Selasa, 22 Juli 2008

TINJAUAN ATAS CACING TAMBANG PENYEBAB ANEMIA

I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
SKENARIO :
KENAPA SAYA DIARE?
 Seorang pria, petani, berumur 43 tahun, datang dengan keluhan sakit perut dan diare lendir, kadang berdarah, selama kurang lebih 1 bulan. Pasien juga mengeluh cepat lelah setelah beraktivitas, sering berkunang-kunang dan dada berdebar-debar, serta kadang tubuh terasa gatal.
 Pada pemeriksaa fisik ditemukan : pecah-pecah di tepi mulut, konjungtiva pucat. Nyeri tekan lepas daerah Mc Burney (-). Auskultasi didapatkan takikardi, bising sistolik dan ronki basah basal paru.
 Kondisi rumah pasien berlantai tanah, sumber air minum dari sumur yang berjarak 2 meter dari ‘jumbleng/sumuran terbuka’ (tempat BAB tradisional). Beberapa tetangganya juga mempunyai keluhan yang mirip (diare).
 Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia berat dan eosinofilia. Pemeriksaan mikroskopis tinja didapatkan telur cacing, protozoa dan bakteri.
 Anemia adalah penurunan konsentrasi eritrosit atau hemoglobin dalam darah di bawah normal, terjadi ketika keseimbangan antara kehilangan darah dan produksi terganggu (Anderson, 2002). Anemia dapat diakibatkan oleh berbagai hal, salah satunya infestasi parasit dalam tubuh. 
 Manifestasi parasit juga mengakibatkan eosinofilia. Eosinofil dalam darah naik untuk mengatasi infestasi parasit. Tergantung dari mekanisme pertahanan tubuh apakah mampu mengeliminasi parasit atau tidak mampu mengeliminasi seluruh parasit sehingga mengakibatkan infeksi kronis.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Mekanisme anemia yang ditimbulkan parasit
2. Gejala klinis pada infestasi parasit
3. Tinjauan mengenai diare yang diakibatkan oleh parasit
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui daur hidup parasit
2. Mengetahui gejala dan tanda yang menyertai
3. Mengetahui pengobatan yang tepat pada kasus
II. STUDI PUSTAKA
 Penyakit cacing tambang paling sering disebabkan oleh Necator americanus, Ancylostoma duodenale. Penyakit ini tersebar di daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak disebabkan oleh Necator americanus (Pohan, 1996).
 Cacing tambang ditularkan melalui tanah yang terkontaminasi tinja yang mengandung larva infektif. Telur dihasilkan cacing betina dan keluar melalui tinja. Bila telur tersebut jatuh di tempat yang hangat, lembab dan basah, maka telur berpotensi menetas. Telur cacing yang ditemukan dalam tinja akan menetas menjadi larva rhabditiform dalam 1-2 hari atau setelah 3 minggu. Larva rhabditiform kemudian berubah menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit manusia. Bila larva filariform menembus kulit manusia maka terjadi ground itch pada kulit. Jika larva filariformis kontak dengan kulit, maka ia akan mengadakan penetrasi melalui kulit, kemudian menuju jantung kanan, bermigrasi sampai paru-paru dan kemudian turun ke usus halus (Mansjoer, 2005).
 Gejala klinis yang muncul adalah rasa gatal di kaki, pruritus, dermatitis dan kadang makulopapula sampai vesikel merupakan gejala pertama yang disebabkan invasi larva cacing tambang. Selama larva ini berada di dalam paru-paru dapat menyebabkan gejala batuk darah, yang disebabkan pecahnya kapiler dalam alveoli paru, dan berat ringannya keadaan ini bergantung pada banyaknya jumlah larva cacing yang melakukan penetrasi ke dalam kulit (Pohan, 1996).
 Pada paru-paru larva memasuki alveoli dan dibawa menuju glottis dengan gerakan silia pada traktus respiratorius. Pada migrasi ini larva ini berganti kulit dua kali, membentuk kapsula bukalis dan menjadi bentuk dewasa. Menggunakan kapsula bukalis ini menempelkan dirinya pada kelenjar mukosa duodenum sebelah bawah, jejunum dan bagian proksimal dari ileum. Rasa tak enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus), diare merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi lebih kurang dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit (Pohan, 1996).
 Dapat terjadi kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh dermatitis berat jika pasien sensitif. Anemia berat yang terjadi juga sering menyebabkan gangguan pertumbuhan, perkembangan mental dan payah jantung (Pohan, 1996).
 Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa untuk menimbulkan gejala anemia tersebut tentunya juga bergantung pada kondisi gizi pasien (Pohan, 1996). Necator americanus dan Ancylostoma duodenale dapat menyebabkan anemia mikrositik hipokromik. Tiap cacing N.americanus menyebabkan kehilangan darah 0,005-0,100 ml sehari dan A.duodenale 0,08-0,34 ml sehari. Keadaan ini tidak menyebabkan kematian tetapi dapat menurunkan daya tahan tubuh dan prestasi kerja.
 Enzim proteolitik chatepsin D pada cacing tambang memainkan peranan dalam mendigesti hemoglobin (Loukas, 2002).
 Pada ibu yang masih menyusui bayi dapat terjadi penularan kepada bayi karena cacing tambang dapat menular melalui ASI dan colostrum.
 Pada pemeriksaan mikroskopis, N.americanus dan A.duodenale dapat dibedakan dengan melihat bagian gigi pada cacing.
III. DISKUSI / BAHASAN
 Diare pada kasus skenario dapat diakibatkan infeksi cacing tambang pada daerah usus. Diare merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi kurang lebih dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit (Pohan, 1996).
 Diare sebenarnya juga bisa disebabkan amebiasis, yang merupakan infeksi usus besar oleh E.histolytica. Diare pada amebiasis juga mengakibatkan tinja bercampur darah dan lendir. Namun pada amebiasis terjadi demam, sedangkan pada skenario pasien tidak menderita demam. Schistosomiasis juga dapat menyebabkan diare.
 Disentri juga merupakan salah satu penyebab diare. Disentri atau shigellosis adalah suatu radang akut disebabkan oleh kuman genus Shigella. Secara klinis mengakibatkan diare berlendir disertai darah, perut sakit dan tenesmus .
 Gejala-gejala seperti cepat lelah setelah beraktivitas, sering berkunang-kunang, dada berdebar-debar dan konjungtiva pucat merupakan tanda-tanda anemia. Anemia yang disebabkan oleh cacing tambang disebabkan enzim protease chatepsin D. Enzim proteolitik chatepsin D yang dimiliki oleh cacing tambang dapat digunakan untuk menghancurkan makromolekul kulit. Dengan jalan demikian cacing dapat masuk melalui kulit dan juga migrasi jaringan (Loukas, 2002). Gigi yang terdapat pada cacing tambang digunakan untuk menempel pada tunika mukosa, hal ini mengakibatkan perdarahan. Cacing mendisgesti darah yang keluar dari usus degan kaskade multienzim metalohemoglobinase. Saat cacing menempel pada tunika mukosa dia juga mengeluarkan antikoagulan yang langsung mencegah kerja dari antikoagulan Xa dan faktor jaringan VIIa untuk mencegah koagulasi.
 Apendisitis juga mungkin terjadi pada kasus infeksi oleh cacing tambang. Namun pada skenario tanda nyeri tekan lepas daerah Mc Burney negatif yang menandakan tidak adanya apendisitis. Daerah Mc Burney terletak pada 1/3 lateral garis khayal antara SIAS dan umbilikus.
 Pengobatan diberikan bergantung pada kondisi umum penderita. Pertama keadaan umum penderita harus diperbaiki dengan memberikan cukup protein dan makanan yang baik. Kemudian berikan obat cacing seperti alkopar, tetrakloetilen, pirantel pamoat dan mebendazol. Yang juga harus dilakukan adalah mengatasi anemianya, bisa dengan pemberian sulfas ferosus. Bila terdapat anemia megaloblastik dapat diberikan asam folat. Pada keadaan berat dengan kondisi umum yang buruk dapat diberikan transfusi darah dan preparat besi.
 Mebendazol adalah obat antelmintik yang paling luas spektrumnya. Mebendazol berupa bubuk berwarna putih kekuningan, tidak larut dalam air, tidak bersifat higrokopis sehingga stabil dalam keadaan terbuka dan rasanya enak.
 Mebendazol sangat efektif untuk mengobati infestasi cacing tambang, cacing gelang, cacing kremi, dan T.trichiura, maka berguna untuk infestasi cacing tersebut. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetikolinesterase cacing. Obat ini juga mengahambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing. Cacing akan mati perlahan-lahan dan hasil terapi yang memuaskan baru nampak setelah tiga hari pemberian obat. Obat ini juga menimbulkan sterilitas pada telur cacing T.trichiura, cacing tambang, dan askaris sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva (Ganiswara, 1995).
 Pada kasus ini terlihat pasien mengalami infeksi multipel. Terdapat bakteri, telur cacing dan protozoa. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat bakteri dan protozoa apa yang terdapat pada feses tersebut. Namun pada kasus ini gejala epidemiologi dan gejala klinis mengarah ke infeksi cacing tambang.
IV. KESIMPULAN
1. Pasien mengalami anemia karena infestasi cacing tambang
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk memastika diagnosis
3. Pasien terinfeksi karena rumahnya berlantai tanah, juga profesinya sebagai petani yang sering terpapar dengan tanah
4. Banyak orang di daerah tempat tinggalnya juga terinfeksi cacing tambang
SARAN
1. Perbaikan higiene air minum, jika perlu gunakan PAM
2. Perbaikan lokasi BAB dan sumber air minum
3. Gunakan alas kaki saat bekerja
4. Berikan lantai keramik atau paling tidak alas pada tanah rumah


V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, pp : 92
Ganiswara, Sulistia, 1995. Farmakologi dan Terapi, 4th ed. Jakarta , Gaya Baru, pp : 526-527
Mansjoer, Arif, et al, 2002. Necatoriasis dan Ancylostomiasis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, p : 418
Pohan, Heriman T, 1996. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 3thed. Jakarta, Gaya Baru, pp : 515-516
American Family Physician , 2004. Common Intestinal Parasites. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=3&did=1401800551&SrchMode=1&sid=1&Fmt=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1214835042&clientId=44698 (31 Juni 2008)
Brindley, Loukas, Williamson, 2002. Hookworm cathepsin D aspartic proteases : contributing roles in the host-speciļ¬c degradation of serum proteins and skin macromolecules. http://www.fsm.ac.fj/pws/Resources/1.05-Anemia/Hookworm%20adv%20NEJM.pdf (1 Juli 2008) Selengkapnya...

SEPSIS

I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
 Skenario :
KEJANG DAN TIDAK SADAR
 Seorang laki-laki 45 tahun diantar oleh keluarganya ke UGD RS. Dr. Moewardi Surakarta karena tidak sadar. Satu minggu sebelumnya pasien mengeluh badan tidak enak, panas, berkurang bila minum obat flu. Sebelum dibawa ke Rumah sakit pasien kejang satu kali. Pasien pernah bekerja di Papua selama 3 tahun, bekerja di Pelabuhan.
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 132 X/menit. Frekuensi nafas 32 X/menit, suhu 39,2 C axiller, kesadaran GCS E3 M4 V3. Rongga mulut didapatkan adanya plaque berwarna putih, paru infiltrat di apex paru kanan, jantung dalam batas normal, abdomen dalam batas normal.
 Pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan Hb=13,7 g%, leukositosis 16.800/UL, trombosit 243.000 /uL. Sedimen urin = leukosit 10-15/LPB, eritrosit 0-1/LPB, silinder (-), Widal (-), di bangsal pasien dilakukan pemeriksaan kultur darah dan urin, hasil pemeriksaan mikroskopis darah didapatkan kuman gram negatif coccus. Hasil identifikasi kultur masih menunggu hasil. Setelah pemberian antibiotika selama 3 hari keadaan umum masih panas.
 Dalam lingkungannya, manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi tersebut mampu mengakibatkan infeksi pada tubuh manusia yang mungkin mengakibatkan manifestasi klinis.
 Pada beberapa kasus, sistem imunitas manusia mampu mengatasi agen-agen infeksi ini sehingga tidak diperlukan pengobatan lebih lanjut. Namun pada beberapa kasus, sistem imun tubuh kadang kurang efektif dalam mengeliminir agen-agen infeksi ini, sehingga terjadilah kondisi yang tidak diingankan tubuh yang mungkin mengakibatkan gejala klinis yang nyata.
 Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara klinis mungkin tidak tampak atau timbul cedera seluler lokal akibat kompetisi metabolisme, toksin, replikasi intrasel, respons antigen-antibodi. Infeksi dapat tetap terlokalisasi, subklinis, dan bersifat sementara jika mekanisme pertahanan tubuh efektif. Infeksi lokal dapat menetap dan menyebar menjadi infeksi klinis atau kondisi penyakit yang bersifat akut, subakut, atau kronik. Infeksi lokal yang dapat menjadi sistemik bila mikroorganisme mencapai sistem limfatik atau vaskular (Anderson, 2002). Infeksi juga dapat mengakibatkan inflamasi.
 Inflamasi adalah respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk akutnya ditandai oleh tanda klasik: dolor, kalor, rubor, tumor, fungsiolesa. Secara histologis, menyangkur rangkaian kejadian yang rumit, mencakup dilatasi arteriol, kapiler, dan venula, disertai peningkatan permeabilitas dan aliran darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma; dan migrasi leukositik ke dalam fokus peradangan (Anderson, 2002).
 Jika terjadi infeksi dan tubuh belum berhasil untuk mengeliminir, maka tubuh berusaha untuk melokalisasi infeksi tersebut. Permasalahan akan muncul bila sistem imun tubuh sedang lemah dan mengakibatkan tubuh tidak berhasil melokalisasi infeksi sehingga akan mengakibatkan infeksi sistemik. Akan lebih berbahaya jika infeksi sistemik ini diikuti oleh komoplikasi.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu sepsis?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya sepsis?
3. Gejala klinis yang muncul pada sepsis?
4. Mengapa panas penderita mereda saat diberikan obat flu? 
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui mekanisme sepsis dan infeksi yang mengakibatkan sepsis.
2. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang membantu pada penegakkan diagnosis.
3. Mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada sepsis.
II. STUDI PUSTAKA
 Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan maka disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbullah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik (A. Guntur H, 2007).
 Pada saat tubuh terkena infeksi, reaksi pertama pada infeksi adalah reaksi umum yang melibatkan susunan saraf dan sistem hormon yang menyebabkan perubahan metabolik. Pada saat itu terjadi reaksi jaringan limforetikularis di seluruh tubuh berupa proliferasi sel fagosit dan sel pembuat antibodi (limfosit B).
 Reaksi kedua berupa reaksi lokal yang disebut inflamasi akut. Reaksi ini terus berlangsung selama masih terjadi proses pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas, maka sisa jaringan yang rusak disebut debris akan difagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon (Jong, 1998).
 Kalor atau panas seperti sudah disebutkan di atas, terjadi bersamaan dengan tanda-tanda lain pada reaksi peradangan akut. Sebenarnya panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingan dari 370C yang merupakan suhu inti tubuh. Daerah peradangan di kulit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya karena lebih banyak darah dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena dibandingkan dengan ke daerah yang normal. Fenomena hangat lokal ini tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang terletak jauh di dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti 370C dan hipermia lokal tidak menimbulkan perbedaan(Price, 2002).
 Pengatur suhu berada pada hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis prostaglandin. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik (P. Freddy Wilmana, 1995).
 Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi. Ada perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut, misalnya parasetamol (asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya rendah sekali (P. Freddy wilmana, 1995).
 Sebagai analgesik, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia dan nyeri lain yang berasal dari intergumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Obat mirip aspirin mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Sebagai antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. (P. Freddy wilmana, 1995).
 Infeksi mengakibatkan demam. Misalnya pada perdangan akut parenkim paru atau pneumonia. Pneumonia juga merupakan infeksi nosokomial yang banyak terjadi di rumah sakit. Hampir 60% dari pasien-pasien yang kritis di ICU dapat menderita pneumonia, dan setengah dari pasien-pasien tersebut akan meninggal. Selain karena munculnya organisme yang resisten terhadap antibiotik, bertambahnya jumlah penderita pneumonia juga disebabkan bertambahnya pejamu yang lemah daya tahan tubuhnya dan adanya penyakit seperti AIDS semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan penyebab-penyebab pneumonia. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respons imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Pneumonia Pneumocytis carinii belakangan ini menjadi infeksi berat yang fatal bagi penderita AIDS (Price, 2006).
 AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang sudah berlangsung lama. Saat ini, AIDS dijumpai pada hampir semua negara dan merupakan suatu pandemi di seluruh dunia (Price, 2006).
 Berikut ini adalah patogenesis dari AIDS. Setelah HIV masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritik dalam beberapa hari. Kemudian timbul gejala retroviral seperti flu, disertai viremia hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh timbul respon imun humoral maupun selular. Sindrom ini akan hilang sendiri setela 1-3 minggu. Kadar virus dalam darah yang tinggi dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukkan virus baru dan upaya eliminasi oleh sistem imun. Titik kesimbangan disebut set point dan amat penting karena akan menunjukkan gejala penyakit selanjutnya. Bila tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan lebih cepat (Mansjoer, 2002).
 Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi postif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relatif konstan. CD4 adalah reseptor pada limfosit T¬4 yang menjadi target sel utama HIV. Rata-rata masa dari infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tapi pada 2 tahun terakhir penurunan menjadi cepat, 50-100 per tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai di bawah 200 (Mansjoer, 2002). 
III. DISKUSI / BAHASAN
 Manifestasi klinis seperti terlihat pada skenario mengarah pada inflamasi sitemik. Manifestasi klinis yang demikian disebut sistemic inflammation respons syndrome (SIRS). Sepsis adalah SIRS dengan dugaan infeksi.
 Sistemic Inflammation Respons Syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria berikut : 1. Suhu > 380C atau <> 90 denyut/menit; 3. Respirasi > 20/menit atau PaCO2 <> 12.000/mm3 atau >10% sel imatur.
 Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (yang ditentukan dengan biakan positip terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya dihubungakan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakterimia. Bakteremia adalah keberadaan komponen bakteri dalam cairan darah. Bakteremia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa atau seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskular atau ekstravaskular.
 Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan persentase 60-70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk mengeluarkan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi. Gram positif lainnya jarang yang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20-40% dari keseluruhan kasus.
 Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat mengakibatkan agregasi trombosit.
 Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai sumber bakteremia, hal ini disebut sebagai bakteremia sekunder. Sepsis gram negatif merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi appendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke uretra atau kandung kemih. Selain itu sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran genitourinarum, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram positif biasanya tibul dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga bisa berasal dari luka terbakar, misalnya pada luka bakar.
 Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesisfik, biasanya didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesisfik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah, atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat yang paling sering : paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadinya berat atau tidaknya gejala sepsis. Gejala sepsis itu akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia.
 Sepsis memiliki angka kematian yang tinggi. Banyak laporan yang menunjukan bahwa pada sepsis terjadi gangguan pembekuan, dimana dapat menyebabkan terjadinya komplikasi suatu sindroma Disseminated Intravascular Coagulation ( DIC). Mekanisme yang amat penting dalam patogenesis DIC pada sepsis adalah aktifasi dari jalur pembekuan ekstrinsik pada sistim pembekuan darah, sedangkan jalur instrinsik pada sepsis tidak memainkan peran yang dominan. Dari jalur ekstrinsik tersebut maka banyak laporan yang menunjukan bahwa tissue factor (TF) banyak terlibat didalam kejadian DIC pada sepsis. Hal ini terbukti bahwa inhibisi dari TF oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dapat mencegah terjadinya DIC. Selain tissue factor, faktor VII (F VII) juga merupakan komponen dari jalur ekstrinsik, tetapi perannya pada sepsis masih kurang jelas dan penelitian faktor VII pada sepsis hingga saat ini masih sedikit sekali. Padahal pasien-pasien sepsis yang berkembang menjadi DIC mempunyai angka kematian yang lebih tinggi daripada pasien-pasien sepsis tanpa tanda-tanda DIC. Pada suatu studi prospektif pada pasien-pasien sepsis dan septic-shock dengan neutropenia yang diinduksi kemoterapi, dilaporkan bahwa terjadinya penurunan aktifitas faktor VIIa dan faktor VII Ag yang secara signifikan lebih besar pada pasien-pasien yang menderita septic–shock.
 Salah satu penyulit yang paling memberikan efek yang sangat berbahaya pada sepsis adalah terjadinya kerusakan organ ( organ damage), yang apabila dalam fase lanjut akan melibatkan lebih dari satu organ ( multiple organ failure=MOF). Keadaan MOF ini biasanya berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. Pada masa lalu dianggap bahwa MOF tersebut suatu keadaan yang semata-mata hanya diakibatkan oleh terjadinya penumpukan fibrin pada micro-thrombus yang terbentuk. Dari keadaan inilah dianggap sebagai awal dari proses yang memacu terjadinya Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Namun demikian, para peneliti juga melihat kenyataan yang agak kontradiktif antara DIC dan sepsis. Pada awalnya para peneliti beranggapan bahwa DIC adalah suatu kelainan peradarahan massif yang tidak dapat dihentikan, tetapi pengamatan yang lebih teliti memperlihatkan bahwa pada sepsis yang sering terlihat adalah MOF yang lebih dominan dan bahkan kadang-kadang perdarahan dapat tidak terjadi sama sekali. Kalaupun perdarahan timbul biasanya terjadi pada fase yang sangat lanjut. Hal ini menyebabkan peneliti menyadari bahwa ada satu mekanisme lain akan terjadinya MOF pada sepsis diluar jalur pemacuan pembekuan darah semata. Pada masa akhir-akhir ini telah dicapai kemajuan yang sangat pesat akan pengetahuan mengenai patogenesis dari DIC pada sepsis dan penyulitnya yaitu MOF. Pada keadaan normal terjadi keseimbangan antara faktor procoagulant dan proinflammatory, sedangkan pada sepsis keseimbangan tersebut terganggu. Pada sepsis, kompleks interaksi antara inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis, tidak seimbang sehingga menimbulkan keadaan dimana proinflammatory pada sepsis sering terjadi lebih dominan ataupun sebaliknya. Dan apabila gangguan keseimbangan ini terjadi meluas (disseminated) maka terjadilah syndroma DIC beserta MOF. Peran terjadinya DIC pada sepsis ini telah banyak dibuktikan oleh para peneliti dengan terpacunya sistim pembekuan darah endotoksin maupun eksotoksin melalui mediator tumor necrosis factor (TNF) ataupun interleukin-1 (IL-1). Bukti-bukti memperlihatkan bahwa ternyata jalur instrinsik pembekuan darah pada sepsis tidak memainkan peran yang dominan. Sedangkan banyak bukti kuat yang menunjukan bahwa jalur ekstrinsik yang memegang peran yang kuat. Dari jalur ekstrinsik tersebut maka banyak sekali laporan yang menunjukan bahwa tissue factor banyak terlibat dalam kejadian DIC pada sepsis. Hal ini diperlihatkan oleh turunnya kadar tissue factor pathway inhibitor( TFPI), yang merupakan inhibitor dari tissue factor pada sepsis. Sangat mungkin turunnya TFPI tersebut disebabkan oleh pemakaian yang berlebihan (over-consumption) dari inhibitor tersebut oleh karena dipakai untuk menetralkan tissue factor yang terus menerus dihasilkan oleh proses sepsis. Sangat banyak bukti-bukti keterlibatan tissue factor dan TFPI pada sepsis. Selain tissue factor maka ada juga suatu komponen lain pada jalur ekstrinsik yaitu coagulant factor VII (FVII) tetapi perannya pada sepsis masih kurang jelas.
 Shock sepsis adalah suatu sindroma klinik dimana akhir-akhir ini sangat populer. Kondisi ini umumnya terjadi dirumah sakit sebagai komplikasi serius dari penyakit yang sudah ada pada pasen tersebut. Shock sepsis mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu antara 40-90% (Bone, 1987).
 Penyebab tersering dari shock sepsis ini adalah infeksi gram negatif 30-80%, infeksi gram positif 6-24%, sedangkan penyebab lain adalah virus dan jamur (Glauser, 1991). Infeksi gram negatif biasanya berasal dari infeksi traktus urinarius, traktus biliaris, traktus digestivus, dari paru dan dapat juga dari infeksi kulit, tulang dan sendi tapi kurang sering. Sepsis akibat bakteri gram positif biasanya berasal dari infeksi kulit, traktus respiratorius, dapat juga berasal dari abses metastase. Sepsis karena jamur oportunistik sering terdapat pada pasen yang mendapatkan pengobatan imunosupresan dan pasen pasca operasi (Root, 1991).
 Terjadinya shock sepsis dapat melalui dua cara yaitu aktivasi lintasan humoral dan aktivasi cytokines. Lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada dinding bakteri gram negatif dan endotoksinnya serta komponen dinding sel bakteri gram positif dapat mengaktifkan: 
• Sistim komplemen 
• Membentunk kompleks LPS dan protein yang menempel pada sel monosit 
• Faktor XII (Hageman faktor) 
 Sistim komplemen yang sudah diaktifkan akan merangsang netrofil untuk saling mengikat dan dapat menempel ke endotel vaskuler, akhirnya dilepaskan derivat asam arakhidonat, enzim lisosom superoksida radikal, sehingga memberikan efek vasoaktif lokal pada mikrovaskuler yang mengakibatkan terjadi kebocoran vaskuler. Disamping itu sistim komplemen yang sudah aktif dapat secara langsung menimbulkan meningkatnya efek kemotaksis, superoksida radikal, ensim lisosom. LBP-LPS monosit kompleks dapat mengaktifkan cytokines, kemudian cytokines akan merangsang neutrofil atau sel endotel, sel endotel akan mengaktifkan faktor jaringan PARASIT-INH-1. Sehingga dapat mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah dan DIC. Cytokines dapat secara langsung menimbulkan demam, perobahan-perobahan metabolik dan perubahan hormonal. Faktor XII (Hageman factor) akan diaktivasi oleh peptidoglikan dan asam teikot yang terdapat pada dinding bakteri gram positif. Faktor XII yang sudah aktif akan meningkatkan pemakaian faktor koagulasi sehingga terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC). Faktor XII yang sudah aktif akan merobah prekallikrein menjadi kalikrein, kalikrein merobah kininogen sehingga terjadi pelepasan hipotensive agent yang potensial bradikinin, bradikinin akan menyebabkan vasodiltasi pembuluh darah. Terjadinya kebocoran kapiler, akumulasi netrofil dan perobahan-perobahan metabolik, perobahan hormonal, vasodilatasi, DIC akan menimbulkan sindroma sepsis. Hipotensi respiratory distress syndrome, multiple organ failure akhirnya kematian. Shock sepsis sering didefenisikan terjadi akibat tidak adekuatnya perfusi 
jaringan. Tetapi menurut Bone (1992) sebenarnya shock sepsis lebih cocok terjadi akibat hipotensi sehingga berkurangnya perfusi jaringan, yang akhirnya menyebabkan disfungsi organ (multiple organ failure). Pada keadaan multiple organ failure terjadi koagulasi, respiratory distress syndrome, payah ginjal akut, disfungsi hepatobiller, dan disfungsi susunan saraf pusat.
IV. KESIMPULAN 
1. Infeksi biasanya dilokalisir oleh tubuh, tetapi jika tidak berhasil maka dapat terjadi reaksi infeksi sistemik
2. Penyembuhan infeksi oleh virus dilakukan oleh sistem imunitas tubuh
3. Antipiretik berfungsi untuk menurunkan panas tubuh
4. Infeksi sistemik harus segera diatasi untuk mencegah hal yang lebih buruk

V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, pp : 1095,1097
Ganiswara, Sulistia, 1995. Farmakologi dan Terapi, 4th ed. Jakarta , Gaya Baru, pp : 207-210
Guntur, H, 2007. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam, 4th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 415-417
Jong, Wim de, 1998. Infeksi dan Inflamasi (Umum dan Khusus). Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC, pp : 3-70
Mansjoer, Arif, et al, 2002.Human Immunodeficiency Virus/AIDS. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 573-574
Price, Sylvia A, 2006.Respons Tubuh Terhadap Cedera: Peradangan dan Penyembuhan. Dalam : Patofisiologi, 6th ed vol.1. Jakarta, EGC, pp : 56-77
Price, Sylvia A, 2006.HIV dan AIDS : Patofisiologi, 6th ed vol.2. Jakarta, EGC, pp : 225-228
Buchori, Prihatini, 2006. Diagnosis Sepsis Menggunakan Procalcitonin. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-3-06.pdf (24 juli 2008) Selengkapnya...

HEPATITIS DAN IKTERUS

I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
 
 Ikterus adalah menguningnya skera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah melebihi 2 mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus ikterus masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah melampaui 5 mg%. Ikterus terjadi karena kenaika bilirubin indirek dan atau kadar bilirubin direk.
 Ikterus dapat terjadi karena gangguan pada hepar. Hepar adalah organ yang sangat penting dalam tubuh manusia. Manusia akan meninggal dalam 10 menit jika hepar mereka diambil. Proses metabolisme lipid, protein, karbohidrat juga terjadi pada hepar, juga merupakan tempat penyimpanan besi, lemak, vitamin dan masih banyak lagi fungsi hepar. Karena itu jika terjadi gangguan pada hepar, maka akan sangat mempengaruhi tubuh.
 Skenario :
 Seorang mahasiswa umur 20 tahun mengeluh putih matanya berwarna kuning sejak satu minggu, yang diketahui dari teman kosnya. Pada anamnesis selanjutnya diketahui keluhan ini disertai febris sejak 10 hari, tidak sampai menggigil, nausea dan vomitus.
Kemudian penderita periksa ke dokter, dari hasil pemeriksaan didapatkan:
1. Sklera ikterik
2. Hepatomegali
3. Nyeri tekan regio hipokondria kanan
4. Murphy sign negatif
 Dokter tersebut mencurigai adanya infeksi pada penderita, kemudian menyarankan untuk periksa laboratorium darah.
Hasil pemeriksaannya adalah leukopeni, hiperbiliribinemia, peningkatan enzim hepar, HbsAg negatif, anti HAV positif, darah tebal tipis malaria negatif, serologi untuk salmonella thypi, leptospirosis dan dengue hemorragic fever negatif.
 Diantara teman satu kosnya ada yang menderita keluhan seperti ini, penderita sering makan di warung dekat tempat kosnya.

ii. RUMUSAN MASALAH
1. Pemeriksaan anti HAV positif
2. Hasil pemeriksaan laboratorium darah
3. Hasil pemeriksaan fisis

iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui fisiologi hepar
2. Mengetahui kelainan yang mengakibatkan ikterus dan diagnosis bandingnya

II. STUDI PUSTAKA
 
 Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia berisi 50.000-100.000 lobulus. Lobulus hati terbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika dan kemudian ke vena cava. Lobulus sendiri dibentuk terutama dari banyak sel hepar yang memancar secara sentrifugal dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli biliaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan (Guyton, 1997).
 Hepar merupakan organ yang sangat penting, yang memiliki fungsi yang sangat kompleks. Fungsi hepatosit dan parenkim hati adalah untuk mengkonjugasikan bilirubin dan mengekskresikannya ke dalam saluran empedu. Hepar juga merupakan pusat metabolik bagi karbohidrat, lipid dan protein. Hepar mendetoksikasi produk metabolit serta obat dan toksik sebelum diekskresikan ke urine. Hepar mengekskresikan banyak zat alamiah dan benda asing ke dalam saluran billier. Hepar menyimpan berbagai senyawa termasuk besi, vitamin B12 dan vitamin A. Sel kupfer mengambil bagian dalam semua aktifitas sistem retikuloendoteal (Guyton, 1997).
 Saluran empedu terdiri dari suatu sistem cairan yang beredar melalui hati terpisah dari darah. Empedu, produk sekretorik langsung hati, disekresikan oleh hepatosit ke dalam tubulus-tubulus halus, yang disebut kanalikulus biliaris, yang terletak di antara sel-sel. Kanalikulus biliaris yang terbentuk di antara pasangan hepatosit menyatu menjadi dukutulus. Duktulus-duktulus empedu menyatu membentuk saluran empedu intrahepatik yang semakin besar, yang akhirnya membentuk duktus ekstrahepatik yang mengalirkan empedu dari hati ke kandung empedu. Kandung empedu menyimpan empedu dan mengeluarkannya ke dalam duodenum sesuai kebutuhan proses pencernaan (McPherson, 2004).
 Pigmen bilirubun juga diekskresi ke dalam empedu dan kemudian dikeluarkan ke dalam feses. Bilirubin berwarna kuning kehijauan. Bilirubin merupakan hasil akhir pemecahan hemoglobin yang penting. Bilirubin merupakan indikator yang digunakan untuk kelainan darah hemolitik dan penyakit hati (Guyton, 1997).
 Eritrosit yang sudah tua menjadi rapuh sehingga pecah, dan hemoglobin yang ada lepas difagositosis oleh makrofag (disebut juga sistem retikuloendotelial) di seluruh tubuh. Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Cincin heme dibuka untuk membentuk besi bebas yang kemudian dibawa transferin dan rantai lurus dari empat pirol yang kemudian akan dibentuk menjadi pigmen empedu. Pigmen empedu yang terbentuk adalah biliverdin, tetapi ini dengan cepat direduksi menjadi bilirubin bebas, yang secara bertahap dilepaskan ke dalam plasma. Bilirubin bebas merupakan zat yang sangat toksik bagi otak. Bilirubin bebas berikatan kuat dengan albumin dan mengalir bersama darah dan cairan interstisial. Pengikatan dengan albumin merupakan upaya tubuh untuk menyingkirkan bilirubin bebas dari tubuh dengan segera (Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1997). Dalam beberapa jam, bilirubin bebas diabsorbsi melalui membran sel hati. Sewaktu memasuki sel hati, bilirubin dilepaskan dari albumin plasma dan segera berkonjugasi dengan asam glukuronat membentuk bilirubin glukuronida (Guyton, 1997).
  Dalam usus, stengah dari bilirubin terkonjugasi diubah oleh kerja bakteri menjadi urobilinogen, yang mudah larut. Beberapa urobilinogen direabsorbsi melalui mukosa usus kembali ke dalam darah. Sebagian besar diekskresikan kembali oleh hati ke dalam usus, dan kira-kira 5% diekskresikan oleh ginjal melalui urin. Setelah terpapar dengan udara dalam urin, urobilinogen teroksidasi menjadi urobilin, atau dalam feses urobilinogen diubah dan dioksidasi menjadi sterkobilin (Guyton ,1997).
 Ada empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus:
1. Pembentukkan bilirubin yang berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanis.
 Hiperbilirubinemia bebas terutama disebabkan oleh tiga mekanisme pertama, sedangkan mekanisme keempat terutama menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi (Price, 2005).

III. DISKUSI / BAHASAN
 
 Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi yang penyebarannya luas, walaupun efek utamanya pada hati. Ada tujuh kategori virus yang menjadi agen penyebab
1. Virus Hepatitis A (HAV)
2. Virus Hepatitis B (HBV)
3. Virus Hepatitis C (HCV)
4. Virus Hepatitis D (HDV)
5. Virus Hepatitis E (HEV)
6. Hepatitis F (HFV)
7. Hepatitis G (HGV)
 Walaupun virus-virus ini dapat dibedakan menurut penanda antigennya namun menunjukkan gejala yang serupa secara klinis. Bentuk hepatitis yang paling dikenal adalah Hepatitis A dan Hepatitis B.
 Virus hepatitis A merupakan virus RNA kecil berdiameter 27 nm, famili : pikornaviridae, genus hepatovirus. HAV stabil dalam asam, sehingga tahan di lambung, stabil dalam panas 600 C. HAV bereplikasi masuk dalam daur lisis yang dapat dideteksi di dalam feses pada akhir masa inkubasi dan fase pra ikterik. Sewaktu timbul ikterik, antibodi terhadap HAV telah dapat diukur dalam serum. Awalnya kadar antibodi dalam IgM anti HAV meningkat tajam, sehingga memudahkan untuk mendiagnosis secara tepat adanya infeksi HAV. Setelah masa akut, antibodi IgG anti HAV menjadi dominan dan bertahan seterusnya hingga keadaan ini menunjukkan bahwa penderita pernah mengalami infeksi HAV. Keadaan karier tidak pernah ditemukan.
 HAV terutama ditularkan secara peroral dengan menelan makanan yang terkontaminasi HAV. Masa inkubasi rata-rata adalah 30 hari. Masa penularan tertinggi adalah pada minggu kedua segera sebelum timbulnya ikterus. Pencegahan dapat diberikan dengan pemberian vaksin HAV.
Klasifikasi stadium : hepatitis A dibagi jd 4 stadium 
 Masa inkubasi (18-50 hari)
 Masa pra ikterik (4hari-1 minggu), gejala : lesu, nafsu makan turun, mual, muntah, nyeri perut kanan atas, demam, kedinginan, sakit kepala, flu, nasal discharge, sakit tenggorok, batuk, hepatomegali ringan, splenomegali.
 Masa ikterik, gejala : urine kuning tua, feses berwarna abu-abu, sklera dan kulit kuning, anoreksia, lesu, mual , muntah bertambah berat.
 Masa penyembuhan : ikterik hilang, feses normal dlm 4 minggu setelah onset.
Penatalaksanaan : 
1. Jika pasien mengalami dehidrasi berat maka dirawat inap
2. Tak ada terapi medicamentosa, karena pasien bisa sembuh sendiri
3. Pemeriksaan bilirubin pada minggu kedua dan tiga
4. Pembatasan aktivitas fisik
5. Diet mengandung zat hepatotoksin
 Umumnya hepatitis tipe A, B dan C mempunyai perjalanan klinis yang sama. Hepatitis tipe B dan C cenderung lebih parah perjalanannya dan sering dihubungkan dengan sindrom yang mirip serum sickness. Virus Hepatitis B (HBV) merupakan virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm yang memiliki lapisan permukaan dan bagian inti. Penanda serologis yang khas yaitu terdapat antigen permukaan HbsAg, cincin DNA sirkular tidak lengkap HBcAg dan antigen e HbeAg. Penanda serologis pertama yang dipakai untuk identifikasi HBV adalah antigen permukaan yang positif kira-kira 2 minggu sebelum timbulnya gejala klinis, dan biasanya menghilang pada masa konvalesen dini tetapi dapat pula bertahan selama 4 sampai 6 bulan. Pada sekitar 1% sampai 5% penderita hepatitis kronis, HBsAg menetap selama lebih dari 6 bulan, dan penderita ini disebut karier HBV. Adanya HBsAg menunjukkan bahwa penderita dapat menularkan HBV ke orang lain dan menginfeksi mereka.
 Penanda yang muncul berikutnya adalah antibodi terhadap inti (anti-HBC). HBcAg itu sendiri tidak terdeteksi secara rutin dalam serum penderita infeksi HBV karena terletak di dalam HBsAg. Anti-HBc dapat segera terdeteksi segera setelah timbul gejala klinis hepatitis dan menetap untuk seterusnya. Titer antibodi ini mengindikasikan jumlah dan lamanya pertumbuhan virus. Antibodi ini merupakan penanda paling jelas didapat dari infeksi HBV. Antibodi anti-HBc selanjutnya dapat dipilah lagi menjadi fragmen IgM dan IgG. IgM anti HBc terlihat pada awal infeksi dan bertahan lebih dari 6 bulan. Antibodi ini merupakan penanda yang dapat dipercaya untuk mendeteksi infeksi baru atau infeksi yang telah lewat. Adanya predominansi antibodi IgG anti HBc menunjukkan kesembuhan atau infeksi HBV kronis.
 Antibodi yang muncul berikutnya adalah antibodi terhadap antigen permukaan (anti HBs). Anti HBs timbul setelah infeksi membaik dan berguna untuk kekebalan jangka panjang. Setelah vaksinasi, kekebalan dinilai dengan mengukur titer anti HBs.
 Antigen e, merupakan bagian HBV yang larut dan timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg dan menghilang beberapa minggu sebelum HBsAg menghilang. HBeAg selalu ditemukan pada semua infeksi akut. Antibodi terhadap HBsAg mengakibatkan hilangnya virus-virus yang bereplikasi dan menurunnya daya tular.
 Hepatitis B mampu berjalan ke arah kronisitas. Hepatitis kronik ialah suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi, ditandai dengan berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati yang berlangsung terus menerus tanpa penyembuhan dalam waktu paling sedikit 6 bulan.
 Sirosis hati merupakan stadium akhir hepatitis kronik dan ireversibel yang ditandai oleh fibrosis yang luas dan menyeluruh pada jaringan hati disertai dengan pembentukkan nodulus sehingga gambaran arsitektur jaringan hati yang normal menjadi sukar dikenali lagi.
 Hepatitis B kronik tidak selamanya harus didahului oleh serangan hepatitis B akut. Pada beberapa keadaan, hepatitis akut langsung diikuti oleh perjalanan ke arah kronisitas. Pada kasus lain, walaupun tamapknya seperti penyakit akut, ternyata terjadi hepatitis kronik.
 Virus hepatitis B bersifat tidak sitopatik, kerusakan hepatosit terjadi akibat lisis hepatosit melalui mekanisme imunologis. Kesembuhan dari infeksi virus hepatitis B bergantung pada integritas sistem imunologis seseorang. Infeksi kronis dapat terjadi jika terdapat gangguan respons imunologis terhadap infeksi virus. Selama infeksi akut, terjadi infiltrasi sel-sel radang antara lain sel NK dan sel T sitotoksik. Antigen virus, terutama HBcAg dan HBeAg, yang diekspresikan pada permukaan hepatosit bersama-sama dengan glikoprotein HLA class I, mengakibatkan hepatosit yang terinfeksi menjadi target untuk lisis oleh limfosit T. Ekspresi ini diperkuat oleh peningkatan aktivitas interferon endogen yang diproduksi selama fase awal infeksi virus. Interferon juga akan mengaktifkan enzim selular termasuk 2-5 oligoadenilat sintetase, endonuklease dan protein kinase. Enzim-enzim tersebut akan menghambat sintesis protein virus dengan cara degradasi mRNA atau menghambat proses translasi. Perubahan-perubahan akibat interferon ini akan menimbulkan suatu status antiviral pada hepatosit yang tidak terinfeksi, dan mencegah reinfeksi selama proses lisis hepatosit yang terinfeksi.
 HBV yang berlanjut menjadi kronik menunjukkan bahwa respons imunologis selular terhadap infeksi virus tidak baik. Jika respons imunologis buruk, lisis hepatosit yang terinfeksi tidak akan terjadi, atau berlangsung ringan saja. Virus terus berproliferasi sedangkan faal hati tetap normal. Di sini ditemukan kadar HBsAg dalam jumlah besar tanpa adanya nekrosis hepatosit.
 Pasien dengan respons imunologis yang lebih baik menunjukkan nekrosis hepatosit yang terus berlangsung, tetapi respons ini tidak cukup efektif untuk eliminasi virus dan terjadi hepatitis kronik.
 Kegagaln lisis hepatosit yang terinfeksi virus oleh limfosit T dapat terjadi oleh beberapa mekanisme:
• Fungsi sel T suppresor yang meningkat
• Gangguan fungsi sel T sitotoksik
• Adanya antibodi yang menghambat pada permukaan hepatosit
• Kegagalan pengenalan ekspresi antigen virus atau HLA class I pada permukaan hepatosit. Kapasitas produksi atau respons terhadap interferon endogen yang kurang akan menyebabkan gangguan ekspresi glikoprotein HLA class I, sehingga tidak dikenali oleh limfosit T.
 Pada dasarnya perjalanan infeksi virus hepatitis B terdiri dari tiga fase. Fase pertama ialah fase immune tolerance yaitu fase replikasi virus yang tinggi tanpa menimbulkan kerusakan jaringan hati, ditandai dengan kadar transaminase normal, kadar HBeAg dan DNA HBV serum yang tinggi dengan kelainan histologis hati minimal sedang pada pemeriksaan jaringan hati sevara histokimiawi ditemukan adanya HBsAg dan HBcAg.
 Fase kedua adalah fase replikasi rendah. Secara klinis ditemukan berupa hepatitis kronik eksaserbasi akut yang terjadi secara spontan, ditandai dengan kadar transaminase yang meninggi, gambaran histologis hati menunjukkan penyakit hati kronik aktif. Kadar DNA HBV serum rendah dan terjadi serokonversi HBeAg menjadi anti Hbe. Fase ini menggambarkan usaha inang yang persisten untuk mencoba mengeliminasi virus dari dalam tubuh, karena itu disebut fase immune clearance.
 Fase ketiga adalah fase normoviremia atau fase nonreplikasi. Pada keadaan ini di dalam serum ditemukan anti Hbe tanpa adanya DNA HBV. Gambaran histologis hati sudah tidak menampakkan peradangan aktif dan DNA HBV ditemukan dalam bentuk terintegrasi di dalam genom hepatosit. Fase ini disebut fase residual integration.
 Pada carrier hepatitis B, terjadi kemungkinan untuk menderita hepatitis fulminan. Jenis hepatitis ini jarang terjadi, namun biasanya mematikan dalam 10 hari. Dapat berkembang sangat cepat sehingga ikterus terlihat tidak mencolok dan penyakit dapat dikacaukan dengan psikosis akut atau suatu meningoensefalitis. Kemudian setelah mengalami serangan yang sangat akut, pasien akan menjadi sangat kuning. Gejala-gejala yang membahayakan adalah muntah yang berulang, fetor hepatik, kebingungan dan rasa mengantuk. Flapping tremor mungkin hanya sepintas saja, tetapi biasanya timbul kekakuan, kemudian secara cepat timbul koma dan pasien mengalami kegagalan hati akut, temperatur meningkat, ikterus bertambah dan hati mengecil, dapat timbul perdarahan yang luas.
 Terjadi leukositosis, terjadi kebalikan dari hepatitis viral yang biasanya mengakibatkan leukopeni. Bilirubin dan transaminase serum meningkat dan mengindikasikan kegagalan hati akut dan memperburuk prognosis. Transaminase akan menurun jika keadaan penderita memburuk. Koagulasi darah akan sangat terganggu dan protrombin dapat digunakan sebagai indikator untuk prognosis.

IV. KESIMPULAN

1. Pasien mengalami hepatitis A karena serum anti-HVA positif
2. Ikterus pada hepatitis diakibatkan gangguan hepar
3. Hepatitis B lebih berbahaya dibanding hepatitis A

V. DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, p : 921
Guyton, Hall, 1997. Hati Sebagai Suatu Organ. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta, EGC , pp : 1103-1108
Soeparman, Waspadji S, 1990. Ilmu Penyakit Hati, Pankreas, Kandung Empedu dan Peritoneum. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam, 1st ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 251-271
Price, Sylvia A, 2006. Gangguan Sistem Gastointestinal . Dalam : Patofisiologi, 6th ed. Jakarta, EGC, pp : 472-510
Sacher, McPherson, 2004. Kimia Klinis. Dalam : Tianjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta, EGC, pp : 363-366
Mansjoer, Arif, et al, 2002. Hepatologi. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 508-516 Selengkapnya...

KARSINOMA NASOPHARYNX

KARSINOMA NASOPHARYNX
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
 Skenario
 Seorang penderita laki-laki umur 40 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan benjolan di leher kanan. Benjolan di leher kanan mula-mula sebesar kacang, makin lama makin membesar. Benjolan dirasakan muncul sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan sekarang sebesar telur itik. Penderita juga mengeluh sering keluar darah dari lubang hidung, hidung dirasakan makin tersumbat, telinga kanan terasa penuh, pandangan mulai kabur, kepala pusing.
 Hasil pemeriksaan dokter Puskesmas, tekanan darah 130/80 mmHg, benjolan keras sukar digerakkan, tidak nyeri tekan. Tidak didapatkan kelainan sistemik yang berarti. Selanjutnya dokter Puskesmas merujuk ke rumah sakit.
 Pembelahan sel bertujuan untuk pertumbuhan atau mengganti sel-sel yang rusak. Pembelahan ini diatur oleh mediato kimia tubuh. Jika terjadi kelainan pada beberapa sel akibat zat-zat yang karsinogenik, sel tersebut dapat menjadi tidak peka terhadap mediator tersebut dan membelah tanpa terkendali.
 Jika sel-sel neoplasma tersebut tumbuh pada nasofaring, dapat timbul gangguan pada organ dan menyebar ke organ-organ di dekatnya atau organ yang jauh. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak ditemukan di Indonesia. 
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Struktur normal nasofaring
2. EBV dalam kaitannya dengan karsinoma nasofaring
3. Kelainan yang diderita pasien pada skenario
4. Hubungan gejala dengan karsinoma nasofaring
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mampu menjelaskan struktur normal nasofaring
2. Mengetahui seluk beluk karsinoma nasofaring
II. STUDI PUSTAKA
• STRUKTUR NASOPHARYNX
 ANATOMI
 Nasopharynx disebut juga epifaring, merupakan bagian dari pharynx yang terletak paling kranial, tepatnya di belakang cavum nasi, berperan dalam respirasi. Dihubungkan dengan orofaring dibatasi isthmus pharyngeus, dibatasi oleh palatum molle, arcus palatopharyngeus, dan dinding dorsal faring. Berhubungan dengan cavum nasi melalui choanae.
 Fornix pharyngis melekat pada fascies inferior corpus ossis sphenoidalis dan pars basiaris ossis occipitalis. Pada dinding posterior nasopharnyx, terdapat massa limfoid yang disebut tonsilla pharyngealis. Di sebelah lateral terdapat OPTAE (Ostium Pharyngeum Auditiva Eustachii), yang merupaka muara dari tuba auditiva eustachius yang menghubungkan cavun tympani dengan nasopharynx. Dalam keadaan normal tertutup, tetapi jika diperlukan untuk menyamakan tekanan cavum tympani dan udara luar dapat dibuka oleh musuculus tensor velli palatini.
 Aliran limfe dari nasofaring bersama dengan aliran limfe dari palatum molle dan tonsil akan bermuara ke lymfonodi retropharyngeal terus ke nodi lymphatici cervicales laterales profundi superiores yang berada di regio colli.
 Di dekat nasopharynx terdapat jalur-jalur dari beberapa syaraf cranial, sehingga pembesaran abnormal dari nasopharynx dapat menganggu fungsi dari nervus-nervus tersebut (Budianto, 2005).
HISTOLOGI
 Epitel yang melapisi permukaan nasopharynx serupa dengan epitel yang melapisi traktus respiratorius yaitu epitel pseudocomplex columnair dengan silia dan sel goblet. Sedangkan epitel pada bagian pharynx yang lain adalah epitel squamous complex. Sehingga terdapat daerah taut squamo-columnair pada daerah nasopharynx. Daerah taut ini sering mengalami displasia epitel (Junqueira, 2003).
• EPSTEIN BARR VIRUS
 Virus famili Herpesviridae, genus Lymphocryptovirus, disebut juga human herpesvirus 4(Newman, 2006). Dari sudut imunologi, EBV membawa antigen: (1) Antigen inti (EBV nuclear agent atau EBNA); (2) Antigen awal R (Early Antigen atau EA-R); (3) Antigen awal D (EA-D); (4) Antigen kapsid (Viral capsid antigen atau VCA); dan (5) antigen limfositik (Lymphocyte-determined membrane antigen atau LYMDA). Antigen-antigen ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan serologis.
 Virus ini mampu menyerans manusia dan monyet, hospes seluruhnya sel limfosit B, sel epitel oropharynx dan nasopharynx. Penularan dapat terjadi melalui ciuman, sehingga sering disebut kissing disease. Dalam epitel, virus menghasilkan antigen: EA, VCA, dan MA. Infeksi pada sel limfosit menghasilkan imortalisasi sel dan mengubahnya menjadi sel limfoblas yang mengekspresikan antigen EBNA dan LYMDA. Sebagian kecil infeksi ditularkan melalui transfusi darah.
 Pada anak, infeksi sering asimtomatik. Walaupun asimtomatik, kira-kira 90% penderita secara intermiten mengeluarkan virus dalam salivanya dalam jangka waktu yang sangat lama. EBV sering tidak dapat menyebabkan terbentuknya karsinoma nasofaring, tetapi EBV sendiri tidak dapat menyebabkan karsinoma nasopharynx, dibutuhkan kofaktor lainnya seperti zat karsinogenik kimia yang berperan dalam karsinogenesis (Staf Pengajar FK UI, 1994)
III. DISKUSI / BAHASAN
 Pada skenario ditemukan pasien menderita benjolan di leher kanan. Penulis akan membahas beberapa differensial diagnosa pada kasus ini. Benjolan dapat disebabkan oleh Higroma colli. Anyaman pembuluh limfe yang pertama kali terbentuk di sekitar pembuluh vena mengalami dilatasi dan bergabung membentuk jala yang di daerah tertentu akan berkembang menjadi sakus limfatikus. Pada embrio usia dua bulan, pembentukkan sakus primitif telah sempurna. Bila hubungan saluran ke arah sentral tidak terbentuk maka timbullah cairan yang akhirnya membentuk kista berisi cairan. Namun karena pasien berusia 40 tahun dan benjolan baru muncul 3 bulan yang lalum, maka pasien bukan menderita higroma colli (Jong, 1997).
 Kemungkinan limpoma baik hodgkin maupun non-hodgkin dapat disingkirkan, karena walaupun tidak menimbulkan rasa nyeri, namun limpoma ini mengakibatkan rasa gatal (Newman, 2006). Sedangkan penyakit-penyakit radang seperti limfadenitis ataupun parotitis menyebabkan rasa nyeri sehingga tidak mungkin. Kemungkinan disebabkan oleh struma tiroid juga dapat dibuang karena letak tumor pada sebelah kanan leher.
 Kemungkinan besar pasien menderita karsinoma nasopharynx pada tahap lanjut karena terdapat manifestasi klinis yang sesuai antara karsinoma nasopharynx dengan kelainan yang diderita oleh pria tersebut.
 Gejala karsinoma nasopharynx dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasopharynx, telinga, mata dan syaraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Gangguan pada telinga karena tempat asal terletak dekat muara tuba Eustachius. Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga. Karena karsinoma nasopharynx berhubungan dan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III,IV,VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang menimbulkan gejala diplopia.
 Pada kasus kali ini metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong penderita untuk berobat, karena memang sebelumnya tidak ada keluhan lain.
 Diagnosa dapat ditegakkan melalui pemeriksaan CT-scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer tersembunyipun tidak akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B juga dapat digunakan untuk diagnosis karsinoma nasopharynx. Diagnosis pasti ditegakkan dengan biopsi nasopharynx.
 Untuk penatalaksanaan, radioterapi merupakan pengobatan utama, dilakukan 5-6 hari dalam seminggu. Karsinoma nasopharynx sangat peka terhadap pancaran radioaktif sehingga pengaobatan dengan radioterapi sangat efektif kecuali pada karsinoma dengan kornifikasi. Pengobatan tambahan yang dapat diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. Pembedahan diseksi leher lokal dilakukan terhadap benjolan pada leher kanan. 
IV. KESIMPULAN
1. Pasien kemungkinan besar menderita karsinoma nasopharynx.
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk penegakkan diagnosis.
3. Jika terbukti karsinoma maka diberikan pengobatan radioterapi.
4. Pasien mungkin memiliki prognosis baik karena belum ditemukan kelainan sistemik
V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang, 2005. Nasopharynx : I. Pharynx. Dalam : Guidance to Anatomy III. Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, pp : 58-60
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, p : 637
Mansjoer, Arif, et al, 2002. Bedah Tumor. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 370-377
Roezin, Averdi. 1997. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok 3th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 149-153
Widjoseno, Gardjito. 1998. Kepala dan Leher. Dalam : Jong, Wim de, Sjamsuidajat. R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC, pp : 501-503 Selengkapnya...

KARSINOMA SERVIKS UTERI

KARSINOMA SERVIKS UTERI
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
 Skenario :
Seorang penderita perempuan umur 40 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan perdarahan melalui jalan lahir. Perdarahan terjadi di luar siklus menstruasi dimulai sejak empat bulan yang lalu, keputihan berbau sejak satu tahun yang lalu.
 Hasil pemeriksaan dokter Puskesmas tidak didapatkan kelainan sistemik berarti. Dari anamnesis didapatkan paritas ibu P5A0, menikah usia 17 tahun, mengeluh perdarahan setelah hubungan seksual. Selanjutnya dokter Puskesmas merujuk RS bagian Onkologi Obgyn.
 Perdarahan melalui jalan lahir dapat disebabkan oleh berbagai sebab. Bisa disebabkan oleh disfungsional bleeding, hiperplasia endometrium, abortus, molahidatidosa, kelainan organik (tumor, kanker), sistemik (kekurangan faktor pembekuan darah), dll. Jika terjadi perdarahan paskamenopause perlu dianggap sebagai keganasan sampai dibuktikan bukan.
 Kanker serviks merupakan karsinoma ginekologi yang terbanyak diderita. Karsinoma seviks uteri timbul di squamocolumnair junction serviks. Faktor risiko yang berhubungan dengan karsinoma serviks adalah perilaku seksual berupa mitra seks multipel, paritas, nutrisi, rokok, dll. Karsinoma serviks dapat tumbuh eksofitik, emdofitik maupun ulseratif (Mansjoer, 2001). Kanker rahim biasanya terjadi setelah masa menopause, paling sering menyerang wanita berusia 50-60 tahun. Tetapi kanker leher rahim dapat juga menyerang wanita yang berumur antara 20 sampai 30 tahun. Untuk pasien yang lebih tua, mereka lebih berpeluang meninggal akibat penyakit ini, dikarenakan penyakit mereka stadium nya lebih tinggi.
 Di negara-negara maju, kematian akibat kanker serviks uteri telah menurun hingga 50% sejak tahun 1950, ini adalah hasil dari pemeriksaan dan pengobatan dini (manual of oncology hal 12). Karena itu pemeriksaan dini pada squamocolumnair junction dibutuhkan untuk screening. 70% perempuan dengan kanker servikal invasif yang baru didiagnosis, tidak melakukan pap smear selama 5 tahun terakhir (Price, 2005).
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Kanker serviks merupakan karsinoma ginekologi terbanyak di Indonesia
2. Dapat dicegah dengan pemeriksaan dini
3. Tidak menimbulkan gejala pada stadium akhir
4. Menimbulkan gejala pada stadium akhir sehingga mengakibatkan pasien datang terlambat
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui faktor-faktor risiko kanker serviks
2. Mengetahui pemeriksaan dini untuk kanker serviks
3. Mengetahui siklus perdarahan fisiologis pada wanita
II. STUDI PUSTAKA
 Organ-organ utama dari traktus reproduksi wanita adalah ovarium, tuba fallopi, uterus, dan vagina(Guyton, 1997). Alat kelamin wanita dibentuk dari tiga struktur ialah mesonefros atau korpus Wolff, duktus Miller dan sinus urogenitalis yang berasal dari kloaka bagian ventral. Kedua korpus Wolff membentuk ovarium sedangkan bagian kranial kedua duktus Miller bergabung menjadi satu membentuk uterus, serviks dan bagian kranial vagina. Uterus terdiri dari tiga lapisan yaitu parametrium, miometrium dan endometrium. Endometrium terbagi lagi menjadi statum basale dan fungsionale, stratum fungsionale terbagi lagi menjadi dua yaitu stratum kompaktum dan stratum spongiosum. Sinus urogenitalis membentuk bagian kaudal vagina dan epitel skuamus seluruh vagina dan serviks luar (Jong, 1997).
 Sistem hormon wanita terdiri dari tiga hirarki hormon yaitu:
1. Hormon hipotalamus, GnRH
2. Hormon hipofisis anterior, FSH, LH
3. Hormon-hormon ovarium, estrogen dan progesteron
(Guyton, 1997)
 Perubahan hormonal siklik mengawali dan mengatur fungsi ovarium dan perubahan endometrium. Siklus menstruasi yang berlangsung secara teratur setiap bulan, bergantung kepada serangkaian lagkah-langkah siklik yang terkoordinasi dengan baik, yang melibatkan sekresi hormon pada berbagai tingkat dalam sistem terintegrasi. Pusat pengendalian hormon dari sistem reproduksi adalah hipotalamus. Dua hormon hipotalamus GnRH, yaitu FSHRH dan LHRH. Keuda hormon itu masing-masing merangsang hipofisis anterior untuk menyekresi FSH dan LH. Rangkaian peristiwa akan diawali oleh sekresi FSH dan LH yang menyebabkan produksi estrogen dan progesteron dari ovarium dengan akibat perubahan fisiologik pada uterus (Price, 2002).
 Panjang siklus menstruasi adalah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dengan mulainya haid berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Karena jam mulainya haid tidak diperhitungkan dan tepatnya waktu keluar haid dari ostium uteri eksternum tidak dapat diketahui, maka panjang siklus mengandung kesalahan ±1 hari (Wiknjosastro, 1997). Umumnya jarak siklus menstruasi berkisar dari 15 sampai 45 hari, dengan rata-rata 28 hari. Lamanya berbeda-beda antara 2-8 hari, dengan rata-rata 4-6 hari. Jika siklusnya kurang dari 18 hari atau lebih dari 42 hari dan tidak teratur, biasanya siklusnya tidak berovulasi atau anovulatoar (Wiknjosastro, 1997). Darah menstruasi biasanya tidak membeku karena fibrinolisin. Jumlah kehilangan darah tiap siklus berkisar dari 60-80 ml (Price, 2005). Pada wanita yang lebih tua biasanya darah yang keluar lebih banyak. Pada wanita dengan anemia defisiensi besi jumlah darah haidnya juga lebih banyak. Jumlah darah lebih dari 80 ml dianggap patologik (Wiknjosastro, 1997).
 Usia gadis remaja pertama menarche bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Usia menarche dipengaruhi keturunan, keadaan gizi dan kesehatan umum. Menarche terjadi di tengah-tengah masa pubertas, yaitu masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Sesudah masa pubertas, wanita memasuki masa reproduksi, yaitu masa dimana ia dapat memperoleh keturunan. Masa reproduksi ini berlangsung 30-40 tahun dan berakhir pada masa menopause (Wiknjosastro, 1997).
 Siklus menstruasi normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase pada siklus ovarium. Fase folikular dan fase luteal. Pada fase folikular, FSH merangsang pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium. Umumnya hanya satu yang berkembang menjadi folikel de Graaf dan yang lainnya berdegenerasi. Folikel terdiri dari sebuah ovum dan dua lapisan sel yang mengeilinginya. Lapisan dalam, yaitu sel-sel granulosa menyintesis progesteron yang disekresi ke dalam cairan folikular selama paruh pertama siklus mentruasi, dan bekerja sebagai prekursor pada sintesis estrogen oleh lapisan sel teka interna yang mengelilinginya. Estrogen disintesis dalam sel-sel lutein pada teka interna. Di dalam folikel, oosit primer mulai menjalani proses pematangannya. Pada waktu yang sama, folikel yang sedang berkembang menyekresi estrogen lebih banyak ke dalam sistem ini. Kada estrogen yang meningkat menyebabkan pelepasa LHRH melalui umpan balik positif (Price, 2005).
 Pada fase luteal, LH merangsang ovulasi dari oosit yang matang. Sebenarya pada kadar yang rendah kenaikan estrogen akan menaikkan kadar FSH. Tetapi kadar estrogen yang tinggi kini menghambat produksi FSH. Kemudian kadar estrogen mulai menurun. Setelah oosit terlepas dari folikel de Graaf, lapisan granulosa menjadi banyak mengangdung pembuluh darah dan sangat terluteinisasi, berubah menjadi korpus luteum yang berwarna kuning pada ovarium. Korpus luteum terus menyekresi sejumlah kecil estrogen dan progesteron yang makin lama makin meningkat (Price, 2005).
 Pada siklus endometrium dibagi menjadi tiga yaitu fase proliferasi, fase sekresi dan fase menstruasi. Pada fase proliferasi, segera setelah menstruasi, endometrium dalam keadaan tipis dan dalam stadium istirahat. Stadium ini berlangsung kira-kira 5 hari. Kadar estrogen yang meningkat dari folikel yang berkembang akan merangsang stroma endometrium untuk mulai tumbuh dan menebal, kelenjar-kelenjar menjadi hipertrofi dan berproliferasi, dan pembuluh darah menjadi banyak sekali. Kelenjar-kelenjar dan stroma berkembang sama cepatnya. Kelenjar makin bertambah panjang tetapi tetap lurus dan berbentuk tubulus. Epitel kelenjar berbentuk toraks dengan sitoplasma eosinofilik yang seragam inti di tengah. Stroma cukup padat pada lapisan basal tetapi makin ke permukaan semakin longgar. Pembuluh darah akan mulai berbentuk spiral dan lebih kecil. Fase ini berakhir pada saat terjadi ovulasi (Price, 2005).
 Pada fase sekresi, setelah ovulasi terjadi, di bawah pengaruh progesteron yang meningkat dan terus diproduksinya estrogen oleh korpus luteum, endometrium menebal dan menjadi seperti beludru. Kelenjar menjadi lebih besar dan berkelok-kelok, dan epitel kelenjar menjadi berlipat-lipat, sehingga memberikan gambaran seperti gigi gergaji. Inti sel bergerak ke bawah, dan permukaan epitel tampak kusut. Stroma menjadi edematosa. Terjadi pula infiltrasi limfosit yang banyak, dan pembuluh darah menjadi makin berbentuk spiral dan melebar (Price, 2005).
 Pada fase menstruasi , korpus luteum berfungsi sampai kira-kira hari ke 23 atau 24 pada siklus 28 hari, dan kemudian mulai beregresi. Akibatnya terjadi penurunan progesteron dan estrogen yang tajam sehingga menghilangkan perangsangan pada endometrium. Perubahan iskemik terjadi pada arteiola dan diikuti dengan menstruasi menyebabkan peluruhan lapisan endometrium (Price, 2005).
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epitelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis (Dorland, 2002). Karsinoma serviks uteri menempati peringkat pertama karsinoma ginekologik (Mansjoer, 2001).
III. DISKUSI / BAHASAN
 Karena perdarahan pervaginam merupakan salah satu manifestasi klinis dari keganasan, maka perlu dianggap sebagai keganasan sampai terbukti tidak. Di negara maju karsinoma serviks menempati urutan ke empat setelah karsinoma payudara, kolerektum, dan endometrium. Di negara berkembang karsinoma serviks menempati urutan pertama. Karsinoma ini ditemukan terbanyak pada usia antara 30 dan 60 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Lebih dari 90% adalah karsinoma epidermoid (Price, 2005).
Penyebab langsung karsinoma uterus belum diketahui. Faktor ekstrinsik yang diduga berhubungan dengan insiden karsinoma serviks uteri adalah smegma, infeksi virus Human Papilloma Virus (HPV) terutama tipe 16 dan 18, spermatozoa, jarang ditemukan pada perawan, insidensi lebih tinggi pada mereka yang kawin daripada tidak kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama (coitarche) dialami pada usia sangat muda (<16 tahun). Insidensi meningkat dengan tingginya paritas, apalagi bila jarak persalinan terlalu dekat, mereka dari golongan sosial ekonomi rendah (hygiene seksual yang jelek, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas), jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat(sirkumsisi), dan merokok), terapi penggantian hormon berupa estrogen tanpa progesteron, hiperplasia endometrium, obesitas yang kemudian dapat meningkatkan kadar estrogen karena tubuh membuat sebagian estrogen dalam jaringan lemak, diabetes, hipertensi, pengkonsumsian tamoksifen untuk mengobati atau mencegah kanker payudara, ras yang biasanya ditemukan pada wanita kulit putih, kanker kolorektal, menarchea sebelum usia 12 tahun, menopause setelah 52 tahun, tidak memiliki anak, kemandulan, penyakit ovarium polikista, polip endometrium, dan mungkin menurunnya sistem imun tubuh.
 Karsinoma serviks uteri timbul di squamocolumnair junction serviks, yang merupakan pemisah antara epitel yang melapisi ektoserviks dan endoserviks kanalis servikis. Karsinoma serviks dapat tumbuh eksofitik, endofitik, atau ulseratif (Price, 2005).
 Pada umumnya penyebarannya secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah, ke arah fornises dan dinding vagina, ke arah korpus uterus, ke arah parametrium dan dalam tingkatan yang lanjut menginfiltrasi septum rektovaginal dan kandung kemih.
 Dari anamnesis mungkin didapatkan metroragi, keputihan warna putih atau purulen yang berbau dan tidak gatal, perdarahan paska koitus, perdarahan spontan, dan bau busuk yang khas. Dapat juga ditemukan gejala karena metastasis seperti obstruksi total vesika urinaria. Pada yang lanjut ditemukan keluhan cepat lelah, kehilangan berat badan dan anemia. Pada pemeriksaan fisik serviks dapat teraba membesar, ireguler, teraba lunak. Bila tumor rumbuh eksofitik maka terlihat lesi pada porsio atau sudah sampai vagina. Diagnosis harus dipastikan dengan pemeriksaan histologik dan jaringan yang sudah diperoleh dari biopsi.
 Keputihan atau fluor albus (leukorhea) merupakan gejala yang sering ditemukan. Keputihan adalah cairan yang keluar dari vagina. Dalam keadaan biasa, cairan ini tidak sampai keluar, namun belum tentu bersifat patologis. Keputihan dapat juga berarti setiap cairan yang keluar dari vagina kecuali darah. Dapat berupa sekret, transudasi atau eksudat dari organ atau lesi di saluran genital. Atau Cairan normal vaginya yang berlebih, jadi hanya meliputi sekresi dan transudasi berlebih, tidak termasuk eksudat. Sumber cairan berasal dari sekresi vulva, sekresi serviks, sekresi uterus, atau sekresi tuba fallopi, yang dipengaruhi fungsi ovarium. Pada karsinoma serviks uteri, getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan pascakoitus merupakan gejala karsinoma serviks (75-80%) (Mansjoer, 2001).
 Perdarahan akibat terbukanya pembuluh darah makin lama akan lebih sering terjadi, juga di luar koitus (perdarahan spontan). Perdarahan spontan umumnya pada tingkat yang lebih lanjut (II atau III), terutama pada tumor yang bersifat eksofitik.
Pemeriksaan pada karsinoma serviks uteri
  •PapSmearTest.
  Pap smear test adalah suatu metode pemeriksaan sel-sel rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel tersebut. Perubahan sel-sel leher rahim yang terdeteksi secara dini akan memungkinkan dilakukannya beberapa tindakan pengobatan sebelum sel-sel tersebut dapat berkembang menjadi sel kanker. Tes ini hanya memerlukan waktu beberapa menit saja. Dalam keadaan berbaring terlentang, sebuah alat yang dinamakan spekulum akan dimasukan kedalam liang senggama.
  • Kolposkopi.  
  Koloskopi adalah suatu prosedur pemeriksaan rahim dan leher rahim. Dengan memeriksa permukaan leher rahim, dokter akan menentukan penyebab abnormalitas dari sel-sel leher rahim seperti yang dinyatakan dalam pemeriksaan 'Pap Smear'. Dokter akan memasukkan suatu cairan kedalam vagina dan memberi warna saluran leher rahim dengan suatu cairan yang membuat permukaan leher rahim yang mengandung sel-sel yang abnormal terwarnai. Kemudian dokter akan melihat kedalam saluran leher rahim melalui sebuah alat yang disebut kolposkop. Kolposkop adalah suatu alat semacam mikroskop binocular yang mempergunakan sinar yang kuat dengan pembesaran yang tinggi.
  • Servikografi.
  Sebuah kamera khusus yang digunakan untuk mengambil gambar dari servik setelah serviks tersebut diberi asam asetat. Kemudian dibawa ke laboratorium untuk dilihat apakah teridentifikasi kanker atau tidak.
Stadium Keterangan
Karsinoma Pra-invasif 
O Karsinoma in situ, karsinoma intraepitelial
  Karsinoma invasif 
I Karsinoma terbatas pada serviks
II Karsinoma meluas kebawah serviks tetapi tidak sampai ke dinding panggul; melibatkan duapertiga atas vagina.
III Karsinoma meluas ke dinding panggul; melibatkan sepertiga bawah vagina. 
IV Karsinoma meluas ke mukosa kandung kemih dan rektum.
  TABEL 1. Stadium karsinoma serviks (FIGO (Federation internationale de Gynecologic et Obstetrique.dari Gusberg SB et al: Female genital cancer, new york, 1988,Churchill Livingstone.))
Terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan. 
Tingkat Penatalaksanaan
0 Biopsi kerucut
Histerektomi tranvaginal
Ia Biopsi kerucut
Histerektmi transvaginal
Ib, Iia Histerektomi radikal dengan limfadenektomi panggul dan evaluasi kelenjar limfe paraaorta (bila terdapat metastasis dilakukan radioterapi pasca pembedahan)
IIb, III, IV Histerektomi transvaginal
Iva, IVb Radioterapi
Radiasipaliatif
Kemoterapi
TABEL 2. Penatalaksanaan pengobatan kanker rahim tiap stadium
 Karsinoma serviks yang tidak diobati atau tidak memberikan respons terhadap pengobatan 95% akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah timbul gejala. Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki risiko tinggi terjadinya rekurensi harus terus diawasi karena lewaat detesi dini dapat diobati dengan radioterapi. Setelah histerektomi radikal. Terjadi 80% rekurensi dalam 2 tahun.
 Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah umur penderita, keadaan umum, tingkat klinik keganasan, ciri-ciri histologik sel tumor, kemampuan ahli atau tim yang menangani, sarana pengobatan yang ada.
Tingkat AKH-5 tahun
T1S Hampir 100%
T1 70 - 85%
T2 40 - 60%
T3 30 - 40%
T5 <10%

TABEL 3. Angka Ketahanan Hidup (AKH) 5 tahun menurut data internasional (UICC /clinical Oncology; Springer-Verlag, New York, Heidelberg, Berlin; 1973, p:218.)
 Selain disebabkan oleh karsinoma perdarahan abnormal juga dapat disebabkan oleh beberapa sebab, misalnya hiperplasia endometrium yang disebabkan kelebihan estrogen relatif terhadap progestin kemudian akan memicu hiperplasi endometrium (hiperlasia biasa, kompleks, atipikal). Suatu saat hyperplasia endometrium bisa berkembang menjadi karsinoma endometrium. Faktor-faktor yang berpotensial untuk mengakibatkan hiperplasia endometrium adalah kegagalan ovulasi, pemberian steroid estrogenik jangka panjang tanpa progestin sebagai penyeimbang, lesi ovarium penghasil estrogen, hiperplasia stroma korteks, tumor sel teka granulose ovarium. Hiperplasia atipikal 20-25% menimbulkan adenokarsinoma endometrium
 Dapat juga disebabkan oleh mola hidatidosa yang merupakan kehamilan abnormal di mana hampir seluruh villi korialisnya mengalami perubahan hidropik. Mungkin diakibatkan oleh villi chorealis yang tidak membentuk pembuluh darah sehingga tidak ada sirkulasi darah. Villi berisi cairan membentuk ventrikel-ventrikel, bila proses ini berlanjut maka akan berkembang menjadi mola hidatidosa. Terjadi:
- ekspulsi spontan= gelembung mola atau buah anggur terkadang keluar sebelum terjadinya abortus mola. Terkadang meningkat pada bulan ke 4 ato bulan ke 7
- kadar tiroksin plasma dapat meningkat tapi secara klinis jarang tampak sebagai efek thyroid stimulating chorionic gonadotropin
 Perdarahan juga dapat disebabkan perdarahahn uterus disfungsional yang merupakan perubahan yang terjadi tanpa penyebab organik. Kebanyakan pasien dengan perdarahan disfungsional memiliki siklus anovulasi. Anovulasi sekunder terjadi karena gagalnya pematangan folikel ovarium hingga mencapai ovulasi dan pembentukkan korpus luteum (Mansjoer, 2001). 
  Perdarahan juga dapat diakibatkan oleh abortus. Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti nekrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, vili korialis belum menembus desidua secara dalam, jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan mengakibatkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu daripada plasenta. Hasil konsepsi keluar dalam berbagai bentuk, seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tak jelas bentuknya, janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi, atau fetus papiraseus (Mansjoer, 2001).
 

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Lakukan permeriksaan penapisan untuk pemeriksaan dini
2. Tidak mengunakan rokok.
3. Penggunaan vaksin Gardasil yang dibuat dari virus like particles (VLPs) capsid L1 dari HPV untuk mengurangi resiko terkena kanker rahim.
4. Jangan terlalu sering mencuci vagina dengan obat antiseptik tertentu tanpa resep dari dokter ataupn dengan menaburi bedak talk.
5. Diet rendah lemak.

V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, p : 349
Guyton, Hall, 1997. Fisiologi Wanita Sebelum Kehamilan; dan Hormon-hormon Wanita. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta, EGC , pp : 1283-1298
Pice, Sylvia A, 2006. Gangguan Sistem Reproduksi Perempuan. Dalam : Patofisiologi, 6th ed volume 2. Jakarta, EGC, pp : 1280-1300
Mansjoer, Arif, et al, 2002. Ilmu Kandungan. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 375-379
Mansjoer, Arif, et al, 2002. Kelainan pada Kehamilan. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 260-266
Halimun, Muljanto E. 1998. Alat Kelamin Perempuan. Dalam : Jong, Wim de, Sjamsuidajat. R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC, pp : 953-992 
Mardjikoen, Prastowo. 1997. Karsinoma Servisis Uteri. Dalam : Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kandungan . Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp : 380-394 Selengkapnya...

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign