Sabtu, 11 April 2009

Hepatits B

TIJAUAN UMUM ATAS HEPATITIS B





I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO III
MUNTAH DARAH
Seorang wanita umur 50 tahun datang ke unit gawat darurat RS Dokter Moewardi diantar keluarga dengan keluhan muntah darah
Riwayat penyakit sekarang :
Satu bulan sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan perut sebah dan terasa panas, bila diberi makan perut nyeri, nafsu makan turun, mual kadang-kadang muntah. Tiga hari sebelumnya pernah muntah darah dan melena, dan dirawat di puskesmas terdekat. Karena belum ada perbaikan kemudian dirujuk ke rumah sakit dr Moewardi Surakarta.
Riwayat penyakit dahulu :
Pernah sakit kuning delapan tahun yang lalu, riwayat sakit gastritis (+)
Pemeriksaan fisik : keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, tanda vital baik, ikterik, hepar membesar, nyeri tekan epigastrik. Rectal toucher : hemorrhoid grade 3
Laboratorium : SGOT : 250 IU, SGPT : 235 IU, protein total : 6,2 mg/dL, albumin : 2,8 mg/dL, bilirubin direk : 3,15 mg/dL, bilirubin indirek : 2,15 mg/dL.
Kesimpulan pemeriksaan ultrasonografi abdomen (USG abdomen) : kolelitiasis, tidak ada hidrop vesica felea, pancreas normal, terdapat sirosis hepatis dengan hipertensi portal.
Kesimpulan endoskopi :
Esofagus : terdapat varises
Gaster : lesi erosi hemoragik difus
Duodenum : erosi hemoragik difus
Pada penderita direncanakan untuk dilaksanakan pemeriksaan marker hepatitis (hepatisis B dan C) dan direncanakan pula untuk dilakukan terapi endoskopi. Selanjutnya pasien dikirim ke bangsal perawatan. Di bangsal penderita diberi cairan ringer lactat, proton pump inhibitor dan realimentasi segera (early feeding).

Hepatitis merupakan peradangan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus hepatitis ke dalam hepar. Penyakit ini merupakan infeksi sistemik yang dapat juga ditularkan pada pasca transfusi (Dorland, 2006; Santiyoso, 2007).
Hepatitis virus merupakan masalah kesehatan yang penting di seluruh dunia. Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dari seluruh penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit tersebut mengakibatkan sekitar 1-2 juta kematian setiap tahunnya (Sanityoso, 2007; Lindseth, 2005).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi sistem hepatobilier.
2. Fisiologi sistem hepatobilier.
3. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dan komplikasi dari hepatitis B.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang kesehatan pencernaan.
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan hepatitis B.
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kelainan sistem pencernaan.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang hepatitis dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.


c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang sistem pencernaan baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI HEPAR
Hepar/hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% dari berat badan orang dewasa normal. Hepar menempati hampir seluruh regio hypochondriaca dextra, sebagian besar regio epigastrica dan kadang-kadang memanjang sampai regio hypochondriaca sinistra. Hepar terletak di bawah diafragma dan hampir selurunya terlindung oleh costa (Amirudin, 2007; Budianto, 2003).
Hepar memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hepar berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus (Lindseth, 2005).
Hati memiliki dua lobus utama, yaitu lobus dexter dan lobus sinister. Lobus dexter dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis dexter yang tidak terlihat dari luar. Lobus sinister dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falciforme hepatis yang terlihat dari luar. Ligamentum falciforme hepatis berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum visceralis, kecuali pada bagian kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma dinamakan bare area of the liver (Lindsteth, 2005; Budianto, 2003).
Beberapa ligamentum yang merupakan peritoenum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ; bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka untuk cabang vena porta, arteri hepatika dan ductus biliverus. Porta hepatis adalah fissura pada hati tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta tempat keluarnya dutus hepatikus (Lindseth, 2005).
Satuan mikroskopis dan fungsional hati terkecil dinamakan lobulus. Setiap lobulus berbentuk hexagonal, dan terdiri dari sel-sel hepar atau hepatosit yang tersusun seperti batu bata. Hepatosit-hepatosit ini tersusun radier dengan sebuah vena centralis di tengah (Budianto, 2003; Amirudin, 2007).
Di setiap sudut dari lobulus terdapat portal tiad (trigonum portal). Dinamakan demikian karena pada bangunan tersebut selalu ditemukan tiga struktur yaitu sebuah cabang dari A. hepatica yatu A. interlobularis (memasok darah kaya O2 ke hepar), sebuah cabang dari V. porta hepatis yaitu V. interlobularis (membawa darah vena yang memuat zat-zat nutrisi dari organ-organ pencernaan lain) dan sebuah ductus biliverus. Ketiga struktur ini berjalan di dalam sarung fibrosa yang disebut capsula Glisson (Budianto, 2003).
Di antara hepatosit-hepatosit terdapat kapiler-kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan jalur pertukaran. Di antara dinding pembuluh kapiler sinusoid dan permukaan sel hepatosit terdapat ruangan yang disebut spatium Disse yang diduga mencurahkan lymphe ke vasa lymphatica interlobularis. Darah dari A. hepatica dan V. porta tersaring dari trigonum porta melalui sinusoid-sinusoid ini yang kemudian mengalir ke V. centralis. Dari V. centralis darah memasuki V. hepatica kemudian bermuara ke V. cava inferior (Budianto, 2003; Amirudin, 2007).
Di dalam sinusoid terdapat sel makrofag yang berbentuk stelat disebut juga sel kupffer yang berfungsi memindahkan debris, seperti bakteri dan cacing, keluar melalui eritrosit ketika darah mengalir melaluinya (Budianto, 2003; Amirudin, 2007).
Vesica fellea (gallbladder) adalah sebuah kantong muskuler berwarna hijau seperti buah pear dengan dinding yang tipis dan panjang sekitar 10 cm. Vesica fellea terletak pada fossa vesica fellea pada fascies visceralis hepar. Bagian-bagian dari vesica fellea adalah fundus, corpus, infundibulum dan collum. Infundibulum dan collum kadang membentuk ampulla (Budianto,2003).
B. FISIOLOGI HEPAR
Selain merupakan orga parenkim terbesar, hati juga menduduki urutan pertama dalam jumlah, kerumitan, dan ragam fungsi. Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperan dalam hampir setiap fungsi metabolik tubuh, dan terutama bertanggung jawab atas lebih dari 500 aktivitas berbeda. Namun hati juga memiliki kapasitas cadangan yang besar,dan hanya membutuhkan 10-20% jaringan yang berfungsi untuk tetap bertahan. Destruksi total atau pengangkatan menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari 10 jam. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang mengagumkan. Pada kebanyakan kasus, pengangkatan sebagian hati akan merasang tumbuhnya hepatosit untuk mengganti sel yang sudah mati atau sakit. Proses regenerasi akan berlangsung lengkap dalam waktu 4 hingga 5 minggu (Lindseth, 2005; Guyton, 1997).
Sel hepar semuanya merupakan suatu kolam reaksi kimia besar dengan laju metabolisme yang tinggi, saling memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lainnya, dan melakukan berbagai fungsi metabolisme lain (Guyton, 1997).
Dalam metabolisme karbohidrat, hepar melakukan fungsi spesifik ini : (1) menyimpan glikogen, (2) mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, (3) glukoneogenesis, dan (4) mengubah banyak senyawa kimia penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. Hati terutama penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Misalnya, penyimpanan glikogen memungkinkan hati mengambil kelebihan glukosa dari darah, menyimpannya dan kemudian mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah mulai turun terlalu rendah (Guyton, 1997).
Metabolisme lemak juga dapat terjadi di semua sel tubuh, tetapi aspek metabolisme lemak tertentu terutama terjadi di hati. Beberapa fungsi spesifik hati dalam metabolisme lemak : (1) kecepatan oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk mensuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, (2) pembentukkan sebagian besar lipoprotein, (3) pembetukkan sejumlah besar kolesterol dan fosfolipid, dan (4) pengubahan sejumlah besar karbohidrat dan protein menjadi asam lemak. Untuk memperoleh energi dari lemak netral, lemak pertama-tama dipecah menjadi gliserol dan asam lemak; kemudian asam lemak dipecah oleh oksidasi beta menjadi radikal asetil berkarbon dua yang kemudian membentuk asetil-KoA. Asetil-KoA ini kemudian dapat memasuki siklus asam sitrat dan dioksidasi untuk membebaskan sejumlah energi yang sangat besar. Oksidasi beta dapat terjadi di semua sel tubuh, namun terjadi dengan sangat cepat di sel hepar (Guyton, 1997).
Hati juga berperan dalam metabolisme protein dengan fungsi : (1) deaminasi asam amino, (2) pembentukkan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, (3) pembentukkan protein plasma, dan (4) interkonversi di antara asam amino yang berbeda demikian juga dengan ikatan penting lainnya untuk proses metabolisme tubuh. Pada dasarnya semua protein plasma, kecuali bagian dari gamma globulin, dibentuk oleh sel hati. Sel hati menghasilkan kira-kira 90% dari semua protein plasma (Guyton, 1997).
Fungsi utama hati adalah pembentukkan dan ekskresi empedu. Hati mengekskresikan empedu sebanyak satu liter per hari ke dalam usus halus. Kira-kira 80% kolesterol yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang kemudian disekresikan ke dalam empedu. Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu. Walaupun bilirubin merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak memiliki peran aktif, tapi penting sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya (Amirudin, 2007; Guyton, 1997).
Vesica fellea berfungsi untuk menyimpan empedu yang sedang tidak dibutuhkan tubuh dan mengentalkannya dengan mengabsorbsi sejumlah cairan dan ion pada empedu. Dalam beberapa kasus, empedu yang dikeluarkan dapat mencapai 10X lebih kental dibanding saat masuk. Ketika kosong atau menyimpan sedikit empedu, mucosa vesica fellea membentuk rugae. Jika ototnya berkontraksi, empedu dialirkan ke dalam saluran empedu, ductus cysticus, dan kemudian mengalir ke ductus choledochus (Budianto, 2003; Guyton, 1997).
Banyak zat diekskresi ke dalam empedu dan kemudian dikeluarkan ke dalam feses.Salah satunya adalah pigmen bilirubun. Bilirubin merupakan hasil akhir pemecahan hemoglobin yang penting. Bila sel darah merah sudah habis masa hidupnya dan menjadi terlalu rapuh, membran selnya akan pecah dan hemoglobin terlepas dan difagositosis oleh makrofag di seluruh tubuh. Di sini hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Kemudian cincin heme dibuka untuk melepaskan besi ke dalam darah serta pembentukkan pirol yaitu suatu substrat yang darinya pigmen empedu akan dibentuk. Pigmen pertama yang terbentuk adalah biliverdin, tetapi ini dengan cepat direduksi menjadi bilirubin bebas, yang secara bertahap dilepaskan ke dalam plasma. Bilirubin bebas dengan segera bergabung dengan sangat kuat dengan albumin plasma dan ditranspor dalam kombinasi ini melalui darah dan cairan interstisial. Sekalipun berikatan dengan protein plasma, bilirubin ini masih disebut bilirubin bebas (Guyton, 1997; Lindseth, 2005).
Dalam beberapa jam, bilirubin bebas diabsorbsi melalui membran sel hati. Bilirubin kemudian dilepaskan dari albumin dan setelah itu 80% dikonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentuk asam glukoronida, kira-kira 10% konjugasi dengan sulfat membentuk bilirubin sulfat, dan akhirnya 10% lainnya dikonjugasi dengan zat lainnya. Dalam bentuk ini bilirubin dikeluarkan melalui proses transpor aktif ke dalam kanalikuli empedu dan kemudian masuk ke dalam usus (Guyton, 1997).
Sekali berada di dalam usus, kira-kira setengah bilirubin terkonjugasi diubah oleh kerja bakteri menjadi urobilinogen, yang mudah larut. Beberapa urobilinogen direabsorbsi melalui mukosa usus kembali ke dalam darah. Sebagian besar diekskresikan kembali oleh hati ke dalam usus, tetapi kira-kira 5% diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin, urobilinogen teroksidasi mejadi urobilin, atau dalam feses urobilinogen diubah dan dioksidasi menjadi sterkobilin (Guyton, 1997).
III. DISKUSI / BAHASAN
A. ETIOLOGI
Infeksi hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang terutama menyerang hati. Sebagian besar kasus infeksi virus hepatitis disebabkan oleh salah satu dari lima virus ini : virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), dan virus hepatitis E (HEV). Semua virus hepatitis adalah virus RNA, kecuali hepatitis B yang merupakan virus DNA. Walaupun diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium, tetapi semua virus hepatitis ini memiliki gejala klinis yang serupa. Bervariasi dari asimtomatik hingga fulminan dan infeksi akut dan fatal, juga dapat berjalan menjadi kronis bahkan karsinoma hepatoseluler atau sirosis hati. Sekirar 15% hingga 40% pasien yang terinfeksi akan berkembang menjadi sirosis, karsinoma hepatoseluler dan liver failure (Fauzi, 2008; Anna, 2002).
Virus hepatitis B merupakan virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm yang memiliki lapisan permukaan dan bagian inti. Penanda serologis pertama yang digunakan dalam identifikasi HBV adalah antigen permukaan (HBsAg) yang kira-kira positif dua minggu sebelum timbulnya gejala klinis, dan biasanya menghilang pada masa kosvalesen dini. Pada sekitar 1% sampai 5% penderita hepatitis kronis HBsAg dapat menetap selama lebih dari 6 bulan. Adanya HBsAg pada penderita menandakan bahwa mereka dapat menularkan HBV ke orang lain. Cara utama penularan HBV adalah melalui parenteral dan menembus membran mukosa, terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata 60 hingga 90 hari. HBsAg ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang yang terinfeksi, terutama darah, semen dan saliva telah terbukti bersifat infeksius (Lindseth, 2005).
Penanda berikutnya adalah antibodi terhadap antigen inti (anti-HBc). Antigen inti sendiri tidak terdeteksi secara rutin karena terletak di dalam kulit luar HBsAg. Antibodi anti-HBc dapat terdeteksi segera setelah timbul gejala klinis dan menetap untuk seterusnya, antibodi ini merupakan penanda kekebalan yang paling jelas didapat dari infeksi HBV (Lindseth, 2005).
Antibodi yang muncul berikutnya adalah antibodi terhadap antigen permukaan (anti-HBs). Anti-HBs timbul setelah infeksi membaik dan berguna untuk memberikan kekebalan jangka panjang (Lindseth, 2005).
Antigen “e” (HBeAg) merupakan bagian HBV yang larut dan timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg menghilang. HbeAg selalu ditemukan pada semua infeksi akut dan hal ini menunjukkan adanya replikasi virus dan penderita dalam keadaan sangat menular. HBeAg yang menetap mungkin menunjukkan infeksi replikatif yang kronis (Lindseth, 2005).
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5% sampai 25,61%, sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara Asia diperkirakan bahwa penyebaran perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi infeksi virus hepatitis B yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBeAg positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga dalam kehidupannya. Adanya HBeAg pada ibu berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu mengandung HBsAg positif namun jika HBeAg dalam darah negatif, maka daya tularnya menjadi rendah (Sanityoso, 2007).
B. GAMBARAN KLINIS
Karena hati memiliki kapasitas cadangan yang luar biasa, kerusakan hepatosit harus sedemikian besar sebelum timbulnya manifestasi klinis. Kita dapat mendeteksi kerusakan hepatoseluler yang sedang berlangsung dengan mengukur indeks fungsional dan dengan mengamati produk hepatosit yang rusak atau nekrotik di dalam sirkulasi. Uji enzim menjadi satu-satunya petunjuk adanya cedera sel pada penyakit hati akut atau lokal karena perubahan ringan mungkin masih dapat dikompensasi bagian hati lain yang masih normal. Bilirubin biasanya digunakan sebagai indikator kerusakan hati sedang sampai berat (Sacher, et.al. 2004).
Dua enzim yang paling sering berkaitan dengan kerusakan hepatoseluler adalah aminotransferase yang berguna untuk pembentukkan asam amino yang tepat dalam menyusun protein di hati adalah (1) aspartat aminotransferase (AST/ SGPT) dan (2) alanin aminotransferase (ALT/SGOT). ALT spesifik pada kelainan hati, sedangkan AST juga terdapat pada miokardium, otot rangka, otak, dan ginjal. Secara kasar, peninggian kadar aminotransferase setara dengan luas kerusakan hepatoseluler (Sacher, et.al. 2004).
Pada saat HBV masuk ke tubuh dengan jalur parenteral. Partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus, selanjutnya akan memproduksi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Kemudian hal ini akan merangsang innate immunity untuk mengatasi infeksi, namun jika innate immunity gagal menanggulangi infeksi maka adaptive immunity akan digunakan oleh tubuh mengatasi infeksi HBV(Soemohardjo et. al., 2007).
Aktivasi CD8+ terjadi saat reseptor sel T kontak dengan VHB-MHC class I yang ada pada permukaan sel hati dan pada permukaan APC dibantu dengan sel T yang kontak dengan VHB-MHC class II pada APC. Peptida kapsid VHB HBcAg atau HBeAg pada permukaan sel hati menjadi sasaran antibodi. Sel T CD 8+ akan mengeliminasi virus dalam sel hati yang terinfeksi. Bisa terjadi dengan nekrosis sel hati yang akan mengakibatkan naiknya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu juga terjadi elminasi intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi atau aktivitas interferon gamma dan TNF alfa yang dihasilkan oleh sel CD 8+. Aktivasi sel B dengan bantuan CD 4+ akan menyebabkan produksi antibodi anti-HBs, anti-HBc, anti Hbe.F ungsi anti–HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus dari sel ke sel (Soemohardjo et. al., 2007).
Gambaran klinis hepatitis akut terbagi menjadi 4 tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus dengan rata-rata 60-90 hari.
2. Fase Prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artralgia, mudah lelah, berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Serum sickness dapat muncul pada hepatitis B akut di awal infeksi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang mengakibatkan kolestisitis.

3. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan prodormal, tetapi justru terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase Konvalesen
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada 5-10% kasus mungkin perjalanan klinisnya lebih sulit ditangani dan menjadi kronis, hanya <1% yang menjadi fulminan (Sanityoso, 2007)
C. PERJALANAN PENYAKIT HEPATITIS B KRONIS
Hepatitis B disebut kronis jika terdapat persitensi virus hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan, sehingga pemakaian istilah carrier sehat sudah tidak dianjurkan lagi. Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap HBsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita hepatitis B kronik, sedangkan hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi infeksi (Soemohardjo, et. al., 2007).
Ada tiga fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance dan fase nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT relatif normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi jarang terjadi serokonversi secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi tersebut biasanya tidak efektif. Pada 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan titer ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif. Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini titer HBsAg rendah secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30% pasien hepatitis B kronis dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan (Soemohardjo, et. al., 2007; Fauzi, et. al., 2008).
Semua infeksi hepatitis B akut menunjukkan HBsAg dan HBeAg positif serta peninggian serum aminotransferase. Pada sebagian besar orang, peninggian aminotransferase menjadi turun sampai ke level normal. Pasien dengan kondisi ini juga mengalami serokonversi HBeAg menjadi anti-Hbe, dan semua mempunyai serum DNA polimerase yang negatif. Kebanyakan mengalami penurunan titer HBsAg. Serokonversi ini terjadi pada beberapa bulan sebelum serum aminotransferase mengalami penurunan. Sebaliknya pada sebagian kecil pasien yang HBeAgnya tetap positif tetap mengalami peninggian serum aminotransferase. Dengan demikian sebagian besar pasien dengan hepatitis B kronis akhirnya mengalami remisi spontan terhadap kondisi klinis dan biokimia penyakit, biasanya dengan menghilangnya HBeAg dan DNA polimerase (Hoofnagle, et. al., 1981).
Pada sebagian pasien pada fase residual, pada waktu terjadi serkonversi HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual, replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi hepatitis B menjadi tenang justru risiko untuk terjadi karsinoma hepatoseluler mungkin meningkat (Soemohardjo, et. al., 2007).
D. TERAPI
Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah supresi replikasi HBV dan remisi dari penyakit hepatoseluler. Pada pasien hepatitis kronis dengan HBeAg positif, respon pengobatan biasanya diukur dengan reduksi DNA HBV ke level yang tidak dapat dideteksi oleh non–polymerase-chain-reaction assays dabn oleh lenyapnya HBeAg (Anna, 2002).
Terapi yang digunakan dalam pengobatan hepatitis B kronis diantaranya interferon alfa dan lamivudine. Pengobatan tiga sampai enam bulan menggunakan interferon alfa akan memberikan respon sekitar 30-40%. Hasil pengobatan pada anak seperti pada pengobatan orang dewasa. Lamividune merupakan suatu analog nucleosid yang diberikan secara oral, bertujuan untuk menghambat replikasi HBV. Sehingga akan bersaing dengan nukleosid asli yang menyebabkan penghambatan infeksi sel yang sehat. Lamividune juga bertujuan untuk menghambat aktivitas enzim reverse transcryptase yang berperan dalam replikasi VHB (Anna, 2002; Soemohardjo, et. al., 2007).
E. KOMPLIKASI
Sejumlah kecil pasien mengalami hepatitis kronis aktif bila terjadi kerusakan hati seperti digerogoti (piece meal) dan terjadi sirosis. Kondisi ini dibedakan dengan hepatitis kronis persisten melalui pemeriksaan biopsi hati. Terapi kortikosteroid dapat memperlambat kerusakan hati, namun prognosisnya tetap buruk. Kematian biasanya terjadi dalam 5 tahun pada lebih dari separuh pasien-pasien ini akibat gagal hati dan komplikasi dari sirosis (Lindseth, 2005).
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, membagi hati menjadi daerah-daerah makronodular dan mikronodular. Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik, dan pada kasus lanjut dapat mengakibatkan kerusakan hati yang bertahap. (Dorland, 2006; Lindsteh, 2005; Guyton, 1997).
Gejala dini untuk sirosis bersifat samar dan tidak spesifik seperti kelelahan, dispepsia, flatulen, konstipase atau diare, dan berat badan berkurang, mual dan muntah yang terutama pada pagi hari, nyeri tumpul atau perasaan berat pada epigastrium atau kuadran kanan atas (Lindseth, 2005).
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal hepatoseluler adalah ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palmaris, angioma laba-laba, fetor hepatikum, dan ensefalopati hepatik. Gambaran klinis yang terutama berkaitan dengan hipertensi portal adalah splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta manifestasi kolateral lain. Asites dapat dianggap sebagai manifestasi kegagalan hepatoseluler dengan hipertensi portal (Lindseth, 2005).
Pada sirosis hati jelas akan terjadi gangguan sintesis albumin. Sehingga akan mengakibatkan terjadinya beberapa gejala seperti asites, edema tungkai dan efusi pleura Pada keadaan dimana kadar albumin dalam plasma menurun, transfusi albumin menjadi salah satu pilihan tatalaksana yang telah dipakai sejak lama. Umumnya indikasi pemberian albumin pada sirosis hati adalah untuk mengurangi pembentukan asites atau untuk memperbaiki fungsi ginjal dan sirkulasi.Sebagian dari indikasi tersebut ditunjang oleh data uji klinis yang memadai, tetapi beberapa hanya berdasarkan pengalaman klinis dan belum pernah dibuktikan lewat penelitian yang sahih. Oleh karenanya penggunaan albumin pada pasien sirosis hati masih mengandung unsur kontroversi. Dalam upaya meninggikan kadar albumin pada kondisi sirosis diet nabati bisa menjadi pilihan karena sifat protein dan nilai biologis yang tinggi. Dan pada penelitian juga sudah dibuktikan bahwa pemberian tempe kedelai pada pasien sirosis dapat meninggikan kadar albumin dan perbaikan ensefalopati hepatik (Hasan, et. al., 2008; Ratnasari et. al., 2001).
Komplikasi lanjut hepatitis yang cukup bermakna adalah berkembangnya karsinoma hepatoseluler primer. Kanker hepatoseluler cukup sering terjadi terutama di negara-negara berkembang. Dua faktor penyebab terkait dalam patogenesis adalah infeksi HBV kronis dan sirosis terkait (Lindseth, 2005).




IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami hepatitis B
2. Hepatitis yang tidak teratasi dapat menjadi hepatitis kronis
3. Sebagian besar pasien hepatitis B mengalami serokonversi spontan
4. Komplikasi dari hepatitis B kronis aktif dapat berupa sirosis hati dan karsinoma primer
5. Hasil pemerkisaan laboratorium pasien diperlukan untuk menegakkan diagnosis

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan hati, dalam hal ini pada kasus-kasus hepatitis. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat dan screening saat donor darah lebih diperketat.














V. DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 102-111
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 993,438
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 1103-1110
Lindseth, Glenda N. 2005. Gangguan Hati, Kandung Empedu dan Pankreas. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. JakartaG : EGC. pp : 437-450
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Sacher, Ronald A., McPherson, Richard A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Alih bahasa: Brahm U Pendit et. al. Jakarta : EGC. pp: 369-370
Sanityoso, Andri. 2007. Hepatitis Virus Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 427-431
Soemohardjo, Soewignjo., Gunawan, Stephanus. 2007. Hepatitis B Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 433-437
Anna S.F. Lok. 2002. Chronic Hepatitis B. http://content.nejm.org/cgi/content/full/346/22/1682 (5 April 2009)
Hoofnagle, JH., Dusheiko, GM., Seeff, LB., Jones, EA., Waggoner, JG., Bales, ZB. 1981. Seroconversion from hepatitis B e antigen to antibody in chronic type B hepatitis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7235415 (5 April 2009)
Irsan, Hasan., Tities, Anggraeni Indra. 2008. Peran Albumin dalam Penatalaksanaan Sirosis Hati. http://equilab-int.com/images/publish_upload080711257643001215763044FA%20MEDICINUS%208%20MEI%202008%20rev.pdf (5 April 2009)
Ratnasari, Neneng.,Nurdjanah, Siti., Wiyono, Paulus. 2001. Diet Tempe Kedelai Pada Penderita Sirosis Hati Sebagai Upaya Meningkatkan Kadar Albumin dan Perbaikan Ensefalopati Hepatik. http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/bik/article/view/1204/1201 (5 April 2009). Selengkapnya...

Apendisitis

TIJAUAN UMUM ATAS APENDISITIS




I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Apendisitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi. Apendisitis paling sering terjadi pada usia remaja dan dewasa muda. Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi ketimbang negara berkembang, namun pada tiga-empat dasawarsa ini menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. (Lindseth, 2005; Pieter, 1997).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi apendiks vermiformis
2. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari appendisitis
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang gastrointestinal.
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan apendisitis.
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kelainan gastrointestinal.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang apendisitis dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang gastrointestinal baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI APPENDIKS VERMIFORMIS
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung buntu sebesar jari kelingking dengan panjang kira-kira 10 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Pada 65% kasus apendiks ditemukan intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada mesoapendiks penggantungnya (Lindseth, 2005; Pieter, 1997).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Karena itu nyeri viseral pada apendisitis bermula pada umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, apendiks akan mengalami gangren (Pieter, 1997).
B. FISIOLOGI APPENDIKS VERMIFORMIS
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis(Pieter, 1997).
Imunoglobin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi (Pieter, 1997; Zdravkovic, et. al., 2007).
III. DISKUSI / BAHASAN
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ. Patogenesis utamanya diduga karena adanya obstruksi lumen yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Penyumbatan pengeluaran sekret mukus mengakibatkan terjadinya pembengkakan, infeksi, dan ulserasi. Peningkatan tekanan intraluminar mengakibatkan oklusi end artery apendikularis. Bila ini dibiarkan terus dapat terjadi nekrosis, gangren, dan perforasi (Lindseth, 2005).
Usaha tubuh membatasi radang ini dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terjadi abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan secara lambat terurai (Pieter, 1997).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu saat dapat meradang kembali dan mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 1997).
Pada kasus apendisitis akut klasik, gejala awal adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilikus. Gejala ini umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dengan disertai anoreksia, mual, muntah. Dapat juga terjadi nyeri tekan di daerah Mc Burney. Kemudian, dapat timbul spasme otot dan nyeri tekan lepas. Biasanya ditemukan demam ringan sekitar 37,5-38,5oC, bila suhu lebih tinggi biasanya sudah terjadi perforasi. Leukositois biasanya sedang sekitar 10.000–18.000/L jika sudah melebihi 20.000/L maka biasanya sudah terjadi perforasi. Apabila terjadi ruptur apendiks, tanda perforasi dapat berupa nyeri, nyeri tekan dan spasme (Fauzi, 2008; Lindseth, 2005; Pieter, 1997).
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio illiaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Pada apendisitis retrosekal dan retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Pemeriksaan rectal toucher menyebakan nyeri tekan pada jam 9-12 (Pieter, 1997; Fauzi, 2008).
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendinginan sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus. Sering ditemukan pada pegobatan yang terlambat, gejala yang samar, dan perubahan anatomi apendiks (Pieter, 1997).
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskular di seluruh perut, mungkin dengan pungtum maksimum di regio hipokondriaka kanan; peristaltis usus menurun hingga menghilang karena ileus paralitik. Kecuali di regio iliaka kanan, abses rongga peritoneum bisa terjadi bilamana pus yang menyebar bisa dilokalisir di suatu tempat. Paling sering adalah abses rongga pelvis dan subdiafragma (Pieter, 1997).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan (Pieter, 1997).
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin secara adekuat secara mudah dan pula dapat dilakukan pembersihan kantong pus secara baik (Pieter, 1997).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis.
2. Pembedahan diperllukan untuk mencegah peritonitis karena perforasi apendiks.
B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan apendisitis.. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat.









V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 1002-1004, 1018-1020,1052
Lindseth, Glenda N. 2005. Gangguan Usus Halus. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 448-449
Pieter, John., Riwanto, Ign., Tjambolang, Tadjuddin., Hamami, Hidayat Ahmad. 1997. Tindak Bedah : Organ dan Sistem Organ; Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. pp : 865-875
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R., Jong, Wim de. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta : EGC
Zivkovic, Vladimir., Mandic, Predrag., Krtinic Dane., Milosevic, Jelena., Zdravkovic, Dejan. 2007. LYMPHOID TISSUE OF THE APPENDIX IN THE PRENATAL AND ADULT PERIOD OF HUMAN LIFE – MORPHOMETRIC ANALYSIS. http://www.medfak.ni.ac.yu/AMM/2007-html/2-broj/LYMPHOID%20TISSUE%20OF%20THE%20APPENDIX%20IN%20THE%20PRENATAL%20AND%20ADULT%20PERIOD%20OF%20HUMAN%20LIFE.pdf (17 Maret 2009). Selengkapnya...

TIJAUAN UMUM ATAS HUBUNGAN GASTRITIS DAN ULKUS PEPTIKUM

TIJAUAN UMUM ATAS HUBUNGAN GASTRITIS DAN ULKUS PEPTIKUM


I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO I
Seorang wanita umur 30 tahun datang ke unit gawat darurat RS Dr. Moewardi Surakarta dengan keluhan sakit perut dan diare.
Riwayat penyakit sekarang : Satu bulan sebelum mauk rumah sakit penderita sering merasakan perut tidak enak, nyeri daerah epigastrium, nausea kadang-kadang vomittus, terlambat makan juga sakit, nocturnal pain positif sehingga terbangun. Penderita sering minum obat maag (lambung) dan anti muntah bila merasakan keluhan di atas. Penderita pernah berobat ke dokter dan dikatakan menderita sakit gastrits atau ulkus peptikum.
Sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami diare sehari rata-rata 10 kali. Konsistensi encer tanpa disertai lendir dan darah, warna kuning berbau amis, juga disertai nausea dan vomitus. Vomitus terjadi setiap kali penderita makan atau minum. Badan lemah, kalau makan terasa pahit, sehingga penderita semakin tidak mau makan dan minum. Kencing sedikit.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum lemah, gizi cukup, keadaan apatis. Tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 110 kali/menit, respirasi 28 kali /menit (pernapasan kussmaul). Suhu 37,0 C. Mata cekung, bibir kering, abdomen : epigastric tenderness positip, turgor perut menurun. Kedua tangan keriput.
Oleh dokter, pasien tersebut diberikan terapi cairan.
Ulkus peptikum merupakan gangguan yang mengenai sekitar 4 juta orang per tahun. Diperkirakan ada 15.000 kematian per tahun akibat eksaserbasi dan komplikasi daru ulkus peptikum di Amerika Serikat. Biasanya ditandai dengan rasa nyeri atau panas di daerah epigastrium, dan dapat berkurang dengan pemberian antasid atau dengan pemberian makanan (Fauci, et. al, 2008; Lindseth, 2005).
Ulkus peptikum merupakan putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai ke bawah epitel. Dapat dibedakan menjadi erosi, ulkus akut dan ulkus kronis. Dikatakan sebagai erosi jika mukosa lambung terputus namun luka tidak meluas sampai di bawah epitel. Ulkus akut terjadi jika luka sudah sampai menembus epitel tetapi tidak membentuk jaringan ikat di dasar luka. Ulkus kronis terjadi jika mukosa lambung terputus dan luka sampai menembus epitel, sedang pada dasar luka sendiri sudah terbentuk jaringan ikat (Lindseth, 2005).


B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi ventriculus
2. Fisiologi ventriculus
3. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari gastritis
4. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari ulkus peptikum
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang gastrointestinal
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan gastritis dan ulkus peptikum
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kelainan gastrointestinal.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang ulkus peptikum dan gastritus dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang gastrointestinal baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI VENTRICULUS
Ventriculus atau gaster merupakan salah satu organ dalam sistema digestivus. Ventriculus atau lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk seperti huruf J, dan bila penuh dapat berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas lambung sekitar 1 sampai 2 L (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, corpus, antrum pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan curvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat curvatura major. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan makanan dalam lambung. Sfingter cardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung ke dalam esofagus. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
Lambung tersusu atas empat lapisan. Tunica serosa atau lapisan luar merupakan bagian dari peritoneum visceralis. Dua lapisan peritoneum visceralis menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ menuju organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum minus (disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah membentuk omentum majus yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron besar (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
Bagian muskularis lambung tersusun dari tiga lapisan otot polos. Dari luar ke dalam terdapat lapisan otot longitudinal, sirkular di bagian tengah dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan otot seperti ini memungkinkan terjadinya kontraksi yang beragam, dan memungkinkan gerakan peristaltik pada lambung untuk mencampur makanan dan mendorong makanan ke dalam duodenum (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
Submucosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa ikut bergerak dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandun pleksus saraf, pembuluh darah, limfe (Lindseth, 2005).
Mucosa, lapisan dalam lambung tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini. Kelenjar kardia berada dekat orifisium kardia dan menyekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe sel utama. Chief cell menyekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasanan asam. Sel-sel parietal menyekresikan asam lambung (HCl) dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik digunakan untuk mengabsorbsi vitamin B12 di dalam usus halus. Sel-sel mukus pada bagian leher ditemukan di leher kelenjar fundus dan menyekresikan mukus. Hormon gastrin yang diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama Na, K, Cl (Lindseth, 2005).
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mempercabangkan ramus gastrica, pilorika, hepatika, dan seliaka. Persarafan simpatis melalui nervus splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus Mienterikus Auerbach dan submucosa Meissner membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005)..
Seluruh suplai darah lambung dan pankreas terutama berasal dari arteri seliaka dan trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura mayor dan minor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
B. FISIOLOGI VENTRICULUS
Fungsi motorik lambung mecakup penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses di duodenum, pencampuran makanan ini dengan sekresi lambung sampai membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus, pengosongan makanan dengan lambat dari labung ke usus halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus (Guyton,1997).
Pada saat makanan memasuki lambung, maka akan membentuk lingkaran konsentris pada lambung. Pada saat yang sama terjadi distensi akibat makanan yang berada dalam lambung. Maka terjadi refleks vasovagal yang mengakibatkan lambung dapat mengurangi tonusnya sehingga makanan dapat tersimpan sementara dalam lambung (Guyton,1997).
Di lambung juga terjadi pencampuran makanan. Saat makanan masuk ke dalam lambung, gerak peristaltik lambung membuat makanan terdorong ke arah pilorus. Pada saat yang bersamaan juga terjadi kontraksi dari sfingter pilori, sehingga makanan tidak dapat sepenuhnya menuju duodenum. Sebagian makanan “menyemprot” ke arah duodenum, sedangkan sebagian besar lainnya kembali ke lambung dengan gerakan ke atas dan terjadi pencampuran makanan (Guyton,1997).
Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastrik dan intestinal. Fase sefalik dimulai akibat mencium, melihat, memikirkan atau mengecap makanan. Fase ini seluruhnya diperantarai oleh saraf vagus. Hal ini mengakibatkan kelenjar gastrik menyekresikan HCl, pepsinogen, dan menambah mukus. Fase sefalik menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal (Tarigan, 2007).
Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi antrum juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis pada reseptor dinding lambung. Impuls dikirim melalui saraf aferen vagus menuju medula dan kembali ke lambung; impuls ini merangsang pengeluaran hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang kelenjar-kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari antrum dan kemudian dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar lambung, untuk merangsang sekresi. Pelepasan gastrin juga dirangsang oleh pH alkali, garam empedu di antrum, dan terutama oleh protein makanan dan alkohol. Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari dua pertiga sekresi lambung total setelah makan (Guyton,1997; Budianto, 2005).
Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum. Adanya protein yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus-menerus menyekresikan sejumlah kecil cairan lambung. Meskipun demikian, peranan usus kecil sebagai penghambat sekresi lambung jauh lebih besar (Guyton,1997).
Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik, diperantarai oleh pleksus mienterikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi dan pengosongan lambung. Adanya asam (pH kurang dari 2,5), lemak, dan hasil-hasil pemecahan protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin, kolesitokinin, gastric inhibiting peptide, semuanya memiliki efek inhibisi terhadap sekresi asam lambung (Guyton,1997).
Lambung mempunyai beberapa mekanisme pertahanan. Lapisan pre-epitel berisi mukus bikarbonat bekerja sebagai rintangan fisikokemikal terhadap molekul seperti ion hidrogen, mukus yang disekresi sel epitel permukaan mengandung 95% air dan campuran lipid dengan glikoprotein. Mucin, unsur utama glikoprotein dalam ikatan dengan ikatan dengan fosfolipid, membentuk lapisan penahan air/ hidrofobik dengan asam lemak yang muncul keluar dari membran sel. Lapisan mukosa yang tidak tembus air merintangi difusi ion dan molekul seperti pepsin. Bikarbonat memiliki kemampuan mempertahankan pH sekitar 1-2 di dalam lumen lambung. Sekresi bikarbonat dirangsang oleh Ca++, PG, cholinergik, dan keasaman lumen (Tarigan, 2007).
Sel epitel permukaan adalah lapisan pertahanan kedua dengan kemampuan menghasilkan mukus, transportasi ionik sel epitel serta produksi bikarbonat yang dapat mempertahankan pH, intracellular tight junctoin (Tarigan, 2007).
III. DISKUSI / BAHASAN
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai. Istilah dispepsia sendiri merupakan kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Gastritis dan ulkus peptikum dapat mengakibatkan dispepsia. (Djojoningrat, 2007).
Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung. Dulu dianggap hanya sebagai kelainan fungsional sekresi asam lambung yang berlebihan. Sekarang telah ditemukan bahwa penyebab gastritis banyak diakibatkan oleh H. pylori. H. pylori melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa, meninggalkan daerah epitel yang tidak terlindungi. Endotoksin bakteri, kafein, alkohol, dan aspirin juga merupakan agen pencetus yang lazim. Obat juga dapat mengakibatkan gastritis misalnya anti-inflamasi non steroid, sulfonamid, steroid dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung (Lindseth, 2005).
Prevalensi infeksi kuman H. pylori di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju. Prevalensi pada negara maju sekitar 30-40%, sedangkan di negara berkembang mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya 10-20% yang akan menjadi penyakit gastroduodenal (Fauzi, Rani, 2007).
H. pylori adalah patogen gram negatif berbentuk batang/spiral, microaerofilik berflagela hidup pada permukaan epitel, mengandung urease (Vac A, cag A, PAI, dapat mentrans lokasi cag A ke dalam sel host), hidup di antrum, migrasi ke proksimal lambung dapat berubah menjadi kokoid suatu bentuk dormant bakteri. Infeksi kuman H. pylori akut dapat menimbulkan pan gastritis kronis diikuti atrofi sel mukosa korpus dan kelenjar, metaplasie intestinal dan hipoasiditas. Ulkus lambung kebanyakan disebabkan oleh infeksi H. pylori (30%-60%) dan OAINS sedangkan ulkus duodenum hampir 90% disebabkan H. pylori, penyebab lain adalah sindroma Zollinger Elison (Tarigan, 2007).
Apabila terjadi infeksi H. pylori, host akan memberi respons untuk mengeliminasi melalui mobilisasi PMN/limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan mengeluarkan berbagai macam mediator inflamasi atau sitokinin, yang bersama-sama dengan reaksi imun justru akan menyebabkan kerusakan sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi H. pylori dan menjadi infeksi kronis (Akil, 2007).
H. pylori dapat bertahan dalam suasana asam di lambung, kemudian terjadi penetrasi dalam mukosa lambung dan akhirnya H. pylori berkolonisasi di lambung. Sebagai akibatnya H. pylori dapat berproliferasi dan dapat mengabaikan mekanisme pertahanan tubuh. Pada keadaan ini beberapa faktor penting H. pylori memainkan peranan. Seperti urease yang memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah dan dapat melindungi bakteri dan mempunyai sifat toksik terhadap sel epitel lambung. Sedangkan protease dan fosfolipase A2 menekan sekresi mukus yang mengakibatkan pertahanan mukus berkurang, merusak lapisan yang kaya lipid pada apikal sel epitel dan melalui kerusakan-kerusakan ini, asam lambung berdifusi balik dan terjadi nekrosis yang lebih luas (Tarigan, 2007; Akil, 2007).
H. pylori yang terkonsentrasi terutama dalam antrum menyebabkan antrum predominant gastritis sehingga kerusakan pada sel D, produksi somatostatin menurun sehingga produksi gastrin meningkat yang merangsang sel-sel parietal mengeluarkan asam lambung yang berlebihan (Akil, 2007).
Pada gastritis superfisialis akut, mukosa memerah, edema, ditutupi oleh mukus yang melekat. Juga sering terjadi erosi kecil dan perdarahan. Derajat peradangan sangat bervariasi. Bila terjadi peradangan yang menembus pertahanan mukosa maka sel epitel yang berbatasan dengan daerah itu akan dengan segera bermigrasi/resititusi. Kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki dengan restitusi dilaksanakan dengan proliferasi sel (Lindseth, 2005; Tarigan, 2007).
Bila kondisi terus berlanjut dapat terjadi gastritis kronis, ditandai oleh atrofi progresif epitel kelenjar disertai hilangnya sel parietal dan chiel cell. Dinding lambung menjadi tipis, dan mukosa mempunyai permukaan yang rata. Gastritis kronis digolongkan menjadi dua kategori: gastritis tipe A (atrofik atau fundal) dan tipe B (antral) (Lyndseth, 2005).
Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan adanya autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik dan berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan sekresi HCl dan menyebabkan tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan yang sangat berat tidak terjadi sekresi faktor intrinsik yang mengakibatkan gangguan absorbsi vitaminB12 (Lyndseth, 2005).
Gastritis kronis tipe B umumnya mengenai daerah antrum dan lebih sering terjadi dibanding gastritis kronis tipe A. Penyebab utama gastritis kronis tipe B adalah infeksi kronis H. pylori. Faktor etiologi lainnya adalah alkohol yang berlebihan, merokok, refluks empedu kronis dengan kofaktor H. pylori. Gastritis atrofik kronis dapat mencetuskan ulkus peptikum dan karsinoma (Lyndseth, 2005).
Ulkus peptikum adalah putusnya mukosa lambung sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai di bawah epitel dinamakan erosi. Ulkus kronis berbeda dengan ulkus akut karena terdapat jaringan parut pada dasar ulkus (Lyndseth, 2005).
Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang merusak mukosa lambung mengubah permeabilitas sawar epitel lambung, sehingga memungkinkan difusi balik HCl yang mengakibatkan kerusakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas vaskuler terhadap protein. Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam patogenesis ulkus peptikum. Telah dikeatahui bahwa antrum lebih rentan difus ketimbang fundus (Lyndseth, 2005).
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat fungsi kelenjar Brunner yang memproduksi sekret yang sangat alakali (pH sekitar 8) dan kental, untuk menetralkan kimus asam. Penderita ulkus duodenum sering mengalami sekresi asam yang berlebihan (Lyndseth, 2005).
Asam lambung yang tinggi pada duodenum menimbulkan gastrik metaplasia yang dapat merupakan tempat hidup H. pylori dan sekaligus dapat memproduksi asam sehingga lebih menambah keasaman dalam duodenum. Keasaman yang tinggi dapat menekan produksi mukus dan bikarbonat, menyebabkan daya tahan mukosa lebih menurun dan mempermudah ulkus duodenum (Akil, 2007).



















IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami gastritis atau mungkin juga terjadi ulkus peptikum.
2. Ada hubungan antara gastritis dan ulkus peptikum.
3. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan gastrointestinal, dalam hal ini pada kasus-kasus gastritis. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat.
















V. DAFTAR PUSTAKA
Akil, H.A.M. 2007. Tukak Duodenum. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 345-348
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 43-59
Djojoningrat, Dharmika. 2007. Dispepsia Fungsional. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 352-354
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Fauzi, Achmad., Rani A, Azis. 2007. Infeksi Helycobacter Pylori dan Penyakit Gastro-duodenal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 329-330
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: ,1002-1004, 1018-1020,1052
Hirlan. 2007. Gastritis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 335-336
Lindseth, Glenda N. 2005. Gangguan Lambung dan Duodenum. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. JakartaG : EGC. pp : 437-450
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Tarigan, Penggarapen. 2007. Tukak Gaster. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 338-341 Selengkapnya...

TINJAUAN ATAS GAGAL JANTUNG HIPERTENSIF

TINJAUAN ATAS GAGAL JANTUNG HIPERTENSIF





I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO III
Seorang laki-laki umur 54 tahun, datang ke RS dengan keluhan sesak napas kumat-kumatan sejak satu bulan yang lalu, memberat sejak satu minggu terakhir. Sesak napas dirasakan timbul saat aktivitas ringan dan mau tidur, disertai batuk berdahak warna merah muda, berdebar-debar, sukar tidur, kencing berkurang, kedua kaki tidak membengkak. Satu tahun yang lalu, pernah dirawat di rumah sakit karena menderita sakit serupa. Kemudian setelah diberi obat-obatan dan istirahat di rumah sakit, keadaannya membaik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: tekanan darah 180/100 mmHg, heart rate 120x/menit, regular, respirasi rate 32x/menit, suhu badan 36,5°C, JVP tidak meningkat. Inspeksi menunjukkan dinding dada simetris, ictus cordis bergeser ke lateral bawah. Palpasi: ictus cordis bergeser ke lateral bawah, batas jantung kanan SIC V parasternal kanan. Auskultasi: bunyi jantung I intensitas meningkat, bunyi jantung II normal, terdapat bising pansistolik di apek menjalar ke lateral, irama gallop positif. Pemeriksaan paru didapatkan vesikuler normal, ronkhi basa basal halus. Pemeriksaan abdomen: tidak didapatkan hepatomegali, tidak ada ascites.
Pemeriksaan laboratorium kadar Hb: 14 gr/dl, serum ureum: 65, serum kreatinin: 1,4. Pemeriksaan EKG didapatkan Left Atrial Hipertrophy dan Left Ventricel Hipertrophy. Foto thorak tampak kardiomegali dengan CTR 0,60, apeks bergeser ke lateral bawah, pinggang jantung menonjol, vaskularisasi paru meningkat. Pada pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan asidosis metabolis terkompensasi.
Hipertensi dikenal sebagai salah satu pembunuh utama di Amerika serikat. Sekitar 25% penduduk dewasa menderita hipertensi. Di Indonesia sendiri prevalensi hipertensi berkisar antara 5-10%, sedangkan tercatat pada 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia (Panggabean, 2006; Brown, 2005)
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat bergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35% (Panggabean, 2006).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi jantung?
2. Fisiologi pengaturan tekanan darah?
3. Klasifikasi gagal jantung?
4. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari gagal jantung hipertensif?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang kardiologi.
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan jantung yang diakibatkan gagal jantung.
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang gagal jantung hipertensif dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang kardiologi, baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI JANTUNG
Sebelum membahas tentang penyakit jantung hipertensif, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami tentang anatomi dan fisiologi jantung. Jantung atau cor terletak di mediastinum medium. Cor dibagi menjadi dua ke dalam bagian kanan dan kiri oleh septum longitudinal yang berjalan miring. Masing-masing bagian terdiri dari ruangan yang disebut atrium, yang menerima darah dari vena dan suatu kamar yang disebut ventriculus, yang mendorong darah masuk ke dalam arteri. Cor terletak lebih ke arah kiri dari linea mediana. Pada manusia yang masih hidup, axisnya membentang ke arah postero-anterior dan ke kiri dan bawah (Hadiwidjaja, 2002).
Dinding cor dilapisi oleh pericardium yang terdiri dari dua lapisan: pericarium visceralis dan pericardium parietalis. Kedua lapisan ini dilapisi oleh pelumas sehingga mengurangi gesekan akibat pompa jantung (Price, 2005). Lamina visceralis pericardium biasa juga disebut sebagai epicardium. Arteria coronaria yang memvaskularisasi cor terdapat di epicardium sebelum memasuki myocardium (Hadiwidjaja, 2002).
Myocardium terdiri atas otot lurik dengan diskus interkalatus. Jaringan otot pada ventriculus cordis sinister lebih tebal dari ventriculus cordis dexter, sedangkan lapisan paling tipis terdapat pada atrium cordis sinistrum (Budianto, 2005). Modifikasi myocardium membentuk sistem automatisasi cor yang terdiri atas:
1. Nodus sinoauricularis (SA Node) merupakan pacemaker
2. Nodus atrioventricularis
3. Berkas His
4. Crus dextrum dan sinistrum
Endocardium merupakan lapisan terdalam yang halus mengkilat pada cor. Lapisan ini tersusun atas endothel dan jaringan pengikat subendothelial (Hadiwidjaja, 2002).
Basis cor terletak di sebelah superior dan terbentuk oleh atrium. Vena cava superior dan inferior serta vv.pulmonales masuk cor melalui basis. Septum interatriale terkadang diindikasikan sebagai alur tipis di basis, tepat di sebelah kanan vv.pulmonales dexter (Hadiwidjaja, 2002). Pada septum interatriale ini terdapat fossa ovalis yang dibatasi oleh limbus ovalis. Fosa ovalis merupakan obliterasi dari foramen ovale pada waktu lahir (Budianto, 2005).
Di sebelah kanan dan lateral dinding atrium dextrum ada alur kecil, membentang dari ventral muara vena cava superior menuju ke sebelah kana vena cava inferior. Alur ini disebut sulcus terminalis, dapat merupakan petunjuk letak dari crista terminalis, yang menonjol ke rongga atrium dextrum. Bagian cranial sulcus terminalis ditempati oleh SA node (Hadiwidjaja, 2002). Serabut-serabutnya berjalan ke AV node yang terletak di endocardium septum interatriorum dekat muara sinus koronaria. Kemudian bercabang menjadi crus dextrum dan sinistrum. Crus dextrum berjalan ke caudal dalam endocardium bercabang-cabang dan berakhir pada mm.papillares ventriculus cordis dexter. Kadang ada serabut yang berjalan bersama dengan crus dextrum menuju ke m.papillaris anterior yang kita sebut dengan moderator band (DeBeasi, 2005).
Pada daerah perbatasan atrium dan ventrikel dextrum dilengkapi dengan valva tricuspidalis yang memiliki tiga cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Katup mitralis merupakan pemisah antara atrium dan ventrikel sinister yang memiliki dua cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Kedua katup ini tertambat melalui berkas-berkas tipis yang disebut korda tendinea. Korda tendinea akan meluas menjadi m.papillaris. Korda tendinea menyokong katup pada waktu kontraksi ventrikel agar saat ventrikel berkontraksi katup tidak kembali ke atrium (DeBeasi, 2005).
Katup aorta terletak antara ventrikel sinister dan aorta, sedangkan katup pulmonalis terletak antara arteria pulmonalis dan ventrikel dexter. Katup semilunaris ini mencegah agar aliran kembali darah dari aorta atau arteria pulmonalis ke dalam ventrikel dalam keadaan istirahat (DeBeasi, 2005).
Skeleton cordis tersusun atas jaringan fibrosa mengelilingi ostium atrioventriculare dan ostium semilunaris, tempat perlekatan valvula dan otot jantung. Jadi termasuk dalam skeleton cordis ini adalah: anuli fibrosi cordis, trigonum fibrosum dexter dan sinistrum, pars membranacea septum interventriculare dan tendo infundibuli (Hadiwidjaja, 2002).
Jantung mendapat vaskularisasi dari sistem sirkulasi koroner. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan epicardium jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke myocardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil (DeBeasi, 2005).
B. FISIOLOGI PENGATURAN TEKANAN DARAH
Sistem pengaturan tekanan darah dilakukan oleh beberapa mekanisme tubuh. Mekanisme ini dengan sangat ketat melakukan pengawasan terhadap perubahan-perubahan tekanan darah. Berikut ini akan dibahas pengaturan tekanan darah oleh sistem RAA.
Fungsi pengaturan dan pengawasan tekanan darah oleh sistem RAA (Renin-Angiotensis Aldosteron) dilakukan di ginjal. Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin dalam sel-sel jukstaglomerular (Sel JG) pada ginjal. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik dalam ginjal itu sendiri menyebabkan banyak molekul protein dalam sel JG terurai dan melepaskan renin (Guyton, 1997).
Renin adalah enzim dan bukan bahan vasoaktif. Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, suatu globulin yang disebut angiotensin untuk melepaskan peptida yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor ringan tetapi tidak cukup untuk mengakibatkan perubaha fungsional yang bermakana dalam sirkulasi (Guyton, 1997).
Setelah pembentukkan angiotensin I, endotelium pembuluh paru mengeluarkan suatu enzim yang disebut angiotensin converting enzyme untuk mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin terutama mengakibatkan vasokonstriksi arteriol dan lebih lemah pada vena. Konstiksi pada arteriol ini akan menaikkan tahanan perifer yang juga akan menaikkan tekanan darah (Guyton, 1997).
Angiotensin juga menurunkan ekskresi garam dan air. Ini akan memperlambat kenaikkan cairan ekstrasel, yang kemudian akan menaikkan tekanan arteri. Efek jangka panjang ini, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokostriktor akut yang akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal (Guyton, 1997).
Masih terdapat beberapa mekanisme pengaturan lainnya, baik yang berlangsung cepat maupun lebih lambat. Mekanisme baroreseptor, mekanisme iskemis sistem saraf pusat, mekanisme kemoreseptor adalah beberapa contoh mekanisme yang terjadi dalam beberapa detik atau menit. Mekanisme selanjutnya yang bekerja lebih lambat adalah mekanisme vasokonstriksi RAA, vaskularisasi dari relaksasi stress, pergeseran cairan melelui dinding kapiler ke dalam dan keluar dari sirkulasi untuk menyesuaikan kembali volume darah sebagaimana yang dibutuhkan. Untuk jangka panjang digunakan mekanisme tekanan darah yang diatur oleh ginjal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Guyton, 1997).


III. DISKUSI / BAHASAN
Mekanisme-mekanisme pengawasan tekanan darah dengan begitu ketat membantu supaya jika terjadi kelainan, mekanisme-mekanisme ini akan mengembalikan tekanan darah ke keadaan normal. Tetapi pada kasus-kasus hipertensi primer, terjadi kelainan sehingga mekanisme pengawasan ini tidak mengembalikan tekanan darah ke keadaan normal. Sehinnga tekanan darah tetap dipertahankan tinggi yang nantinya akan mengakibatkan gangguan yang serius.





Klasifikasi hipertensi

Table 241-1 Blood Pressure Classification


Blood Pressure Classification Systolic, mmHg Diastolic, mmHg
Normal <120 and <80
Prehypertension 120–139 or 80–89
Stage 1 hypertension 140–159 or 90–99
Stage 2 hypertension 160
or 100

Isolated systolic hypertension 140
and <90


Source: Adapted from Chobanian et al.

Hipertensi menaikkan risiko penyakit kardivaskuler dua kali lipat, termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke iskemik dan hemoragik, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer. Hipertensi muncul di semua kalangan dan bagian kecuali pada sedikit orang yang hidup primitif dan kebudayaan yang terisolasi (Fauci et. al., 2008).
Dengan penanganan yang adekuat dan pemberian obat anti hipertensi sebenarnya dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. Namun pada beberapa orang kelainan ini tetap sulit ditangani dan akhirnya menjadi hipertensi yang tidak terkendali. Hipertensi yang tidak terkendali ini pada akhirnya dapat berakibat buruk pada organ-organ target, misalnya ginjal, otak, mata, jantung, aorta dan pembuluh darah tepi. Penyulit pada keadaan ini dapat berupa hipertrofi otot jantung dan juga terjadi aterosklerosis koroner (Basha, 2003).
Penyulit utama pada penyakit jantung hipertensif adalah hipertrofi ventrikel kiri yang terjadi sebagai akibat langsung dari peningkatan bertahap tahanan pembuluh darah perifer dan beban akhir ventrikel kiri. Faktor yang menentukan hipertrofi ventrikel kiri adalah derajat dan lamanya peningkatan diastol. Pengaruh beberapa faktor humoral seperti rangsangan simpato-adrenal yang meningkat dan peningkatan aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron belum diketahui, mungkin hanya sebagai penunjang saja dalam peningkatan beban akhir ventrikel kiri. Pengaruh faktor genetik disini lebih jelas. Fungsi pompa ventrikel kiri selama hipertensi berhubungan erat dengan penyebab hipertrofi dan terjadinya aterosklerosis koroner. Pada dasarnya kedua faktor ini saling mempengaruhi (Basha, 2003).
Setelah proses kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri ini berlangsung terlalu lama, akhirnya kemampuan ventrikel kiri untuk mempertahankan curah jantung akhirnya terlampaui. Terjadi dilatasi dan payah jantung, jantung menjadi semakin terancam oleh semakin parahnya aterosklerosis koroner. Bila proses ateroskelosis berlanjut, penyediaan oksigen menuju miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan oksigen pada miokardium terjadi akbiat hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya akan mengakibatkan angina atau infark miokardium atau gagal jantung (Brown, 2005).
Gagal jantung yang diakibatkan oleh hipertensi dapat mengenai sisi kiri jantung. Gagal jantung kiri dapat terjadi mengingat kompensasi yang dilakukan oleh jantung berupa hipertrofi ventrikel kiri sudah tidak mampu mempertahankan curah jantung. Gagal jantung akan memberikan gambaran mudah lelah, sesak napas, edema yang jika tidak ditangani dengan baik akan menurunkan kualitas dan harapan hidup penderita (Fauci et. al., 2008).
Gagal jantung merupakan penyakit yang berjalan progresif yang dapat dipicu oleh berbagai sebab dan mengakibatkan gangguan fungsi pada miosit, atau mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi sebagaimana seharusnya. Pada gagal jantung tubuh mencoba mengatasi dengan melakukan kompensasi. Beberapa mekanismenya adalah (1) pengaktifan RAA dan saraf adrenergik, yang akan meningkatkan cardiac output serta retensi air dan garam. Pada awalnya mekanisme ini akan mengaktifkan mekanisme pompa Frank-Starling, tetapi jika mekanisme ini diteruskan akan mengakibatkan kenaikan beban jantung yang memperburuk kondisi pasien. (2) Peningkatan kontraktilitas miokardium. Juga terjadi peningkatan atrial and brain natriuretic peptides (ANP dan BNP), prostaglandins (PGE2 and PGI2), dan nitric oxide (NO), yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (3) perangsangan simpatis membuat jantung bekerja lebih cepat dan kuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh(Fauci, et. al, 2006; Guyton, 1997; Sugeng., Sitompul, 2005).
Jika mekanisme kompensasi tubuh sudah tidak mampu lagi menyediakan curah jantung yang cukup, maka akan timbun tanda dan gejala yang khas pada gagal jantung. Gejala yang muncul salah satunya adalah kelelahan dan sesak nafas.
(A) Mudah lelah dapat dengan mudah dimengerti karena pada gagal jantung, curah jantung ke otot berkurang. Namun selain itu ternyata pada gagal jantung juga terjadi kelainan otot rangka dan kelainan di luar jantung (e.g., anemia) juga berkontribusi pada kelainan ini. Pada awal-awal gagal jantung, dispneu hanya muncul saat melakukan aktifitas berat. Sejalan dengan perjalanan penyakit, dispneu juga makin progresif pada aktifitas yang lebih ringan sampai puncaknya terjadi dispneu saat isitirahat. Faktor lain yang juga mempengaruhi dispneu adalah menurunnya komplians dari jaringan paru (Fauci, et. al, 2006).
(B) Orthopnea adalah dispnea yang terjadi saat posisi berbaring, biasanya merupakan manifestasi dari gagal jantung. Orthopnea merupakan hasil dari redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstremitas bawah menuju sirkulasi sentraln saat posisi berbaring, yang mengakibatkan kenaikan tekanan kapiler paru. Nocturnal cough adalah manifestasi yang sering terjadi pada proses ini dan biasanya terlihat sebagai gejala gagal jantung. Orthopnea biasanya menghilang dengan mengubah posisi menjadi duduk atau tidur dengan bantal tambahan (Fauci, et. al, 2006).
(C) Paroksismal Nocturnal Disease adalah episode dari sesak nafas berat dan batuk yang biasanya muncul pada malam hari dan saat pasien bangun dari tidur, biasanya terjadi 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk atau wheezing, mungkin dikarenakan peningkatan tekanan pada arteri bronkialis mengakibatkan kompresi jalan nafas, disertai oedem pulmonar mengakibatkan peningkatan resisteni jalan nafas. Tidak seperti orthopnea, PND tidak langsung membaik sekalipun pasien sudah merubah posisi dari tidur ke duduk. Cardiac asthma berhubungan dengan PND, ditandai dengan wheezing disertai bronkospasme, dan harus dibedakan dengan asma primer dan pulmonar yang mengakibatkan wheezing (Fauci, et. al, 2006).
(D) Pernafasan cheyne stokes biasa terjadi pada gagal jantung yang telah parah dan biasanya berhubungan dengan low cardiac output. Respirasi cheyne stokes diakibatkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap PCO2. Terdapat fase apneu, berakibat pada turunnya PO2 dan kenaikan PCO2. Perubahan pada gas darah menstimulasi sentrum respirasi yang kurang sensitif, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti kembalinya fase apnea (Fauci, et. al, 2006).
(E) Edema pulmonar diakibatkan oleh akumulasi cairan pada interstisial paru. Akumulasi cairan pada interstisial paru bergantung pada keseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik kapiler paru dan jaringan sekitarnya. Tekanan hidrostatik membawa cairan dari kapiler menuju interstisial. Tekanan onkotik, dijaga oleh konsentrasi protein dalam darah, membawa cairan menuju pembuluh darah. Kelainan jantung dapat mengakibatkan kenaikan tekanan vena pulmonalis yang mengganggu keseimbangan tekanan kapiler dan interstisial. Tekanan hidrostatik meningkat dan cairan keluar dari kapiler mengakibatkan edema interstisial, dan pada kasus yang lebih berat menjadi edema alveolar (Fauci, et. al, 2006).
Tanda pertama edema pulmonar adalah dispnea dan orthopnea. Saat edema pulmonar terus berkembang, alveoli dipenuhi cairan. Saat cairan ini terus bertambah, mungkin akan berhubungan dengan rhonki dan wheezing (Basha, 2005).
Pada keadaan normal, selalu ada volume sisa di dalam ventrikel ketika sistol. Pada gagal jantung, volume sisa ini bertambah. Pada fase diastol berikutnya maka darah akan bertambah lagi sehingga tekanan diastol akan meninggi. Pada akhirnya akan terjadi bendungan hingga atrium kiri yang meningkatkan tekanan diastolik, hal ini juga akan diikuti dengan peninggian tekanan vena pulmonalis dan dalam pembuluh kapiler paru. Karena ventrikel kanan masih sehat maka darah yang dipompa ventrikel kanan masih normal, sehingga tekanan hidrostatik paru menjadi begitu tinggi dan terjadi transudasi paru. Jika ini terus berlanjut maka kelainan akan sampai ke ventrikel kanan dan akan terjadi gagal jantung kanan (Sugeng., Sitompul, 2005).
Pada keadaan gagal jantung kanan akut karena ventrikel kiri gagal berkontraksi dengan optimal, terjadi bendungan di atrium kanan dan vena kava superior dan inferior. Dalam keadaan ini gejala edema perifer, hepatomegali, splenomegali belum sempat terjadi, tetapi yang mencolok adalah tekanan darah akan menurun dengan cepat sebab darah balik berkurang. Pada keadaan kronis, ventrikel kanan pada saat sistol tidak mampu berkontraksi sehingga tekanan akhir diastol akan meningkat. Hal ini menyebabkan bendungan pada atrium kanan, vena kava dan seluruh sistem vena. Hal ini secara klinis dapat dilihat dengan adanya bendungan vena jugularis eksterna, vena hepatika, hepatomegali, bena lienalis, splenomegali, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik perifer menyebabkan edema perifer (Sugeng., Sitompul, 2005).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami gagal jantung hipertensif yang masih mengenai bagian kiri jantung.
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis dengan pasti.

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan kardiovaskuler. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang hipertensi agar kasus gagal jantung hipertensif dapat ditekan dengan maksimal.










V. DAFTAR PUSTAKA
Basha, Adnil. 2003. Penyakit Jantung Hipertensif. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 209-211
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 43-59
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Anatomi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 518-526
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Fisiologi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 530-540
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 134-175
Hadiwidjaja, Satimin. 2002. Thorax et Situs Viscerum Thoracis. Surakarta : Sebelas Maret University Press. pp: 112-160
Harun, Sjaharuddin., Nasution, Sally Aman. Edema Paru Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 1636-1638
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins, S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., dan Rodwell, V.W. 2003. Biokimia Harper Edisi 25. Alih Bahasa: Andry Hartono. Jakarta: EGC. pp: 625-626, 813-814.
Panggabean, Marrulam M. 2006. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 1639-1649
Sitompul, Barita., Sugeng, Irawan J. 2003. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 115-123 Selengkapnya...

TINJAUAN ATAS KELAINAN JANTUNG KONGENITAL NON SIANOTIK

TINJAUAN ATAS KELAINAN JANTUNG KONGENITAL NON SIANOTIK


TINJAUAN ATAS KELAINAN JANTUNG KONGENITAL NON SIANOTIK
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
SKENARIO II
 Seorang anak laki-laki umur 10 tahun diantar ke Puskesmas dengan keluhan sering batuk pilek, cepat lelah. Menurut cerita ibunta, anak tersebut lahir prematur, bila menangis bibir tidak tampak kebiruan. Nafsu makan sedikit terganggu, tumbuh kembang dalam batas normal. Pada saat balita pernah diperisakan ke dokter anak dan dinyatakan mempunyai kelainan jantung.
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan data : tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi : 90x/menit. Pada inspeksi dinding dada tampak normal. Pada palpasi iktus kordis teraba di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri, tidak teraba thrill. Pada perkusi batas jantung di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri. Pada auskultasi jantung terdengar bising pansistolik dengan punctum maksimum SIV IV-V parasternal kiri. Pada ekstremitas tidak terlihat jari-jari tabuh dan sianosis.
 Pemeriksaan hematologi rutin normal. Pemeriksaan EKG menunjukkan aksis ke kiri, LVH, LAH. Pemeriksaan thorak foto : CTR 0,60 apeks bergeser ke lateral bawah. Oleh dokter Puskesmas merujuk ke dokter spesialis.
 Apa yang sesungguhnya terjadi pada anak tersebut?
 Gangguan kardiologi pada anak dapat berakibat buruk pada tumbuh kembang anak. Anak yang mengalami gangguan kardiologi dapat terhambat pertumbuhannya, lekas lelah dan mudah sakit. Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ditangani, maka akan berdampak pada produktivitas anak.
 Gangguan kardiologi pada anak dapat disebabkan karena kelainan jantung kongenital maupun didapat. Gangguan jantung didapat biasanya paling banyak disebabkan oleh jantung reumatik. Sedangkan gangguan kongenital dapat disebabkan karena infeksi maternal pada trimester pertama, atau memang terjadi defek pada pengkode gen, serta dapat pula karena hal lain yang menyebabkan pertumbuhan jantung janin tidak normal.
 Dalam penegakkan diagnosis kelainan jantung bawaan diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, serta diperlukan pemeriksaan tambahan seperti EKG, ekokardiogram, foto thorax, dsb untuk menunjang diagnosis.
 Saat ini semakin banyak tersedia tekhnik diagnostik canggih untuk mendeteksi penyakit jantung dan sekuele klinisnya. Namun penggunaan tekhnik-tekhnik ini dan interpretasi hasil pemeriksaan hanyalah sebagai pelengkap penilaian klinis dan sistematis pasien bersangkutan, dan bukan pemeriksaan yang menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap pasien tersebut.
 
ii. RUMUSAN MASALAH
• Bagaimana anatomi jantung?
• Fisiologi tekanan dan arus darah yang melalui jantung?
• Fisiologi sistem konduksi pada jantung?
• Klasifikasi kelainan jantung kongenital?
• Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari penyakit-penyakit jantung kongenital?
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
A. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang kardiologi.
2. Tujuan Khusus:
a. Mengetahui kelainan-kelainan jantung yang diderita sejak anak-anak.
b. Mengetahui tindakan yang harus diambil seorang dokter untuk mengatasi permasalahan di atas.
B. Manfaat
1. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler.
2. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang penyakit jantung kongenital dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
3. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang kardiologi, baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
4. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya. 

II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI JANTUNG
 Sebelum membahas tentang penyakit jantung kongenital, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami tentang anatomi dan fisiologi jantung. Jantung atau cor terletak di mediastinum medium. Cor dibagi menjadi dua ke dalam bagian kanan dan kiri oleh septum longitudinal yang berjalan miring. Masing-masing bagian terdiri dari ruangan yang disebut atrium, yang menerima darah dari vena dan suatu kamar yang disebut ventriculus, yang mendorong darah masuk ke dalam arteri. Cor terletak lebih ke arah kiri dari linea mediana. Pada manusia yang masih hidup, axisnya membentang ke arah postero-anterior dan ke kiri dan bawah (Hadiwidjaja, 2002).
 Dinding cor dilapisi oleh pericardium yang terdiri dari dua lapisan: pericarium visceralis dan pericardium parietalis. Kedua lapisan ini dilapisi oleh pelumas sehingga mengurangi gesekan akibat pompa jantung (Price, 2005). Lamina visceralis pericardium biasa juga disebut sebagai epicardium. Arteria coronaria yang memvaskularisasi cor terdapat di epicardium sebelum memasuki myocardium (Hadiwidjaja, 2002).
 Myocardium terdiri atas otot lurik dengan diskus interkalatus. Jaringan otot pada ventriculus cordis sinister lebih tebal dari ventriculus cordis dexter, sedangkan lapisan paling tipis terdapat pada atrium cordis sinistrum (Budianto, 2005). Modifikasi myocardium membentuk sistem automatisasi cor yang terdiri atas:
 Nodus sinoauricularis (SA Node) merupakan pacemaker
 Nodus atrioventricularis
 Berkas His
 Crus dextrum dan sinistrum
 Endocardium merupakan lapisan terdalam yang halus mengkilat pada cor. Lapisan ini tersusun atas endothel dan jaringan pengikat subendothelial (Hadiwidjaja, 2002).
 Basis cor terletak di sebelah superior dan terbentuk oleh atrium. Vena cava superior dan inferior serta vv.pulmonales masuk cor melalui basis. Septum interatriale terkadang diindikasikan sebagai alur tipis di basis, tepat di sebelah kanan vv.pulmonales dexter (Hadiwidjaja, 2002). Pada septum interatriale ini terdapat fossa ovalis yang dibatasi oleh limbus ovalis. Fosa ovalis merupakan obliterasi dari foramen ovale pada waktu lahir (Budianto, 2005).
 Di sebelah kanan dan lateral dinding atrium dextrum ada alur kecil, membentang dari ventral muara vena cava superior menuju ke sebelah kana vena cava inferior. Alur ini disebut sulcus terminalis, dapat merupakan petunjuk letak dari crista terminalis, yang menonjol ke rongga atrium dextrum. Bagian cranial sulcus terminalis ditempati oleh SA node (Hadiwidjaja, 2002). Serabut-serabutnya berjalan ke AV node yang terletak di endocardium septum interatriorum dekat muara sinus koronaria (DeBeasi, 2005). Kemudian bercabang menjadi crus dextrum dan sinistrum. Crus dextrum berjalan ke caudal dalam endocardium bercabang-cabang dan berakhir pada mm.papillares ventriculus cordis dexter. Kadang ada serabut yang berjalan bersama dengan crus dextrum menuju ke m.papillaris anterior yang kita sebut dengan moderator band (Budianto, 2005).
 Pada daerah perbatasan atrium dan ventrikel dextrum dilengkapi dengan valva tricuspidalis yang memiliki tiga cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Katup mitralis merupakan pemisah antara atrium dan ventrikel sinister yang memiliki dua cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Kedua katup ini tertambat melalui berkas-berkas tipis yang disebut korda tendinea. Korda tendinea akan meluas menjadi m.papillaris. Korda tendinea menyokong katup pada waktu kontraksi ventrikel agar saat ventrikel berkontraksi katup tidak kembali ke atrium (DeBeasi, 2005).
 Katup aorta terletak antara ventrikel sinister dan aorta, sedangkan katup pulmonalis terletak antara arteria pulmonalis dan ventrikel dexter. Katup semilunaris ini mencegah agar aliran kembali darah dari aorta atau arteria pulmonalis ke dalam ventrikel dalam keadaan istirahat (DeBeasi, 2005).
 Skeleton cordis tersusun atas jaringan fibrosa mengelilingi ostium atrioventriculare dan ostium semilunaris, tempat perlekatan valvula dan otot jantung. Jadi termasuk dalam skeleton cordis ini adalah: anuli fibrosi cordis, trigonum fibrosum dexter dan sinistrum, pars membranacea septum interventriculare dan tendo infundibuli (Hadiwidjaja, 2002).
 Jantung mendapat vaskularisasi dari sistem sirkulasi koroner. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan epicardium jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke myocardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil (DeBeasi, 2005). 
B. FISIOLOGI JANTUNG
 Otot jantung memiliki diskus interkalatus. Diskus interkalatus sebenarnya adalah membran sel yang memisahkan sel otot jantung yang satu dengan yang lain. Serat-serat otot jantung yang tampak pada pemeriksaan histologis merupakan sel-sel otot jantung yang saling beranyaman membentuk suatu rangkaian. Diskus interkalatus memiliki tahanan listrik hanya sebesar 1/400 dari tahanan yang melewati bagian luar membran otot jantung, karena membran selnya saling membentuk hubungan satu sama lain dengan membentuk gap junction, terjadi difusi ion-ion secara relatif bebas yang nantinya akan mempermudah penjalaran potensial aksi (Guyton, 1997).
 Potensial aksi pada otot jantung terjadi akibat aliran ion-ion natrium, kalium dan kalsium (Na+, K+, Ca++) melewati membran sel jantung (DeBeasi, 2005). Pada otot rangka potensial aksi hampir seluruhnya mengandalkan pembukaan saluran cepat ion natrium dan diakhiri dengan cepat oleh proses repolarisasi. Sedang pada otot jantung terdapat dua saluran yaitu (1) saluran cepat untuk natrium dan (2) saluran lambat untuk kalsium-natrium, hal inilah yang nantinya akan membedakan karakteristik kontraksi otot rangka dan otot jantung (Guyton, 1997).
 Sel-sel yang mengatur sistem konduksi pada jantung memiliki ciri khas, yaitu automatisasi, yang berarti serabut ini dapat mengeksitasi diri sendiri, atau menghasilkan potensial aksi secara spontan. Nodus SA sebagai pacemaker dominan pada jantung memiliki kemampuan untuk mengeksitasi diri 80-100x/ menit, nodus AV 60-80x/menit, serabut purkinje 15-40x/menit (DeBeasi, 2005). Nodus SA menjadi pacemaker dominan disebabkan karena kecepatan eksitasinya merupakan yang paling cepat, sehingga sebelum nodus lain mengeksitasi dirinya, mereka sudah menerima penjalaran potensial aksi yang berasal dari nodus SA (Guyton, 1997).
 Pada kondisi normal ion natrium banyak terdapat di luar sel sedangkan ion kalium banyak terdapat di dalam sel. Pada sel-sel nodus sinus terdapat sedikit kebocoran natrium pada sel-selnya sehingga natrium bocor ke dalam sel sehingga potensial membran menjadi lebih positif yang mengakibatkan lebih mudahnya sel ini untuk dirangsang mencapat potensial aksi (Guyton, 1997). Karena hal ini pula, perlahan potensial membran terus menjadi positif sampai mencapai potensial aksinya dibantu dengan terbukanya saluran kalsium sehingga terjadilah potensial aksi. Keluarnya ion kalium dari dalam sel menormalkan kembali potensial aksi pada membran dan terulang lagi proses seperti di atas (DeBeasi, 2005).
  Penjalaran potensial aksi ini diteruskan ke otot jantung. Pada kontraksi jantung terjadi pembukaan saluran cepat natrium karena datangnya impuls yang berasal dari nodus sinus. Terjadi kenaikan potensial membran dengan sangat cepat. Ion natrium masuk ke dalam sel sampai terjadi pembukaan saluran kalium dan mengakibatkan kalium keluar ke dalam sel, terjadi sedikit penurunan potensial membran (DeBeasi, 2005). Tetapi kemudian saluran lambat kalsium-natrium terbuka dan mengakibatkan terjadinya plateau, membuat kontraksi menjadi lebih lama jika dibandingkan dengan otot rangka. Pada kondisi ini jantung tidak dapat dirangsang oleh rangsangan lainnya sebab kondisi potensial membran masih belum mencapai kondisi sebelumnya. Setelah saluran kalsium ini tertutup, kalium keluar dengan cepat dan potensial membran menjadi kembali normal (Guyton, 1997).
 Potensial aksi pertama kali berasal dari nodus SA. Menyebar ke atrium dextrum dan atrium sinistrum mengakibatkan atrium berkontraksi untuk memasukkan darah ke dalam ventrikel. Kemudian potensial aksi berjalan menuju nodus AV melalui jalur internodal. Di nodus AV terjadi potensial aksi dihambat beberapa saat sampai atrium selesai berkontraksi sehingga darah bisa dipompa dengan optimal (DeBeasi, 2005). Satu-satunya jalur yang dimiliki oleh nodus SA adalah melalui nodus AV, sebab terdapat skeleton cordis yang juga memblokade potensial aksi. Kecuali pada beberapa kelainan yang menyebabkan adanya jalur pintas antara nodus AV dan nodus SA mengakibatkan kontraksi atrium dan ventrikel secara bersamaan (Guyton, 1997).
 Setelah mencapai nodus AV dan ditahan beberapa saat, potensial aksi diteruskan menuju ventrikel melalui berkas-berkas his dan serabut purkinje. Kemudian terjadi kontraksi yang hampir bersamaan pada ventrikel untuk memompa darah menuju sirkulasi sistemik (Guyton, 1997).
 Darah venosa yang berasal dari vena cava superior dan inferior diteruskan menuju atrium dextrum. Sekitar 80% dari jumlah darah masuk ke dalam atrium langsung menuju ventrikel sebab katup atrioventrikularis dexter terbuka pada saat diastol. Kemudian saat sekitar 20% volume darah tersisa, atrium berkontraksi untuk mengoptimalkan pengisian ventrikel. Ventrikel dexter kemudian memompa darah menuju pulmo melalui arteri pulmonalis. Berasal dari atrium pulmonalis darah kembali menjadi bersifat darah arteriel dan dialirkan menuju atrium sinistrum. Atrium sinistrum kemudian mengalirkan darah menuju ventrikel sinister dan berkontraksi untuk mengoptimalkan pengisian. Ventrikel sinister berkontraksi untuk memompa darah menuju sirkulasi sistemik. Pada saat ventrikel berkontraksi, katup mitralis tertutup karena tekanan darah. Pada saat yang sama muskulus papillaris juga berkontraksi, mencegah katup terdorong dan mengakibatkan darah kembali ke atrium. Disebabkan oleh tekanan aorta yang tinggi yaitu sekitar 115mmHg, maka ventrikel sinister memerlukan tekanan yang lebih dari ini untuk memompa darah menuju aorta. Fase isovolumetrik merupakan fase dimana ventrikel berkontraksi untuk menaikkan tekanan di dalam ventrikel namun darah belum dialirkan ke dalam aorta (Guyton, 1997). Sedikit saja tekanan aorta terlewati maka darah akan langsung diejeksikan ke dalam aorta dan mengalir ke dalamnnya. Aorta mengembang untuk menyimpan darah. Tekanan dalam aorta naik lebih tinggi lagi mengakibatkan penutupan katup aorta, turbulensi disini mengakibatkan suara jantung II (Guyton, 1997).
C. EMBRIOLOGI JANTUNG
 Susunan pembuluh darah janin manusia tampak pada pertengahan minggu ketiga. Ini disebabkan karena embrio tidak mampu lagi hanya mengandalkan pengelolaan metabolismenya hanya dengan difusi. Sel-sel mesenkim di dalam lapisan mesoderm splanknik embrio pramosit lanjut, bereplikasi dan membentuk kelompok-kelompok angiogenetik yang terpisah satu sama lain (Langman, 1988). 
 Jantung juga berasal dari lapisan mesoderm. Walaupun pada permulaan berupa pasangan, menjelang perkembangan hari ke-22, kedua buluh membentuk buluh jantung yang tunggal, agak melengkung, terdiri atas suatu buluh endokardium di sebelah dalam dan suatu pelapis epimiokardium di sekelilingnya. Selama minggu keempat dan ketujuh, jantung terbagi dalam suatu bangunan kahas berkamar empat (Langman, 1988).
 Pembentukkan sekat dalam atrium dimulai pada septum primum. Suatu tonjolan berupa bulan sabit turun dari atap atrium, tidak pernah membagi dua atrium, tetapi meninggalkan lubang “ostium primum” untuk perhubungan kedua bagian atrium tersebut. Kemudian terbentuklah septum secundum, tetapi ia juga gagal membagi atrium communis menjadi dua bagian. Hanya pada saat kelahiran, ketika tekanan di atrium kiri meningkat, kedua sekat tertekan satu terhadap yang lainnya dan hubungan di antara keduanya tertutup. Kelainan sekat atrium dapat berkisar dari total tidak adanya lubang hingga satu lobang kecil yang dikenal sebagai “porbe patency of ovale foramen.” (Langman, 1988).
 Pembentukkan sekat dalam canalis atrioventricularis dimulai pada saat dua bantalan endokardium yang besar membagi canalis AV menjadi canalis triucuspidalis kanan dan canalis bicuspidalis kiri atau canalis mitralis AV. Menetapnya canalis atrioventricularis communis dan pembelahan abnormal seperti atresia canalis tricuspidalis merupakan kelainan-kelainan congenital yang biasa terjadi pada pembentukkannya (Langman, 1988).
 Septum interventriculare terdiri atas bagian muscularis yang tebal dan pars membranacea yang tipis, terbentuk dari (a) bantalan inferior endokardium AV, (b) rigi conus kanan, dan (c) rigi conus kiri. Pada banyak kasus, ketiga komponen ini gagal bersatu, mengakibatkan suatu foramen interventricularis yang terbuka. Walaupun kelainan ini dapat terpisah, biasanya dapat disertai cacat lain sebagai kompensasinya (Langman, 1988).
 Bulbus terbagi dalam (a) truncus (batang aorta dan pulmonalis), (b) bagian ventriel kanan yang bertrabekulasi, (c) conus (saluran keluar batang aorta dan pulmonalis). Daerah truncus dibagi oleh septum aorticopulmonalis yang berbentuk ulir menjadi dua arteri utama. Rigi-rigi conus membagi saluran keluar dari saluran aorta dan pulmonalis serta menutup foramen interventriculare. Beberapa kelainan pembuluh seperti transposisi pembuluh pembuluh besar dan atresia valvularis pulmonaris, disebabkan oleh pembagian abnormal daerah truncus dan conus (Langman, 1988).
D. KELAINAN JANTUNG KONGENITAL
 Kelainan jantung pada anak sebenarnya dapat dibagi menjadi kelainan jantung didapat dan bawaan. Pada bagian ini penulis hanya akan menguraikan tentang kelainan jantung bawaan (kongenital). Kelainan jantun bawaan berarti kelainan susunan jantung, mungkin sudah terdapat sejak lahir. Perkataan “susunan” berarti menyingkirkan aritmia jantung, sedangkan “mungkin” sudah terdapat sejak lahir berarti tidak selalu dapat ditemukan selama beberapa minggu/bulan setelah lahir. Ada beberapa pembagian mengenai kelainan jantung bawaan. Jika kita melihat tandan yang tampak pada kelainan maka pembagian penyakit jantung kongenital berdasarkan (a) golongan PJB dengan sianosis dan (b) golongan PJB tanpa sianosis (Staff Pengajar IKA FK UI, 1997).
 Sianosis merupakan manifestasi saturasi oksigen arteri yang berkurang dan terlihat sebagai warna kebiruan di sekitar mulut dan di ujung-ujung jari dan bisa timbul saat menangis atau melakukan aktifitas. Orang tua yang belum berpengalaman seringkali tidak dapat mengenali sianosis yang ringan, bahkan yang sedang sekalipun. Bayi dan anak dengan kelainan jantung bawaan sianotik, khususnya tetralogi fallot dapat mengalami serangan sianotik. Bayi dan anak yang mengalami kelainan jantung sianotik yang sudah bisa berjalan, mungkin akan menunjukkan gejala “squatting” (jongkok) setelah berjalan/bermain (Staff Pengajar IKA FK UI, 1997).
 Keadaan sianotik dan non sianotik dapat terjadi karena adanya pirau (shunt) antara sirkulasi jantung sebelah kanan dan kiri. Jika setelah lahir terjadi pirau kiri ke kanan seperti pada atrial septal defect, ventricle septal defect, patent ductus arteriosus botalli, maka tidak terjadi gambaran sianotik pada pasien. Tetapi jika setelah lahir terdapat pirau dari kanan ke kiri seperti pada transposition of great arteries, tetralogi of Fallot, eissenmenger syndrome, dll, maka akan terdapat gambaran sianosis pada penderita. Ini diakibatkan karena darah yang dialirkan ke sirkulasi sistemik mengalami pencampuran dengan darah venosa, sehingga terjadi kekurangan oksigen jaringan yang memberikan gambaran sianotik (Staff Pengajar IKA FK UI, 1997).
Berikut akan diuraikan tentang beberapa kelainan jantung kongenital yang tidak menimbulkan sianosis:
i. Duktus Arteriosus Persisten (PDA)
 Duktus arteriosus adalah saluran yang menghubungkan antara arteri pulmonalis dengan aorta descendens. Pada bayi normal saluran ini akan menutup dalam 10-15 jam setelah lahir dan secara anatomis menjadi ligamentum arteriosum botalli dalam 2-3 minggu. Mekanisme penutupannya belum diketahui secara pasti namun terdapat beberapa hal yang mempengaruhi penutupannya. Kadar oksigen dalam udara mempengaruhi penutupannya, pada kadar oksigen yang rendah seperti pada pegunungan, maka kekerapan penyakit ini lebih tinggi. Pada bayi prematur angka kejadian penyakit ini juga lebih tinggi (Roebiono, 2003).
 Pada PDA terjadi pirau dari kiri ke kanan (dari aorti ke arteri pulmonalis). Hal ini disebabkan karena tekanan pada aorta lebih tinggi jika dibandingkan dengan arteri pulmonalis. Besarnya aliran tergantung pada ukuran PDA dan tahanan arteri pulmonalis (Roebiono, 2003).
 Adanya aliran berlebih menuju arteri pulmonalis mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal dengan tahanan vaskuler paru yang tinggi. Sianosis sebenarnya dapat terlihat bila aliran pirau terbalik dari kanan ke kiri (Pada sindrom Eissenmenger), terjadi kurang dari 10% kasus. Risiko terkena endokarditis infektif sangat tinggi, terutama setelah usia dekade pertama (Roebiono, 2003).
 Keluhan timbul bila aliran ke paru cukup besar, sehingga penderita sering batuk, tampak lelah saat melakukan aktivitas, sesak napas dan pertumbuhan fisik yang lambat.
ii. Defek Septum Atrium (ASD)
 Defek septum atrium merupakan kelainan jantung bawaan akibat adanya lubang pada septum interatriale. Berdasarkan letak lubangnya, defek septum akan dibagi menjadi tiga tipe yaitu: 1) Defek septum atrium sekundum, bila lubang terletak di daerah fossa ovalis; 2) Defek septum atrium primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum (termasuk salah satu bentuk defek septum atrioventrikuler); 3) Defek sinus venosus, bila lubang terletak di daerah sinus venosus (dekat muara vena cava superior et inferior) (Rahajoe, 2003).
 Defek septum atrium sering tidak ditemukan pada pemeriksaan rutin karena keluhan baru timbul pada dekade 2-3 dan bising yang terdengan tidak terlalu keras. Pada saat lahir, tahanan vaskular paru masih sedang menyesuaikan diri dengan kondisi luar. Karena itu pada awal kelahiran tekanan pulmonal masih cukup tinggi sehingga pada ASD wajar jika tidak timbul gejala pada awalnya, sebab tekanan atrium kiri dan kanan masih relatif seimbang. Pada kasus dengan aliran pirau besar, keluhan cepat lelah timbul lebih lelah. Gagal jantung pada neonatus hanya dijumpai pada ± 2% kasus. Sianosis terlihat apabila terjadi aliran pirau balik (Sindrom Eissenmenger) (Rahajoe, 2003). 
 Penderita ASD seringkali disertai bentuk tubuh yang tinggi dan kurus, dengan jari-jari tangan dan kaki yang panjang. Aktifitas ventrikel kanan meningkat, dan tak teraba thrill. Bunyi jantung I mengeras, bunyi jantung II terpisah lebar dan tak mengikuti variasi pernafasan. Bila terajdi hipertensi pulmonal, komponen pulmonal bunyi jantung II mengeras dan pemisahan kedua komponen tidak lagi lebar (Rahajoe, 2003).
iii. Defek Septum Ventrikel (VSD)
 Defek septum ventrikel adalah kelainan jantung bawaan berupa lubang pada septum interventrikuler. Lubang tersebut dapat hanya satu atau lebih (Swiss cheese VSD) yang terjadi akibat kegagalan fusi septum interventrikuler senasa janin dalam kandungan (Rilantono, 2003).
 Berdasarkan lokasi lubang, VSD diklasifikasikan dalam 3 tipe: 1) Perimembranosus, bila lubang terletak di daerah septum membranosum dan sekitarnya; 2) Subarterial doubly commited bila lubang terletak dai daerah septum infundibuler; 3) Muskuler, bila lubang terletak di daerah septum muskuler inlet, outlet ataupun trabekuler.
 VSD merupakan kelainan jantung bawaan yang tersering dijumpai, yaitu sekitar 33% dari seluruh kelainan jantung bawaan.
 Adanya lubang pada septum interventrikuler memungkinkan adanya aliran dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan, sehingga aliran darah yang ke paru bertambah.
 Penampakan klinis pada penderita tergantung pada besarnya aliran pirau yang mengalir pada lubang VSD, dan ini ditentukan oleh besarnya lubang VSD serta besarnya tahanan pembuluh paru. Pada usia tahun pertama (terutama 6 bulan pertama), besar aliran pirau dapat berubah-ubah sesuai dengan penurunan tahanan paru akibat maturasi dari paru yang berlangsung cepat pada periode tersebut. Penurunan maksimal biasanya terjadi pada usia 1-6 minggu, tapi kadang-kadang baru terjadi pada usia 12 minggu. Aliran pirau dari kiri ke kanan akan bertambah dengan menurunnya tahanan pembuluh paru, sehingga gagal jantung pada VSD yang besar biasanya terjadi pada usia 2-3 bulan (Rilantono, 2003).
 Bila aliran pirau kecil umumnya tidak menimbulkan keluhan, tetapi bila besar akan memberikan keluhan seperti kesulitan waktu minum atau makan karena cepat lelah atau sesak dan sering mengalami batuk serta infeksi saluran nafas berulang. Ini mengakibatkan pertumbuhan yang lambat (Rilantono, 2003).
 Dalam perjalanannya, beberapa tipe VSD dapat menutup secara spontan (tipe perimembranosus dan muskuler), terjadi hipertensi pulmonal, hipertrofi infundibulum, atau prolaps katup aorta yang dapat disertai regurgitasi (tipe subarterial dan perimembranosus).
 Endokarditis infektif pada kelainan jantung bawaan ini juga merupakan komplikasi yang sering dijumpai(Rilantono, 2003).
iv. Stenosis Aorta
 Stenosis aorta adalah obstruksi atau hambatan aliran darah melalui katup aorta sewaktu ejeksi sistolik dari ventrikel kiri. Kelainan ini adalah ± 5% dari seluruh kelainan jantung bawaan yang ditemukan pada masa bayi dan anak-anak. Stenosis aorta lebih sering ditemukan pada penderita sindrom turner, meskipun lebih jarang dibandingkan koarktasio aorta. Pada neonatus, stenosis aorta yang berat atau atresia sering disertai dengan hipoplasia ventrikel kiri. Kompleks kelainan ini disebut Hypoplastic Left Heart Syndrome (Staff Pengajar IKA FK UI).
 Stenosis aorta yang berat dapat terlihat pada masa bayi sebagai gagal jantung atau kematian mendadak. Sedang pada anak yang lebih tua akan muncul gejala seperti sesak nafas, angina, sinkop atau berkunang-kunang waktu bekerja. Makin besar anak, gejala yang timbul dari penyakit ini akan sama saja dengan stenosis aorta yang disebabkan demam reumatik (Haryono, 2003).
v. Insufisiensi Aorta
 Kelainan katup aorta pada kelainan ini berupa penebalan daun katup dengan pinggir mengkerut dan separasi daun katup pada komisuranya sehingga menyebabkan bocornya katup ini. Bocornya katup ini dapat berakibat terjadinya regurgitasi darah ke ventrikel (Haryono, 2003).


vi. Stenosis Mitral
 Kelainan ini menyebabkan obstruksi pada katupnya sendiri atau sebagai supravalvar fibrous ring. Kelainan tersebut bisa terjadi sendiri-sendiri atau kombinasi keduanya (Haryono, 2003).
 Stenosis mitral bawaan yang terisolir sangat jarang terjadi. Biasanya ditemukan bersamaan dengan atresia aorta dan koarktasio. Kelainan bawaan ini tertadi karena displasia katup mitral, daun katup menebal dan korda tendinea memendek dan menyatu menjadi bentuk seperti corong di bawah katup, sehingga pembukaan katup menjadi sangat sempit (Staff Pengajar IKA FK UI, 1997).
 Parachute Mitral Stenosis, kelainan bawaan ini terjadi karena korda dari kedua daun katup bersatu dan menempel pada muskulus papillaris tunggal. Darah akan mengalir dari celah katup yang tebal dan korda yang sempit (Haryono, 2003).
 Stenosis supravalvar, adalah suatu cincin tebal yang terjadi persis di atas basis katup mitral.
 Pada Hypoplastic Left Heart Syndrome, katup mitral sangat hipoplastik sehingga lubangnya sangat kecil sekalipun bentuk katupnya merupakan miniatur dari katup normal. Kadang-kadang pada Hypoplastic Left Heart Syndrome ini dapat terjadi atresia katup mitral yang menyebabkan obstruksi total dari katup (Haryono, 2003).
vii. Insufusiensi Mitral
 Insufisiensi mitral akibat dari abnormalitas katup mengakibatkan darah kembali ke ventrikel sinister pada waktu sistol.
 Pada insufisiensi mitral bawaan, jarang kelainan ini berdiri sendiri. Biasanya juga disertai kelainan kongenital lain seperti endocardial cushion disease, endokardial fibroelastosis, kardiomiopati hipertropik obstruktif, prolaps katup mitral (Haryono, 2003).
 Pada insufisiensi katup mitral terjadi kelainan berupa celah daun anterior katup mitral, korda yang pendek atau tak ada korda tendinea, lubang tambahan kelemahan dan kebocoran daun katup posterior. Perjalanan penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada bayi bila kelainannya berat. Kelainan yang ringan dapat ditoleransi secara normal lebih lama (Haryono, 2003).
III. DISKUSI / BAHASAN
 Pada kelainan jantung bawaan yang mengakibatkan kenaikan aliran darah pulmonal, dapat menyebabkan bendungan pada paru. Hal ini disebabkan karena kenaikan tekanan dan aliran yang terus menerus tanpa disertai dengan penyaluran yang adekuat, mengakibatkan tertimbunnya cairan pada rongga paru. Tekanan osmotik sel menjadi lebih tinggi dari normal dan mengakibatkan cairan keluar dan tertimbun lebih banyak lagi di luar sel. Hal ini membuat sistem drainase menjadi lebih buruk dan dapat menjadi tempat yang subur bagi mikroorganisme untuk bertumbuh. Sehingga pada anak dengan kelainan jantung bawaan sering terjadi infeksi yang berulang.
 Kelainan jantung juga mengakibatkan aliran darah sistemik menjadi relatif berkurang. Pada kasus-kasus ringan, kelainan ini dapat terkompensasi dengan baik oleh tubuh. Namun pada kasus berat, pada kondisi normal dan tanpa aktifitas sekalipun mungkin sudah terlihat gelajanya. Misalnya ketika makan atau menangis, anak dengan gangguan jantung akan menjadi lebih cepat lelah.
 Pada kasus skenario didapatkan bising pansistolik dengan punctum maximum pada SIC IV-V parasternal kiri. Proyeksi katup mitral terdapat pada SIC III hingga cartilago costa IV linea parasternal kiri, sehingga titik punctum maximum anak ini seharusnya berdekatan dengan proyeksi katup mitral. Tetapi pada anak ini didapatkan LVH dan LAH yang dibuktikan dengan pemeriksaan EKG ataupun foto thorax yang menunjukkan pergeseran apeks ke caudolateral. Sehingga proyeksi normal tentunya akan tergeser.
  Bising pansistolik biasa terdapat pada beberapa kelainan-kelainan jantung, diantaranya seperti insufisiensi mitral, VSD, PDA, stenosis aorta, insufisensi katup trikuspid, stenosis katup pulmonal. Tetapi pada insufisiensi katup trikuspid yang mengalami penambahan beban adalah ventrikel dexter, sehingga pada kasus ini insufisiensu katup trikuspid dapat dieliminir. Sedangkan pada stenosis pulmonar juga terjadi penambahan beban ventrikel dexter, sehingga bukan stenosis pulmonar juga yang terjadi pada anak ini.
 Stenosis Aorta
 Stenosis aorta mengakibatkan penyempitan katup aorta. Mengakibatkan pengisian aorta yang terjadi pada saat sistol terganggu dan menimpulkan bising. Stenosis aorta membuat beban ventrikel kiri bertambah, dan dapat terjadi LVH yang akan diikuti oleh LAH. Pada stenosis aorta tidak terjadi sianosis kecuali jika diikuti dengan penyakit lain.
 Arteri koronaria juga merupakan cabang dari aorta, sehingga pada kelainan ini jelas juga memberi dampak buruk pada arteri koronaria. Pada aktifitas yang berat jantung membutuhkan pasokan darah yang lebih, sedangkan pada kelainan ini terjadi penyempitan aorta sehingga aliran darah menjadi terganggu. Menyebabkan seluruh komponen sistemik mengalami kekurangan pasokan oksigen, termasuk jantung. Keadaan hipoksemia dan asidosis ini memberi gejala seperti sakit pada dada saat melakukan aktifitas atau keadaan lain. Pada stenosis aorta juga dapat didapatkan pembesaran aorta dan arteri pulmonalis.
 PDA
 PDA lebih sering terjadi pada kasus bayi yang lahir prematur. Duktus arteriosus botalli yang seharusnya menutup dalam beberapa jam setelah kelahiran menjadi tetap terbuka yang nantinya akan mengakibatkan adanya aliran pirau dari kiri ke kanan. Pada awal kelahiran tidak ditemukan gejala sebab PVP (Pulmonary Vascular Pressure) relatif sama dengan tekanan pada atrium sinistrum. Kemudian PVP akan terus menurun karena paru-paru bayi sudah siap untuk bekerja dan menyebabkan terjadinya aliran pirau dari aorta menuju arteri pulmonalis dan terjadi bising sistolik.
 Kekurangan pasokan menuju aliran sistemik karena adanya aliran pirau ini membuat mekanisme kompensasi bekerja. Ventrikel Sinister akan meningkatkan kerjanya karena kekurangan ini, menyebabkan hipertrofi ventrikel sinister yang akan diikuti oleh hipertrofi atrium sinistrum. 
 VSD
 VSD mengakibatkan adanya aliran pirau dari kiri ke kanan selama sistol, dan menyebabkan bising sepanjang fase sistol. Pada awal kelahiran juga tidak ditemukan gejala sebab PVP (Pulmonary Vascular Pressure) relatif sama dengan tekanan pada atrium sinistrum. Kemudian PVP akan terus menurun karena paru-paru bayi sudah siap untuk bekerja dan menyebabkan terjadinya aliran pirau dari kiri ke kanan.
 Kekurangan pasokan menuju aliran sistemik karena adanya aliran pirau ini membuat mekanisme kompensasi bekerja. Ventrikel Sinister akan meningkatkan kerjanya karena kekurangan ini, menyebabkan hipertrofi ventrikel sinister yang akan diikuti oleh hipertrofi atrium sinistrum. 
 Insufisiensi Mitral
 Insufisiensi mitral mengakibatkan aliran balik (regurgitasi) ke atrium sinistrum. Darah yang seharusnya menuju aorta tetapi karena terjadi penutupan yang tidak sempurna dari katup mitral mengakibatkan darah tidah seluruhnya terpompa menuju aorta.
 Pada kondisi normal, saat fase sistol terjadi penutupan katup mitral karena perbedaan tekanan yang sangat besar antara atrium dan ventrikel. Penutupan ini dijaga oleh korda tendinea dan muskulus papillaris agar katup tidak masuh ke atrium karena tekanan yang besar dari ventrikel. Tetapi pada kelainan ini terjadi penutupan katup yang tidak sempurna sehingga darah dapat mengalir masuk kembali ke atrium sinistrum dan terjadi bising sepanjang fases sistol.
 Pengurangan pasokan secara relatif akan terjadi karena darah tidak selurunya dipompa masuk ke aorta. Mengakibatkan fungsi pompa ventrikel menjadi meningkat untuk mengatasi kelainan ini.
 Karena terus mengalami aliran balik, atrium juga mengalami gangguan. Juga disebabkan oleh fungsi ventrikel dexter yang masih baik, maka darah yang mengalir ke atrium sinistrum masih normal. Tetapi pemompaan darah yang terus mengalami regurgitasi akan menyebabkan bendungan pada ventrikel sinister ditambah dengan darah yang berasal dari vena pulmonalis. Untuk mengkompensasi hal ini, atrium dextrum berkontraksi lebih kuat agar darah dapat seluruhnya dialirkan ke ventrikel, menyebabkan hipertrofi atrium.
 Kelainan-kelainan seperti yang disebutkan di atas memberikan gambaran seperti yang disebutkan pada skenario. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui dengan pasti diagnosis pasien. Pemeriksaan ekokardiografi dapat sangat membantuk untuk mengetahui letak defek jantung pasien. Jika hasil pemeriksaan masih meragukan dapat dilakukan kateterisasi jantung.




















IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada beberapa kemungkinan yang mendekati diagnosis pasien. Insufisiensi mitral, VSD, PDA, stenosis aorta merupakan differential diagnosis pada kasus ini.
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis dengan pasti. Ekokardiografi atau kateterisasi jantung merupakan beberapa pilihan yang dapat digunakan.

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan kardiovaskuler. Dengan meningkatkan penyuluhan kesehatan pada ibu hamil sehingga mengurangi angka kejadian kelainan kongenital.














V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 43-59
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Anatomi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 518-526
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Fisiologi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 530-540
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 134-175
Hadiwidjaja, Satimin. 2002. Thorax et Situs Viscerum Thoracis. Surakarta : Sebelas Maret University Press. pp: 112-160
Haryono, Nur. 2003. Penyakit Jantung Katup Non Rematik. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FK UI. pp : 152-157
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins, S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC. 
Munawar, Muhammad., Sutandar, Hartoyo .2003. Elektrokardiografi. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FK UI. pp : 41-48
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., dan Rodwell, V.W. 2003. Biokimia Harper Edisi 25. Alih Bahasa: Andry Hartono. Jakarta: EGC. pp: 625-626, 813-814.
Rahajoe, Anna U. 2003. Defek Septum Atrium. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. pp : 229-231
Rilantono, Lilly I. 2003. Defek Septum Ventrikel. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. pp : 232-235
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. pp : 661-720 Selengkapnya...

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign