Jumat, 04 April 2008

IMUNISASI

INDUKSI IMUNITAS
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Tubuh manusia memiliki mekanisme untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sebab lingkungan hidup kita mengandung berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup seperti bakteri, virus, jamur, parasit maupun yang mati.
Sejak lahir anak memiliki sitem imun yang didapat dari ibu, sehingga anak dapat terlindung dari penyakit. Tetapi saat bayi mulai bertumbuh sistem pertahanan didapat ini akan terus menurun dan akhirnya tidak dapat mengandalkan sistem pertahanan didapat.
Saat antibodi dari ibu tidak dapat diandalkan lagi, anak harus memproduksi sendiri antibodinya. Antibodi hanya dapat terbentuk jika ada induksi dari benda yang dianggap asing bagi dirinya.
Imunisasi adalah pencegahan penyakit infeksi dengan menginduksi sistem kekebalan tubuh untuk meningkatkan derajat imunitas seseorang terhadap patogen tertentu.
Di Indonesia diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau lima persen pada balita adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), seperti TBC, dipteri, pertusis, campak, tetanus, polio, dan hepatitis B. Oleh sebab itu, imunisasi penting untuk diberikan kepada setiap anak untuk mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Respon imun tubuh terhadap pajanan dari luar.
2. Waktu yang tepat untuk imunisasi.
3. Respon tubuh pada imunisasi.
4. Prosedur kerja imunisasi.
iii. TUJUAN PENULISAN
1. Mampu menetapkan waktu yang tepat untuk imunisasi dalam upaya pencegahan penyakit.
2. Mampu memberikan imunisasi sesuai keadaan yang tepat.
3. Mampu memberikan penanganan yang tepat pada kejadian ikutan paska imunisasi.
iv. MANFAAT PENULISAN
1. Memahami konsep-konsep dasar sistem imunologi manusia.
2. Memahami respon imun fisiologis dan patologis manusia.
3. Memahami pemeriksaan profil imunologi pada kondisi fisiologis dan patologis.
4. Memahami prinsip-prinsip dasar laboratorium untuk profil imunologi.
II. STUDI PUSTAKA
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme (Wikipedia, 2008).
Mekanisme pertahanan ini terdiri atas alamiah atau non spesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired) (Baratawidjaja, 1996).
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung terhadap antigen. Komponen-komponen sistem imun nonspesifik dapat dibagi sebagai berikut :
A. Pertahanan fisik dan mekanik.
Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen yang masuk ke dalam tubuh
B. Pertahanan biokimia (bahan larut).
Beberapa mikroorgnisme dapat masuk melalui badan melalui kelenjar sebaseus, berbagai asam lemak dan enzim yang mempunyai efek antimkrobial, akan mengurangi kemungkinan infeksi melalui kulit. Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas dan telinga berperan dalam pertahanan tubuh. Lisozim dalam keringat, ludan, air mata dan air susu, melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antimikrobial terhadap E.coli dan staphylococcus. HCl dalam lambung, enzim proteolitik dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak mikroorganisme.
C. Pertahanan humoral (bahan larut).
Bahan-bahan yang berperan dalam sistem pertahanan humoral:
1.Komplemen berperan meningkatkan fagositosis (opsonisasi) dan mempermudah destruksi bakteri dan parasit.
2. Interferon (IFN) adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon memiliki sifat antivirus dengan jalan meninduksi sel-sel di sekitarnya sehingga menjadi resisten terhadap virus. Juga berfungsi mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK).
3. C-Reactive protein (CRP) merupakan salah satu contoh dari protein fase akut, yaitu berbagai protein yang meningkat kadarnya dalam darah pada infeksi akut.
D. Pertahanan selular.
Fagosit, makrofag, sel NK dan sel K berperanan dalam sistem imun nonspesifik seluar (Baratawidjaja, 1996).
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang masuk dalam tubuh akan segera dikenal oleh sistem imun spesifik tersebut dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun spesifik dibagi menjadi dua: sistem imun spesifik humoral (limfosit B) dan sistem imun spesifik selular (limfosit T) (Baratawidjaja, 1996).
Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Bila sel dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan mengalami proliferasi dan berdifirensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk zat antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi adalah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan melakukan netralisasi toksin (Soeparman, Sarwono, 1996).
Yang berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel T umumnya ialah:
- membantu sel B memproduksi antibodi
- mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus
- mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
- mengontrol ambang dan kualitas sistem imun
(Soeparman, Sarwono, 1996).
Sel T terdiri atas beberapa subset
a. Sel Th (T helper)
Sel Th berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk membentuk antibodi, kebanyakan antigen harus dikenal lebih dahulu baik oleh sel B maupun oleh sel T. Sel Th juga berpengaruh atas sel Tc dalam mengenal sel yang terinfeksi virus dan jaringan cangkok allogenic.
b. Sel Ts (T Suppresor)
Berperan menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya sel Ts dibagi menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan Ts non spesifik.
c. Sel Td (delayed hypersensitivity)
Berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi hypersensitivitas tipe lambat. Dalam fungsinya sel Td sebenarnya menerupai sel Th.
d. Sel Tc (cytotoxic)
Mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel allogenic dan sel sasaran yang mengancung virus. Th dan Ts disebut sel regulator dan sel Td dan Tc disebut sel T efektor.
Antigen atau imunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan imun spesifik pada manusia dan hewan. Komponen antigen yang disebut determinan antigen atau epitop adalah bagian anitgen yang dapat mengikat antibodi.
Hapten adalah determinan antigen dengan berat molekul rendah dan batu menjadi imunogen bila diikat oleh molekul besar (carrier), dan dapat mengikat antibodi. Hapten biasanya dikenal oleh sel B dan carrier oleh sel T. Carrier sering digabung dengan hapten dalam usaha imunisasi (Soeparman, Sarwono, 1996).
Antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antibodi mengikat antigen yang menimbulkannya secara spesifik.
Respon imun normal bekerja dengan jalur seperti ini: patogen memasuki jaringan melalui luka pada jaringan. Patogen tersebut diserang oleh makrofag pada tempat infeksi. Kemudian antigen dari patogen dimunculkan pada permukaan makrofag (antigen presenting cell). Sel T memiliki reseptor yang mengenali antigen dan kemudian terikat pada antigen di makrofag. Atau dapat pula Sel B langsung melekat padaantigen. Yang kemudian dibantu oleh limfosit T helper yang melekat pada antigen di sel B untuk merangsang sel B memproduksi sel plasma. Sebagian besar plasma sel memproduksi antibodi yang melekat pada antigen dari sel yang terinfeksi. Sel B juga mempunyai sel B memori untuk kemudian bersama dengan antibodi berada di darah melawan infeksi dari patogen yang sama (Jphjohor, 2008).
Satu klon limfosit hanya responsif terhadap satu tipe antigen tunggal (atau terhadap beberapa antigen yang sifat stereokiminya sama). Sebab pada limfosit B, pada permukaan setiap membran selnya terdapat kira-kira 100.000 molekul antibodi yang hanya akan bereaksi secara sangat spesifik terhadap hanya satu macam antigen spesifik saja. Jadi, bila antigen ini cocok, maka antigen ini segera melekat pada membran sel; keadaan ini menimbulkan proses aktivasi. Pada limfosit T, pada permukaan membran sel T-nya terdapat molekul yang sangat mirip dengan antibodi, yang disebut protein reseptor permukaan (penanda sel T), dan ternyata protein ini juga bersifat sangat spesifik terhadap satu macam antigen tertentu yang mengaktivasinya (Guyton&Hall, 1997).
Dalam jaringan limfoid, selain limfosit terdapat juga berjuta-juta makrofag. Kebanyakan organisme yang menyerang difagositosis dan sebagian dicernakan oleh makrofag, dan produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian melewatkan antigen-antigen tersebut dengan cara kontak sel-ke-sel langsung ke limfosit, jadi menimbulkan aktivasi klon yang khusus. Selain itu, makrofag juga menyekresi IL-1 yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik (Guyton&Hall, 1997).
Kebanyakan antigen mengaktifkan limfosit T dan limfosit B pada saat yang bersamaan. Beberapa sel pembantu (Sel T) menyekresi limfokin yang mengaktifkan limfosit B. Tanpa bantuan sel ini jumlah antibodi yang terbentuk akan menjadi sedikit (Guyton&Hall, 1997).
Sistem pertahanan spesisfik ini sangat efektif dalam memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi dasa imunisasi (Wahab, 2002).
Imunisasi adalah induksi imunitas. Dibagi menjadi tiga yaitu: imunisasi aktif yaitu stimulasi sistem imun untuk membentuk pertahanan terhadap penyakit, imunisasi adaptif yaitu imunisasi pasif dengan transfer limfosit yang tersensitisasi dari donor yang imun dan imunisasi pasif yaitu timbulnya imun spesifik pada individu yang sebelumnya nonimun melalui pemberian sel limfoid tersensitisasi atau serum dari individu yang imun (Kamus Kedokteran Dorland, 2000).
Bila ada antigen masuk tubuh, seperti telah dijelaskan di atas maka tubuh akan berusaha menolaknya dengan membuat zat anti. Reaksi tubuh pertama kali terhadap antigen berlangsung lambat dan lemah, sehungga tidak cukup banyak antibodi yang terbentuk. Pada reaksi atau respon kedua, ketiga dan selanjutnya tubuh sudah mengenal antigen jenis tersebut. Tubuh sudah pandai membuat zat anti, sehingga dalam waktu singkat akan dibentuk zat anti yang lebih banyak. Setelah beberapa lama, jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang. Untuk mempertahankan agar tubuh tetap kebal, perlu diberikan antigen/ suntikan/ imunisasi ulang sebagai rangsangan tubuh untuk membuat zat anti kembali (Markum, 1997).
In utero, fetus biasanya terhindar dari anitgen asing dan infeksi mikroorgaisme, meskipun patogen tertentu dapat menginfektir ibu dan merusak fetus. Imunitas ibu melindungi fetus dengan jalan mengeliminir bahan infektif sebelum memasuki uterus, atau melindungi bayi baru lahir melalui antibodi transplasental atau air susu ibu.
Fetus dan neonatus belum mempunyai kelenjar limfoid yang berkembang kecuali timus. Fetus dapat membentuk IgM pada gestasi 6 bulan. IgG didapatkan sekitar gestasi bulan ke 2 tetapi ini berasal dari ibu. Pada umumnya bayi baru lahir sudah siap membentuk IgM dan dapat memberikan respons terhadap toksoid. Pada saat inilah dapat dilakukan pemberian imunisasi sehingga terbentuk respon imun untuk mengatasi infeksi yang mungkin terjadi (Baratawidjaja, 1996).
Pemberian vaksin bukan tanpa risiko. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi dapat terjadi, misalnya reaksi anafilaksis, persistent incosolable screaming, hypotonic hypresposive episode, toxic shock syndrome. Misalnya pada imunisasi campak dengan anak mengalami kurang gizi berat akan mengakibatkan efek samping yang lebih berat. Karena APC yang sudah mempresentasikan antigen tidak atau sedikit sekali yang bereaksi dengan sel B atau sel T, maka antigen yang menumpang pada APC akan dibawa menuju berbagai jaringan dan dapat menuju sawar darah otak dan mengakibatkan ensefalitis.
III. DISKUSI / BAHASAN
Skenario 1
SUDAH DIVAKSINASI CAMPAK, KOK MASIH KENA CAMPAK?
Ibu Susi punya dua anak. Anak pertama bernama Amir, berumur 5 tahun dan anak kedua bernama Ali berumur 9 bulan. Ibu Susi membawa Ali untuk penimbangan ke Posyandu. Oleh petugas Posyandu disarankan agar Ali diimunisasi campak. Bu Susi ragu-ragu untuk imunisasi campak, sebab Amir pada waktu usia 9 bulan juga sudah diimunisasi campak, tetapi ternyata tidak kebal sehingga pada usia 3 tahun toh kena penyakit campak juga. Apalagi pernah ada anak tetangganya yang setelah mendapatkan imunisasi malah panas. Ada lagi anak lain yang ditempat suntikan imunisasinya malah terjadi radang. Juga ada yang tidak berhasil imunisasinya karena menurut dokter Puskesmas si anak kurang gizi. Masalahnya, ada anak tetangga lain bernama Udin yang sering main ke rumah Bu Susi sekarang sedang menderita penyakit campak. Bu Susi takut anaknya ketularan, tapi Bu Susi juga masih mergukan apakah mungkin setelah diimunisasi si Ali bisa terhindar dari penyakit campak. Kenapa imunisasi campak tidak diberikan sejak lahir saja, dan bagi Udin yang sedang menderita campak, apa harus diimunisasi campak lagi?
Pada usia 9 bulan Amir menerima imunisasi campak tetapi tidak kebal. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan Amir tidak kebal terhadap campak. Perlu dilihat keadaan Amir pada saat imunisasi, apakah kekurangan gizi, sedang terkena penyakit alergi, atau alasan lain. Jika ternyata Amir mengalami kurang gizi maka memang vaksin campak bisa tidak membawa pengaruh. Karena jika Amir mengalami kurang gizi maka tubuh tidak dapat mengeluarkan respon imun seperti sewajarnya. Karena kekurangan gizi maka sistem imun tubuh juga ikut menurun yang berakibat pada tidak terbentuknya reaksi imunitas karena sistem imun tidak terinduksi. Atau kondisi kebal ini dapat pula terjadi karena Amir pada usia 9 bulan masih memiliki sistem imun didapat dari ibu dalam jumlah cukup banyak sehingga vaksin yang diberikan kepada Amir mengalami penolakan dan tidak bereaksi dengan sistem imun adaptive dari Amir. Karena pada beberapa anak terdapat jumlah sistem imun didapat yang cukup tinggi untuk menolak reaksi pemberian vaksin campak sampai usia 15 bulan. Walaupun demikian karena Indonesia merupakan daerah endemik campak maka imunisasi tetap harus dilakukan sebelum 9 bulan.
Vaksinasi campak memang kadang menimbulkan reaski pada sebagian kecil anak. Namun sangat jarang yang serius. Gejala klinis berupa ruam-ruam kulit ringan, demam ringan, pilek adalah reaksi yang paling umum ditemui setelah imunisasi atau adverse events following immunization (AEFI). Jika peradangan terjadi, mungkin terjadi kesalahan pada saat pemberian vaksin yang mengakibatkan adanya patogen yang masuk ke dalam tubuh dan menginduksi peradangan. Atau juga dapat diakibatkan reaksi normal dari induksi sistem kekebalan tubuh yang membutuhkan waktu untuk bereaksi.
Pada saat bayi baru lahir, bayi masih mempunyai sistem imun yang didapat dari ibunya. IgG yang diberikan melalui plasenta dan melalui air susu ibu yang mengandung colostrum (IgA). Dan akan mulai menurun dan pada usia 9 bulan sehingga pada usia ini anak akan mulai memproduksi antibodinya sendiri. Jika imunisasi diberikan dibawah 9 bulan maka tidak akan memberikan hasil karena vaksin yang diberikan akan bereaksi dengan antibodi dari ibu dan tidak akan bereaksi untuk membentuk sistem pertahanan adaptive. Karena itu perlu diberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan.
Sistem pertahanan adaptive pada anak akan mengingat patogen yang pernah menginfeksi dan pada akhirnya akan bereaksi lebih cepat saat patogen yang sama datang untuk menginfeksi. Sehingga jika anak sudah menderita campak tidak perlu diberikan imunisasi ulang.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Imunisasi campak tetap diberikan pada usia 9 bulan walau menurut WHO paling baik di atas usia 9 bulan karena pada saat itu anak sudah dapat mulai memproduksi antibodi sendiri dan sistem kekebalan dari ibu sudah mulai menurun, juga disebabkan karena Indonesia adalah daerah endemik campak.
2. Imunisasi campak tidak diberikan sejak lahir karena vaksin campak akan bereaksi dengan antibodi dari ibu sehingga vaksin tidak akan mengakibatkan reaksi apapun dengan antibodi anak.
3. Anak yang sudah terkena campak tidak perlu diberikan vaksin campak lagi karena sistem pertahanan adaptive akan menghalangi patogen yang sama yang pernah menginfeksi untuk menginfeksi kembali.


V. DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar Edisi ke 7. Jakrta : Badan Penerbit FK UI

Dorland, W.A Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. and John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC.
Jphjohor. 2008. Res_fmd, (Online), (http://www.jphjohor.gov.my/res_fmd.htm, diakses tanggal 16 Maret 2008).

Persatuan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : Infomedika.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak II. Jakarta : Infomedika.

Waspadji, Sarwono ,Soeparman. 1996. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbiy FK UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign