis posterior (Price, 2005).
Untuk fungsi hormon kelenjar ovarium (estrogen dan progestin), estrogen terutama meningkatkan proliferasi dan pertumbuhan sel-sel khusus di dalam tubuh dan berperan dalam perkembangan sebagian besar karakteristik kelamin sekunder pria. Sebaliknya, progestin berkaitan hampir seluruhnya dengan persiapan akhir dari uterus untuk menerima kehamilan dan persiapan dari payudara untuk menerima kehamilan dan persiapan dari payudara untuk laktasi (Guyton, 1997).
Estrogen pada wanita normal yang tidak hamil diproduksi dalam jumlah besar oleh ovarium, walaupun juga disekresi dalam jumlah kecil oleh korteks adrenal. Pada kehamilan, estrogen dalam jumlah yang sangat besar juga diproduksi oleh plasenta (Guyton, 1997).
Estrogen dan progestin adalah steroid. Keduanya disintesis di ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah, walaupun dalam jumlah kecil juga dipengaruhi oleh asetil Co-A (Guyton, 1997).
Estrogen pada payudara menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan sistem duktus yang luas, deposit lemak pada payudara. Lobulus dan alveoli payudara sedikit berkembang di bawah pengaruh estrogen sendiri, tetapi sebenarnya progesteron dan prolaktinlah yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan yang nyata dan berfungsinya struktur tersebut (Guyton, 1997).
III. DISKUSI / BAHASAN
Data eksperimen dengan sangat kuat mengindikasikan estrogen memiliki peran dalam perkembangan dan perumbuhan kanker payudara. Meskipun mekanisme belum semuanya diketahui, alkilasi dari molekul seluler dan radikal bebas yang dapat merusak DNA , bersama-sama dengan genotoksisitas dari estrogen dan hasil metabolitnya(e.g cholesterol estrogen) dapat meningkatkan risiko kanker payudara.
Pembentukan tumor atau benjolan dapat pula berasal dari stimulasi berlebihan organ dengan pertumbuhan normal dan berada di bawah kontrol sistem endokrin. Respon organ terhadap efek proliferasi dari hormon dapat berupa pertumbuhan normal atau hiperplasia atau neoplasia. Pada saat ini, risiko kanker payudara dapat ditentukan dari pajanan berulang dari jaringan mammae terhadap estrogen. Kejadian ini mengakibatkan meningkatnya risiko kanker payudara yang juga ditandai dengan menstruasi lebih awal, kehamilan pertama pada usia tua, dan menopause yang terlambat.
Faktor lain juga dapat berpengaruh terhadap variasi antar pribadi pada pajanan estrogen. Obese posmenopausal memiliki konsentrasi serum sex-hormone binding globulin yang lebih rendah oleh karena itu kadar serum estrogen yang lebih tinggi dibandingkan wanita postmenopause yang kurus. Sehingga pada wanita postmenopause berat badan dan risiko kanker payudara memiliki korelasi positif. Tetapi, wanita obese premenopausal mungkin memiliki siklus menstruasi yang lebih panjan, sehingga mengurangi pajanan total dari estrogen dan mengakibatkan berkurangnya risiko kanker payudara.
Perbedaan pekerjaan dan dietary intake dari beberapa nutrien juga dapat mempengaruhi pajanan terhadap estrogen. Studi tentang hubungan antara risiko kanker payudara dan konsumsi alkohol, lemak, vitamin, antioksidan, dan serat telah menghasilkan hasil yang membingungkan dan menghasilkan pertentangan.
Hubungan antara sex steroid eksogen dan risiko kanker payudara telah dipelajari secara luas. Kenaikan risiko kanker payudara dapat disebabkan oleh pemakaian kontrasepsi oral. Penggunaan kontrasepsi oral ini dapat meningkatkan risiko pada wanita yang memiliki mutasi pada BRCA1 atau BRCA2. Efek hormonal dari kontrasepsi oral pada payudara sangat kompleks.
Pada wanita premenopause, mekanisme pengontrolan estrogen diatur oleh hipofisis. Yang kemudian mengatur pengeluaran estrogen pada ovarium dan hanya sebagian kecil yang berasal dari organ lain. Sedangkan pada wanita posrmenopause, estrogen terutama dihasilkan dari aromatisasi androgen adrenal dan ovarium pada jaringan ekstragonadal seperti hepar, otot, dan jaringan lemak..
Terapi penggantian estrogen jelas terlibat sebagai faktor risiko untuk kanker payudara pada wanita postmenopause. Kenaikan risiko ini berhubungan dengan lamanya terapi penggantian estrogen. Kombinasi terpai estrogen-progestin meningkatkan risiko kanker payudara lebih dari estrogen sendiri. Tetapi, walaupun kenaikan insiden kanker payudara pada wanita yang menerima terapi estrogen dan estrogen-progestin, mortalitas perempuan-perempuan ini lebih sedikit dikarenakan penyakit kardiovaskuler atau osteoporosis.
Pemeriksaan penunjang untuk kanker dapat dilakukan USG payudara, mammografi, dan aspirasi jarum halus untuk menunjang diagnosis. Untuk menentukan metastasis dapat dilakukan foto toraks, bone survey, USG abdomen/hepar.
Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis yang dilakukan dengan:
1. Biopsi eksisi, dengan mengangkat seluruh jaringan tumor beserta sedikit jaringan sehat sekitarnya jika tumor < 5cm
2. Biopsi insisi, dengan mengangkat sebagian jaringan tumor dan sedikit jaringan sehat, dilakukan untuk tumor-tumor yang inoperabel atau lebih besar dari 5 cm
Stadium kanker payudara:
Stadium I : tumor terbatas pada payudara dengan ukuran < 2cm, tidak terfiksasi pada kulit atau otot pektoralis, tanpa dugaan metastasis aksila
Stadium II : tumor dengan diameter < 2cm dengan metastasis aksila atau tumor dengan diameter 2-5cm dengan/tanpa metastasis aksila
Stadium IIIa : tumor dengan diameter > 5 cm tapi masih bebas dari jaringan sekitarnya dengan/tanpa metastasis aksila yang masih bebas satu sama lain; atau tumor dengan metastasis aksila yang melekat
Stadium IIIb : tumor dengan metastasis infra atau supraklavikula atau tumor yang telah menginfiltrasi kulit atau dinding toraks.
Stadium IV : tumor yang telah megadakan metastasis jauh

Batasan stadium yang masih operabel/kurabel adalah stadium IIIa. Sedangkan terapi pada stadium IIIb dan IV tidak lagi mastektomi, melainkan pengobatan paliatif. Tindakan operatif tergantung pada stadium kanker.
Radioterapi untuk kanker payudara biasanya dibunakan pada terapi kuratif dengan mempertahankan mamma dan sebagai terapi tambahan atau terapi paliatif. Radioterapi kuratif sebagai sebagai terapi tunggal lokoregional tidak begitu efektif, tetapi sebagai terapi tambahan untuk tujuan kuratif pada tumor yang relatif besar mungkin berguna.
Kemoterapi merupakan terapi sitemik yang digunakan bila ada penyebaran secara sistemik dan juga digunakan sebagai terapi ajuvan. Kemoterapi ajuvan diberikan kepada pasien yang padanya ditemukan metastasis di sebuah atau beberapa kelenjar pada pemeriksaan histopatologik pascabedah mastektomi. Tujuannya adalah untuk menghancurkan mikrometastasis dalam tubuh yang biasanya terdapat pada pasien yang kelenjar aksilanya sudah mengandung metastasis. Obat yang diberikan adalah kombinasi siklofosfamid, metotreksat, dan 5-fluorourasil selama enam bulan pada perempuan usia pramenopause, sedangkan kepada yang paska menopause diberikan terapi ajuvan hormonal berupa pil antiestrogen.
IV. KESIMPULAN
1. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis
2. Benjolan perlu dianggap sebagai keganasan sampai terbukti tidak
3. Penggunaan terapi estogen sebelumnya perlu diperiksa
4. Estrogen meningkatkan risiko kanker payudara




V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang, 2005. Glandula Mammae : I. Thorax. Dalam : Guidance to Anatomy II. Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, pp : 12-14
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, p : 921
Guyton, Hall, 1997. Fisiologi Wanita Sebelum Kehamilan; dan Hormon-hormon Wanita. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta, EGC , pp : 1289-1298
Pice, Sylvia A, 2006. Gangguan Sistem Reproduksi. Dalam : Patofisiologi, 6th ed. Jakarta, EGC, pp : 1301-1307
Mansjoer, Arif, et al, 2002. Bedah Tumor. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 283-287
Clemons, Mark, G. Paul, 2001. Estrogen and the Risk of Breast Cancer. http://content.nejm.org/cgi/content/full/344/4/276. (14 Mei 2008)
















Lampiran
Faktor risiko kanker payudara:
• Umur > 30 tahun
• Melahirkan anak pertama pada usia > 35 tahun
• Tidak kawin dan nulipara
• Usia menars < 12 tahun
• Usia menopause > 55 tahun
• Pernah mengalami infeksi, trauma, atau operasi tumor jinak payudara
• Terapi hormonal lama
• Mempunyai kanker payudara kontralateral
• Pernah mengalami operasi ginekologis misalnya tumor ovarium
• Pernah mengalami radiasi di daerah dada
• Ada riwayat keluarga dengan kanker payudara pada ibu, saudara perempuan ibu, adik/kakak
• Kontrasepsi oral pada pasien tumor payudara jinak seperti kelainan fibrokistik yang ganas
Pemeriksaan Fisis:

1. Posisi duduk
Lakukan inspeksi pada pasien dengan posisi tangan jatuh bebas ke samping dan pemeriksa berdiri di depan dalam posisi lebih kurang sama tinggi. Perhatikan keadaan payudara kanan dan kiri, simetris/ tidak; adakah kelainan papila, letak dan bentuknya, retraksi puting susu, kelainan kulit berupa peau d’orange, dimpling, ulserasi, atau tanda-tanda randang. Lakukan juga dalam keadaan kedua lengan diangkat ke atas untuk melihat apakah ada bayangan tumor di bawah kulit yang ikut bergerak atau adakah bagian yang tertinggal, dimpling, dan lain-lain
2. Posisi berbaring
Sebaiknya dengan punggung diganjal bantal, lakukan palpasi mulai dari kranial setinggi costa II sampai distal setinggi costa VI, serta daerah subareolar dan papila atau dilakukan secara sentrifugal, terakhir dilakukan penekanan daerah papila untuk melihat apakah ada cairan yang keluar
Tetapkan keadaan tumornya, yaitu lokasi tumor berdasarkan kuadrannya;ukuran, konsistensi, batas tegas/tidak, dan mobilitas terhadap kulit, otot pektoralis, atau dinding dada
3. Pemeriksaan KGB regional di daerah:
a. Aksila, yang ditentukan kelompok kelenjar:
• Mamaria eksterna di anterior, di bawah tepi m. pektoralis
• Subskapularis di posterior aksila
• Sentral di pusat aksila
• Apikal di ujung atas fasia aksilaris
b. Supra dan infraklafikula, serta KGB leher utama
4. Organ lain yang diperiksa untuk melihat adanya metastasis yaitu hepar, lien, tulang belakang dan paru. Metastasis jauh dapat bergejala sebagai berikut:
• Otak : nyeri kepala, mual, muntah, epilepsi, ataksia, paresis, paralisis
• Paru : efusi, sesak nafas
• Hati : kadang tanpa gejala, massa ikterus obstruksi
• Tulang : nyeri, patah tulang


Differensial Diagnose:
Keadaan-keadaan jinak
Bila seorang wanita dewasa payudaranya tak berkembang, mungkin penyebabnya agenesis ovarium, tetapi ada juga yang hanya karena pubertasnya terlambat. Jika terjadi hipertrofidewasa atau makromastia jarang yang disebabkan oleh hormonal, tetapi sering karena obesitas. Payudara terasa berat dengan nyeri yang menjalar ke bahu, leher, dan punggung, terutama sebelum menstruasi. Puting susu turun karena kulit, lemak, dan parenkimnya bertambah. Dalam mendiagnosis makrosmatia harus disingkirkan dulu kemungkinan karsinoma mamma (Jong, 1998).
Pada minggu-minggu pertama laktasi dapat terjadi infeksi payudara oleh bakteria stafilokokus atau streptokokus yang masuk melalui puting susu yang luka berupa fisura atau lewat muara duktus laktiferus. Mastitis puerperalis ini dapat berkembang menjadi abses yang nyeri disertai demam. Infeksi bisa berlanjut ke kelenjar aksila (Jong, 1998).
Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan puting dan jika ada luka cepat diobati. Stasis air susu akan membantu timbulnya infeksi, maka bila produksi susu berlebihan sebaiknya dilakukan pengisapan air susu dengan pengisap khusus (Jong, 1998).
Cedera paling sering pada payudara adalah kontusio. Cedera ini dapat sembuh secara spontan tetapi kadang-kadang mengakibatkan nekrosis lemak, yaitu massa yang teraba keras dan bentuknya tidak teratur dan kadang-kadang menyebabkan retraksi kulit. Oleh karena itu, perlu untuk menyingkirkan adanya karsinoma jika terjadi lesi seperti ini (Price, 2005).
Fibroadenoma adalah tumor jinak dan berbatas tegas dengan konsistensi kenyal padat. Penanganan fibroadenoma adalah melalui pembedahan pengangkatan tumor. Spesimen diperiksa untuk menyingkirkan adanya suatu keganasan. Sistosarkoma filoides merupakan salah satu tipe dari fibroadenoma yang dapat kambuh jika tidak diangkat dengan sempurna (Price, 2005).
Galaktokel merupakan massa tumor kistik yang timbul akibat tersumbatnya saluran/duktus laktiferus. Tumor ini terdapat pada ibu yang baru/sedang menyusui.
Papiloma yang terjadi pada duktus puting biasanya terlalu kecil untuk dipalpasi tapi sering menyebabkan keluarnya cairan serosanguinosa atau darah dari puting susu. Apapun yang menyebabkan keluarnya cairan yang abnormal dari puting, khususnya jika bersifat sanguinosa, perlu ditentukan dan keganasan harus disingkirkan. Penanganan berupa pembedahan eksisi dari duktus yang terkena (Price, 2005).
Ada sejumlah perubahan jaringan payudara yang berhubungan dengan penyakit fibrokistik. Yang termasuk di dalamnya adalah pembentukan kista, proliferasi duktus epitelial, papilomatosis difusa, dan adenosis duktus dengan pembentukan jaringan fibrosa. Secara klinis, perubahan-perubahan ini dapat menimbulkan nodula yang teraba, massa, dan keluarnya cairan dari puting. Penyakit fibrokistik payudara terjadi pada masa dewasa; penyebab kemungkinan besar berhubungan dengan kelebihan estrogen dan defisiensi progesteron selama fase luteal siklus menstruasi. Sekitar 50% perempuan mengalami penyakit fibrokistik payudara. Keadaan ini biasanya terjadi bilateral.
Sekitar 30% perempuan dengan penyakit fibrokistik yang terbukti dengan biopsi, mengalami hiperplasia proliferatif; hal ini penting karena jenis perubahan ini berkaitan dengan peningkatan risiko berkembangnya karsinoma di masa yang akan datang. Untuk pasien dengan hiperplasia epitelial sederhana risiko untuk berkembangnya karsinoma selanjutnya adalah dua kali lebih besar. Pada perempuan dengan atipikal hiperplasia, risiko berkembangnya karsinoma selanjutnya lima kali lebih besar (Price, 2005). Selengkapnya...

Marasmic Kwashiorkor

MARASMUS DAN KWASHIORKOR

I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Asupan makanan harus selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dan juga tidak berlebihan sehingga menyebabkan obesitas. Juga, karena makanan yang berbeda mengandung proporsi protein, karbohidrat, dan lemak yang berbeda-beda, maka keseimbangan yang wajar juga harus dipertahankan di antara semua jenis makanan ini sehingga semua segmen sistem metabolisme tubuh dapat dipasok dengan bahan yang dibutuhkan.
Melaksanakan pemberian makan yang sebaik-baiknya kepada bayi dan anak bertujuan untuk memberikan nutrien yang cukup untuk kebutuhan; memelihara kesehatan dan memulihkannya bila sakit, melaksanakan berbagai jenis aktifitas, pertumbuhan jasmani serta psikomotor, mendidik kebiasaan yang baik tentang memakan, menyukai dan menentukan makanan yang diperlukan.
Kasus gizi buruk saat ini menjadi masalah yang menjadi perhatian di Indonesia. Gizi kurang dan gizi buruk merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian, karena dapat menimbulkan the lost generation. Kualitas bangsa di masa depan akan sangat dipengaruhi keadaan atau status gizi pada saat ini, terutama balita. Akibat gizi buruk dan gizi kurang bagi seseorang akan mempengaruhi kualitas kehidupannya kelak.
Angka gizi buruk sampai sekarang masih cukup mengkhawatirkan, sehingga Departemen Kesehatan membuat rencana aksi nasional dalam pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Kebutuhan nutrien pada bayi dan anak
2. Pengaturan makanan untuk bayi dan anak
3. Fungsi zat gizi bagi bayi dan anak
4. Defisiensi protein
5. Defisiensi kalori
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui zat gizi yang dibutuhkan pada tumbuh kembang anak normal
2. Mengetahui pemberian asupan makanan yang seimbang untuk anak
3. Mengetahui kelainan yang timbul bila terjadi kekurangan satu atau lebih zat gizi
4. Melakukan penatalaksanaan sesuai kasus yang terjadi
II. STUDI PUSTAKA
Pada masa bayi, terutama bayi muda jumlah air yang dianjurkan untuk diberikan sangat penting, dibandingkan dengan bayi yang lebih tua dan golongan umur selanjutnya, karena air merupakan nutrien yang menjadi medium untuk nutrien lainnya.Oleh karena itu masukan dari nutrien tersebut ditentukan kadarnya dalam cairan dan jumlah cairan (termasuk air) yang diberikan. Sebaliknya air dapat diberikan tanpa disertai nutrien lainnya. Umumnya dapat dikatakan bahwa kebutuhan air berhubungan erat dengan intake kalori dan berat jenis urin, yang bergantung kepada banyaknya zat yang terlarut di dalam urin tersebut (Hasan Rusepno, 1997).
Untuk bayi yang menyusu pada ibunya, masukan air rata-rata 175-200ml/kgbb/hari dalam triwulan pertama, 150-175 ml/kgbb/hari dalam triwulan kedua, 130-140 ml/kgbb/hari dalam triwulan ketiga dan 120-140 ml/kgbb/hari dalam triwulan terakhir (Hasan Rusepno, 1997).
Komisi ahli FAO/WHO mengemukakan bahwa rekuieremen dari kalori harus disesuaikan dengan berat badan selama masa pertumbuhan
Umur Kebutuhan energi
3 bulan 120
3-5 bulan 115
6-8 bulan 110
9-11 bulan 105
Rata-rata selama masa bayi 112
1 tahun 112
1-3 tahun 101
4-6 tahun 91
Kalori yang diberikan akan digunakan untuk metabolisme basal, kemudian pada usia selanjutnya berkurang. Metabolisme basal meningkat 10% untuk tiap kenaikan suhu 10C. Untuk spesific dynamic action atau kenaikan kalori yang diperlukan di atas kenaikan metabolisme basal, pada anak kira-kira 5% bila diberikan makanan biasa. Untuk pembuangan ekskreta, biasanya tidak lebih dari 10%. Untuk aktivitas jasmani, dan pertumbuhan. Bergantung pada fase pertumbuhan, pada hari-hari permulaan kira-kira 20-40 kal/kgbb/hari kemudian berkurang sehingga pada masa akhir bayi menjadi 15-25 kal/kgbb/hari. Pada masa remaja kebutuhan kalori untuk pertumbuhan akan meningkat lagi (Hasan Rusepno, 1997).
Dua puluh sampai tiga puluh gram protein dipecahkan dan digunakan untuk menhasilakan zat kimia tubuh lainnya setiap hari. Oleh sebab itu, semua sel harus terus menerus membentuk protein baru untuk menggantikan protein yang telah dihancurkan, dan suplai protein dalam makanan dibutuhkan untuk memenuhi tujuan ini. Seorang manusia dapat mempertahankan cadangan protein normal asalkan asupan hariannya di atas 30 sampai 55 gram (Guyton, 1997)
Sebagian protein tidak mempunyai jumlah asam amino esensial yang cukup dan oleh karena itu tidak dapat dipergunakan untuk membentuk protein tubuh. Protein seperti itu disebut protein parsial, dan bila jumlahnya banyak dalam diet, maka kebutuhan harian protein akan lebih besar dari normal. Umumnya, protein yang dihasilkan dari bahan makanan hewani lebih lengkap daripada protein yang dihasilkan dari sumber sayuran dan biji-bijian. Contoh khusus defisiensi diet yang disebabkan oleh protein parsial terdapat dalam diet sebagian besar penduduk asli Afrika yang makanannya terutama dari jagung. Protein jagung hampir tidak mengandung triptofan; salah satu asam amino esensial; oleh sebab itu, secara sederhana, seluruh diet penduduk asli Afrika ini hampir sama sekali kekurangan protein. Akibatnya, pada penduduk asli ini khususnya pada anak-anak, mengalami sindron defisiensi protein yang disebut kwashiorkor, yang meliputi kegagalan pertumbuhan, letargi, depresi mental dan edema hipoprotein (Guyton, 1997).
Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi energi protein yang ditimbulkan oleh defisiensi protein yang berat; masukan kalori mungkin adekuat, tetapi biasanya juga defisiensi. Ini ditandai dengan hambatan pertumbuhan, perubahan pada pigmen rambut dan kulit, edema, pembesaran perut, imunodefisiensi, dan perubahan patologik pada hati termasuk infiltrasi lemak, nekrosis dan fibrosis. Temuan lainnya adalah apati secara mental, atrofi pankreas, gangguan saluran pencernaan, anemia, kadar albumin serum yang rendah, dermatosis. Timbul bercak gelap yang menebal pada kulit ekstremitas dan punggung yang dapat terkelupas, membentuk permukaan kulit merah muda yang hampir telanjang (Dorland, 2002).
Gejala kwashiorkor:
1. Pertumbuhan yang terganggu. Selain berat badan juga tinggi badan kurang dibandingkan anak sehat
2. Perubahan mental. Biasanya penderita cengeng dan pada stadium lanjut menjadi apatis
3. Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik yang ringan maupun yang berat
4. Gejala gastrointestinal, anoreksia kadang-kadang demikian hebatnya, sehingga segala pemberian makanan ditolak dan makanan hanya dapat diberikan lewat sonde lambung. Adakalanya tiap makanan yang diberikan dengan susah payah dimuntahkan lagi. Diare terdapat pada sebagian besar penderita. Hal ini mengkin karena gangguan fungsi hati, pankreas dan usus. Intoleransi laktosa kadang-kadang ditemukan, sehingga pemberian susu sapi dapat memperhebat diare.
5. Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture), maupun warnanya. Sangat khas untuk penderita kwashiorkor adalah rambut kepala yang mudah dicabut. Tarikan ringan di daerah temporal dengan mudah dapat mencabut seberkas rambut tanpa reaksi penderita. Pada penderita kwashiorkor lanjut, rambut penderita akan tampak kusam, kering, halus, jarang dan berubah warnanya menjadi putih. Perubahan bangun rambut kelopak mata tidak begitu nyata, bahkan sering bulu mata menjadi lebih panjang.
6. Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit. Pada sebagian penderita ditemukan perubahan kulit yang khas untuk penyakit kwashiorkor yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih atau merah muda dengan tepi hitam dan ditemukan pada bagian tubuh yang sering mendapat tekanan, terutama bila tekanan tersebut terus menerus dan disertai kelembaban oleh keringat atau ekskreta, seperti pada bokong, fosa poplitea, lutut, buku kaki, paha, lipat paha dan sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak merah kecil yang dalam waktu singkat bertambah dan berpadu untuk kemudian menjadi hitam. Pada suatu saat mengelupas dan memperlihatkan bagian yang tidak mengandung pigmen, dibatasi oleh tepi yang masih hitam akibat hiperpigmentasi. Crazy pavement dermatosis ditemukan terutama pada kasus dengan edema dan mempunyai prognosis buruk. Jarang ditemukan luka bundar atau bujur dengan dasar dalam dan batas jelas, sedangkan daerah sekitarnya tidak menunjukkan reaksi radang. Kadang-kadang dijumpai perdarahan kulit (petekie) yang juga merupakan tanda prognosis buruk.
7. Pembesaran hati merupakan gejala yang juga sering ditemukan. Kadang-kadang batas hati terdapat setinggi pusat. Hati yang dapat diraba umumnya kenyal, permukaannya licin dan pinggir tajam. Biasanya pada hati yang membesarkan ini terjadi perlemakan hebat. Walaupun demikian hati yang tidak membesar juga dapat mengalami perlemakan heabat.
8. Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita demikian. Bila kwashiorkor disertai penyakit lain, terutama ankilostomiasis, maka dapat dijumpai anemia berat. Jenis anemia pada kwashiorkor bermacam-macam, yang terbanya normositik-normokrom. Berkurangnya jumlah sel sistim eritropoietik dalam sumsum tulang merupakan suatu keadaan yang paling sering dijumpai dan merupakan penyebab terpenting. Hipoplasi atau aplasia sumsum tulang ini disebabkan teruatama oleh defisiensi protein dan infeksi menahun. Akan tetapi faktor lainpun mempengaruhi anemia pada seorang penderita kwashiorkor, misalnya defisiensi besi, defisiensi faktor hati, kerusakan hati, defisiensi vitamin B kompleks dan insufisiensi hormon.
9. Kelainan kimia darah yang selalu ditemukan ialah kadar albumin serum yang rendah, disamping kadar globulin yang normal atau sedikit meninggi, sehingga perbandingan albumin dengan globulin menjadi kurang dari satu. Penetapan berbagai fraksi protein dengan elektroforesis kertas menunjukkan peninggian fraksi globulin alfa1 dan globulin gama, sedangkan kadar globulin beta merendah dan globulin alfa2 menetap. Kadar kolesterol serum merendah. Uji turbiditas timol meninggi.
10. Pada biopsi hati ditemukan perlemakan yang kadang-kadang demikian hebatnya sehingga hampir semua sel hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga ditemukan tanda fibrosis, nekrosis dan infiltrasi sel mononukleus.
11. Hasil autopsi penderita kwashiorkor yang berat menunjukkan hampir semua organ mengalami perubahan, seperti degenerasi otot jantung, osteoporosis tulang dan sebagainya.

Jika diet mengandung sejumlah besar karbohidrat dan lemak, maka hampir semua energi tubuh dihasilkan dari kedua jenis zat ini dan sedikit yang dihasilkan dari protein. Oleh karena itu, baik karbohidrat maupun lemak dianggap sebagai penghemat protein. Sebaliknya, pada saat kelaparan, setelah karbohidrat dan lemak menjadi berkurang, maka cadangan protein tubuh lalu digunakan dengan cepat untuk menghasilkan energi, kadang-kadang dengan kecepatan yang mendekati beberapa ratus gram per hari, bukan seperti kecepatan normal sehari-harinya yaitu 30-55 gram (Guyton,1997).
Vitamin disimpan dalam jumlah kecil di dalam semua sel. Sebagian vitamin disimpan dalam jumlah besar di hepar. Penyimpanan vitamin larut air relatif sangat kecil. Cadangan beberapa vitamin, terutama vitamin yang larut air-kelompok vitamin B dan vitamin C- tidak berlangsung lama selama kelaparan. Akibatnya, setelah kelaparan selama satu minggu atau lebih, biasanya akan terjadi defisiensi vitamin ringan dan setelah beberapa minggu dapat terjadi defisiensi vitamin berat (Guyton, 1997).
Diet dalam bentuk apapun harus mengandung cukup energi untuk mempertahankan suhu tubuh, aktivitas jantung, paru,otot, alat pencernaan dan sebagainya. Bila kebutuhan minimal akan energi atau kalori tidak dapat dipenuhi oleh pemberian makanan tersebut dalam waktu yang lama, maka akan tibul gejala undernutrition. Kekurangan kalori dalam diet yang berlangsung lama akan menimbulkan gejala undernutrition yang sangat ekstrim yaitu marasmus nutrisional (Hasan Rusepno, 1997).
Marasmus dalam bahasa aslinya berarti menuju kematian. Bentuk malnutrisi energi protein terutama disebabkan oleh kekurangan kalori berat dalam jangka waktu lama, terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan, yang ditandai dengan retardasi pertumbuhan dan pengurangan lemak bawah kulit dan otot secara progresif, tetapi biasanya masih ada nafsu makan dan kesadaran mental. Penyakit infeksi mungkin merupakan faktor pencetus (Dorland,2002).
Gejala marasmus:
Pertumbuhan terhenti atau berkurang, anak masih menangis walaupun sudah mendapat minum atau disusui, sering bangun pada waktu malam, konstipasi atau diare. Bila anak menderita diare maka akan terlihat berupa bercak hijau tua yang terdiri dari lendir dan sedikit tinja. Jaringan lemak di bawah kulit akan menghilang, sehingga kulit akan kehilangan turgornya dan keriput. Pada keadaan yang berat, lemak pipipun menghilang sehingga wajah penderita seperti wajah seorang tua. Vena superfisialis tampak lebih jelas, ubun-ubun besar cekung, tulang pipi dan dagu kelihatan menonjol, mata tampak besar dan dalam. Ujung tangan dan kaki terasa dingin dan tampak sianosis, perut membuncit atau cekung dengan gambaran usus yang jelas, otot atrofi. Mula-mula anak tampak penakut, akan tetapi pada keadaan yang lebih lanjut menjadi apatis (Hasan Rusepno, 1997).
III. DISKUSI / BAHASAN
Skenario IV
Gizi Buruk (Marasmik Kwashiorkor)
Seorang ibu membawa anak balita berobat ke puskesmas setempat karena badan anaknya kurus dan setelah dilihat pada kartu menuju sehat (KMS) oleh dokter setempat dinyatakan bahwa status gizi anak tersebut di bawah garis merah dan dikatakan anaknya kekurangan gizi, kemudian disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit.
Di poliklinik anak rumah sakit Dr. Moewardi berdasarkan anamnesis dari ibunya dikeluhkan badan anaknya kurus sejak 3 bulan. Anak sulit makan, kalau disisir rambut mudah rontok, tangan dan kaki sering kram, diwaktu senja di dalam rumah kalau berjalan sering menabrak.
Pada pemeriksaan didapati seorang anak umur 4 tahun dengan berat badan 10 kg, tinggi badan 95 cm, nampak kurus, lemah, lemak subkutan menghilang, sehingga tulang terlihat jelas, kulit berkeriput, otot nampak atrofi, tugor jelek,wajah lebih nampak tua dari umurnya, dan rambut tipis mudah dicabut. Pada pemeriksaan mata didapatkan bintik bitot. Abdomen sejajar thorak, gambaran usus jelas terlihat pada dinding abdomen, hepar teraba membesar, badan teraba dingin. Pada ekstremitas bawah nampak edema (pitting edema), edema tidak terlihat di scrotum, tidak terdapat crazy pavement dermatosis dan reflek patella negatif. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis anak penderita didiagnosis marasmik kwashiorkor, defisiensi vitamin dan mineral diharuskan dirawat saja.
Kartu Menuju Sehat Balita (KMS) adalah alat bantu yang digunakan untuk memantau tumbuh kembang anak. Jika tumbuh kembang anak baik makan berat badan tiap bulan akan naik dan tidak berpindah ke garis di bawahnya. Jika anak tidak naik berat badannya, maka orang tua perlu diberi pengarahan agar memberikan asupan yang baik sehingga tumbuh kembang anak menjadi baik pula. Jika anak sudah mencapai garis merah, berarti anak ini mengalami gizi buruk dan perlu dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit.
Sudah tiga bulan anak ini kurus. Pada penimbangan berat badan anak, jika tiga bulan berturut-turut tidak naik atau turun atau naik tetapi berpindah ke garis di bawahnya maka anak dirujuk ke rumah sakit, dalam hal ini dokter puskesmas sudah mengambil tindakan yang tepat.
Rambut anak ini mudah rontok ketika disisir. Ini merupakan gejala yang khas dari defisiensi protein, rambut mudah dicabut tanpa reaksi penderita. Disebabkan karena defisiensi para amino benzoat acid (PABA) yang merupakan protein penyusun rambut yang juga tidak terbentuk karena defisiensi protein berat.
Sulit makan juga menjadi gejala kwasiorkor. Pada keduan defisiensi ini terjadi anoreksia nervosa yang bisa jadi sangat parah sehingga makanan hanya dapat diberikan melalui sonde lambung.
Berat badan dan umur anak dapat dijadikan standar penilaian gizi buruk akut. Tetapi jika terjadi gizi buruk yang menahun atau kronik maka penilaian gizi buruk menggunakan tinggi badan dan umur. Pada kasus ini jelas anak mengalami gizi buruk. Penderita tampak kurus, lemah, lemak sub kutan menghilang sehingga tulang terlihat. Saat tubuh mengalami defisiensi kalori maka tubuh akan mengkompensasikannya dengan mengaktifkan glukoneogenesis karena sumber energi yang paling optimal bagi otak adalah glukosa, lipolisis, proteolisis, glikogenolisis dan menghambat glikogenesis.
Pada saat terjadi glikogenolisis, terjadi penguraian glikogen yang disimpan baik di hati maupun di otot. Untuk kemudian dipecah kembali menjadi glukosa dan dijadikan sumber energi. Lipolisis dan proteolisis pada awalnya terjadi bersamaan, cadangan lemak yang banyak menyebabkannya menjadi sumber energi utama saat tubuh kekurangan glukosa. Lemak dipecah menjadi asam lemak dan gliserol yang kemudian diubah menjadi asetyl co-a yang masuk melalui siklus krebs atau dapat juga membentuk glukosa melalui glukoneogenesis. Pada awal kekurangan glukosa, protein juga ikut dipecah tetapi kemudian tidak dipecah lagi karena protein adalah bahan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup. Jika kadar lemak tidak mampu lagi mencukupkan suplai energi maka protein juga ikut dipecah yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian jika 50% dari protein tubuh sudah dipecah.
Karena semua lemak sudah habis termasuk lemak pada wajah, bahkan timbul gejala kekurangan protein pada kasus anak ini, maka anak terlihat kurus, lemah, lemak subkutan menghilang dan wajah lebih tua dari umurnya, abdomen sejajar thoraks dan gambaran usus jelas kelihatan. Penderita merasa lemah juga diperparah karena terjadi pemecahan protein otot seperti protein kontraktil otot sehingga penderita merasa lemah. Yang juga berdampak pada terjadinya atrofi otot.
Perlu ditanyakan apakah pernah atau sedang mengalami diare karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya dehidrasi yang menyebabkan tugor dari anak ini jelek. Walaupun tugor jelek ini juga dapat disebabkan karena lipolisis pada subkutan.
Terjadi juga kekurangan protein plasma albumin yang berfungsi untuk menjaga tekanan osmotik darah. Karena defisiensi protein, albumin yang dibentuk menjadi sedikit atau tidak dibentuk sama sekali sehingga mengakibatkan cairan yang berasal dari pembuluh darah berosmosis ke luar dan terjadilah edema. Edema terbagi menjadi dua yaitu pitting dan non pitting. Pada non pitting terjadi karena pembesaran sel-sel yang mengakibatkan edema. Pitting edema diakibatkan oleh cairan yang merembes ke arah ruang antar sel dan mengakibatkan pitting edema.
Defisiensi protein dan kalori juga mengakibatkan defisiensi vitamin dan mineral. Salah satu tanda yang terjadi adalah bintik bitot pada anak yang merupakan tanda dari defisiensi vitamin A. Bintik bitot sendiri adalah bercak superfisial, abu-abu samar triangular pada konjungtiva, terdiri dari epitel berkeratinisasi. Juga pada saat senja berjalan sering menabrak diakibatkan kemunduran kemampuan mata untuk segera menyesuaikan diri dengan kondisi gelap, hal ini juga merupakan tanda dari kekurangan vitamin A.
Karena defisiensi protein maka pembentukan lipoprotein menjadi terganggu. Pengangkutan lemak dari hepar juga terganggu. Jika lipoprotein yang dibentuk sangat sedikit atau tidak ada sama sekali, dapat terjadi perlemakan yang sangat hebat karena lemak yang masuk ke dalam tubuh tidak dapat diedarkan dengan baik oleh lipoprotein.
Pada saat metabolisme tubuh terjadi (glikolisis, dekarboksilasi oksidatif, siklus kreb, rantai transpor elektron, fosforilasi oksidatif) tidak semua proses katabolisme menyimpan energinya dalam bentuk ATP. Beberapa diantaranya keluar dalam bentuk panas, untuk menjaga suhu tubuh kita konstan. Maka jika terjadi kekurangan energi, proses pembakaran juga berkurang maka suhu tubuh juga akan terpengaruh.
Reflek patella yang negatif mungkin diakibatkan pemecahan miosin untuk dijadikan sumber energi sehingga sekalipun dirangsang tubuh penderita tidak mampu bereaksi. Juga bisa disebabkan oleh gangguan impuls saraf karena defisiensi gizi. Juga bisa menyebabkan tangan dan kaki yang sering kram karena impuls saraf tidak dapat diteruskan oleh karena kekurangan mineral yang digunakan sebagai neurotransmitter
Pada penderita ini perlu penatalaksanaan untuk penderita gizi buruk.
Prosedur tetap pengobatan dirumah sakit :
1. Prinsip dasar penanganan 10 langkah utama (diutamakan penanganan kegawatan)
1.1. Penanganan hipoglikemi
1.2. Penanganan hipotermi
1.3. Penanganan dehidrasi
1.4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
1.5. Pengobatan infeksi
1.6. Pemberian makanan
1.7. Fasilitasi tumbuh kejar (catch up growth)
1.8. Koreksi defisiensi nutrisi mikro
1.9. Melakukan stimulasi sensorik dan perbaikan mental
1.10. Perencanaan tindak lanjut setelah sembuh
2. Pengobatan penyakit penyerta
1. Defisiensi vitamin A
Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan 14 atau sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis diberikan vit. A dengan dosis :
* umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali
* umur 6 – 12 bulan : 100.000 SI/kali
* umur 0 – 5 bulan : 50.000 SI/kali
Bila ada ulkus dimata diberikan :
• Tetes mata khloramfenikol atau salep mata tetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari
• Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari
• Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali
2. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya : hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi (kulit mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai infeksi sekunder, antara lain oleh Candida.
Tatalaksana :
a. kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4 (K-permanganat) 1% selama 10 menit
b. beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)
c. usahakan agar daerah perineum tetap kering
d. umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral
3. Parasit/cacing
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat antihelmintik lain.
4. Diare melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol 7.5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.
5. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/Mantoux (seringkali alergi) dan Ro-foto toraks. Bila positip atau sangat mungkin TB, diobati sesuai pedoman pengobatan TB.
3. Tindakan kegawatan
1. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit membedakan keduanya secara klinis saja.
Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian cairan intravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan :
Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam pertama.
Evaluasi setelah 1 jam :
§ Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan) dan status hidrasi ® syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan pemberian Resomal/pengganti, per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula khusus (F-75/pengganti).
§ Bila tidak ada perbaikan klinis ® anak menderita syok septik. Dalam hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75/pengganti)
2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila :
• Hb < 4 g/dl
• Hb 4-6 g/dl disertai distress pernapasan atau tanda gagal jantung
Transfusi darah :
Ø Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ’packed red cells’ untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
Ø Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila pada anak dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.
IV. KESIMPULAN
1. Anak menderita defisiensi protein dan kalori/marasmic kwashiorkor
2. Perlu pengawasan khusus untuk mengembalikan anak ke kondisi normal
3. Perlu keseimbangan gizi untuk tumbuh kembang anak
4. Perlu dilakukan edukasi pada keluarga penderita agar memperhatikan gizi
5. Perlu diberikan penyuluhan untuk mengurangi kasus serupa










V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, pp : 1159,1288
Guyton, Hall, 1997. Metabolisme dan Pengaturan Suhu Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta, EGC , pp : 1111-1124
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Gizi Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 1. Jakarta , Infomedika , pp : 313-365 Selengkapnya...

Hormon Adrenokortikal

HORMON ADRENOKORTIKAL

I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Fungsi tubuh manusia diatur oleh dua sistem pengatur utama yakni sistem saraf dan sistem hormonal atau sistem endokrin. Pada umumnya, sistem hormonal terutama berkaitan dengan pengaturan berbagai fungsi metabolisme tubuh, seperti pengaturan kecepatan reaksi kimia di dalam sel atau pengangkutan bahan-bahan melewati membran sel atau aspek lain dari metabolisme sel seperti pertumbuhan dan sekresi.
Pada pembahasam kali ini akan dipelajari tentang kelenjar adrenal, yang masing-masing mempunyai berat kira-kira 4 gram, terletak di kutub superior dari kedua ginjal. Tiap kelenjar terdiri atas dua bagian yang berbeda, yakni medula adrenal, dan korteks adrenal.
Medula adrenal secara fungsional berkaitan dengan saraf simpatis; mensekresi hormon-hormon epinefrin dan norepinefrin sebagai respons terhadap rangsangan simpatis. Selanjutnya hormon-hormon ini akan mengakibatkan efek yang sama seperti perangsangan langsung pada saraf simpatis.
Korteks adrenal mensekresi kelompok hormon yang berbeda sekali, yakni kortikosteroid. Hormon ini seluruhnya disintesis dari kolesterol steroid, dan semuanya mempunyai rumus kimia yang sama. Akan tetapi, perbedaan yang sangat sedikit dalam struktur molekulnya memberikan beberapa fungsi penting yang berbeda.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Fungsi hormon-hormon yang diproduksi oleh korteks adrenal.
2. Pengaturan sekresi hormon adrenokortikal.
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui fungsi fisiologis kelenjar adrenal, terutama korteks kelenjar adrenal.
2. Mengetahui fungsi fisiologis dan efek lain hormon-hormon kortikosteroid.
II. STUDI PUSTAKA
Ada dua jenis hormon adrenokortikal yang utama, yakni mineralokortikoid dan glukokortikoid, yang disekresikan oleh korteks adrenal. Selain hormon ini, korteks adrenal juga mensekresi sedikit hormon kelamin, terutama hormon androgen, yang efeknya pada tubuh hampir mirip dengan hormon kelamin pria testosteron (Guyton, 1997).
Korteks adrenal terdiri atas tiga lapisan yang relatif berbeda. Aldosteron disekresi oleh zona glomerulosa, yang merupakan lapisan yang paling luar dan paling tipis. Kortisol dan beberapa glukokortikoid lain disekresikan oleh zona fasikulata, yakni lapisan tengah, dan zona retikularis, yang merupakan lapisan terdalam. Androgen adrenal juga disekresikan oleh kedua lapisan tersebut (Guyton, 1997).
Glukokortikoid adalah semua kortikostreoid (steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal) yang mengatur metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein dan menghambat pelepasan hormon adrenokortikotropin. Kortikosteroid juga mempengaruh otot tonus dan mikrosirkulasi. Pada manusia yang terpenting adalah kortisol, kortison, dan kortikosteron (Dorland, 2002).
Glukokortikoid mempunyai efek katabolik dan antianabolik pada protein, menyebabkan penurunan kemampuan sel-sel pembentuk protein untuk menyintesis protein. Metabolisme karbohidrat juga dipengaruhi oleh kenaikan kadar glukokortikoid yang tinggi. Glukokortikoid merangsang glukoneogenesis dan menganggu kerja insulin pada pada sel-sel perifer. Glukokortikoid mempunyai efek minimal pada kadar elektrolit serum (Price&Willson, 2005).
Glukokortikoid juga dapat menghambat respons kekebalan. Glukokortikoid menganggu pembentukkan antibodi humoral dan menghambat proliferasi pusat-pusat germinal limpa dan jaringan limfoid pada respons primer terhadap antigen. Gangguan pada respons imunologik dapat terjadi saat pemrosesan awal antigen oleh sel-sel sistem monosit makrofag, induksi dan proliferasi limfosit immunokompeten serta pelepasan sitokin, produksi antibodi, reaksi peradangan. Glukokortikoid juga menghambat rekasi hipersensitivitas tipe lambat (Price&Willson, 2005).
Aktivitas sekresi lambung ditingkatkan oleh glukokortikoid. Sekresi HCl dan pepsin dapat meningkat pada individu tertentu yang mendapat glukokortikoid. Juga diduga bahwa faktor-faktor protein mukosa diubah oleh steroid dan faktor-faktor ini dapat mempermudah terbentuknya ulkus (Price&Willson, 2005).
Hampir tidak ada rangsangan yang mempunyai efek langsung terhadap sel-sel adrenal yang menyekresi kortisol. Sekresi kortisol hampir seluruhnya diatur oleh ACTH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Hormon ini yang disebut kortikotropin adrenokortikotropin juga meningkatkan produksi androgen adrenal (Guyton, 1997).
Hormon hipofisis yang lain datur oleh releasing factor dari hipotalamus, demikian juga dengan sekresi ACTH, diatur oleh releasing factor penting yang sama. Releasing factor ini disebut Corticotropin releasing factor (CRF). CRF disekresikan ke dalam pleksus kapiler utama dari sistem portal hipofisis di puncak median hipotalamus dan kemudian dibawa ke kelenjar hipotalamus anterior, dimana CRF akan merangsang sekresi ACTH (Guyton, 1997).
Efek utama ACTH terhadap sel-sel adrenokortikal adalah mengaktifkan adenyl cyclase dalam membran sel. Adenil siklase ini kemudian menginduksi pembentukkan cAMP dalam sitoplasma sel. cAMP ini selanjutnya akan menaktidkan enzim-enzim intraseluler yang menyebabkan terbentuknya hormon adrenokortikal (Guyton, 1997).
Mineralkortikoid adalah semua golongan korikosteroid C21, terutama aldosteron pada manusia, berkaitan dengan pengaturan keseimbangan elektrolit dan air melalui efeknya pada transportasi ion dalam sel epitel. Mereka meningkatkan retensi natrium, pembuangan kalium dan retensi sekunder air; beberapa juga memiliki berbagai derajat aktivitas glukokortikoid. Stimulan primer untuk sekresi aldosteron adalah angiotensin II (Dorland, 2002).
Sekresi aldosteron, mineralkortikoid utama, terjadi apabila zona glomerulosa dirangsang oleh angiotensin. Berkurangnya volume darah menyebabkan sel-sel khusus menyebabkan sel-sel khusus di ginjal menghasilkan renin, yang memicu serangkaian reaksi yang berujung pada pembentukkan angiotensin. Aldosteron mempengaruhi pengangkutan ion-ion menembus membran sel tubulus ginjal untuk menahan natrium dan klorida dan hidrogen. Dengan meningkatkan retensi natrium, aldosteron menyebabkan retensi air yang memperbesar volume darah (dan, sebagai efek samping, juga meningkatkan tekanan darah). Pemulihan volume darah menekan sumbu renin-angiotensin disertai penurunan pembentukkan aldosteron dalam suatu mekanisme umpan balik (Sacher&McPherson, 2004).
Sekresi androgen adrenal dikendalikan oleh ACTH bukan oleh gonadotropin. Pembentukkan ACTH diatur hanya oleh konsentrasi glukokortikoid; androgen dalam darah tidak mempengaruhi pengeluaran ACTH. Androgen dari adrenal dan testis dimetabolisme menjadi senyawa-senyawa 19-karbon yang disebut 17-ketosteroid (17-KS). Pada perempuan dan anak-anak kadar 17-KS urine secara langsung mencerminkan produksi androgen adrenal. Pada laki-laki, sekitar sepertiga 17-KS urine berasal dari steroid-steroid testis (Sacher&McPherson, 2004).
III. DISKUSI / BAHASAN
Seorang wanita umur 32 tahun, dirawat di ruang rawat inap penyakit dalam rumah sakit Dr Moewardi Surakarta dengan keluhan badan lemah dan kelebihan berat badan. Riwayat penyakit dahulu : 5 bulan yang lalu penderita merasakan bahwa badannya kelihatan makin membesar, muka tampak bulat, ada garis-garis putih di sekitar perut bagian bawah, badannya terasa lemah, sakit pinggang yang kumat-kumatan kemudian diperiksakan ke rumah sakit orthopedi dan dilakukan rongent tulang belakang dikatakan menderita osteoporosis dan hipertensi. 1 bulan sebelum masuk rumah sakit badannya makin melemah dan sering pindah dokter tidak sembuh, penderita sudah tidak menstruasi sejak 4 bulan dan tidak hamil dan karena kondisinya makin melemah kemudian oleh keluarganya dirawat di rumah sakit.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum lemah, gizi obeis, kesadaran composmentis. Tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 110 kali/menit, respirasi 24 kali/menit. Muka moon face, tumbuh rambut banyak di dada, striae di abdomen dan kulit seluruh badan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan laboratorium : two day low dose dexamethason test masih menunggu hasil, kadar natrium serum 130 mg/dl, kadar gula darah puasa 70 mg/dl.
Penderita direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan CT scan duble kontras kepala (hipofise dan hipotalamus) dan kelenjar adrenal.
Pada studi pustaka di atas dapat diketahui bahwa kelebihan glukokortikoid, dalam hal ini adalah kortisol dapat mengakibatkan glukoneogenesis. Terjadi pembentukkan glukosa dari zat selain karbohidrat serta penekanan fungsi insulin. Fungsi insulin sendiri adalah untuk membuat sel dapat menggunakan glukosa, jika kerja insulin dihambat maka penggunaan glukosa oleh sel (kecuali pada otak) dapat terganggu. Sehingga bisa mengakibatkan rasa lemah.
Selain diakibatkan oleh penekanan fungsi insulin pada sel target, kelemahan dapat pula dirasakan karena glukoneogenesis yang berlebihan. Glukoneogenesis yang berlebihan dapat mengakibatkan pemecahan pada protein-protein yang dibutuhkan untuk kontraksi otot, sehingga dapat mengakibatkan kelemahan.
Mekanisme dari kegemukan karena kenaikan kortisol sendiri sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas, tetapi kenaikan kortisol dapat mengakibatkan penumpukan lemak pada jaringan sentral tubuh.
Sejak 5 bulan yang lalu penderita merasakan gejala-gejala yang mengarah pada kenaikan kadar kortisol. Kenaikan kortisol sebenarnya dipengaruhi oleh ACTH yang dirangsang oleh pengeluaran CRH dari hipotalamus. Dan jika terjadi kenaikan kortisol, tubuh pada kondisi normal akan melakukan efek umpan balik negatif sehingga kadar kortisol akan segera ditekan. Tetapi jika terjadi kenaikan terus menerus, maka pasti terjadi gangguan pada jalur ini.
Kerusakan dapat terjadi pada kelenjar adrenal yang mengalami kelainan fungsi sehingga mensekresi kortisol tanpa rangsangan dari ACTH, kasus seperti ini bisa terjadi pada adenoma. Sehingga sekalipun kadar ACTH turun sekali, tetapi kortisol terus menerus disekresi ke dalam darah.
Kerusakan juga dapat terjadi pada gangguan hipofisis hipotalamus axis sehingga mengakibatkan hipofisis tidak peka atau sangat berkurang kepekaannya terhadap kenaikan kortisol. Pada keadaan ini ACTH terus menerus disekresi sehingga kortisol terus menerus diproduksi.
Pada kenaikan kortisol yang diakibatkan karena gangguan sekresi ACTH, dapat didapatkan tanda-tanda khusus. Pada kenaikan kadar ACTH, kadar MSH juga ikut naik sehingga pada pasien dengan kenaikan kortisol yang dependen ACTH terdapat hiperpigmentasi. Juga pada kenaikan ACTH dapat merangsang hormon androgen, sehingga pada wanita dapat terjadi efek maskulinasi. Yang tidak muncul pada pasien dengan kenaikan kortisol independen ACTH.
Garis-garis putih pada perut atau striae abdomen dapat terjadi karena pemecahan protein-protein di jaringan ikat pada perut. Juga terjadi proses pemulihan yang lambat karena protein yang digunakan untuk pembentukkan kembali telah digunakan untuk glukoneogenesis.
Sakit pinggang mungkin diakibatkan oleh osteoporosis pada tulang belakang. Pasien mengalami osteoporosis bisa diakibatkan oleh pemecahan protein pada matriks tulang sehingga tulang menjadi lebih keropos.
Hipertensi pada pasien diakibatkan oleh kenaikan kadar kortisol, walaupun kortisol memiliki efek mineralkortikoid yang lemah, namun pada kenaikan dalam jumlah besar juga dapat mengangga keseimbangan cairan tubuh. Karena retensi natrium dapat mengakibatkan kenaikan reabsorbsi air dari tubulus ginjal yang menaikkan volume darah dan mengakibatkan hipertensi.
Two day low dose dexamethason dimaksudkan untuk memastikan apakan pasien tersebut dependen ACTH atau independen ACTH. Pada kasus gangguan umpan balik negatif hipofisis,pemberian dexamethason dapat menurunkan kadar ACTH yang berujung pada penurunan kortisol. Tetapi jika terjadi adenoma pada adrenal maka pemberian dexamethason tidak dapat mempengaruhi sekresi kortisol.
Kadar natrium serum menurun mungkin diakibatkan oleh pemberian obat antihipertensi sejak berbulan-bulan yang lalu. Sehingga akan mengakibatkan pengeluaran natrium, dan mengakibatkan hipotensi. Bisa juga melalui mekanisme penekanan aldosteron pengeluaran natrium dapat terjadi.
Kadar gula darah puasa kemudian turun, mungkin diakibatkan oleh kortisol yang mulai menurun paska pemberian dexamethason sehingga terjadi penurunan kortisol. Mengakibatkan berkurangnya glukokortikoid, sehingga terjadi penurunan kadar gula darah puasa.
Karena memahami komplektisitas penyakit, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan penyakit pasti dari pasien. Diperlukan hasil CT scan, two day low dose dexamethason untuk menegakkan diagnosis, tapi kesimpulan sementara pasien mengalami cushing’s syndrome.
IV. KESIMPULAN
1. Penderita mengalami Cushing’s syndrome
2. Kenaikan kadar kortisol penderita dipengaruhi ACTH
3. Diagnosis pasti menunggu hasil lab


V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, pp : 931,1361
Guyton, Hall, 1997. Hormon Adrenokortikal. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta, EGC , pp : 1204-1238
Price, Sylvia A, 2006. Gangguan Sistem Endokrin dan Metabolik. Dalam : Patofisiologi, 6th ed. Jakarta, EGC, pp : 1237-1251
Sacher, Ronald A, 2004. Interpretasi Laboratorium Uji Endokrin. Dalam : Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, 11th ed. Jakarta, EGC, pp : 483-487 Selengkapnya...

Hipertiroidisme

PEMBESARAN KELENJAR TIROID



I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Fungsi tubuh manusia diatur oleh dua sistem pengatur utama yakni sistem saraf dan sistem hormonal atau sistem endokrin. Pada umumnya, sistem hormonal terutama berkaitan dengan pengaturan berbagai fungsi metabolisme tubuh, seperti pengaturan kecepatan reaksi kimia di dalam sel atau pengangkutan bahan-bahan melewati membran sel atau aspek lain dari metabolisme sel seperti pertumbuhan dan sekresi.
Meningkatnya kecepatan reaksi kimia dalam hampir semua sel tubuh, atau bisa dikatakan peningkatan tingkat metabolisme umum juga dilakukan oleh hormon yang disekresikan oleh kelenjar khusus. Kelenjar thyroid yang berfungsi untuk mensekresikan hormon yang berfungsi untuk menaikkan tingkat metabolisme umum.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Anatomi fisiologi kelenjar tiroid
2. Anatomi fisiologi kelenjar paratiroid
3. Hipotiroidisme, hipertiroidisme, tiroiditis, krisis tiroid
4. Hipoparatiroidisme, hiperparatiroidisme
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui fungsi dan anatomi kelenjar tiroid
2. Mengetahui fungsi dan anatomi kelenjar paratiroid
3. Mengetahui kelainan sekresi hormon tiroid
4. Mengetahui kelainan sekresi hormon paratiroid
II. STUDI PUSTAKA
Kelenjar tiroid terletak tepat di bawah kedua sisi laring dan terletak di sebelah anterior trakea, mensekresi dua macam hormon bermakna, yakni tiroksin dan triiodotironin, yang biasanya disebut T4 dan T3, yang sangat mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh. Kelenjar ini juga mensekresi kalsitonin, yang sangat berguna untuk metabolisme kalsium. Kekurangan total sekresi insulin dapat mengakibatkan penurunan BMR (Basal Metabolism Rate) kira-kira 40-50% di bawah normal, dan bila kelebihan sekresi tiroid sangat hebat dapat menyebabkan naiknya BMR sampai 60-100% di atas normal. Sekresi kelenjar ini diatur oleh TSH yang disekresi oleh hipofisis anterior . Dan sekresi TSH ini diatur oleh TRH yang dihasilkan oleh hipotalamus (Guyton, 1997).
Kira-kira 93% hormon-hormon aktif metabolisme yang disekresikan oleh kelenjar tiroid adalah T4 dan 7% adalah T3. Akan tetapi, hampir semua T4 akan diubah menjadi T3 di dalam jaringan, sehingga secara fungsional keduanya penting. T3 empat kali lebih kuat dibandingkan T4, namun jumlah di dalam darah jauh lebih sedikit dan keberadaannya dalam darah jauh lebih singkat daripada T4.
Kelenjar tiroid terdiri atas banyak sekali folikel-folikel yang tertutup yang dipenuhi bahan-bahan sekretorik yang disebut koloid dan dibatasi sel epitel kuboid yang mengeluarkan hormonnya ke bagian folikel itu. Unsur utama dari koloid adalah glikoprotein tiroglobulin besar, yang mengandung hormon tiroid di dalam molekul-molekulnya. Begitu hormon yang disekresikan sudah masuk ke dalam folikel, hormon itu harus diabsorbsi kembali melalui epitel folikel ke dalam darah, sebelum dapat berfungsi dalam tubuh.
Biosintesis hormon tiroid: (1) penangkapan iodida, (2) oksidasi iodida menjadi iodium, (3) organifikasi iodium menjadi monoyodotirosin dan diyodotirosin, (4) proses penggabungan prekursos yang teryodinasi, (5) penyimpanan dan (6) pelepasan hormon (Price&Willson, 2005).
Iodida yang ditelan secara oral akan diabsorbsi dari saluran cerna ke dalam darah. Sebagian besar dari iodida tersebut dengan cepat dikeluarkan oleh ginjal, tetapi kira-kira seperlimanya dipindahkan dari sirkulasi darah oleh sel-sel kelenjar tiroid secara selektif.
Membran basal sel tiroid mempunyai kemampuan spesifik untuk memompakan iodida secara aktif ke bagian dalam sel. Pada kelenjar tiroid yang normal, pompa iodida dapat memekatkan iodida kira-kira 30 kali dari konsentrasi dalam darah.
Setiap molekul tiroglobulin mengandung 70 asam amino tirosin, dan tiroglobulin merupakan substrat utama yang bergabung dengan iodida untuk membentuk hormon tiroid, yang terbentuk di dalam molekul tiroglobulin.
Oksidasi iodida menjadi iodium ditingkatkan oleh enzim peroksidase dan penyertanya hidrogen peroksidase, yang menyediakan suatu sistem yang kuat yang mampu mengoksidasi iodida. Enzim ini terletak di bagian apikal membran sel atau melekat pada membran sel, sehingga menempatkan iodium yang teroksidasi tadi di dalam sel tepat pada tempat molekul tiroglobulin mula-mula disekresikan.
Pengikatan iodium dengan molekul tiroglobulin disebut organifikasi troglobulin. Tirosin mula-mula diiodisasi menjadi monoiodotirosin dan selanjutnya menjadi diiodotirosin. Kemudian terjadi penggandengan (coupling) antara molekul monoiodotirosin dan diiodotirosin menjadi triidotirosin dan antar diiodotirosin menjadi tiroksin.
Sesudah disintesis, hormon tiroid akan memulai perjalanannya. Dalam bentuk T3 dan T4 hormon tiroid disimpan dalam folikel dalam jumlah yang cukup untuk mensuplai tubuh dengan kebutuhan yang normal selama 2 sampai 3 bulan.
Pada pelepasan bersama darah, tiroglobulin tidak ikut disekresikan dalam jumlah yang cukup berarti. T4 dan T3 dipecah dari molekul tiroglobulin, dan selanjutnya hormon bebas ini dilepaskan ke dalam darah. Sewaktu memasuki darah, semua hormon ini segera berikatan dengan protein plasma, terutama dengan TBG, dan sedikit dengan TBPA, TBA dan albumin.
Oleh karena besarnya afinitas dari protein pengikat plasma terhadap hormon tiroid, maka hormon ini -khususnya T4- sangat lambat dilepaskan ke dalam jaringan. Sewaktu memasuki sel, kedua hormon ini berikatan dengan protein intraselular, tiroksin berikatan sekali lagi secara lebih kuat daripada triiodotironin. Oleh karena itu, kedua hormon sekali lagi disimpan dalam sel-sel fungsionalnya sendiri dan dipakai secara lambat selama berhari-hari.
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah untuk menyebabkan transkripsi inti dari sejumlah besar gen. Hasil akhir dari transkripsi ini menyebabkan semua protein bertambah sehingga terjadi peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional seluruh tubuh.
Sebelum bekerja pada gen untuk meningkatkan transkripsi genetik, hampir semua tiroksin dideionisasi oleh satu ion iodium, sehingga membentuk triiodotironin. Triiodotironin mempunyai afinitas pengikatan yang sangat tinggi terhadap reseptor hormon tiroid intraselular. Reseptor-reseptor hormon tiroid melekat pada rantai genetik DNA atau terletak berdekatan dengan rantai genetik DNA. Saat berikatan dengan hormon tiroid, reseptor mulai menjadi aktif dan mengawali proses transkripsi. Kemudian dibentuk sejumlah besar RNA messenger yang berbeda, diikuti translasi pada ribosom untuk membentuk protein.
Melalui mekanisme ini pula tiroid mampu meningkatkan metabolisme sel, seperti untuk transpor aktif ion melalui membran, kenaikan metabolisme karbohidrat, lemak, vitamin, aliran darah, curah jantung, denyut jantung dan semua yang terjadi diakibatkan oleh kenaikan metabolisme.
Hormon tiroid merangsang hampir semua aspek metabolisme karbohidrat, termasuk penggunaan glukosa yang cepat oleh sel, meningkatkan glikolisis, meningkatkan glukogenesis, meningkatkan kecepatan absorbsi dari saluran cerna, dan bahkan juga meningkatkan sekresi insulin dengan hasil akhirnya adalah efeknya terhadap metabolisme karbohidrat.
Sebenarnya meningkatnya hormon tiroid menurunkan jumlah kolesterol, fosfolipid, dan trigliserida dalam darah, walaupun sebenarnya hormon ini juga meningkatkan asam lemak bebas. Sebaliknya, menurunkan sekresi tiroid sangat meningkatkan konsentrasi kolesterol, fosfolipid dan trigliserida plasma dan hampir selalu mengendapkan pengendapan lemak secara berlebihan di hati.
Oleh karena hormon tiroid meningkatkan jumlah berbagai enzim dan oleh karena vitamin merupakan bagian penting dari beberapa enzim atau ko enzim, maka kenaikkan hormon tiroid akan meningkatkan kebutuhan vitamin.
Di belakang kelenjar tiroid terdapat empat buah kelenjar paratiroid, dengan gambaran makroskopis coklat kehitaman. Kelenjar ini sulit tampak pada operasi tiroid karena sering tampak seperti lobulus lain dari tiroid. Kelenjar ini terdiri dari sel oksifil dan sel utama. Sebagian besar hormon paratiroid disekresikan oleh sel utama.
Kenaikan hormon paratiroid menyebabkan terjadinya absorbsi kalsium dan fosfat dari tulang, dan efek yang cepat dari hormon ini adalah mengurangi ekskresi kalsium oleh ginjal. Berkurangnya konsentrasi fosfat disebabkan oleh efek yang sangat kuat dari hormon paratiroid ini terhadap ginjal dalam menyebabkan timbulnya ekskresi fosfat dari ginjal secara berlebihan, yang cukup besar untuk mengatasi peningkatan absorbsi fosfat dari tulang.
Bila terjadi perubahan ion kalsium berupa penurunan ion kalsium dalam cairan ekstraselular atau hipokalsemia, sistem saraf secara progresif menjadi semakin peka sebab penurunan konsentrasi ion kalsium menyebabkan permeabilitas membran saraf terhadap ion natrium meningkat, menimbulkan perangsangan potensial aksi dengan mudah. Jika kadar kalsium turun hingga 50% di bawah normal, serat-serat perifer menjadi sangat tereksitasi sehingga saraf ini mulai terangsang secara spontan, memulai penjalaran impuls saraf ke otot rangka perifer dan mencetuskan kontraksi otot tetanik.
Bila kadar kalsium dalam cairan tubuh meningkat di atas kadar normal, sistem saraf akan tertekan, dan aktivitas refleks pada sistem saraf pusat juga menjadi sangat lambat. Kenapa naik dan turun kadar ion kalsium darah dapat mengakibatkan efek yang demikian? Ini dikarenakan fungsi Ca2+ sebagai second messenger pada komunikasi antar sel, sehingga jika ini mengalami kenaikan, pada cascade selanjutnya akan terjadi efek yang lebih luar biasa dari yang diinginkan. Misalnya pada sel saraf, kenikan ion kalsium dapat menaikkan sekresi neurotransmitter pada sel-sel saraf. Contoh lain yang tidak kalah ekstrem seperti pada otot, jika ha yang demikian terjadi pada otot, maka kontraksi yang terus menerus dapat terjadi.
III. DISKUSI / BAHASAN
Skenario
Seorang wanita usia 28 tahun alamat desa Jatipuro kecamatan Jatipuro kabupaten Karanganyar, datang ke poliklinik penyakit dalam RS Dr Moewardi dengan keluhan benjolan di leher depan sejak 5 tahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu penderita berobat di puskesmas karena merasakan benjolan di leher depan makin membesar, badan panas, badan terasa lemah, leher tidak nyeri. Oleh dokter dikatakan radang thyroid.
Sekitar 1 bulan ini penderita merasakan banyak keringat, suka hawa dingin, sering berdebar-debar, kedua tangan gemetar bila memegang sesuatu, kemudian oleh keluarganya dibawa ke rumah sakit. Tetangganya yang juga punya benjolan di leher memiliki anak usia 10 tahun, pendidikannya masih sekolah dasar kelas 2 karena sering tidak naik kelas dan kelihatan kecil.
Ketika di poliklinik dilakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 110 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, matanya terlihat exophtalmus, hasil pemeriksaan fisik: benjolan di leher konsistensi lunak, tidak nyeri dan mudah digerakkan. Pemeriksaan laboratorium TSHs <0,005µIU/ml, FT4 20µg/dl FT3 15ng/ml. Kemudian oleh dokter poliklinik dikatakan menderita Grave’s disease dan diberi pengobatan dengan propil tiourasil 3X200 mg dan propanolol 3X10 mg. Disarankan untuk kontrol rutin tiap bulan.
Setelah berobat selama 1 tahun, karena benjolan dileher dirasakan mengurangi kecantikannya, maka penderita ingin penyakitnya dioperasi. Di poliklinik bagian bedah penderita dilakukan persiapan operasi, dikatakan setelah operasi nanti kemungkinan bisa terjadi hal-hal yang tidak diharapkan seperti hypothyroid, hypoparathyroid atau hyperparathyroid, krisis tiroid. Karena takut dioperasi akhirnya penderita memutuskan tidak jadi operasi.
Pada kasus didapati pasien menderita benjolan di lehger sejak lima tahun yang lalu. Pada kondisi geografis tertentu, misalnya pada daerah pegunungan, benjolan pada leher bisa menjadi penyakit endemik. Dikategorikan sebagai penyakit endemik jika prevalensi kasus benjolan pada leher sebelah depan lebih dari 10%. Benjolan ini dikarenakan oleh kekurangan ion iodium pada daerah pegunungan karena ion iodium pada air habis mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Sehingga sel-sel kelenjar tiroid bekerja lebih keras untuk mendapatkan iodium dalam kadar yang sangat rendah pada darah. Karena inilah terjadi hiperplasia dari kelenjar tiroid yang menyebabkan struma atau goiter yang difus dan persisten.
Dua tahun yang lalu penderita juga mengalami tiroiditis atau radang tiroid. Tiroiditis juga mungkin mengakibatkan struma. Misalnya pada penyakit tiroiditis Hashimoto, suatu penyakit autoimun yang infiltrasi limfosit dan destruksi kelenjar tiroidnya dikaitkan dengan antitiroglobulin atau antibodi mikrosomal sel antitiroid. Sehingga mengakibatkan hipotiroidisme dengan massa koloid pada penampang mikroskopis mengalami reabsorbsi koloid.
Sekitar 1 bulan ini penderita merasakan banyak keringat, suka hawa dingin, sering berdebar-debar, kedua tangan gemetar bila memegang sesuatu, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 110 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, matanya terlihat exophtalmus, hasil pemeriksaan fisik: benjolan di leher konsistensi lunak, tidak nyeri dan mudah digerakkan. Pemeriksaan laboratorium TSHs <0,005µIU/ml, FT4 20µg/dl FT3 15ng/ml.
Hormon tiroid berfungsi sebagai pengatur metabolisme tubuh. Jika terjadi kelebihan hormon ini maka dapat terjadi kenaikan BMR (Basal Metabolism Rate). Jumlah FT4 mengalami kenaikan besar sehingga terjadi hipertiroidisme. Efek dari kenaikan ini dialami oleh pasien, yaitu kenaikan Basal Metabolis Rate. Penderita merasakan banyak keringat karena memang terjadi proses metabolisme yang berlebihan, misalnya proses pembakaran atau respirasi selular yang memang menghasilkan energi berupa panas juga. Dan karena tubuhnya panas maka dia juga akan lebih menyukai hawa dingin untuk mengimbangi kondisi tubuhnya yang memang lebih panas. Sering berdebar-debar juga diakibatkan oleh kenaikan hormon tiroid dalam jumlah sedikit sehingga menaikkan metabolisme jantung. Selain itu kenaikan kerja jantung ini juga dipengaruhi oleh kebutuhan sel yang meningkat karena kenaikan metabolisme, sehingga sel akan membutuhkan oksigen dalam jumlah yang lebih banyak. Maka pasien suka berdebar-debar. Kedua tangan suka gemetar bila memegang sesuatu diakibatkan oleh bertambahnya kepekaan sinaps saraf di daerah medula yang mengatur tonus otot. Mata terlihat exophtalmus karena protrusi mata yang diakibatkan oleh pembengkakan pada jaringan retro-orbita dan timbulnya perubahan degeneratif pada otot-otot ekstra okular. Pada beberapa penderita hipertiroidisme dapat pula ditemukan imunoglobulin yang bereaksi dengan otot-otot mata.
Ada pembeda antara benjolan yang diakibatkan oleh hipotiroidisme dengan benjolan yang diakibatkan oleh hipertiroidisme. Pada hipotiroidisme, pembengkakan kelenjar tiroid disertai dengan penimbunan asam hialuronat pada kelenjar tiroid sehingga mengakibatkan konsistensi goiter menjadi keras. Pada hipertiroidisme, konsistensi goiter lunak. Juga dirasakan tidak nyeri, pada kasus tiroiditis, mungkin dirasakan nyeri pada goiter.
Tetangga pasien juga mengalami pembesaran kelenjar tiroid dan memiliki anak yang kurang cerdas dan terlihat kecil. Hormon tiroid juga berperan dalam tumbuh kembang anak. Jika ibu mengalami hipotiroidisme (asumsikan demikian), yang diakibatkan oleh penurunan jumlah iodium dalam tubuh sehingga sel-sel kelenjar tiroid bekerja keras untuk membentuk hormon tiroid. Maka anak juga akan mengalami hipotiroidisme yang diakibatkan kekurangan iodium sejak di dalam kandungan. Jika ini terjadi dapat mengakibatkan keterbelakangan mental dan kretinisme, yaitu pertumbuhan yang terhambat karena kekurangan hormon tiroid.
TSHs mengalami penurunan, sedangkan hormon tiroid mengalami kenaikan. Sedangkan pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa sekresi hormon tiroid diatur oleh TSH. Pada kasus ini terjadi mekanisme autoimun sehingga reseptor untuk hormon tiroid ditempati oleh autoantibodi yang merangsang pengeluaran hormon tiroid. Bahkan autoantibodi ini memiliki masa stimulasi yang lebih lama dibanding TSH sehingga akan benar-benar menaikkan kadar hormon tiroid. Kelainan autoimun ini dinamakan Grave’s disease
Oleh dokter diberikan propil tiourasil (termasuk dalam antitiroid) dan propanolol. Antitiroid menghambat sintesis hormon tiroid dengan jalan menghambat proses pengikatan/inkorporasi yodium pada residu tirosin dari tiroglobulin. Selain itu antitiroid juga menghambat proses penggabungan dari gugus iodotirosil untuk membentuk iodotironin. Cara kerjanya dapat dijelaskan dengan adanya hambatan terhadap enzim peroksidase sehingga oksidasi ion iodida dan gugus iodotirosil terganggu. Selain menghambat sintesis hormon, propil tiourasil ternyata juga menghambat deiodinasi tiroksin menjadi triiodotironin di jaringan perifer.
Propil tiourasil memiliki masa kerja 2-8 jam. Juga mengakibatkan efek samping. Yang paling sering adalah demam obat. Jarang menimbulkan efek samping yang lain. Agranulositosis mungkin terjadi dan pupura serta papular rash yang kadang-kadang hilang sendiri juga bisa terjadi. Gejala lain yang jarang sekali timbul adalah nyeri dan kaku sendi, terutama pada tangan dan pergelangan; nyeri itu dapat pindah ke sendi lain. Reaksi demam hepatitis dan nefritis jarang sekali terjadi untuk pemakaian propil tiourasil.
Propanolol menduduki adrenoreseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi. Adrenoeseptor bloker mengurangi respon sel efektor adrenergik terhadap perangsangan saraf adrenergik maupun terhadap obat adrenergik eksogen. Untuk masing-masing adrenoreseptor α dam β ada penghambatnya yang selektif.
Propanolol menghambat glikogenolisis di sel hati dan otot rangka, sehingga mengurangi efek hiperglikemia. Akibatnya, kembalinya kadar gula darah pada hipoglikemia diperlambat. Propanolol juga menghambat aktivasi enzim lipase dalam sel lemak, sehingga menghambat pelepasan asam lemak bebas dalam sirkulasi, yang ditimbulkan oleh peningkatan aktivitas simpatis sewaktu kegiatan fisik atau stress emosional. Akibatnya, peningkatan asam lemak dalam darah yang dibutuhkan sebagai sumber energi oleh otot rangka yang sedang aktif bekerja, berkurang.
Karena goiter bersifat persisten, maka benjolan ini akan tetap ada sampai dilakukan pembedahan. Pembedahan struma dapat dibagi menjadi bedah diagnostik dan terapetik. Bedah diagnostik berupa insisi atau biopsi eksisi. Bedah terapetik bersifat ablatif berupa lobektomi, istmolobektomi, dan tiroidektomi total atau subtotal. Tindak bedah total dilakukan dengan atau tanpa diseksi leher radikal. Untuk struma non toksik dan non maligna digunakan enukleasi nodulus yaitu eksisi lokal, (istmo-)lobektomi, atau tiroidektomi subtotal. Pembedahan total dilakukan untuk karsinoma terbatas, dan pembedahan radikal dilakukan bila ada kemungkinan penyebaran ke kelenjar limfe regional.
Tiroid merupakan alat yang kaya darah yang divaskularisasi oleh empat arteri dan berhubungan anatomi erat dengan alat dan struktur penting di leher. Penyulit bedah antara lain perdarahan, cedera pada n.laringeus rekurens uni- atau bilateral, pada trakea, atau pada esofagus. Struma besar dapat mengakibatkan malakia (perlunakan) trakea yaitu hilangnya cincin rawan trakea akibat tekanan terlalu lama sehingga terjadi kolaps trakea setelah strumektomi. Penyulit yang berbahaya bila ada hematom di lapangan bedah.
Penyulit paskabedah adalah hematom di leher, udem laring, atau krisis tiroid
Krisis tiroid adalah hipertiroid hebat yang berkembang sewaktu atau segera setelah pembedahan pada penderita hipertiroidi. Krisis tiroid ditandai dengan takikardia dan gejala serta tanda hipertiroidi lain yang akut dan sangat gawat karena penderita ternacam dekompensasi jantung fatal. Krisis tiroid disebabkan pencurahan berlebihan tiroid ke dalam darah karena pembedahan dan manipulasi kelenjar tiroid pada penderita bedah yang tidak diduga hipertiroidi. Penyulit hipertiroidi terjadi karena kelenjar paratiroid juga ikut terangkat pada strumektomi.
IV. KESIMPULAN
1. Ibu ini menderita hipertiroidisme
2. Pemberian obat berguna untuk mengurangi produksi hormon dan gejala yang ditimbulkan hipertiroidisme
3. Hormon tiroid berguna untuk mengatur metabolisme tubuh
4. Hormon paratiroid berguna untuk mengatur kadar kalsium darah


















V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, p : 1021
Ganiswarna, Sulistia G, 1995. Hormon dan Antagonis. Dalam : Farmakologi dan Terapi, 4th ed. Jakarta, Gaya Baru, pp : 476-477
Guyton, Hall, 1997. Resistensi Tubuh Terhadap Infeksi : II. Imunitas dan Alergi. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta, EGC , pp : 555-577
Jong, 1998. Sistem Endokrin : Bagian III, Tindak Bedah Organ dan Sistem Organ. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC, pp : 930-934
Price, Sylvia A, 2006. Gangguan Sistem Endokrin dan Metabolik. Dalam : Patofisiologi, 6th ed. Jakarta, EGC, pp : 1259-1270 Selengkapnya...

sindroma metabolik

SINDROMA METABOLIK



I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Obesitas merupakan kelainan metabolik yang paling sering diderita manusia. Masyarakat sendiri sering tidak menganggap obesitas sebagai suatu penyakit, tetapi justru merupakan sesuatu yang wajar, bahkan karena ketidaktahuan, mereka menganggap obesitas sebagai tanda kemakmuran.
Prevalensi kegemukan pada penduduk cukup tinggi. Pada penelitian di kelurahan Kayu Putih Jakarta Timur tahun 1993 didapatkan 39,1% responden laki-laki memiliki status gizi gemuk (BMI > 27 kg/m2) dan 52,3% responden wanita mempunyai BMI 25 kg/m2. Angka ini lebih tinggi dari survei yang dilakukan 10 tahun sebelumnya di kelurahan Koja Utara Tanjung Priok, yaitu 4,2% kegemukan pada responden laki-laki dan 17,1% kegemukan pada responden wanita.
Obesitas memberikan hambatan-hambatan fisis, sosial dan psikologis. Orang gemuk mempunyai banyak kesulitan dalam melakukan aktivitas fisik, sehingga mengurangi kesempatan untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial. Penderita obesitas cenderung sering sakit. Dikarenakan terjadi kelainan metabolik yang disebabkan oleh besarnya lapisan lemak, dan semua gangguan metabolik yang berhasil diperiksa dapat diternagkan dengan penambahan lapisan lemak tersebut, dan yang akan menjadi normal kembali dengan pengurangan berat badan. Penderita obesitas dapat mengalami diabetes mellitus, hipertensi, gangguan kardiovaskular, hipoventilasi alveolar, batu empedu dan mejadi faktor risiko dari penyakit lainnya.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Gangguan insulin dan profil lemak pada pasien
2. Penyebab hipertensi, poliuria dan kesemutan pada pasien
3. Pasien pernah menderita gout arthritis
4. Anaknya menderita diabetes mellitus, dahulu gemuk sekarang kurus
5. Saudara laki-lakinya kaki kirinya pernah diamputasi dan sekarang dirawat karena minum glibenklamid 3 kali sehari, dan tidak mau makan
6. Profil lemak pasien semua naik kecuali HDL
7. Komplikasi pada penyakit pasien
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui fungsi fisiologis insulin dan kegunaannya dalam tubuh
2. Mengetahui gangguan pada kekurangan insulin
3. Mengetahui komplikasi penyakit diabetes mellitus
4. Mengetahui penyebab diabetes mellitus
II. STUDI PUSTAKA
Pankreas terdiri atas dua jenis jaringan utama, yakni: (1) asini, yang mensekresikan getah pencernaan ke dalam duodenum, dan (2) pulau langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mensekresi insulin dan glukagon langsung ke dalam darah (Guyton, 1997).
Pulau langerhans tersusun mengelilingi pembuluh kapiler kecil yang merupakan tempat penampungan hormon yang disekresikan oleh sel-sel tersebut. Pulau Langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel alfa, beta, dan delta. Sel beta kira-kira 60 persen dari semua sel, terletak terutama di tengah dari setiap pulau dan mensekresi insulin. Sel alfa yang mencakup kira-kira 25 persen dari semua sel, mensekresi glukagon. Dan sel delta, yang merupakan 10 persen dari seluruh sel, mensekresikan somastotatin. Selain itu, paling sedikit terdapat satu jenis sel lain, yang disebut sel PP, yang terdapat dalam jumlah sedikit dalam pulau langerhans dan mensekresikan hormon yang fungsinya masih diragukan yakni polipeptida pankreas (Guyton, 1997).
Hormon adalah substansi kimia yang dihasilkan dalam tubuh oleh organ, sel-sel organ, atau sel yang tersebar, yang memiliki efek regulatorik spesifik terhadap aktivitas satu atau beberapa organ. Istilah ini semula digunakan untuk zat yang disekresikan oleh berbagai kelenjar endokrin dan ditransportasikan dalam aliran darah ke organ sasaran yang jauh, tetapi istilah ini kemudian digunakan untuk berbagai zat yang memiliki kerja yang sama tetapi tidak dihasilkan oleh kelenjar khusus (Dorland, 2002).
Insulin disintesis oleh sel-sel beta dengan cara yang mirip dengan sintesis protein, yang biasanya dipakai oleh sel, yakni diawali dengan translasi RNA insulin oleh ribosom yang melekat pada retikulum endoplasma untuk membentuk preprohormon insulin. Preprohormon awal ini memiliki berat molekul kira-kira 11.500, namun selanjutnya akan melekat erat pada retikulum endoplasma untuk membentuk proinsulin dengan berat molekul kira-kira 9000; lebih lanjut sebagian besar proinsulin ini lalu melekat erat pada alat Golgi untuk membentuk insulin sebelum terbungkus dalam granula sekretorik. Akan tetapi, kira-kira seperenam dari hasil akhirnya tetap dalam bentuk proinsulin. Proinsulin ini tidak memiliki aktivitas insulin (Guyton, 1997).
Sewaktu insulin disekresikan ke dalam darah, hampir seluruhnya beredar dalam bentuk yang tidak terikat; waktu paruhnya dalam plasma rata-rata hanya 10 sampai 15 menit akan dibersihkan dari sirkulasi. Kecuali sebagian insulin yang berikatan dengan reseptor yang ada pada sel target, sisa insulin didegradasi oleh enzim insulinase terutama di hati, sebagian kecil dipecah dalam ginjal dan otot, dan sedikit di jaringan yang lain (Guyton, 1997).
Karbohidrat terdapat dala berbagai bentuk, termasuk gula sederhana atau monosakarida, dan unit-unit kimia yang kompleks, seperti disakarida dan polisakarida. Karbohidrat yang sudah ditelan dan dicerna menjadi monosakarida dan diabsorbsi, terutama dalam duodenum dan jejunum proksimal. Sesudah diabsorbsi kadar gula darah akan meningkat untuk sementara waktu dan kemudian akan kembali lagi ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar bergantung pada hati yang (1) mengekstraksi glukosa, (2) menyintesis glikogen, dan (3) melakukan glikogenolisis. Dalam jumlah yang lebih sedikit, jaringan perifer -otot dan adiposa- juga mempergunakan ekstrak glukosa sebagai sumber energi sehingga jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah (Price, 2006).
Untuk memberikan efek awal insulin pada sel target, insulin berikatan dan mengaktifkan suatu protein membran reseptor. Efek selanjutnya diakibatkan oleh reseptor yang diaktifkan, bukan insulin.
Insulin menyebabkan membran menjadi sangat permeabel terhadap glukosa. Hal ini terutama terjadi pada sel-sel otot dan sel lemak tetap tidak terjadi pada sebagian besar sel neuron di dalam otak. Peningkatan permeabilitas terhadap glukosa selanjutnya membuat glukosa masuk dengan cepat ke dalam sel. Di dalam sel, glukosa dengan cepat difosforilasi dan menjadi suatu zat yang diperlukan untuk semua fungsi metabolisme karbohidrat yang umum. Sebagai tambahan untuk meningkartkan permeabilitas membran terhadap glukosa, membran sel menjadi lebih permeabel terhadap banyak asam amino, ion kalium dan ion fosfat.
Dalam sehari, jaringan otot tidak bergantung pada glukosa untuk sumber energinya tetapi sebagian besar bergantung pada asam lemak. Alasan yang utama karena membran otot istirahat yang normal hanya sedikit permeabel terhadap glukosa kecuali bila dirangsang oleh insulin.
Insulin juga menyebabkan sebagian besar glukosa yang diabsorbsi sesudah makan segera disimpan dalam hati dalam bentuk glikogen. Insulin menghambat fosforilasi hati, yang merupakan enzim utama yang menyebabkan terpecahnya glikogen dalam hati menjadi glukosa. Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa dari darah oleh sel-sel hati. Insulin juga meningkatkan enzim-enzim yang meningkatkan sintesis glikogen.
Bila jumlah glukosa yang masuk dalam sel hati lebih banyak daripada jumlah yang dapat disimpan sebagai glikogen atau digunakan untuk metabolisme sel hepatosit setempat, insulin akan memacu pengubahan semua kelebihan glukosa ini menjadi asam lemak. Sesudah ini, asam lemak dibentuk sebagai trigliserida dalam bentuk lipoprotein densitas sangat rendah dan ditransport dalam bentuk lipoprotein ini melalui darah ke jaringan adiposa dan ditimbun sebagai lemak. Insulin juga menghambat glukoneogenesis. Insulin melakukannya terutama dengan menurunkan jumlah dan aktivitas enzim-enzim hati yang dibutuhkan untuk glukoneogenesis.
Kemudian insulin menghambat kerja lipase sensitif hormon. Enzim inilah yang menyebahkan hidrolisis trigliserida yang sudah disimpan dalam sel-sel lemak. Oleh karena itu, pelepasan asam lemak dari jaringan adiposa ke dalam sirkulasi darah dakan terhambat. Insulin meningkatkan pengangkutan glukosa melalui membran sel-sel lemak dengan cara yang sama seperti insulin meningkatkan pengangkutan glukosa ke sel-sel otot. Beberapa bagian glukosa ini lalu dipakai untuk mensintesis sedikit asam lemak, tetapi yang lebih penting adalah, glukosa ini dipakai untuk membentuk sejumlah besar α-gliserol fosfat. Bahan ini menyediakan gliserol yang akan berikatan dengan asam lemak untuk membentuk trigliserida yang merupakan bentuk lemak yang disimpan dalam sel-sel lemak. Oleh karena itu, bila ada insulin, bahkan penyimpanan sejumlah besar asam-asam lemak yang diangkut dari hati dalam bentuk lipoprotein hampir dihambat.
Glukosa difiltasi di glomerolus ginjal dan hampir seluruhnya direabsorbsi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 180 mg/dL. Jika kadar glukosa serum naik melebihi kadar ini, glukosa tersebut akan keluar bersama urin yang dikenal sebagai glukosuria (Price, 2006).
III. DISKUSI / BAHASAN
Skenario
Seorang penderita wanita usia 55 tahun berat badan 90 kg, tinggi badan 156 cm, tekanan darah 150/100 mmHg datang ke poliklinik Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta denga keluhan sering kencing atau poliuria dan kedua kaki terasa kesemutan. Sejak 2 tahun yang lalu penderita merasakan sering kencing sehari bisa 10 sampai 15 kali dan tidak pernah berobat ke dokter. Penderita 5 tahun yang lalu pernah menderita gout arthritis. Anaknya laki-laki umur 15 tahun pernah dirawat di rumah saki yang sama dikatakan sakit kencing manis atau diabetes mellitus. Anaknya sebelum menderita kencing manis, semula gemuk atau obes tetapi sekarang menjadi kurus. Saudara laki-lakinya umur 60 tahun kaki kirinya pernah diamputasi dan sekarang dirawat di rumah sakit karena minum glibenklamid pagi 1 tablet, siang 1 tablet dan sore 1 tablet dan tidak mau makan.
Penderita sudah membawa hasil laboratorium : kolesterol total 250 mg/dl, trigliserida 350 mg/dl, HDL kolesterol 35 mg/dl, LDL kolesterol 215 mg/dl, ureum 70 mg/dl, creatinin 2,0 mg/dl dan asam urat 10 mg/dl.
Pada kasus ini pasien memiliki berat badan 90 kg dan tinggi 156 cm. Body Mass Index dari pasien ini 36,98 dan ini berarti pasien ini mengalami obesitas. Semua profil lipid mengalami kenaikan kecuali HDL. Penjelasan dari kenaikan profil lipid satu per satu akan dibahas kemudian.
Lima tahun yang lalu penderita pernah menderita gout arthritis, yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik, sekurang-kurangnya ada sembilan gangguan, yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena pembentukkan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu.
Masalah akan timbul jika terbentuk kristal-kristal monosodium urat monohidrat pada sendi-sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk seperti jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan menimbulkan nyeri hebat yang sering menyertai serangan gout. Jika tidak diobati, endapan kristal akan menyebabkan kerusakan yang hebat pada sendi dan jaringan lunak.
Anaknya laki-laki umur 15 tahun pernah dirawar di rumah sakit karena menderita diabetes mellitus. Dulu anaknya mengalami obesitas namun sekarang anaknya menjadi kurus. Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati.
Diabetes Mellitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin atau sel-sel beta pankreas. Manifestasi klinis diabetes mellitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Tipe dari gen histokompatibilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe 1 misalnya adalan DW3 dan DW4
Diabetes Mellitus tipe 2 memiliki pola familial yang kuat. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Ketidak normalan proreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin dalam sel target. Hal ini disebabkan karena terdesaknya lokasi tempat reseptor oleh lemak. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi imun. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan badan akan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapat pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin mengalami polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap diekskresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.
Karena kekurangan insulin (baik relatif maupun mutlak). Bila tidak ada insulin, semua efek insulin yang menyebabkan penyimpanan lemak, seperti yang tercantum di atas, akan berbalik. Efek yang paling penting adalah efek dari enzim lipase sensitif-hormon yang terdapat di dalam sel-sel lemak akan menjadi sangat aktif. Keadaan ini akan menyebabkan hidrolisis trigliserida yang disimpan, sehingga akan melepaskan banyak sekali asam lemak dan gliserol ke dalam sirkulasi darah. Akibatnya, konsentrasi asam lemak bebas plasma, dalam beberapa menit akan meningkat. Asam lemak bebas ini selanjutnya menjadi bahan energi utama yang terutama digunakan oleh seluruh jaringan tubuh selain otak. Oleh karena itu pada beberapa kasus, penderita yang dulunya gemuk akan menjadi kurus karena lemak digunakan sebagai sumber energi.
Asam lemak yang berlebihan di alam plasma juga meningkatkan pengubahan beberapa asam lemak menjadi fosfolipid dan kolesterol, di dalam hati, yang merupakan dua bahan utama yang dihasilkan dari metabolisme lemak. Kedua bahan ini, bersama-sama dengan kelebihan trigliserida yang dibentuk pada waktu yang sama di dalam hati, kemudian dilepaskan ke dalam darah dalam bentuk lipoprotein. Kadang-kadang lipoprotein plasma meningkat sebanyak tiga kali lipat bila ada insulin, yang memberikan konsentrasi total dari lipid plasma yang lebih tinggi beberapa persen daripada konsentrasi normalnya sebesar 0,6 persen. Konsentrasi lipid yang tinggi ini –khususnya konsentrasi kolesterol yang tinggi- menyebabkan cepatnya perkembangan aterosklerosis pada penderita dengan diabetes parah.
Kekurangan insulin juga menyebabkan terbentuknya asam asetoasetat secara berlebihan di sel-sel hati. Bila tidak ada insulin namun terdapat kelebihan asam lemak di dalam sel-sel hati, maka mekasnisme pengangkutan kartinin yang dipakai untuk mengangkut asam lemak ke dalam mitokondria menjadi sangat aktif. Di dalam mitokondria, proses oksidasi beta dari asam lemak selanjutnya berjalan sangat cepat, sehingga banyak sekali melepaskan asetil-KoA. Sebagian besar kelebihan asetil Ko-A ini dipadatkan untuk membentuk asam aseto asetat, yang selanjutnya dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Sebagian besar asam aseto asetat ini akan melewati sel-sel perifer, tempat asam aseto asetat diubah lagi menjadi asetil KoA dan dengan cara yang biasa dapat digunakan lagi sebagai energi.
Pada waktu yang sama, tidak adanya insulin, juga menekan pemakaian asam asetoasetat dalam jaringan perifer. Jadi, begitu banyaknya asam aseto asetat yang dilepaskan dari hati sehingga tidak semuanya dapat dimetabolisme oleh jaringan. Sebagian asam asetoasetat ini juga diubah menjadi asam β-hidroksibutirat dan aseton. Kedua bahan ini, bersama dengan asam asetoasetat disebut sebagai badan-badan keton, dan bila terdapat dalam jumlah besar dalam cairan tubuh, maka disebut ketosis. Asam asetoasetat dan asam β-hidroksibutirat dapat menyebabkan timbulnya asidosis yang parah, yang seringkali menimbulkan kematian. Yang pada diabetes mellitus tipe 2 tidak terjadi. Sebab seringkali penderita diabetes mellitus tipe 2 mampu memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup banyak untuk menghindari terjadinya ketosis.
Pada kenaikan kadar gula darah akan terjadi dehidrasi jaringan. Hal ini sebagian terjadi karena glukosa tidak dapat dengan mudah berdifusi melewati pori-pori membran sel, dan naiknya tekanan osmotik dalam cairan ekstraseluler menyebabkan timbulnya perpindahan osmotik air keluar sel. Keluarnya glukosa dalam urin juga menimbulkan diuresis osmotik. Adalah efek dari glukosa dalam tubulus ginjal yang sangat mengurangi reabsorbsi cairan tubulus. Efek keseluruhan adalah kehilangan cairan yang sangat besar dalam urin, sehingga menyebabkan dehidrasi ekstraseluler, yang selanjutnya menimbulkan kompensatorik cairan intraselular.
Pada diabetes mellitus terdapat risiko terjadi komplikasi jangka panjang, selain komplikasi-komplikasi metabolik akut karena kekurangan insulin absolut atau relatif. Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil -mikroangiopati- dan pembuluh-pembuluh besar -makroangiopati-. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerolus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar.
Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular kecil) dari arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat menyebabkan kebutaan.
Manifesteasi nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini, pasien mungkin memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal.
Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa-sorbitol-fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan meetabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson.
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, hiperliloproteinemia dan kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya keadaan ini dapat menyebabkan penyumbatas vaskular.
Saudara laki-lakinya sekarang dirawat di rumah sakit karena minum glibenklamid 3 kali sehari. Glibenklamid termasuk golongan obat antidiabetik oral derivat sulfonilurea. Derivat sulfonilurea bekerja dengan merangsang sekresi insulin di pankreas. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin di pankreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan dengan glukosa, karena ternyata pada saat hiperglikemia gagal merangsang sekresi insulin dalam jumlah yang mencukupi, obat-obatan tersebut masih mampu merangsang sekresi insulin. Pada dosis tinggi, sulfonilurea menghambat penghancuran insulin oleh hati. Absorbsi derivat sulfoniluria dalam usus baik, sehingga dapat diberikan peroral. Setelah absorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada protein terutama albumin. Gejala saluran cerna antara lain berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung yang kadang-kadang terasa seperti pirosis substernal di daerah jantung. Jika kondisi demikian terjadi maka pasien akan kehilangan nafsu makan. Gejala ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosis, memberikannya bersama makanan atau membagi obat dalam beberapa dosis.
Dilihat dari keluarga pasien, perlu dicurigai pasien juga menderita diabetes mellitus. Sebab penyakit ini juga diturunkan melalui gen, baik faktor predisposisi ataupun kerusakan gen yang mengakibatan autoimun sel beta pankreas atau bahkan ketidakmampuan sel beta pankreas untuk memproduksi insulin.
Seperti telah dijelaskan di atas, pasien mengalami obesitas yang berpengaruh pada banyak hal. Tekanan darah pasien naik, disebabkan oleh karena kenaikan viskositas atau kekentalan darah karena kenaikan glukosa darah, sehingga kerja jantung terpacu lebih keras. Tambahan pula adanya kemungkinan terjadinya aterosklerosis, yang disebabkan kadar LDL dalam darah naik. LDL bertugas untuk membawa kolesterol ke jaringan perifer atau kapiler atau pembuluh darah dan ini mengakibatkan penumpukan lemak pada vasa darah sehingga mengakibatkan penyempitan pembuluh darah sehingga menaikkan tekanan darah. Kelainan ini juga mengganggu jalur poliol (glukosa-sorbitol-fruktosa), yang meningkatkan produksi fruktosa dan sorbitol. Penimbunan sorbitol dan fruktosa pada saraf dapat mengakibatkan neuropati, juga dapat mengakibatkan retinopati, dan beberapa komplikasi lainnya. Kesemutan yang dirasakan ibu ini juga berkaitan dengan gangguan pada saraf karena gangguan jalur poliol.
Penderita mengeluh sering kencing juga diakibatkan oleh dehidrasi jaringan yang diakibatkan perbedaan tekanan osmotik sehingga merangsang tubuh untuk terus minum seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Pada kasus ini trigliserida mengalami kenaikan. Pembentukkan trigliserida membutuhkan insulin, juga untuk menjaganya tetap dalam bentuk trigliserida dibutuhkan insulin dalam jumlah yang mencukupi. Karena pada diabetes tipe I pasien mengalami gangguan sekresi karena kerusakan autoimun pada sel beta pankreas, maka kadar insulin menurun. Sedangkan pada diabetes tipe II kadar insulin dapat mengalami kenaikan, tetap atau menurun, sehingga dapat diambil kesimpulan pasien mengalami diabetes mellitus tipe II.
Pasien mengalami hipertensi, diabetes mellitus tipe II, hiperlipidemia, dan obesitas. Sejumlah kelainan ini dapat digolongkan menjadi sebuah golongan yang dinamakan sindrom metabolik.
IV. KESIMPULAN
1. Diabetes terjadi akibat kekurangan insulin baik relatif maupun absolut
2. Faktor predisposisi diabetes mellitus diturunkan dalam pola familial yang kuat
3. Komplikasi diabetes terjadi akibat insufisiensi insulin yang berdampak luas dan sangat berbahaya
4. Dapat terjadi karena obesitas
V.SARAN
1. Biasakan pola hidup sehat
2. Lakukan pengobatan untuk menghindari komplikasi lebih lanjut

VI. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, p : 1021
Ganiswarna, Sulistia G, 1995. Hormon dan Antagonis. Dalam : Farmakologi dan Terapi, 4th ed. Jakarta, Gaya Baru, pp : 476-477
Guyton, Hall, 1997. Resistensi Tubuh Terhadap Infeksi : II. Imunitas dan Alergi. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta, EGC , pp : 555-577
Soeparman, Waspadji S, 1990. Ilmu Penyakit Endokrin dan Metabolik. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam, 1st ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 571-714
Price, Sylvia A, 2006. Gangguan Sistem Endokrin dan Metabolik. Dalam : Patofisiologi, 6th ed. Jakarta, EGC, pp : 1259-1270 Selengkapnya...

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign