Kamis, 21 Mei 2009

Benign Prostate Hyperplasia

TIJAUAN UMUM PEMBESARAN KELENJAR PROSTAT JINAK

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembesaran kelenjar prostat jinak dalam klinis dipakai istilah benign prostate hypertrophy (BPH). Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena pembesaran kelenjar prostat diakibatkan oleh kelenjar-kelenjar yang mengalami hiperplasia. BPH sering ditemukan pada orang-orang tua, dan jarang ditemukan pada pria di bawah 40 tahun.

Pembesaran kelenjar prostat akan menekan uretra dan mengakibatkan penyempitan uretra. Jika sudah terjadi penyempitan total maka akan terjadi retensi urin, yang jika terus berlangsung dapat mengakibatkan refluks vesicoureter, hidroureter, dan hidroneforsis. Jika keadaan ini terus dibiarkan tanpa penanganan dapat terjadi gagal ginjal.

II. STUDI PUSTAKA

FISIOLOGI ANATOMI GLANDULA PROSTATA

Prostat memproduksi sekret bersifat alkalis dengan bau spesifik, encer, keruh, dan langu, di antaranya terdapat fosfatase asam dan merupakan glandula tubuloalveoler. Terletak di antara basis vesica urinaria dan m. transversus perinei profundus, 1-1,5 cm di belakang syphissis osseum pubis dan di depan rectum. Prostat ditembus uretra pars protatica dan ductus ejaculatorius. Besarnya sekitar 3-3,5cm.

Prostat berbentuk seperti piramid terbalik dan merupakan kelenjar fibromuskular yang mengelilingi uretra pars protatica. Prostat terletak antara collum vesica urinaria dan diaphragma urogenitale.

Glandula prostata menghasilkan sekitar 20% dari seluruh sekret sperma.Sekret ini berfungsi untuk memberi makan sperma, memberikan suasana basa serta menetralisasi dari sifat asam vagina.

III. DISKUSI / BAHASAN

Etiologi BPH belum jelas namun terdapat faktor risiko umur dan hormon androgen. Perubahan mikroskopik protat telah terjadi pada umur 30-40 tahun. Bila perubahan ini berlanjut akan mengakibatkan pembesaran kelenjar prostat sehingga menekan uretra pars prostatica yang berakibat pada penyempitan uretra hingga retensi urin.

Teori yang sekarang banyak digunakan dalam patofisiologi BPH adalah teori dehidrotestosteron (DHT). Testosteron sebagian besar dihasilkan oleh testis, dihasilkan oleh sel Leydig atas pengaruh LH. Disamping testis, kelenjar adrenal juga memproduksi sebagian kecil testis..Seiring bertambahnya usia, akan terjadi pengurangan jumlah testosteron. Dalam tubuh, testosteron 98% diikat oleh serum dan hanya 2% yang bebas. Testosteron yang bebas ini, karena pengurangan relatif testosteron terhadap estrogen akan direduksi oleh enzim 5α-reductase menjadi DHT. DHT kemudian akan diikat oleh reseptor yang berada dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT-reseptor kompleks. DHT-reseptor kompleks kemudian akan masuk ke dalam inti sel dan akan mempengaruhi RNA untuk mensintesis protein sehingga terjadi proliferasi sel.

Pembesaran stroma juga mungkin diakibatkan karena konversi testosteron menjadi estrogen di jaringan adiposa daerah perifer dengan bantuan enzim aromatase. Estrogen inilah yang kemudian akan mengakibatkan pembesaran stroma. Jadi diperkirakan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel, sedangkan estrogen diperlukan untuk pembesaran stroma.

Efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius pada BPH terjadi perlahan karena pembesaran prostat juga terjadi secara perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan kombinasi resistensi uretra pars prostatica, tonus trigonum dan leher vesica, dan kekuatan m. detrussor. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesica dan daerah prostat, kemudian detrussor akan berkontraksi lebih kuat sebagai kompensasi dari keadaan ini.

Akibatnya akan terjadi penebalan m. detrussor dan penonjolan serat detrussor ke dalam mukosa vesica, akan terlihat seperti balok (trabekulasi) apabila dilihat dengan sitoskopi, mukosa vesica dapat menerobos keluar diantara serat detrussor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula, apabila besar disebut divertikel. Apabila fase kompensasi ini terus berlanjut akan terjadi kelelahan detrussor dan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.

Gejala BPH dapat dibagi menjadi gejala obstruktif, yaitu gejala harus menunggu pada awal permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi melemah, rasa belum puas sehabis miksi. Terdapat juga gejala iritatif yaitu bertambahnya frekuensi miksi, nocturia, miksi sulit ditahan, dan nyeri saat miksi. Gejala obstruksi dikarenakan detrussor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus, sedangkan gejala iritatif disebabkan pengosongan urin yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.

Gejala iritatif yang sering dijumpai adalah bertambahnya frekuensi miksi pada malam hari (nocturia), disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan menurunnya tonus sfingter dan uretra. Simtom obstruksi diakibatkan oleh volume prostat yang besar. Jika telah terjadi dekompensasi, maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan urin dalam vesica, menyebabkan rasa tidak tuntas saat miksi. Jika keadaan ini terus berlanjut akan terjadi kemacetan total, dan pasien tidak mampu lagi untuk miksi. Oleh karena produksi urin berlangsung terus, sehingga tekanan intravesica akan terus naik bahkan melebih tonus sfingter yang mengakibatkan inkotinensia paradoks. Retensi kronik dapat mengakibatkan refluks vesicoureter, menyebabkan dilatasi ureter dan kaliks renalis dan berakhir pada kondisi gagal ginjal. Selain itu karena obstruksi kronik, pasien harus mengejan setiap kali miksi, mengakibatkan terjadinya hernia atau hemorrhoid. Oleh karena ada sisa dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapat dan menambah keluhan iritasi serta hematuria. Juga dapat terjadi sistitis dan pyelonefritis akibat infeksi.

Pada pemeriksaan fisik untuk menilai tonus sfingter ani, mukosa rectum, dan pembesaran prostat sendiri biasa dilakukan rectal toucher. Pada perabaan prostat akan didapatkan pembesaran dengan konsistensi kenyal, terdapat nodul, dan simetris.

Pemeriksaan laboratorium urin diperlukan untuk melihat apakah kelainan sudah sampai ke ginjal, dengan pengukuran kadar ureum, BUN, kreatinin darah dan elektrolit darah. Pemeriksaan radiologi juga dapat digunakan untuk gambaran pembesaran prostat, dengan foto polos BNO, IVP, USG trans abdominal atau USG trans rectal.

Pengobatan BPH dilakukan berdasarkan pembesaran secara klinik. Secara klinik BPH dibagi menjadi 4 derajat. Derajat satu, apabila ditemukan gejala prostatismus, pada RT ditemukan penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50ml. Derajat dua, apabila ditemukan gejala seperti derajat satu dengan prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urin 50-100ml. Derajat tiga, seperti pada derajat dua hanya batas atas prostat tidak teraba dan sisa urin lebih dari 100ml, sedangkan derajat empat telah terjadi retensi total.

Pasien derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, dapat diberikan alfa blocker sebaiknya selektif (α1). Diberikan untuk menurunkan tekanan darah dengan vaso dan venodilatasi serta penurunan tonus sfingter dan kekakuan leher vesica, menyebabkan pengurangan gejala obstruksi. Obat lain yang dapat diberikan dalah Gn-RH analogue untuk menekan produksi LH sehingga menurunkan testosteron. Pemberian 5α-reductase inhibittor untuk mencegah perubahan testosteron menjadi DHT. Penghambat kompetitif reseptor DHT juga dapat diberikan. Pengobatan lain juga dengan pemanasan prostat menggunakan gelombang ultrasonik atau gelombang radio kapasitif. Pemanasan dilakukan sampai suhu 45-470C selama 1 sampai 3 jam. Efek pemanasan ini menyebabkan vakuolisasi pada jaringan prostat dan penurunan tonus jaringan sehingga tekanan uretra menurun dan gejala obstruksi berkurang.

Pasien derajat dua sampai empat memerlukan tindakan operatif. Jika pembesaran prostat belum terlalu besar (derajat 2) dapat digunakan Trans Urethral Resection (TUR P). Jika pembesaran diperkirakan lebih dari 60 gram (derajat 3), maka dapat dilakukan Trans Urethral Incision Prostate (TUI P). Cara pengobatan dengan kedua metode ini secara endoskopik dan menggunakan penyayat dan pemotong. Pada pasien derajat empat, karena telah terjadi retensi urin total, hal pertama yang dilakukan adalah pembebasan urin dengan kateterisasi atau sitostomi, kemudian terapi definitif dapat dengan TUI P atau dengan operasi terbuka

.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan pembesaran prostat jinak.

V. DAFTAR PUSTAKA

---. 2007. ----. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid -. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : ---

Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : ---

Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: ---

Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.

Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: ---

---. 2005. ---. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. JakartaG : EGC. pp : ---

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume --. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.

Selengkapnya...

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign