Jumat, 05 Juni 2009

Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS)

SINDROM OVARIUM POLIKISTIK
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di Indonesia terdapat 12% baik di desa maupun di kota, kira-kira terdapat 3 juta pasangan infertil di seluruh Indonesia. Dan dari jumlah ini kira-kira hanya 50% yang dapat ditolong (Sumapraja, 1997).
Jika pada wanita sering didapati oligomenorrhea ataupun amenorrhea primer, maka ada kemungkinan terjadi gangguan kesuburan pada wanita ini. Terdapat beberapa kelainan yang dapat menimbulkan gangguan kesuburan, salah satunya adalah kelainan pada ovarium. Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang polycystic ovarian syndrome (PCOS), yang juga mengakibatkan infertilitas.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi sistema genitalia interna
2. Fisiologi ovarium
3. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari sindrom ovarium polikistik (polycystic ovarian syndrome)
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam kasus polycystic ovarian syndrome
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda dan gejala kelainan-kelainan polycystic ovarian syndrome
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kelainan polycystic ovarian syndrome.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang polycystic ovarian syndrome dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan perhatian lebih terhadap kasus polycystic ovarian syndrome dalam pengambilan kebijakan umum maupun pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI SISTEMA GENITALIA INTERNA
Organa genitalia feminina dibagi menjadi organa gentalia externa dan interna. Yang termasuk organa genitalia interna adalah ovarium, tuba uterina, uterus, dan vagina. Sedangkan yang termasuk organa genitalia externa adalah mons pubis, labia majora, labia minora, clitoris, vestibulum vaginae, glandula vestibularis major dan bulbus vestibuli (Budianto, 2005).
Ovarium berfungsi untuk menghasilkan ovum. Ovarium homolog dengan testis pada pria. Organ ini melekat pada ligamentum latum uteri, terletak pada sebelah dorsocaudal dari tuba uterina. Biasanya ovarium terletak pada sumbu vertikal, tetapi juga ikut dalam pergerakan ligamentum dan uterus (Budianto, 2005).
Tuba uterina disebut juga tuba falopii atau oviduct. Merupakan saluran yang berfungsi menyalurkan ovum dari ovarium ke dalam cavum uteri. Pada ujung tuba uterina terdapat fimbriae-fimbriae yang salah satunya akan berhubungan dengan ovarium. Ini mengakibatkan adanya ruang kosong yang terbentuk antara tuba uterina dengan ovarium. Namun demikian pada siklus ovulasi, ovum tetap dapat dengan mudah masuk ke dalam tuba uterina, mekanisme dari hal ini akan dibahas kemudian. Bangunan yang menjorok ke ovarium disebut infundibulum. Terdapat pembesaran tuba pada lengkungan tuba di atas ovarium, yaitu ampulla tubae. Pada tempat ini biasanya terjadi pembuahan. Semakin mendekati uterus terdapat bangunan tubae yang menyempit, dinamakan isthmus tubae. Serta bagian yang menjorok ke arah cavum uteri adalah pars intramural (Guyton, 1997; Budianto, 2005).
Uterus merupakan organ muskuler dengan rongga di sebelah dalamnya. Terdapat rongga antara uterus dengan vesica urinaria di depannya dan rectum di belakangnya. Uterus pada bagian bawah akan berhubungan dengan vaginae. Uterus pada bagian atas terdapat fundus uteri, yaitu bangunan menyerupai kubah. Uterus pada bagian tengah terdapat corpus uteri yang merupakan bagian terbesar uterus. Di bawah corpus uteri terdapat serviks uteri yang akan menjorok hingga ke dalam vaginae. Uterus dibagi menjadi tiga lapisan, perimetrium, miometrium dan endometrium. Miometrium terdiri dari tiga lapis, terdapat stratum longitudinal (pars submukosa), stratum sirkuler (pars vaskulosa), dan stratum longitudinal (pars supravasculosa). Endometrium adalah permukaan dalam uterus, yang pada siklus menstruasi akan mengalami peluruhan. Stratum kompakta dan spongiosa akan mengalami peluruhan, sedangkan stratum basal tidak mengalami peluruhan. Di dalam endometrium ini juga sel telur yang telah dibuahi akan bernidasi. Pada kehamilan, uterus akan membesar dan menjadi tempat bagi janin berkembang hingga aterm (Guyton, 1997; Budianto, 2005).
B. FISIOLOGI OVARIUM
Salah satu fungsi ovarium adalah menghasilkan ovum. Proses siklik ini menghasilkan satu sel ovum untuk satu kali siklus. Siklus ini terjadi karena keseimbangan beberapa faktor, diantaranya adalah regulasi hormon. Siklus ini rata-rata berlangsung tiap 28 hari, dengan nilai normal terendah 20 hari dan tertinggi 45 hari. Pada satu kali siklus hanya terdapat satu ovum yang mengalami ovulasi, sehingga normalnya hanya ada satu janin yang akan tumbuh. Pada masa ini endometrium juga disiapkan untuk implantasi ovum yang telah dibuahi pada saat tertentu pada masa subur wanita (Guyton, 1997).
Perubahan ovarium selama siklus seksual bergantung seluruhnya pada hormon gonadotropik, FSH dan LH. Ketiga hormon ini nantinya akan berperan dalam perkembangan folikel primordial, menjadi foliker primer, folikel sekunder, folikel matang yang kemudian terjadi ovulasi (Guyton, 1997; Hanafiah, 1997; Wiknjosastro, 1997).

Tahap pertama perkembangan folikel dimulai dengan pertumbuhan sel ovum menjadi lebih besar. Kemudian diikuti dengan pertumbuhan lapisan granulosa tambahan, dan terbentuk folikel primer. FSH dapat mempercepat pertumbuhan 6-12 folikel tiap bulan. Sehingga sisa dari folikel yang bertumbuh namun tidak mengalami ovulasi ini akhirnya akan mengalami atresia (Guyton, 1997; Hanafiah, 1997).
Secara umum, siklus ovarium dimulai dengan pelepasan GnRH yang merangsang hipofisis anterior untuk mengeluarkan FSH dan LH. FSH kemudian akan merangsang folikel yang sudah matang untuk memproduksi estrogen(Hanafiah, 1997; Wiknjosastro, 1997; Guyton, 1997).
Estrogen mengakibatkan folikel menjadi lebih peka pada rangsangan FSH dan LH. LH akibat perangsangan estrogen memberikan efek tambahan pada rangsangan FSH dan mempercepat fase sekresi folikuler. Estrogen ternyata juga memiliki efek umpan balik negatif bagi FSH, sehingga pada kadar tertentu produksi FSH akan semakin ditekan hingga produksi estrogen sangat berkurang. Pada fase ini selain terjadi perkembangan folikel, dinding endometrium juga mengalami proliferasi dan menebal dengan sangat cepat (Guyton, 1997).
LH yang bekerja akan mengakibatkan kenaikan progesteron, dan terjadi fase sekresi. Kenaikan ini akan mengakibatkan ovulasi, dan ovum akan keluar dari folikel. Folikel yang tertinggal akan berubah menjadi korpus luteum yang kemudian mensekresikan estrogen dan progesteron. Pada fase ini juga masih terjadi perkembangan endometrium untuk mempersiapakan implantasi. Jika ovum tidak segera dibuahi maka 14 hari setelahnya akan terjadi menstruasi. Dinding endometrium yang tadinya disiapkan untuk implantasi ovum yang telah dibuahi, akan luruh bersama dengan pecahnya pembuluh darah di endometrium dan mengakibatkan perdarahan (Guyton, 1997; Hanafiah, 1997; Wiknjosastro, 1997).
Pada saat ovulasi, ovum yang lepas dari ovarium akan ditangkap oleh tuba uterina melalui fimbriae. Aliran arus yang diakibatkan silia tubae uterina menyebabkan ovum dapat ditangkap oleh fimbriae. Juga dapat terjadi sekalipun tubae uterina dipotong dan ovarium sisi berlawanan dipotong, ovum yang terlepas dari sisi ovarium yang berlawanan tetap dapat ditangkap tubae uterina dari sisi yang berlawanan (Guyton, 1997).
III. DISKUSI / BAHASAN
Sindrom Stein Levethall (PCOS) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1955. Ditandai dengan tanda-tanda infertilitas, amenorea atau oligomenorea sekunder, kadang-kadang agak gemuk, sering kali (kurang lebih 50%) hirsutisme tanpa maskulinasi, dan dengan kedua ovarium membesar. Prevalensinya sekitar 5-10% jumlah penduduk, .Ovarium tampak pucat, membesar 2 sampai 3 kali, polikistik, dan permukaannya licin. Kapsul ovarium membesar (Sutoto, 1997 (Mas Soetomo Joedosepoetro Sutoro, 354-355)).
Kelainan ini mungkin disebabkan oleh gangguan hormonal. Umumnya pada penderita terdapat gangguan ovulasi; oleh karena endometrium hanya dipengaruhi estrogen, hiperplasi endometrium sering ditemukan (Sutoto, 1997).
Tes laboratorium sering menunjukkan kenaikan serum androgen, kenaikan rasio LH/FSH, abnormalitas lipid, dan resistensi insulin. Anovulasi diidentifikasi pada wanita dengan konsentrasi LH tinggi dan FSH yang rendah, 21-progesteron yang rendah, atau dengan USG. PCOS mungkin berhubungan dengan disfungsi hipotalamus hipofisis dan resistensi insulin. Kelainan primer pada ovarium yang berkontribusi pada kasus ini masih belum jelas.
Pasien-pasien PCOS seringkali mencari pengobatan atas infertilitas atau hirsutisme. Hirsutisme dapat diobati dengan berbagai obat-obatan yang menurunkan kadar androgen. Infertilitas pada pasien-pasien PCOS seringkali berespon pada pemberian klomifen sitrat. Baru-baru ini ditemukan bahwa pemberian metformin dapat meningkatkan tingkat fertilitas, pada pemberian tunggal maupun dikombinasikan dengan klomifen. Penelitian juga menyebutkan bahwa penurunan berat badan 2-7% akan meningkatkan fungsi ovarium pada wanita dengan PCOS. Pada pasien-pasien PCOS yang menderita anovulasi kronik, endometrium hanya distimulasi oleh estrogen sehingga terjadi hiperplasia endometrial. Karsinoma endometrium lebih sering terjadi pada pasien PCOS yang menderita anovulasi jangka panjang. Pemberian agen progesteron dosis tinggi dapat mengembalikan kondisi endometrium yang belum terlalu parah, misalnya dengan pemberian magestrol asetat 40-60mg/d dalam 3 sampai 4 bulan.
Diagnosis dibuat atas dasar gejala-gejala klinis, laparoskopi dapat membantu dalam membuat diagnosis. Menurut konsensus internasional, diagnosis PCOS dapat ditegakkan dengan menemukan setidaknya dua dari tiga tanda : oligomenorea atau amenorea, hyperandrogenism, dan polycystic ovarium pada pemeriksaan USG. Sebagai diagnosis diferensial perlu dipikirkan tumor ovarium yang mensekresi androgen,tetapi biasanya terdapat hanya pada satu ovarium, dan menyebabkan perubahan suara dan klitoris. Perlu dipikirkan pula kemungkinan hiperplasia korteks adrenal atau tumor adrenal(Sutoto, 1997).


IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Polycystic ovarian syndrome dapat mengakibatkan gangguan fertilitas yang ditandai dengan amenorea atau oligomenorea.
2. Polycystic ovarian syndrome mengakibatkan hirsutisme.

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan infertilitas, dalam hal ini pada kasus-kasus polycystic ovarian syndrome. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat.


V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 220-235
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. p: 5
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 1283-1289
Hanafiah, Jusuf, M. 1997. Haid dan Siklusnya. Dalam : Ilmu Kandungan Edisi 2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :103-120
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Anatomi Alat Kandungan. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :31-44
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Fisiologi Haid. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :45-54
Mas Soetomo Joedosepoetro Sutoto. 1997. Tumor Jinak pada Alat-alat Genital. Dalam : Ilmu Kandungan Edisi 2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp : 354-355 Selengkapnya...

abortus dan kehamilan

TIJAUAN UMUM ATAS KEHAMILAN DAN ABORTUS
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO I
Seorang perempuan 19 tahun mengeluarkan darah dari vagina sedikit-sedikit selama tiga hari. Penderita menikah 3 bulan yang lalu dan sejak saat itu haidnya tidak datang, payudara terasa tegang. Sebelumnya haid teratur tiap bulan dan tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi. Penderita merasa mual dan muntah-muntah terutama pagi hari, setiap kali makan atau minum selalu muntah lagi, badannya lemah sampai tidak dapat beraktivitas. Sudah tiga tahun ini penderita mengkonsumsi rokok.
Penderita datang ke poliklinik diperiksa oleh dokter umum. Di sana dokter memeriksa penderita untuk mendapatkan gejala dan tanda lainnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan normal, mulut kering dan turgor kulit menurun, fundus uteri teraba 1 cm di atas simfisis. Pada pemeriksaan inspekulo tampak ostium uteri eksternum tertutup dan keluar darah segar. Dokter tersebut menyarankan agar penderita dirawat inap untuk memperbaiki keadaan umum dan menjalani pemeriksaan ultrasonografi.
Amenorrhea dapat terjadi pada wanita pada kondisi fisiologis maupun patologis. Kondisi fisiologis yang mengakibatkan amenorrhea misalnya pada masa prapubertas, kehamilan, masa laktasi dan menopause. Dalam hal ini jika amenorrhea terjadi pada masa subur seorang wanita, dapat dipikirkan kemungkinan hamil yang ditegakkan dengan beberapa tes kehamilan (Simanjuntak, 1997).
Kehamilan karena beberapa alasan bisa berakhir pada abortus. Abortus sendiri adalah pengeluaran hasil konsepsi secara prematur dari uterus, dengan embrio atau fetus yang dikeluarkan belum dapat hidup. Karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat bertahan hidup, maka abortus juga ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau umur 20 minggu. Diperkirakan abortus terjadi pada hampir 15% kehamilan. (Dorland, 2005; Wibowo., Wiknjosastro, 1997; Schneider., Steinberg, 2009).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi organa reproduksi feminina
2. Fisiologi organa genitalia feminina
3. Gambaran dan tanda-tandan kehamilan
4. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari abortus
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam kasus abortus dan kehamilan
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kehamilan dan abortus
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kehamilan dan abortus.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang kehamilan dan abortus dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan kasus abortus baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI ORGANA GENITALIA FEMININA
Organa genitalia feminina dibagi menjadi organa gentalia externa dan interna. Yang termasuk organa genitalia interna adalah ovarium, tuba uterina, uterus, dan vagina. Sedangkan yang termasuk organa genitalia externa adalah mons pubis, labia majora, labia minora, clitoris, vestibulum vaginae, glandula vestibularis major dan bulbus vestibuli (Budianto, 2005).
Ovarium berfungsi untuk menghasilkan ovum. Ovarium homolog dengan testis pada pria. Organ ini melekat pada ligamentum latum uteri, terletak pada sebelah dorsocaudal dari tuba uterina. Biasanya ovarium terletak pada sumbu vertikal, tetapi juga ikut dalam pergerakan ligamentum dan uterus (Budianto, 2005).
Tuba uterina disebut juga tuba falopii atau oviduct. Merupakan saluran yang berfungsi menyalurkan ovum dari ovarium ke dalam cavum uteri. Pada ujung tuba uterina terdapat fimbriae-fimbriae yang salah satunya akan berhubungan dengan ovarium. Ini mengakibatkan adanya ruang kosong yang terbentuk antara tuba uterina dengan ovarium. Namun demikian pada siklus ovulasi, ovum tetap dapat dengan mudah masuk ke dalam tuba uterina, mekanisme dari hal ini akan dibahas kemudian. Bangunan yang menjorok ke ovarium disebut infundibulum. Terdapat pembesaran tuba pada lengkungan tuba di atas ovarium, yaitu ampulla tubae. Pada tempat ini biasanya terjadi pembuahan. Semakin mendekati uterus terdapat bangunan tubae yang menyempit, dinamakan isthmus tubae. Serta bagian yang menjorok ke arah cavum uteri adalah pars intramural (Guyton, 1997; Budianto, 2005).
Uterus merupakan organ muskuler dengan rongga di sebelah dalamnya. Terdapat rongga antara uterus dengan vesica urinaria di depannya dan rectum di belakangnya. Uterus pada bagian bawah akan berhubungan dengan vaginae. Uterus pada bagian atas terdapat fundus uteri, yaitu bangunan menyerupai kubah. Uterus pada bagian tengah terdapat corpus uteri yang merupakan bagian terbesar uterus. Di bawah corpus uteri terdapat serviks uteri yang akan menjorok hingga ke dalam vaginae. Uterus dibagi menjadi tiga lapisan, perimetrium, miometrium dan endometrium. Miometrium terdiri dari tiga lapis, terdapat stratum longitudinal (pars submukosa), stratum sirkuler (pars vaskulosa), dan stratum longitudinal (pars supravasculosa). Endometrium adalah permukaan dalam uterus, yang pada siklus menstruasi akan mengalami peluruhan. Stratum kompakta dan spongiosa akan mengalami peluruhan, sedangkan stratum basal tidak mengalami peluruhan. Di dalam endometrium ini juga sel telur yang telah dibuahi akan bernidasi. Pada kehamilan, uterus akan membesar dan menjadi tempat bagi janin berkembang hingga aterm (Guyton, 1997; Budianto, 2005).
Vagina adalah alat kopulasi wanita yang berupa stuktur muskulomembranosus berbentuk tabung menghubungkan vulva dengan uterus. Dalam vagina terdapat penonjolan serviks uteri yaitu portio vaginalis (Budianto, 2005).
B. FISIOLOGI ORGANA GENITALIA FEMININA
1. FISIOLOGI MENSTRUASI
Pada wanita, menstruasi terjadi secara periodik. Hal ini disebabkan oleh keseimbangan beberapa faktor, diantaranya adalah regulasi hormon. Siklus ini rata-rata berlangsung tiap 28 hari, dengan nilai normal terendah 20 hari dan tertinggi 45 hari. Pada satu kali siklus hanya terdapat satu ovum yang mengalami ovulasi, sehingga normalnya hanya ada satu janin yang akan tumbuh. Pada masa ini endometrium juga disiapkan untuk implantasi ovum yang telah dibuahi pada saat tertentu pada masa subur wanita (Guyton, 1997).
Perubahan ovarium selama siklus seksual bergantung seluruhnya pada hormon gonadotropik, FSH dan LH. Ketiga hormon ini nantinya akan berperan dalam perkembangan folikel primordial, menjadi foliker primer, folikel sekunder, folikel matang yang kemudian terjadi ovulasi (Guyton, 1997; Hanafiah, 1997; Wiknjosastro, 1997).

Tahap pertama perkembangan folikel dimulai dengan pertumbuhan sel ovum menjadi lebih besar. Kemudian diikuti dengan pertumbuhan lapisan granulosa tambahan, dan terbentuk folikel primer. FSH dapat mempercepat pertumbuhan 6-12 folikel tiap bulan. Sehingga sisa dari folikel yang bertumbuh namun tidak mengalami ovulasi ini akhirnya akan mengalami atresia (Guyton, 1997; Hanafiah, 1997).
Secara umum, siklus ovarium dimulai dengan pelepasan GnRH yang merangsang hipofisis anterior untuk mengeluarkan FSH dan LH. FSH kemudian akan merangsang folikel yang sudah matang untuk memproduksi estrogen(Hanafiah, 1997; Wiknjosastro, 1997; Guyton, 1997).
Estrogen mengakibatkan folikel menjadi lebih peka pada rangsangan FSH dan LH. LH akibat perangsangan estrogen memberikan efek tambahan pada rangsangan FSH dan mempercepat fase sekresi folikuler. Estrogen ternyata juga memiliki efek umpan balik negatif bagi FSH, sehingga pada kadar tertentu produksi FSH akan semakin ditekan hingga produksi estrogen sangat berkurang. Pada fase ini selain terjadi perkembangan folikel, dinding endometrium juga mengalami proliferasi dan menebal dengan sangat cepat (Guyton, 1997).
LH yang bekerja akan mengakibatkan kenaikan progesteron, dan terjadi fase sekresi. Kenaikan ini akan mengakibatkan ovulasi, dan ovum akan keluar dari folikel. Folikel yang tertinggal akan berubah menjadi korpus luteum yang kemudian mensekresikan estrogen dan progesteron. Pada fase ini juga masih terjadi perkembangan endometrium untuk mempersiapakan implantasi. Jika ovum tidak segera dibuahi maka 14 hari setelahnya akan terjadi menstruasi. Dinding endometrium yang tadinya disiapkan untuk implantasi ovum yang telah dibuahi, akan luruh bersama dengan pecahnya pembuluh darah di endometrium dan mengakibatkan perdarahan (Guyton, 1997; Hanafiah, 1997; Wiknjosastro, 1997).
Pada saat ovulasi, ovum yang lepas dari ovarium akan ditangkap oleh tuba uterina melalui fimbriae. Aliran arus yang diakibatkan silia tubae uterina menyebabkan ovum dapat ditangkap oleh fimbriae. Juga dapat terjadi sekalipun tubae uterina dipotong dan ovarium sisi berlawanan dipotong, ovum yang terlepas dari sisi ovarium yang berlawanan tetap dapat ditangkap tubae uterina dari sisi yang berlawanan (Guyton, 1997).
2. FISIOLOGI KEHAMILAN, NIDASI, PLASENTASI
Jutaan spermatozoon dikeluarkan di forniks vagina dan di sekitar portio pada waktu koitus. Hanya beberapa ratus ribu spermatozoon dapat meneruskan ke cavum uteri dan tuba, dan hanya beberapa ratus dapat sampai ke bagian ampulla tuba, di mana spermatozoon dapat memasuki ovum yang telah siap dibuahi (Wiknjosastro, 1997; Budianto, 2005).
Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung banyak asam amino dan enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi, maka pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan dengan lancar, dan dalam 3 hari hasil konsepsi berada pada stadium morula. Energi untuk pembelahan ini diperoleh dari vitellus, hingga volume vitellus berkurang dan seluruhnya diisi oleh morula. Hasil konsepsi ini kemudian diteruskan menuju cavum uteri. Dalam cavum uteri, hasil konsepsi mencapai stadium blastula (Wiknjosastro, 1997).
Pada stadium blastula ini sel-sel yang lebih kecil yang membentuk dinding blastula, akan menjadi trofoblas. Dengan demikian, blastula dikelilingi oleh trofoblas. Trofoblas memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel-sel desidua (perkembangan endometrium). Sehingga blastula dapat masuk dengan mudah ke dalam sel-sel desidua. Kadang-kadang pada saat nidasi yakni masuknya ovum ke dalam endometrium terjadi perdarahan akibat luka desidua (tanda Hartman) (Wiknjosastro, 1997).
Pada umumnya blastula masuk di endometrium dengan bagian dimana inner-cell mass berlokasi. Dikemukakan bahwa hal inilah yang menyebabkan tali pusat berpangkal sentral atau para sentral. Umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakan uterus, dekat pada fundus uteri. Jika nidasi ini terjadi barulah dapat disebut adanya kehamilan (Wiknjosastro, 1997).
Dalam tingkat nidasi trofoblas antara lain menghasilkan hormon human chorionic gonadotropin. Produksi hormon human chorionic gonadotropin meningkat sampai kurang lebih hari ke 60 kehamilan kemudian turun lagi. Diduga bahwa fungsinya adalah mempengaruhi korpus luteum untuk tumbuh terus, dan menghasilkan terus progesteron, sampai plasenta cukup membentuk progesteron sendiri. Hormon inilah yang khas menentukan ada tidaknya kehamilan. Hormon ini dapat ditemukan dalam urine wanita hamil (Wiknjosastro, 1997).
Umumnya plasenta lengkap terbentuk pada usia kehamilan 16 minggu. Letak plasenta seperti telah disebutkan sebelumnya umumnya di depan atau di belakang dinding uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri. Plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili koroalis bagian korion, dan sebagian kecil bagian ibu yaitu desidua basalis (Wiknjosastro, 1997).
Fungsi plasenta antara lain adalah: (1) sebagai alat yang memberi makanan pada janin, (2) sebagai alat yang mengeluarkan sisa-sisa metabolisme, (3) sebagai alat yang memberi zat asam, dan mengeluarkan CO2, (4) sebagai alat yang membentuk hormon, (5) sebagai alat menyalurkan berbagai antibodi ke janin. Perlu dikemukakan juga bahwa plasenta juga dapat dilewati bakteri, dan obat-obatan tertentu. Plasenta juga tempat pembuatan hormon-hormon tertentu, khususnya human chorionic gonadotropin, korionik somato-mammotropin (placental lactogen), estrogen dan progesteron. Korionik tirotropin dan relaksin juga dapat diisolasi dari jaringan plasenta (Wiknjosastro, 1997).
Kehamilan dapat memberikan beberapa tanda dan gejala. Diantaranya merupakan tanda dan gejala tidak pasti seperti amenore, nausea, mengidam, konstipasi/obstipasi, sering kencing, pingsan dan mudah lelah, anoreksia, pigmentasi kulit, leukore, epulis, perubahan payudara, pembesarah abdomen, kenaikkan suhu basal 37,2-37,80C dan tes kehamilan (hormon hCG). Sedangkan yang merupakan tanda pasti kehamilan pada palpasi dirasakan bagian janin dan ballotement serta gerakan janin, pada auskultasi didengar denyut janin, dengan USG didapatkan gambaran janin (Wiknjosastro, 1997; Mansjoer, 2001).


III. DISKUSI / BAHASAN
Kehamilan karena beberapa alasan bisa berakhir pada abortus. Abortus merupakan komplikasi tersering pada kehamilan, terjadi pada sekitar 15% jumlah kehamilan yang dilaporkan. Beberapa hal dapat mengakibatkan kenaikan risiko terjadinya aborsi, yaitu (1) dilihat dari terjadinya aborsi pada kehamilan sebelumnya (tabel 1), (2) 25-50% dari semua wanita yang pernah mengalami abortus spontan, 50% diantaranya diakibatkan kelainan kromosom, khususnya trisomi. Sehingga, risiko ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, (3) wanita berusisa 20-24 tahun memiliki risiko 9% untuk keguguran, untuk perempuan 45 tahun ke atas sekitar 75%, (4) keguguran yang berturut-turut pada usia subur, terjadi pada sekitar 1% pasangan
Tabel 1 : Risiko aborsi dilihat dari kasus aborsi sebelumnya
Tiap Kehamilan 11-15%
Setelah Keguguran pertama 12-24%
Setelah keguguran dua kali berturut-turut 19-35%
Setelah keguguran tiga kali berturut-turut 25-46%
(S. Pildner von Steinburg, K. T. M. Schneider, 2009)
Hal-hal yang dapat mengakibatkan abortus dapat dibagi sebagai berikut :
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
1) Kelainan kromosom
2) Lingkungan kurang sempurna
3) Pengaruh dari luar (radiasi, virus, obat, dll)
b. Kelainan pada plasenta
Endarteritis dapat terjadi dala villi korialis dan menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin. Keadaan ini dapat terjadi pada kehamilan muda, misalnya pada hipertensi menahun
c. Penyakit ibu
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, malaria, dll
d. Kelainan traktus genitalis
(Wiknjosastro, 1997; Mansjoer, 2001; Steinburg, Schneider, 2009)
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal ini menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi korialis belum menembus desidua basalis secara mendalam. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu villi korialis menembus desidua basalis lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna dan dapat mengakibatkan banyak perdarahan. Pada kehamilan di atas 14 minggu, biasanya janin dikeluarkan dan perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas (Wiknjosastro, 1997).
Secara klinik dapat dibedakan antara abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkompetus, abortus kompletus. Dikenal pula abortus servikalis, missed abortion, abortus habitualis, dan abortus septik (Mansjoer, 2001).
Abortus imminens adalah terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan dibawah 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih di dalam uterus, tanpa disertai dilatasi serviks. Pada kondisi ini serviks tidak mengalami pembukaan, tes kehamilan positif, uterus membesar sesuai kehamilan dan perdarahan melalui ostium uteri eksternum. Hal ini disebabkan oleh penembusan villi korialis ke dalam desidua, pada saat implantasi ovum. Penanganan abortus imminens yang terutama adalah tirah baring, karena cara ini akan meningkatkan aliran darah ke uterus sehingga rangsangan mekanik menjadi berkurang. Cara ini juga memungkinkan plasenta untuk melekat ke dalam uterus, sehingga tirah baring penting untuk usaha penyelamatan janin (Wiknjosastro, 1997).
Abortus Insipiens adalah perdarahan uterus pada kehamilan dibawah 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa muler terjadi lebih sering dan hebat, perdarahan bertambah. Pengeluaran hasil konsepsi dapat dilaksanakan dengan kuret vakum atau cunam ovum, disusul dengan kerokan. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu biasanya perdarahan tidak banyak dan bahaya perforasi pada kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus dipercepat dengan pemberian infus oksitosin. Apabila janin sudah keluar namun plasenta masih tertinggal, dapat dilakukan pengeluaran plasenta secara digital (Wiknjosastro, 1997).
Abortus inkompletus adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal di dalam uterus. Pada pemeriksaan dalam, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam cavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum. Perdarahan dapat banyak sekali, sehingga menyebabkan syok. Perdarahan tidak akan berhenti sampai sisa hasil konsepsi dikeluarkan seluruhnya. Jika terjadi syok dapat diatasi dengan infus cairan NaCl fisiologik kemudian atau cairan ringer lactat yang disusul dengan transfusi. Setelah syok diatasi dapat dilakukan kerokan. Pasca tindakan disuntikkan intramuskuler ergometrin untuk mempertahankan kontraksi uterus (Wiknjosastro, 1997).
Pada abortus kompletus semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil (Wiknjosastro, 1997).
Pada abortus servikalis keluarnya hasil konsepsi dalam uterus dihalangi oleh ostium uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga semuanya terkumpul dalam kanalis servikalis dan serviks uteri menjadi besar. Pada pemeriksaan ditemukan serviks membesar dan di atas sotium uteri eksternum dapat teraba jaringan (Wiknjosastro, 1997).
Missed abortion adalah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Etioligi missed abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormon progesteron. Pemakaian hormon progesteron pada abortus imminens mungkin juga menyebabkan missed abortion (Wiknjosastro, 1997).
Abortus infeksiosus adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedang abortus septik ialah abortus infeksiosus berat disertai penyebaran kuman atau toksin ke dalam perdaran darah atau peritoneum. Umumnya infeksi terjadi pada desidua (Wiknjosastro, 1997).
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih berturut-turut. Penyebab kelainan yang mengakibatkan abortus habitualis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok : anatomis, infeksi, endokrin, genetik, imunologis, trompofilik. Lingkungan juga dapat mempengaruhi seperti konsumsi alkohol, kafein, kokain, merokok. Sekitar 25-40% abortus habitualis spontan tidak tiketahui etiologinya (Wiknjosastro,1997; Steinburg., Schneider, 2009).
Kelainan endokrin yang menjadi penyebab abortus habitualis masih banyak diselidiki. Misalnya pada kasus diabetes, pada wanita dengan kadar gula darah dan glycoslated hemoglobin yang tinggi pada trimester pertama, risiko aborsi naik dengan signifikan. Antibodi tiroid, khususnya tyroperoxidase (TPO) antibodi, berhubungan dengan aborsi (Steinburg., Schneider, 2009).
Kehamilan seperti tantangan yang tidak biasa bagi sistem imun ibu mengijinkan fetus berkembang. Pada penelitian baru-baru ini disebutkan, ada hubungan antara sistem imun ibu dan antigen fetus yang membuat sistem imun ibu tidak responsif terhadap antigen fetus. Sel NK pada lamina mukosa uterus berhubungan dengan immunotolerance pada antigen janin, dan telah banyak dihipotesiskan bahwa gangguan pada sistem immunoteolerance ini dapat berakibat pada abortus habitualis spontan, tetapi mekanismenya belum sepenuhnya dipahami (Steinburg., Schneider, 2009).



IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dilihat dari gejalanya pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami abortus.
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis.
3. Abortus merupakan komplikasi tersering kehamilan
4. Tindakan penyelamatan janin pada kasus ini dilakukan dengan tirah baring

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kehamilan, dalam hal ini pada kasus-kasus abortus. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat.

V. DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer., et. al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. pp : 253-254; 260-265
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 220-235
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. p: 5
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 1283-1289
Hanafiah, Jusuf, M. 1997. Haid dan Siklusnya. Dalam : Ilmu Kandungan Edisi 2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :103-120
Wibowo, Budiono., Wiknjosastro, Gulardi H. 1997. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :302-320
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Anatomi Alat Kandungan. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :31-44
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Fisiologi Haid. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :45-54
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Pembuahan, Nidasi dan Plasentasi. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :55-65
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Plasenta dan Likuor Amnii. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :66-70
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Diagnosis Kehamilan. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :125-131
S. Pildner von Steinburg, K. T. M. Schneider. 2009. Recurrent Spontaneous Abortions – An Update on Diagnosis and Management. http://www.nature.com/oby/journal/v10/n6/full/oby200274a.html (20 Mei, 2009). Selengkapnya...

GAGAL GINJAL

TIJAUAN UMUM ATAS GAGAL GINJAL KRONIK
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO II
Seorang laki-laki umur 60 tahun (Tn.S) datang dengan keluhan utama badan terasa lemes, dirasakan sejak 1 bulan, kadang berkunang-kunang, sering mual. Sejak 1 tahun BAK sering mengejan, rasa tidak puas setelah BAK, BAK 4-5 gelas sehari. Pasien sering mengeluh nyeri pinggang kiri sejak 2 tahun. Menderita DM sejak 4 tahun yang lalu, berobat tidak teratur. Riwayat hipertensi tidak tahu. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 170/100 mmHg, nadi 110 kali/menit, laju pernafasan 24 kali/menit, suhu 36,7 C. Laboratorium didapatkan Hb:8,2 g/dl, leukosit 5400/ul, trombosit 150.000/ul. Ureum 150 mg/dl, kreatinin 8,4 mg/dl, kalium 6,5 mmol/l. Analisa gas darah didapatkan asidosis metabolik.
Ginjal memiliki fungsi yang kompleks. Ginjal mengatur keseimbangan air dan elektrolit, mengatur konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, mengatur keseimbangan asam basa, ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan tekanan arteri, sekresi hormon, juga glukoneogenesis. Dengan fungsi yang sangat kompleks ini tubuh hanya membutuhkan 25% dari jumlah nefron pada ginjal untuk bekerja secara nomal. Nefron yang telah rusak tidak dapat beregenerasi, sehingga jika terjadi kerusakan ginjal yang merusak sejumlah besar nefron maka akan terjadi kerusakan permanen pada ginjal. Jika terjadi kegagalan fungsi pada ginjal, dapat kita bayangkan gangguan fungsi yang terjadi pada tubuh (Guyton, 1997; Wilson, 2005; Budianto, 2005).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi ginjal
2. Fisiologi ginjal
3. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari gagal ginjal
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam kasus gagal ginjal

b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan gagal ginjal
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kelainan gagal ginjal.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang gagal ginjal dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan kasus gagal ginjal baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI GINJAL
Ginjal terletak di bagian posterior abdomen, pada bagian posterior masih terlindung oleh costae XI-XII serta oleh musculus trasversus abdominis, musculus kuadratus lumborum, musculus psoas major. Pada bagian anterior ginjal dilindungi oleh lapisan usus yang tebal. Ginjal dipertahankan pada posisinya oleh jaringan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak di atas ginjal (Wilson, 2005; Budianto, 2005).
Pada orang dewasa panjang ginjal sekitar 13-15 cm, lebar 6 cm, tebal 2,5 cm, dan beratnya sekitar 150 gram. Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral ginjal memiliki bentuk cembung sedangkan tepi medialnya berbentuk cembung karena adanya hilus. Struktur yang memasuki dan keluar dari hilus ini adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh lymphe, dan ureter. Ginjal diliputi oleh kapsula fibrosa tipis dan mengkilat, yang berikatan longgar dengan jaringan di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal (Wilson, 2005; Budianto, 2005).
Potongan longitudinal ginjal adanya daerah korteks dan medulla. Medula dibagi menjadi segitiga-segitiga yang disebut piramis renalis. Piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut kolumna Bertini. Apeks dari tiap piramid membentuk duktus papillaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor akan membentuk kaliks major, yang selanjutnya bersatu sehingga membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesica urinaria (Wilson, 2005).
Vaskularisasi ginjal oleh arteri renalis cabang aorta abdominalis setinggi VL I. Arteri ini kemudian masuk dan bercabang-cabang di dalam ginjal. Saat arteri renalis masuk, dia bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan di antara piramid, selanjutnya membentuk cabang arkuata yang melengkung pada basis-basis piramid tersebut. Arteri arkuata tersebut membentuk arteriol interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya nenbentuk arteriola aferen. Aliran darah venosa ginjal dibawa oleh vena renalis dan masing-masing ginjal mengalirkan ke dalam vena cava inferior (Wilson, 2005; Budianto, 2005).
Satuan terkecil dalam unit mikroskopis ginjal adalah nefron. Dalam setiap ginjal kurang lebih terdapat satu juta nefron. Setiap nefron terdiri atas kapsula bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerolus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke ductus koledokus. Manusia normal masih mampu bertahan hanya dengan 1% dari jumlah nefron total walaupun dengan susah payah (Wilson, 2005).
Kapsula dilapisi oleh epitel. Sel epitel parietalis berbentuk squamosa dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel visceralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari glomerolus. Sel visceralis membentuk tonjolan-tonjolan yang dikenal sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga ada daerah yang bebas dari kontak dengan epitel (Wilson, 2005).
Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di antara epitel-epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yang menjalin serat kolagen. Pada membrana basalis terdapat celah sebesar 70-100 Ã… (Wilson, 2005).
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam glomerolus. Tidak seperti sel-sel epitel, sel endotel langsung berbatasan dengan membrana basalis. Namun terdapat beberapa pelebaran fenestrata yang berdiameter 600 Ã…. Sel-sel endotel berlanjut dengan endotel yang membatasi aretriola aferen dan eferen (Wilson, 2005).
Pada ginjal terdapat aparatus juktaglomerular yang terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat dengan kutub vaskular masing-masing glomerolus yang berperan penting dalam mengatur pelepasan renin dan mengontrol volume cairan ekstravaskuler dan tekanan darah. Aparatus jukstaglomerular memiliki tiga macam sel : (1) sel granular atau sel jusktaglomerolus (2) makula densa tubulus distal, dan (3) mesangial ekstraglomerular atau sel lacis. Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresis renin (Wilson, 2005).
B. FISIOLOGI GINJAL
1. FUNGSI GINJAL DALAM PEMBENTUKKAN URINE
Seperti telah disebutkan di atas ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dan elektrolit, mengatur konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, mengatur keseimbangan asam basa, ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan tekanan arteri, sekresi hormon, produksi eritropoietin, produksi vitamin D, juga glukoneogenesis. Kali ini penulis hanya akan menyinggung sedikit dari tiap-tiap fungsi ginjal (Guyton, 1997).
Dalam fungsinya sebagai organ untuk membuang produk-produk sisa metabolisme juga sebagai pengontrol volume dan komposisi tubuh, ginjal dalat melakukannya melalui pembuangan urine (Guyton, 1997).
Pembentukkan urine dihasilkan oleh filtrasi glomerolus, reabsorbsi tubulus dan sekresi tubulus. Pembentukkan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang bebas protein dari kapiler glomelorus menuju kapsula Bowman. Prinsip filtrasi ini adalah perbedaan tekanan dan membran kapiler glomelorus sendiri. Kebanyakan zat dalam plasma kecuali untuk protein difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomelorus hampir sama dengan plasma. Protein dengan ukuran lebih kecil dari kapiler glomerolus juga tidak terfiltrasi, karena membran dasar glomerolus yang bermuatan negatif dan albumin sendiri bermuatan negatif sehingga akan terjadi respon fisis saling menolak muatan. Kemudian dalam proses selanjutnya terjadi pemekatan dan sekresi zat-zat buangan metabolisme seperti kreatinin dan ureum, juga terjadi absorbsi zat-zat yang dibutuhkan tubuh seperti asam amino dan glukosa. (Guyton, 1997, Wilson, 2005).
Miksi atau berkemih merupakan suatu refleks yang ada pada orang dewasa normal dikendalikan oleh pusat-pusat yang lebih tinggi di otak. Refleks diawali oleh peregangan musculus detrussor urine waktu terisi oleh urin. Impuls afferen berjalan menuju n. splancnicus pelvicus dan masuk ke segmen sacralis II-IV medulla spinalis. Impuls efferent meninggalkan medulla spinalis dari segmen yang sama dan berjalan melalui serabut saraf preganglion parasimpatis menuju n. splanchnicus pelvicus dan plexus hypogastricus inferior menuju dinding vesica urinaria, di mana mereka bersinaps dengan neuron postganglioner. Melalui lintasan saraf ini, m. detrussor urine berkontraksi, dan m. spinchter vesicae relaksasi. Impuls efferent juga berjalan ke spinchter uretra melalui n. pudendus, dan m. spinchter ini melemas. Bila urin masuk ke uretra, impuls afferent tambahan berjalan ke medulla spinalis dari uretra memperkuat refleks (Budianto, 2005).
Pada anak muda, berkemih merupakan refleks sederhana dan berlangsung bila vesica urinaria teregang. Pada orang dewasa, reflex regang sederhana ini dihambat oleh cortex serebri sampai waktu dan tempat berkemih tersedia. Serabut penghambat berjalan ke bawah bersama tractus corticospinalis menuju segmen sacralis II-IV medulla spinalis. Kontraksi m. spinchter uretra, menutup urethra, dikendalikan secara volunter tetapi tidak mungkin melemaskan otot ini secara involunter. Pengendalian volunter berkemih dalam keadaan normal berkembang dalam tahun pertama dan kedua kehidupan (Budianto, 2005).
2. AUTOREGULASI GINJAL
Untuk mempertahankan pengeluaran produk urin secara tepat, ginjal memiliki mekanisme autoregulasi. Mekanisme autoregulasi ini memang tidak 100% sempurna, tetapi dapat mencegah perubahan yang besar pada laju filtrasi glomelorus serta eksresi air dan zat terlarut, yang akan terjadi dengan besar yang terbalik dengan tekanan darah. Autoregulasi ginjal mencegah perubahan besar pada laju filtrasi glomelorus yang sebaliknya akan terjadi dan terdapat mekanisme adaptif tambahan pada tubulus renalis yang memungkinkannya untuk meningkatkan laju reabsorbsinya bila laju filtrasi glomelorus meningkat (Guyton, 1997).
Dua mekanisme yang sangat berperan dalam autoregulasi : (1) reseptor tegangan miogenik dalam otot polos vaskular arteriol aferen dan (2) timbal balik tubuloglomerular. Selain itu, norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi autoregulasi. Kapiler gomelorus memiliki dua arteriol, yaitu arteriol aferen dan eferen. Sebagai konsekuensinya, tekanan hidrostatik intrakapiler ditentukan oleh tiga faktor: (1) tekanan darah sistemik, (2 dan 3) resistensi arteriol aferen dan eferen. Pengaturan ini mengikuti regulasi cepat laju fitrasi glomelorus dengan mengubah resistensi dalam arteriol aferen dan eferen. Jika terjadi hipotensi sistemik sistem renin-angiotensin diaktifkan dengan pembentukkan angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen. Akibatnya adalah reduksi tekanan perfusi ginjal serta aliran darah ginjal (karena peningkatan resistensi arteriol aferen) dan peningkatan tekanan pada glomelorus (karena peningkatan arteriol eferen). Norepinefrin yang dilepas dari korteks adrenal meningkatkan vasokonstriksi dari angiotensin II. Angiotensin II juga meningkatkan produksi prostaglandin vasodilator dari glomelorus, yang meminimalkan kemungkinan terjadinya iskemi ginjal dalam keadaan hipotensi sistemik (Wilson, 2005; Guyton, 1997).
Mekanisme selanjutnya yang berperan dalam autoregulasi laju fitrasi glomelorus (yaitu tubuloglomerular feedback) mengacu pada perubahan yang dapat ditimbulkan oleh perubahan kecepatan aliran di tubulus distal. Tubuloglomerular feedback diperantarai oleh sel makula densa dalam tubulus distal, yang sensitif terhadap perubahan komposisi klorida cairan tubulus. Angka NaCl yang tinggi pada tubulus distal menyebakan konstriksi arteriol aferen sehingga mengurangi laju fitrasi glomelorus dari nefron (Wilson, 2005).

3. PERAN GINJAL DALAM PEMBENTUKKAN DARAH
Ginjal menyekresikan eritropoietin, yang merangsang pembentukkan eritrosit. Salah satu rangsangan yang penting untuk sekresi eritropoietin oleh ginjal ialah hipoksia. Pada manusia normal, ginjal menghasilkan hampir semua eritropoietin yang disekresi ke dalam sirkulasi. Pengaruh utama eritropoietin adalah adalah merangsang produksi proeritroblas dari sel-sel stem hemopoietik dalam sumsum tulang. Begitu proeritroblas terbentuk, maka eritropoietin juga menyebabkan sel-sel ini dengan cepat melalui berbagai tahap eritroblastik ketimbang dalam keadaan normal (Guyton, 1997; Soebandiri, 2007).
4. PENGATURAN ASAM BASA
Pada fungsi sel yang normal pH cairan ekstra sel harus dipertahankan antara 7,35 sampai 7,45. Ada empat sistem buffer tubuh, yaitu buffer bikarbonat dan hemoglobin yang terletak ekstrasel, dan buffer protein dan fosfat yang terletak intrasel. Sistem buffer utama dalam darah adalah buffer bikarbonat.
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-
Paru membuang CO2 yang terbentuk bila H+ didapar oleh HCO3- (reaksi bergeser ke kiri), dan dengan demikian berperan penting dalam proses menstabilkan pH. Peran ginjal dalam mempertahankan keseimbangan asam basa adalah reabsorbsi sebagian besar HCO3- yang difiltrasi. Selain reabsorbsi dan penyelamatan sebagian besar HCO3-, ginjal juga membuang H+ yang berlebihan. Setiap hari tubuh juga menghasilkan asam-asam yang tidak dapat diekskresikan lewat sistem respirasi sehingga disebut asam tetap. Asam-asam ini dibuang melalui cairan tubulus, sehingga urine dapat mencapai pH sampai serendah 4,5. Di sepanjang tubulus, H+ akan disekskresi ke dalam cairan tubulus dalam bentuk kombinasi dengan amonia atau dengan HPO4=. NH3 berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus, tetapi bila telah berikatan dengan H+ dan membentuk ion amonium maka tidak dapat lagi kembali ke sel tubulus. Karena pH urine terendah adalah 4,5 maka jumlah H+ bebas yang diekskresi menjadi terbatas. Oleh karena itu mekanisme pengikatan dengan amonium dan mekanisme fosfat dapat membantuk mengatur kadar pH tubuh (Wilson, 2005; Sacher, et. al., 2005).
III. DISKUSI / BAHASAN
Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Gagal ginjal menyebabkan kerusakan progresif ginjal dan ireversibel. Perkembangan gagal ginjal sampai tahap terminal bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Di amerika diabetes dan hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi End Stage Renal Disease (ESRD) yang paling besar. Glomerulonefritis adalah penyebab ketiga. Infeksi nefritis tubulointerstisial (pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit ginjal polikistik masing-masing sebanyak 3,4% (Wilson, 2005).
Pada gangguan di skenario disebutkan pasien mengalamirasa tidak puas setelah miksi dan perlu mengejan untuk memulai miksi. Pada tinjauan pustaka telah kita lihat mekanisme miksi yang seharusnya memompa urine hingga vesica urinaria kosong kembali. Sisa urine dapat menjadi faktor predisposisi untuk infeksi vesica urinaria. Mengejan pada saat miksi juga dapat kita lihat sebagai kelainan vesika urinaria. Kelainan vesika urinaria dibagi menjadi lima tipe disfungsi:
a. Vesika urinaria neurogenik tak terhambat
Melibatkan defek pada jaras pengatur dari korteks. Keadaan ini sering ditemukan pada pasien yang memiliki lesi pada korteks serebri, seperti gangguan pembuluh darah otak, atau pada pasien dengan lesi batang otak yang tersebar. Keadaan ini menyerupai vesika urinaria pada bayi, pasien sadar akan rasa ingin berkemih namun tidak dapat menahannya.
b. Vesika urinaria neurogenik refleks
Disebabkan putusnya lengkung refleks sakral dari pusat yang lebih tinggi, seperti pada cedera batang otak atau cedera di atas tingkat SII. Semua sensasi vesika urinaria hilang dan pengosongan terjadi secara refleks bila tekanan di dalam vesika urinaria meningkat di atas batas tertentu. Pengosongan vesika urinaria tidak dapat tuntas karena kurangnya input motorik dari pusat yang lebih tinggi, dan karena terjadi refluks vesikoureter akibat tekanan dalam vesika urinaria yang tinggi.
c. Vesika urinaria neurogenik otonom
Terjadi akibat kerusakan pada kedua jaras lengkung refleks vesika urinaria, seperti pada lesi sakral atau kauda ekuina. Pasien tidak dapat merasakan penuhnya vesika urinaria dan juga tidak dapat memulai miksi dengan pola normal. Namun mereka dapat memulai miksi dengan meninggikan tekanan intraabdominal (mengedan) dan menekan bagian atas suprapubik (perasat Crede).
d. Vesika urinaria neurogenik paralitik sensorik
Disebabkan adanya lesi pada bagian sensorik lengkung refleks vesika urinaria seperti pada pasien neuropati diabetik atau sklerosis multipel. Timbul kehilangan sensasi vesika urinaria secara bertahap, jarang buang air kecil, dan distensi berlebihan. Distensi berlebihan menyebabkan otot vesika urinaria kehilangan tonus sehingga pengosongan tidak sempurna dan terdapat sisa urine.
e. Vesika urinaria neurogenik paralitik motorik
Disebabkan oleh adanya gangguan pada bagian motorik lengkung refleks vesika urinaria yang sering terjadi berkaitan dengan poliomielitis, tumor, atau trauma. Sensasi penuhnya vesika urinaria tidak terganggu, tetapi pasien tidak memiliki kemampuan dalam memulai proses berkemih. Dapat terjadi nyeri berlebihan, yang membutuhkan kateterisasi dan drainase (Wilson, 2005).
Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kelebihan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana laju filtrasi glomerolus masih normal atau sedikit meningkat. Kemudian secara perlahan, akan terjadi penurunan nefron yang progresif, yang ditandai dengan kenaikkan ura dan kreatinin serum. Sampai pada laju filtrasi glomerolus di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, penurunan berat badan, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebgainya (Suwitra, 2007).
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, pada pasien ini adalah diabetes mellitus, tapi dalam perkembangannya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti kenaikan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak ada. Adanya peningkatan sistem renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progeresifitas tersebut. Beberapa hal yang juga dianggap berperan dalam progresifitas gagal ginjal adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia (Suwitra, 2007).
Riwayat perjalan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi lima stadium. Stadium I, atau fase perubahan fungsional dini ditandai dengan hipertrofi dan hiperfiltrasi ginjal. Stadium I sebenarnya ditemukan pada semua pasien yang didiagnosis DM tipe I dan berkembang pada awal penyakit. Sering terjadi peningkatan GFR hingga 40% di atas normal. Peningkatan ini disebabkan oleh banyak faktor seperti kadar glukosa darah yang tinggi, glukagon yang abnormal, hormon pertumbuhan, efek renin, angiotensin II dan prostaglandin. Ginjal yang menunjukkan peningkatan laju filtrasi glomerolus memiliki ukuran lebih besar dan glomerolus yang bersangkutan akan lebih besar dengan daerah yang bersangkutan.
Stadium II disebut perubahan struktural dini, ditandai dengan penebalan membran basalis kapiler glomerolus dan penumpukkan sedikit demi sedikit bahan matriks mesangial. Stadium ini terjadi sekitar lima tahun setelah awitan diabetes tipe I. Kerasanya penebalan atau perluasan mesangial yang terlihat pada stadium II secara positif berkaitan dengan perkembangan proteinuria yang akan datang dan penurunan fungsi ginjal. Penumpukkan matriks mesangial dapat mengenai lumen kapiler glomerolus, menyebabkan iskemia dan menurunkan daerah permukaan filtrasi, namun laju filtrasi glomerolus biasanya tetap dalam kisaran normal tinggi, menurun dari stadium I.
Hiperglikemia persisten kelihatannya menjadi faktor terpenting dalam patogenesis glomerulosklerosis diabetik dan melibatkan beberapa mekanisme termasuk (1) vasodilatasi dengan meningkatkan permeabilitas mikrosirkulasi yang menyebabkan peningkatan kebocoran zat terlarut ke dalam dinding pembuluh darah dan jaringan sekitarnya; (2) pembuangan glukosa melalui jalur polylol (insulin independen), menyebabkan penimbunan polylol dan penurunan komponen selular utama, termasuk glomerolus; (3) glikosilasi protein struktur glomerolus. Pada hiperglikemia, glukosa memberikan reaksi dengan mengedarkan protein struktural secara nonenzimatik. Glikosilasi membran basalis dan protein mesangial dapat menjadi faktor utama yang bertanggung jawab dalam peningkatan matriks mesangial dan perubahan permeabilitas membran yang menyebabkan proteinuria.
Stadium III terjadi nefropati insipien dan secara khas berkembang dalam 10 tahun. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbumiuria yang menetap (ekskresi albumin urine antara 30 hingga 300 mg/24 jam). Laju filtrasi glomerolus normal hingga normal tinggi, peningkatan tekanan darah juga terjadi.
Stadium IV atau fase nefropati diabetik klinis ditandai dengan proteinuria (>300mg/24 jam) dan dengan penurunan Laju filtrasi glomerolus yang progresif. Retinopati diabetik, serta hipertensi hampir selalu ada. Kira-kira muncul 15 tahun setelah awitan diabetes.
Stadium V atau fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif, ditandai dengan azotemia (peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum) disebabkan penurunan laju filtrasi glomerolus yang cepat, yang pada akhirnya akan menyebabkan berkembangnya ESRD dan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. Waktu yang dibutuhkan kira-kira 20 tahun dari awitan diabetes.
Pada gagal ginjal jelas akan terjadi gangguan biokimiawi. Beberapa diantaranya adalah:
a) Asidosis Metabolik
Pada gagal ginjal akan terjadi gangguan pada mekanisme pembuangan H+ ditambah gangguan sistem buffer bikarbonat sehingga akan menurunkan pH tubuh. Gejala asidosis tampak sebagai anoreksia, mual, dan lelah. Terjadi pernapasan kussmaul yaitu pernapasan yang cepat dan dalam.
b) Ketidakseimbangan Kalium
Peningkatan kadar kalium serum selain disebabkan karena kerusakan ginjal sendiri, juga disebabkan karena peningkatan kadar H+. Ketika terjadi asidosis maka akan terjadi kenaikan kadar H+ dalam darah. Hal ini mengakibatkan sistem buffer tubuh akan berkerja untuk netralisasi ion H+. Buffer protein intrasel juga berusaha untuk menetralkan H+ dengan memasukkan ion H+ ke dalam sel dan melakukan buffering intrasel. Namun di saat yang bersamaan pula terjadi perubahan muatan intrasel, sehingga sel sendiri akan mengkompensasi dengan mengeluarkan ion K+ yang memang banyak di dalam sel. K+ yang dilepas ke darah akan membuat kadar kalium serum menjadi lebih tinggi.
c) Ketidakseimbangan Natrium
Pada insufisiensi ginjal dini (bila terjadi poliuria) terjadi kehilangan natrium karena peningkatan beban zat terlarut pada nefron tubuh. Diuresis osmotik mengakibatkan kehilangan natrium secara obligat. Apabila gagal ginjal terminal diikuti oleh oligouria, maka pasien cenderung mempertahankan Na+. Retensi Na+ dan air dapat mengakibatkan beban sirkulasi berlebihan, edema, hipertensi, dan gagal jantung kongestif.
d) Hipermagnesemia
Penderita uremia akan kehilangan kemampuan mengekskresi magnesium. Pembebanan magnesium secara tiba-tiba seperti susu magnesia dan magnesium sitrat dapat menyebabkan kematian
e) Azotemia
Peningkatan tajam kadar BUN dan kreatinin plasma biasanya merupakan tanda timbulnya gagal ginjal terminal dan menyertai gejala uremik. Beberapa zat yang ditemukan dalam darah pasien azotemia seperti guanidin, fenol, amin, urat, kreatinin, dan asam hidroksi aromatik, dan indikan. Beberapa senyawa ini bertindak sebagai penghambat enzim yang kuat.
f) Hiperurisemia
Peningkatan asam urat serum dan pembentukkan kristal-kristal yang menyumbat ginjal dapat menyebabkan gagal ginjal akut atau kronisk. Sebaliknya pada stadium dini gagal ginjal kronik dapat timbul gangguan ekskresi ginjal sehingga kadar asam urat serum biasanya meningkat.
Anemia normositik normokromik yang khas selalu terjadi pada sindrom uremik. Biasanya Hct menurun 20-30% sesuai dengan derajat azotemia. Penyebab utama anemia adalah penurunan produksi ertitrosit karena penurunan pembentukkan eritropoietin oleh ginjal. Juga terdapat bukti bahwa racun uremik dapat menginaktifkan eritropoietin atau menekan respons sumsum tulang terhadap eritropoietin. Faktor kedua yang ikut berperan dalam anemia adalah masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya separuh dari masa hidup normal.
Kelainan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak juga terjadi. Pemecahan protein pada pasien gagal ginjal menyebabkan uremik yang lebih parah. Diet pembatasan protein perlu untuk menekan gejala-gejala letih, lesu, mual anoreksia dan dipercaya diet pembatasan protein dapat menghambat kerusakan ginjal lebih lanjut. Alasan lain dilakukan pembatasan protein adalah H+, K+, dan fosfat terutama dihasilkan dari protein sehingga harus dibatasi agar tidak terjadi penimbunan di dalam darah.
Gangguan metabolisme karbohidrat seringkali disebabkan oleh uremia. Kadar gula darah puasa meningkat pada lebih dari 50% pasien uremia, tetapi biasanya tidak melebihi 200mg/100ml. Mungkin yang menjadi penyebabbnya adalah jaringan perifer yang tidak peka insulin. Sebaliknya pada pasien dengan diabetes mellitus yang menderita uremia, metabolisme karbohidrat membaik dan kebutuhan insulin menjadi lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena pada kondisi normal ginjal menonaktifkan sekitar 20% dari insulin serum, sehingga terjadi perpanjangan waktu paruh insulin. Metabolisme karbohidrat akan menjadi normal dengan hemodialisis teratur.
Bila pasien gagal ginjal kronik dapat bertahan cukup lama, maka akan terjadi kerusanan rankga atau biasa disebut osteodistrofi ginjal yang terdiri dari tiga lesi. Osteomalasia merupakan gangguan tulang yang paling sering ditemukan dan terlihat pada 60% dari semua penderita gagal ginjal kronik. Kasus ini berupa gangguan mineralisasi tulang disebabkan defisisiensi 1,25-dihidroksikolekalsiferol (1,25[OH]2D3) atau kalsitriol, bentuk paling aktif vitamin D yang dimetabolisme ginjal. Dalam tulang osteoblas membentuk osteoid, tetapi kadar kalsium serum yang rendah dan vitamin D yang tidak aktif mengakibatkan minerlisasi tidak dapat terjadi. Jaringan osteoid akhirnya menggantikan tulang normal, sehingga terjadi osteomalasian pada orang dewasa dan rakitis pada anak-anak.
Osteitis fibrosa ditemukan pada lebih dari 30% pasien ditandai dengan resorpsi osteoklastik tulang serta penggantian dengan jaringan fibrosa. Demineralisasi tulang mungkin bersifat lokal dan tampak lesi kistik atau sebagai pernurunan densitas umum pada radiogram. Disebabkan oleh kenaikkan PTH (hiperparatiroidisme sekunder) pada gagal ginjal.
Osteosklerosis merupakan jenis gangguan tulang ketiga yang lebih jarang terjadi, sering bermanifestasi pada vertebra yang tampak berpita atau bergaris (rugger-jersey spine) pada radiogram. Osteosklerosis sendiri terjadi karena selang-seling antara pengurangan dan peningkatan densitas tulang.
Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, akan terjadi penumpukkan ureum dan banyak zat sisa metabolisme pada darah yang bersifat toksik. Karena itu pasien dengan gagal ginjal memerlukan terapi dialisis. Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh membran semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah sampai terjadi keseimbangan (Rahardjo, et. al., 2007).


IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami gagal ginjal kronik.
2. Pasien mungkin memerlukan hemodialisis sebagai terapi penyakitnya
3. Gagal ginjal kronik adalah penyakit yang progresif
B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan sistem uropoietica, dalam hal ini pada kasus-kasus gagal ginjal. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat.



V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 43-59
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 375-379, 397-414, 417-437, 439-477, 481-502
H.M.S, Markum. 2007. Gagal Ginjal Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 574-578
Hirlan. 2007. Gastritis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 335-336
J, Pudji, Raahardjo., Endang, Susalit., Suhardjono. 2007. Hemodialisis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 579-560
Ketut, Suwitra. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 570-573
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Sacher, Ronald A., McPherson, Richard A. 2005. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Alih Bahasa : Brahm U. Pendit, Dewi Wulandari. Jakarta : EGC
Soebandiri. 2007. Hemopoiesis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 2. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 619-620
Wilson, Lorraine M. 2005. Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. pp : 867-894
Wilson, Lorraine M. 2005. Gagal Ginjal Kronik. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. pp : 912-948
Wilson, Lorraine M. 2005. Penyakit Ginjal Stadium Akhir: Sindrom Uremik. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. pp : 950-960
Wilson, Lorraine M. 2005. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. pp : 964-989 Selengkapnya...

GONORE

TINJAUAN UMUM ATAS GONORE
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Infeksi kuman Neisseriae gonorrhoeae yang menimbulkan gonorrhea telah menyebar ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat, tingkat kejadiannya meningkat secara tetap dari tahun 1955 sampai akhir tahun 1970 dengan 400-500 kasus per 100 ribu populasi. Penyakit ini secara khusus ditularkan melalui hubungan seksual, kebanyakan merupakan infeksi yang tanpa gejala dan penggunaan kemoprofilaksis sebagai pengobatan menjadi terbatas karena meningkatnya resistensi kuman ini terhadap antibiotik. (Brooks, 2005:420-8)
B. RUMUSAN MASALAH
1. Anatomi sistem reproduksi pria
2. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari gonore
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang kesehatan
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan gonore
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan penyakit menular seksual.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang gonore dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan penyakit menular seksual baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI SISTEMA GENITALIA MASKULINA
Organa genitalia maskulina menurut letaknya dibagi menjadi organa genitalia eksterna dan interna. Yang termasuk organa genitalia interna adalah testis yang berfungsi untuk menghasilkan sperma. Memiliki funiculus spermaticus yang berfungsi untuk menggantung testis dan tersimpan di dalam kantung scrotum. Di sebelah lateral dari margo posterior testis terdapat epididimis berfungsi untuk tempat penyimpanan dan pematangan spermatozoa. Kemudian sperma berjalan melalui ductus epididimis, ductus defferens menuju ductus ejakulatorius dan berakhir pada uretra. Uretra pria panjangnya sekitar 20 cm dan terbentang dari vesica urinaria hingga ke penis (Anang, 2005).
Organa genitalia eksterna yang digunakan sebagai alat kopulasi adalah penis. Tersusun oleh corpora cavernosa uretra dan corpora cavernosa penis. Pada bagian ujung terdapat glans penis dan sebelum sirkumsisi bagian ini ditutupi oleh preputium (Anang, 2005).
III. DISKUSI / BAHASAN
Gejala penting untuk indikasi diagnosis adalah pengeluaran duh tubuh dan disuria. Menurut Basuki pada tahun 2008, infeksi menular seksual dengan tanda utama ulkus yang dominan adalah sifilis, kankroid, herpes genitalis, dan kondiloma akuminata; sedangkan tanda utama pengeluaran duh tubuh adalah infeksi Neisseriae gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Trichomonas vaginalis, dan lain-lain. Pada skenario diungkapkan bahwa tanda utama adalah duh tubuh purulen; selain itu masa timbulnya manifestasi yang cepat merupakan tanda infeksi Neisseriae gonorrhoeae dan Trichomonas vaginalis. Namun menurut Prince pada tahun 2005, Trichomonas vaginalis bersifat transient infection dan asimtomatik pada laki-laki. Sehingga penulis lebih mengarahkan pembahasan ini pada infeksi Neisseriea gonorrhoeae.
Pemeriksaaan mikroskopis eksudat uretra pada laki-laki akan mengindikasikan bahwa gonococci ditemukan dengan sel PMN (Polymorpho Nuclear) dan sel epitel uretra. Interaksi gonococci dengan PMN bergantung adanya Opa (opacity-associated) dan tidak membutuhkan pili. Pada penelitian infeksi pada laki-laki dengan gonococci Opa- menghasilkan perubahan fenotip Opa+. Sebuah fenotip Opa+ juga umum digunakan pada isolasi klinis yang didapatkan pada laki-laki yang terinfeksi gonococci. Protein porin yang utama pada membran luar gonococcal, Por (Protein I), merupakan invasin (suatu unsur yang membantu mediasi invasi pada sel pejamu). Penyisipan Por pada netrofil dimudahkan dengan peptida kemotaktik, fMLP dan leukotrin B4, menghalangi degranulasi tetapi tidak pada generasi anion superoksida. Observasi secara signifikan menunjukkan bahwa masing-masing strain gonococcal mengekspresikan hanya satu tipe Por. Kemudian Por akan bergabung dengan Rmp (Reduction-modifiable protein) yang dapat mengubah berat molekulnya pada saat terjadi reduksi dan saat terjadi pembentukan pori-pori pada permukaan sel.
Sebagian besar laki-laki memiliki sel epitel uretra yang tidak mengekspresikan CAECAM (sejenis molekul adhesi CD46 dan CR3) dan penelusuran beberapa penelitian pada laki-laki dengan sebuah mutan Neisseriae gonorrhoeae strain FA1090ΔOpa menghasilkan sebuah infeksi yang tidak dapat dibedakan dari yang diobservasi dengan wild-type parental. Hasil ini mengungkapkan bahwa peranan protein Opa menimbulkan uretritis gonococcal pada laki-laki terletak pada kemampuan protein ini untuk memfasilitasi interaksi sebuah gonococcus dan PMN. Sebuah reseptor tunggal yang utama secara unik memodulasi interaksi ini namun belum dapat diidentifikasi; walaupun asosiasi ini terjadi secara bebas dari CR3. Adanya Fcγ, CEACAM, HSPG (heparin sulfate proteoglycans), dan reseptor integrin pada permukaan sel PMN berpotensial memainkan peran adherensi gonococcal. Hal ini juga memungkinkan bahwa terdapat sebuah reseptor yang memediasi asosiasi PMN-gonococcus dalam satu lingkungan, walaupun juga dimungkinkan adanya reseptor lain dari mikrolingkungan yang berbeda.
CEACAM dapat bertindak sebagai ko-reseptor dari reseptor permukaan sel (seperti integrin) saat adanya sel fagosit yang kompeten. Perikatan CAECAM mengirimkan sinyal utama dalam PMN yang mengaktifkan reseptor adhesin tanpa memicu pelepasan mediator inflamasi. Oleh karena itu, interaksi Opa-CAECAM dapat berpotensial meningkatkan ketahanan hidup gonococcal dalam sel ini. Protein Opa juga menaikkan ketahanan hidup intraseluler dengan penyitaan piruvat kinase sebagai enzim yang dapat membentuk piruvat yang penting untuk kelangsungan hidup gonococcal. Sebuah peranan protein Opa dalam peningkatan ketahanan hidup gonococcal didemonstrasikan pada inokulasi intravaginal mencit betina dengan gonococci dan menghasilkan juga konversi fenotip Opa− menjadi Opa+. Berdasarkan beberapa bukti, Edwards et al pada tahun 2004 mengungkapkan bahwa interaksi Opa-CAECAM mungkin menghalangi kolonisasi oleh stimulasi bakterisida dalam granulosit saat terjadi pengikatan CAECAM3 (CD66d). Hal ini tidak terjadi langsung jika interaksi dengan CAECAM3 dimediasi oleh subset tertentu dari protein Opa yang didemonstrasikan tersebut untuk mengikat reseptor CAECAM atau jika semua CAECAM-binding Opa proteins efisien pada kemampuannya untuk bertindak sebagai ligan untuk CAECAM3 dan untuk memicu respons oksidatif oleh granulosit.
Analisis sebagian besar sel epitel uretra pada laki-laki menunjukkan bahwa interaksi yang lekat antara epitel uretra dan gonococcus mungkin dicapai melalui interaksi ASGP-R (asialoglycoprotein receptor) dan LOS (lipooligosakarida) gonococcal, yang merupakan unsur utama membran sel gonococcus. Pada sebagian besar kultur sel, peningkatan ASGP-R oleh gonococcus menghasilkan pedestal formation di bawah bakteri. Pedestal formation di bawah bakteri juga diobservasi dengan analisis mikroskopis dengan mengumpulkan eksudat dari laki-laki dengan uretritis gonococcal. Bukti-bukti menunjukkan bahwa endositosis terjadi terutama karena proses actin-dependent dan clathrin-dependent. Endositosis yang dimediasi oleh ASGP-R menghasilkan fusi endosomal dan pengasaman yang menimbulkan pelepasan mantel clathrin dan pelepasan kompleks ASGP-R-ligand. Hal ini tidak diketahui apakah terjadi juga dalam tahap internalisasi pada uretritis gonococcal walapun sepertinya juga dapat mendasari patogenesis. Tahap internalisasi gonococcal menunjukkan bahwa ASGP-R akan dikembalikan lagi pada permukaan sel uretra untuk mengikat lebih banyak lagi gonococci.
Dalam bentuk perkembangbiakan secara molekuler, gonococci membuat molekul LOS yang secara struktural mirip membran sel manusia, yaitu glikosfingolipid. Gonococci LOS dan glikosfingolipid manusia dengan struktur kelas yang sama, bereaksi dengan antibodi monoklonal yang sama, mengindikasikan perkembangan secara meolekuler LOS yang dipertahankan memiliki LNnT glikose moietas (Lacto-N-neotetraose glikose moietas) yang sama terbagi dalam serial paraglobosid glikosfingolipid manusia. Struktur glukosa Neisseria LOS lainnya, globosid, gangliosid, dan laktosid. Tampilan permukaan gonococci yang sama dengan stuktur permukaan pada sel manusia membantu gonococci untuk menghindar dari pengenalan kekebalan. Terminal galaktosa dari glikosfingolipid sering berkonjugasi dengan asam sialat. Asam sialat adalah asam 9 karbon yang disebut juga asam-N-asetilneuraminat (NANA). Gonococci tidak membuat asam sialat tetapi membuat sialiltransferase yang berfungsi mengambil NANA dari nukleotida gula asam sitidine 5’-monofosfo-N-asetilneuraminat (CMP-NANA) dan menempatkan NANA pada terminal galaktosa dari gonococci penerima LOS. Sialisasi berdampak pada patogenesis dari infeksi gonococci, membuat gonococci resisten untuk dimatikan oleh sistem antibodi manusia dan mengintervensi gonococci yang mengikat pada penerima (reseptor) dari sel fagositik.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami gonore.
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis.

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan penyakit menular seksual, dalam hal ini pada kasus-kasus gonore. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat.






V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 198-214
Basuki B. Purnomo.2008. Pemeriksaan Urologi dalam: Urologi. Jakarta : CV Sagung Seto. pp : 13-34.
Brooks Geo F., Janet S. Butel, Stephen A. Morse.2005. Neisseriae dalam: Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:Salemba Medika. pp :419-29.
Edwards Jennifer L., Michael A. Apicella.2004.The Molecular Mechanisms Used by Neisseria gonorrhoeae To Initiate Infection Differ between Men and Women. http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=523569. (17 April 2009)
Guyton Arthur C., Hall John E..2007.Ginjal dan Cairan Tubuh dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi XI.Jakarta:EGC. pp : 307-65.
Morse Stephen A..2006.Neisseria, Moraxella, Kingella and Eikenella. http://gsbs.utmb.edu/microbook/ch014.htm. (17 April 2009)
Prince Nancy A..2005.Price Sylvia Anderson, Lorraine McCarty Wilson.(ed).Infeksi Saluran Genital dalam: Patofisiologi Volume 2.Edisi VI.Jakarta:EGC. pp : 1332-55.
Sjaiful Fahmi Daili.2007. Gonore dalam: Infeksi Menular Seksual edisi III. Jakarta : FKUI. pp :65-76. Selengkapnya...

FAKTA MENYAKITKAN TENTANG PENGAMPUNAN

Fakta menyakitkan tentang pengampunan

Pertanyaan paling mendasar dari statemen di atas adalah apa itu pengampunan. Pengampunan tidak bicara tentang "mentolerir" kesalahan kecil dan wajar, pengampunan juga bicara tentang yang tidak terampunkan. Justru pengampunan sebenarnya bisa disebut pengampunan ketika dia mengampuni yang tidak terampuni. Mengampuni berarti menghapus sebuah kesalahan dan mengulangi semua dari awal, seperti mencuci kain kotor sehingga menjadi bersih kembali.

Maka jika demikian istilah "pengampunan kedua" atau "kesempatan kedua" menjadi sangat rancu, karena pengampunan berarti melupakan yang telah lalu, semua diulang dari NOL. Sehingga akan selalu ada kesempatan, akan selalu ada pengampunan, jika kita benar-benar mengampuni tentunya.

Lalu pertanyaan pasti muncul, "lalu apakah adil jika kesalahan seseorang diampuni (dilupakan) begitu saja??". Memang secara naluriah kita sudah biasa untuk menuntut balas, untuk menuntut keadilan dari sebuah kebenaran yang kita pegang. Namun kebenaran seharusnya tidak perlu dibela, karena semakin dia ditekan, dia akan muncul seperti emas, karena dia adalah kebenaran. dan penuntut balas akan keadilan tidak akan pernah puas, sebab pencarian keadilan yang sebenarnya merupakan pencarian damai sejahtera, berada di dalam dirinya sendiri yang akan keluar jika seandainya dia mengampuni.

Pengampunan memang tidak adil, namun jika tidak demikian maka dia tidak bisa disebut sebagai pengampunan. Pengampunan memberikan kebebasan dalam kenyataan bahwa keadilan tidak mampu menyediakan damai sejahtera. Pengampunan memberikan kelegaan dalam pemberian cuma-cuma bernama kasih karunia. Pengampunan bahkan yang tidak terampunkan adalah cara melepaskan diri sendiri dari belenggu kebencian dan lingkaran ketiadaan kasih karunia. Selengkapnya...

HIDUP INI BERAT

HIDUP INI BERAT

Banyak orang yang menganggap hidup itu berat, hidup itu sulit, seringkali membuat kita lelah, membuat kita habis akal, merasa benar2 tertekan hingga sulit bernafas..Apa iya hidup benar2 seenggak menyenangkan itu??Sering kita mengeluh tanpa memperhatikan dampaknya terhadap orang-orang lain dan terlebih terhadap diri kita sendiri. Saya adalah orang yang ga suka ngeliat orang ngeluh2 di facebook, nulis sok2 kuat di profile friendster atau di mana aja..Menurut saya, ada dua tempat yang aman dari masalah, pertama rumah sakit jiwa, kedua kuburan. Sampai kapanpun manusia akan punya masalah jadi kenapa harus mengeluh?? Sebutkan satu saja alasan yang bisa membenarkan tindakan mengeluh di dunia maya?? Buat curhatkah??apa perlu curhat sampai seluruh dunia tahu?? Bukannya itu mengemis belas kasihan orang, ngemis minta dingertiin?? Jadi sampai saya menulis artikel ini saya ga menemukan alasan untuk gembar-gembor ngeluh di dunia maya.. Perkataan pesimis akan menjatuhkan bukan hanya mental dan semangat kita, tapi juga semangat orang yang ngebaca... Kalo orang2 berpikir ngeluh akan ngurangin beban mereka, buat saya secara empiris saya ga pernah mengalami itu.. Kenyataannya ngeluh akan ngebuat orang semakin jatuh dan lemah.. maka kesimpulan dari tulisan ini adalah: BERHENTI MENGELUH dan coba lakukan sesuatu yang lebih berguna. Selengkapnya...

TENTANG TUJUAN

TENTANG TUJUAN

Sering banget aq denger, "lagi bete ni, bosen"..Tadinya aq pikir ini terjadi karena emang cuma lagi bosen aja (untuk beberapa alasan fisiologis bisa dibenarkan). Tpi ketika aq liat2 keliatannya ga cuma alasan ini aja yang ngebuat banyak dari antara kita yang bosen n bete sama beberapa hal yang kita lakuin.. Menurutku salah satu alasn kenapa kita sering BeTe atau bosen ngelakuin sesuatu adalah ketika kita kehilangan TUJUAN, atau yang lebih buruk lagi GAK PUNYA TUJUAN.. Kalo dipikir2, jelas banget implikasinya ke kehidupan sehari-hari..Tanpa tujuan aktivitas yang kita jalanin pasti kaya rutinitas basi yang ngebosenin, n tinggal nunggu waktu akhirnya kita tinggal tu aktivitas ga penting..Visi tanpa misi adalah mimpi, sedangkan misi tanpa visi adalah kuli..masa kita mau ngelakuin sesuatu tanpa tujuan yang jelas?? Capek2 belajar, tapi pas ditanya cita2 mau jadi apa, jawabnya "liat aja nanti" atau "let it flow aja", kan sayang banget..Udah kuliah buang2 duit pas ditanya nanti lulus mau kemana, jawabnya "nikmati aja dulu"..Jelas aja kalau masa2 "ENJOY" yang kita lewati sebenarnya adalah masa2 yang membosankan banget..Coba kita bayangkan ke sentral dari masalah ini, tentang TUJUAN..Sekarang aq tanya:
"APA TUJUAN HIDUP SAUDARA??", pasti pada bingung kan.. Kalo aq tanya agak maksa, pasti ada jawaban yang rada2 "muna"..Mau berbagi, mau berbuat baik, mau berbuat amal, de el el..Itu mah jawaban yang di-indoktrinasi dari kecil, bukan tujuan yang km temukan sendiri dalam perjalananmu.. Jelas aja basi, tujuan hidupmu aja cuma slogan, pantes ga dilakuin..Kalo mau kehidupan lebih terstruktur, punya arah, manajemen yang jelas dan gak ngebosenin,menurutku dari sekarang coba rancang sendiri tujuan hidup temen2..Jangan sok2 muna pake kalimat2 orang2 tua, coba analisis sendiri, nah abis itu rancang sendiri tujuan hidup temen2 menurut skala prioritas..Apa yang paling temen2 butuh, temen2 perlu dan yang paling pengen temen2 capai.. Nah, dari situ bikin strategi untuk mencapai visi ini, strategi jangka pendek dan jangka panjang..jangan ngawur2 bikin strateginya, tapi bikin dengan baik2 n gunakan prinsip vektor (ketika vektor meleset 1 derajat di titik aceh, itu artinya meleset ratusan ribu kilometer di Papua), sedikit perubahan pada arah laju Satelit Mariner, maka dia tidak akan pernah mencapai Mars. Gunakan perubahan sedikit demi sedikit dan kamu akan melihat hasilnya..Semoga membantu keluar dari kebosanan (atau malah bosen baca ini tulisan, hehe) Selengkapnya...

PACARAN

PACARAN

Apa si sebenernya pacaran itu??ada yang bilang pacaran itu gak boleh, banyak yang bilang pacaran harus kerja dulu, minimal 25 tahun dulu baru boleh pacaran, n bla bla bla..Sbenernya apa si pacaran itu??kenapa banyak anak2 muda sekarang pacaran, kenapa ga kaya jaman2 jadoel aja gitu yg masih main jodoh2 an??

Mungkin kalo jodoh2 an, yang nikah kaya milih kucing dalam karung kali, jadi gak ngerti siapa yang dijodohin sampe akhirnya baru kenal setelah nikah. Kalo kita dijodohin sama yang baik, setia, jujur, pinter ngatur waktu, bisa dipercaya, penuh tanggung jawab, n cakep (penting!!) si gpp..Tapi kalo kebalikannya coba??kan kaya milih kucing dalam karung..

Ada beberapa hal yang ngebuat saya setuju sama yang namanya pacaran (dengan catatan pacaran yang sehat ya).. Pacaran menurut saya adalah persiapan buat pernikahan, jadi jangan pacaran kalo orientasi kita bukan buat nikah..Bukan berarti ga bisa putus setelah pacaran, tapi jangan sembarangan pacaran-putus, pacaran-putus, or gonta ganti pacar, namanya kita yang bs jaga komitmen (atau jadi korban orang2 yang ga bisa jaga komitmen)..jangan berpikir "ah kan baru pacaran, ga papa dong main2, ngelaba sedikit2"..Hey teman, kalo sekarang aja kita ga bisa mengendalikan diri, Bohong besar kalo saat menikah nanti kita bisa dengan tiba2 bisa menguasai diri... Lebih aman kalo sejak muda kita belajar untuk pegang komitmen jadi saat dewasa nanti kita udah terbiasa memegang kepercayaan orang lain... Lagian kalo kebanyakan ngelaba, atau ngelanggar komitmen, pasti ada efek buruknya buat kita..contoh: kalo kita biasa boong sama orang lain (pacar) akan terjadi sesuatu di alam bawah sadar kita, kita ga akan menganggap diri kita bisa dipercaya (nah loe, parah kan) n kalo ud kronis n menetap lama kita bisa punya kepribadian ganda atw split personality..jadi pacaran harus siap2 bener untuk pacaran..Nah kalo motivasinya udah bener, n caranya bener (bukan sex oriented tp vision oriented), dijamin d pacaran akan ngebawa kita makin dewasa.. ada beberapa alasan kenapa aq nulis begini

1. Dalam pacaran pasti berantem artinya pacaran adlah media belajar mengampuni
Dalam pacaran yang sehat n bertujuan pada visi, pasti akan terjadi yang namanya berantem..Kenapa??karena ada 2 kepala maka ada 2 visi jadi pasti suatu saat akan bertabrakan n berantem d jadinya..Nah dalam bernatem ini justru kedewasaan kita teruji..Anak kecil kalo berantem pasti ngambek, marah, nangis, n kabur..Tapi orang dewasa akan belajar mengampuni n mencoba menyelesaikan akar masalahnya..Prinsipnya lumayan simple kog, temukan akar masalahnya, pikirkan solusinya, n ambil tindakan buat nyelesein semuanya, dengan catatan dilarang ngambil keputusan saat emosi (dijamin, kalo km ngambil keputusan saat emosi pasti 99,99% keputusan yang km ambil salah)..So, ga ada permasalahan yang ga bsa diselesaikan,,dalam pacaran kita belajar ini..
2. Dalam pacaran ada saling mengerti
Anak kecil biasanya egois, semua adalah punya dia n semua harus nurutin maunya dia..Tapi orang dewasa akan mencoba mengerti orang lain, bukannya cuma mau dingertiin doank..dalam pacaran ada tautan jiwa, n pasti kalo terus berjalan akan ada pembelajaran untuk saling ngertiin.. Karena cinta sejati itu bukan ditemukan tapi ditumbuhkan.. Jadi jangan harap kamu bisa menemukan cinta sejatimu, yang bisa adalah kamu menumbuhkan cinta sejatimu, so belajarlah mengerti
3. Dalam pacaran ada diskusi
Saat ada beberapa masalah muncul, orang yang sehat pacarannya akan mencoba mencari jalan keluarnya bersama (nama lainnya diskusi)..Berarti ada pengasahan otak bersama, jadi pinter bareng, jadi berhikmat bareng, n dewasa dalam organisasi manajemen deh..
4. Dalam pacaran ada saling membangun
Dalam pacaran kalo satu orang capek, males, letih, yang lain pasti menguatkan..Jadi ada semangat baru..Bagus buat orang2 yang males ni,,Jadi belajar bertanggung jawab sama studi, pekerjaan,n tanggung jawab yang lain..
5. Dalam pacaran ada penyatuan visi
Dalam pacaran harus ada yang namanya planning..Setelah pacaran mau gimana, cita2 masing2 apa..harus dibicarain bareng2 n dsatukan..Jangan sampe kita jarang komunikasi (artinya kita ga nyatuin visi) tau2 setelah nikah berantem besar2an gara2 ternyata si suami ga ngijinin istrinya kerja (suaminya pola pikirnya jadoel ni..) akhirnya susah sendiri kan..N kalo ada diskusi berat kaya gini, akhirnya kita belajar , belajar ngertiin orang lain, belajar menerima pendapat, belajar ngalah, n belajar analisa yang tepat sampai akhirnya ngambil keputusan yang terbaik Selengkapnya...

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign