Senin, 14 September 2009

Otitis Media Supuratif Kronis

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Otitis media akut adalah peradangan pada telinga tengah yang bersifat akut atau tiba-tiba. Telinga tengah adalah organ yang memilki penghalang yang biasanya dalam keadaan steril. Bila terdapat infeksi bakteri pada nasofaring dan faring, secara alamiah terdapat mekanisme pencegahan penjalaran bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus yang dimiliki oleh tuba eustachii. Otitis media akut (OMA) ini terjadi akibat tidak berfungsinya sistem pelindung tadi. Sumbatan atau peradangan pada tuba eustachii merupakan faktor utama terjadinya otitis media. Pada anak-anak, semakin seringnya terserang infeksi saluran pernapasan atas, kemungkinan terjadinya otitis media akut juga semakin besar. Dan pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal (Djaafar dkk, 2007).

Prevalensi terjadinya otitis media di seluruh dunia untuk usia 1 tahun sekitar 62%, sedangkan anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun (Abidin, 2009).

Mengingat masih tingginya angka kejadian otitis media paada anak-anak, maka diagnosis dini yang tepat dan pengobatan secara tumtas mutlak diperlukan guna mengurangi angka kejadian komplikasi dan perkembangan penyakit menjadi otitis media kronik.

 

B.     Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat diambil dalam skenario 2 adalah sebagai berikut :

1.      Apa diagnosis penyakit yang dapat diambil dalam kasus ini?

2.      Apakah penyakit yang sekarang diderita pasien merupakan komplikasi dari penyakit dahulu?

3.      Bagaimana patogenesis dan patofisiologi dari gejala-gejala yang ada pada pasien ?

4.      Bagaimana proses terjadinya perforasi pada membran tympani ?

5.      Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh dokter?

6.      Mengapa pemberian obat tidak menuntaskan penyakit ?

7.      Adakah hubungan jenis kelamin dan umur dengan penyakit yang diderita pasien?

8.      Langkah apa yang harus diambil dokter terhadap untuk menangani pasien saat ini?

9.      Bagaimana prognosis pasien dalam kasus ini?

 

C.    Tujuan Penulisan

Tujuan Umum

Mahasiswa mampu menerapkan konsep-konsep dan prinsip ilmu-ilmu biomedik, klinik, perilaku, epidemiologi, dan kesehatan masyarakat pada problem klinik serta penatalaksanaan pasien penyakit dalam ruang lingkup pada gangguan sistem telinga, hidung dan tenggorokan

Tujuan Khusus

1.   Mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar yang relevan untuk memahami etiologi, patofisiologi, dan patogenesis mengenai gangguan pada sistem telinga, hidung dan tenggorokan

2.   Menangani suatu permasalahan klinis secara mandiri dengan kemampuan menetapkan diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

3.   Mampu menjelaskan secara rasional dan ilmiah dalam menentukan penanganan pasien baik klinik, epidemiologis, farmakologis, fisiologis, dan perubahan perilaku.

 

D.    Manfaat Penulisan

1.      Sebagai langkah upaya dalam mengetahui patogenesis dan patologi timbulnya berbagai keluhan pada organ telinga, hidung dan tenggorokan

2.      Sebagai upaya memahami berbagai mekanisme terjadinya gangguan pada organ telinga, hidung dan tenggorokan seperti rhinitis, otitis media akut, dan tonsilitis

3.      Sebagai upaya untuk memahami langkah-langkah dalam interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang terhadap penyakit otitis media akut dan otitis media supuratif kronis.

4.      Sebagai langkah upaya mengetahui pengobatan medikamentosa dan tindakan preventif dalam penanganan penyakit pada telinga, hidung dan tenggorokan.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Otitis Media

Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif. Dan setiap pembagian tersebut memiliki bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media supuratif akut (otitis media akut = OMA) dan otitis media supuratif kronis (OMSK). Selain itu, terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau otitis media sifilitika (Djaafar dkk, 2007).

B.     Otitis Media Akut

Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik seperti Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus. Selain itu kadang-kadang ditemukan juga Hemofilus influenza, Escherichia colli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aerugenosa (Djaafar dkk, 2007).

Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat  infeksi dapat dibagi atas 5 stadium yaitu:

  1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negative di dalam telinga tengah. Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan otitis media serosa akibat virus atau alergi.

  1. Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi)

Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga sukar terlihat.

  1. Stadium Supurasi

Membran timpani menonjol kea rah telinga luar akibat edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superficial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani. Pasien merasa sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis dan nekrosis mukosa serta submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan kekuningan pada membran timpani. Di tempat ini akan terjadi ruptur.

  1. Stadium Perforasi

Karena pemberian antibiotic yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasien yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun dan dapat tidur dengan nyenyak.


 

  1. Stadium Resolusi

Bila membran timpani tetap utuh maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila telah terjadi perforasi maka secret akan berkurang dan mongering. Bila daya tahan tubuh baik dan virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan. Otitis media akut (OMA) berubah menjadi otitis media supuratif subakut bila perforasi menetap dengan secret yang keluar terus menerus atau hilang timbul lebih dari 3 minggu. Disebut otitis media supuratif kronik (OMSK) bila berlangsung lebih dari 1,5 atau 2 bulan. Dapat meninggalkan gejala sisa berupa otitis media serosa bila secret menetap di kavum timpani tanpa perforasi.

C.    Otitis Media Supuratif Kronis

Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening, atau berupa nanah (Djaafar dkk, 2007).

OMSK dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu (1) OMSK tipe aman (tipe mukosa= tipe benigna) dan (2) OMSK tipe bahaya (tipe tulang= tipe maligna). Proses peradangan pada OMSK tipe man terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral dan tidak terdapat kolesteatoma. OMSK tipe bahaya letak perforasinya di marginal atau atik.

Diagnosis OMSK dapat ditegakkan dengan:

1.  Anamnesis (history-taking)

Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang telinga yang pada tipe tubotimpanal sekretnya lebih banyak dan seperti berbenang (mukous), tidak berbau busuk dan intermiten,  sedangkan pada tipe atikoantral, sekretnya lebih sedikit, berbau busuk,  kadangkala disertai pembentukan jaringan granulasi atau polip, maka sekret yang keluar dapat bercampur darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah. 

2.  Pemeriksaan otoskopi

Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.

3.  Pemeriksaan audiologi

Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai hantaran tulang dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur berguna untuk menilai ‘speech reception threshold’

pada kasus dengan tujuan untuk memperbaiki pendengaran. 

4.  Pemeriksaan radiologi

Radiologi konvensional, foto polos radiologi, posisi Schüller berguna untuk menilai kasus kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT scan dapat lebih efektif menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma.

      Komplikasi pada OMSK ini dapat berupa komplikasi intratemporal seperti parese n.fasial, ataupun ekstrateporal seperti abses ekstradural, abses intradural, abses subdural, dll. Pada radang telinga tengah menahun ini walaupun telinga berair sudah bertahun-tahun lamanya telinga tidak merasa sakit, apabila didapati telinga terasa sakit disertai demam, sakit kepala hebat dan kejang menandakan telah terjadi komplikasi ke intrakranial.

      Komplikasi ke intrakranial, merupakan penyebab utama kematian pada OMSK di negara sedang berkembang, yang sebagian besar kasus terjadi karena penderita mengabaikan keluhan telinga berair. (WHO) Meningitis atau radang selaput otak adalah komplikasi intrakranial OMSK yang paling sering ditemukan di seluruh dunia,  biasanya mempunyai gejala demam, sakit kepala serta adanya tanda-tanda perangsangan meningen, seperti kejang. Kematian terjadi pada 18,6% kasus OMSK dengan komplikasi intrakranial.

      Namun frekuensi komplikasi yang mengancam jiwa pada OMSK telah menurun  secara dramatis dengan ditemukannya antibiotik. Angka mortalitas  menurun tajam dari 76% pada tahun 1930-an menjadi 36% pada tahun 1980-an.

 

BAB III

PEMBAHASAN

Sejak 5 hari yang lalu, anak laki-laki tersebut mengeluh batuk pilek, hidung buntu, badan terasa panas disertai menggigil dan sakit menelan. Pada pemeriksaan hidung didapatkan hidung beringus dan konka hiperemis. Gejala dan tanda yang dialami oleh anak tersebut merupakan ciri-ciri dari Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Selain itu, anak tersebut juga merasakan telinga kanan terasa penuh. Dapat dikatakan bahwa anak ini menderita ISPA yang kemudian menimbulkan komplikasi berupa otitis media akut (OMA). Hal ini dikarenakan infeksi sudah menyebar ke telinga melewati tuba eustachius sehingga sampai ke telinga tengah (auris media). Setelah bakteri masuk, terjadi proses infeksi yang menyebabkan pembengkakan di sekitar saluran, penyumbatan saluran dan datangnya sel-sel darah putih. Pembengkakan ini menimbulkan permeabilitas kapiler  meningkat sehingga serum keluar dan mengakumulasi rongga di auris media. Kondisi ini ditandai dengan adanya cairan (eksudat) serous. Selain itu, adanya invasi sel-sel darah putih yang berperang dengan bakteri nantinya akan pecah dan terakumulasi menjadi nanah.

Kemarin telinga sebelah kanan keluar cairan disertai rasa sakit dan berdenging. Gejala ini terjadi karena lendir dan nanah bertambah. Penambahan lendir dan nanah mengganggu pendengaran  karena tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas. Selain itu, penambahan cairan di auris media nantinya juga akan menimbulkan tinnitus akibat gangguan interpretasi bunyi di nucleus dorsalis cochlea. Kemudian akumulasi cairan dapat merobek  membran tympani karena tekanan tinggi yang ditimbulkan dari dalam auris media. Bila membran tympani robek, cairan yang terakumulasi dalam auris media tersebut akan berkurang. Keluarnya cairan ini dapat bersifat pulsasi (berdenyut) dan nantinya menyebabkan panas badan berkurang.

Anak ini diduga telah menderita Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) tipe aman. Pada anak ini telah terjadi infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Karena perforasi terletak central dan tidak terdapat kolesteatoma, maka dikategorikan sebagai tipe aman. OMSK tipe aman ini mempunyai prognosis yang lebih baik karena jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya.

Kekurangan pendengaran sering menyertai OMSK. Kekurangan yang terjadi biasanya bersifat tuli konduksi (conductive hearing loss) derajat ringan hingga menengah (sekitar 30–60  dB). Kekurangan pendengaran ini merupakan akibat dari perforasi membrana timpani dan putusnya rantai tulang pendengaran pada telinga tengah karena proses osteomielitis sehingga suara yang masuk ke telinga tengah langsung menuju tingkap oval (foramen ovale). Kekurangan pendengaran derajat yang lebih tinggi lagi dapat terjadi bila proses infeksi melibatkan koklea atau saraf pendengaran.

Untuk menegakkan diagnosis OMSK pada kasus skenario, masih diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan. Selain  pemeriksaan THT berupa otoskopi, pemeriksaan penala juga diperlukan untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur (speech audiometry) dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked response audiometry) jika anak tidak kooperatif dengan pemeriksaan audiometric nada murni. Pemeriksaan penunjang lain berupa foto rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga.

Prinsip terapi OMSK tipe aman ialah konservatif atau dengan medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Secara oral diberikan antibiotika dari golongan ampisilin atau eritromisin (bila pasien alergi terhadap penicillin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisiln dapat diberikan ampisilin asam klavulanat. Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atu kerusakan pendengaran yang lebih bera, serta memperbaiki pendengaran.

Terapi operatif yang dapat diberikan antara lain:

1.  Mastoidektomi sederhana

Bertujuan untuk mengevakuasi penyakit yang hanya terbatas pada rongga mastoid. 

2.  Mastoidektomi radikal

Bertujuan untuk mengeradikasi seluruh penyakit di mastoid dan telinga tengah, di mana rongga mastoid, telinga tengah, dan liang telinga luar digabungkan menjadi satu ruangan sehingga drainase mudah.

3. Untuk kasus-kasus yang akan dilakukan perbaikan fungsi pendengaran dilakukan timpanoplasti.

 

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan

a. Otitis Media Akut merupakan peradangan pada telinga tengah (auris media) yang biasanya terjadi pada anak akibat komplikasi infeksi virus atau bakteri pada faring.

b.Dalam kasus di scenario, pada awalnya pasien mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan tonsillitis. Akan tetapi, karena terjadi perluasan infeksi didaerah auris media, maka pasien juga mengalami otitis media akut

c. Otitis media akut (OMA) yang tidak diobati secara tuntas dapat berlanjut menjadi Otitis Media Supuratif Kronik yang ditandai dengan adanya perforasi pada membran tympani.

d.            Penanganan yang dapat diberikan pada pasien saat ini adalah pengobatan secara medikamentosa dan konservatif yang berupa pemberian antibiotic yang adekuat dan timpanoplasti.

B.     Saran

a.    Hendaknya dilakukan uji kultur pada pasien untuk mengetahui jenis bakteri yang menginfeksi dan untuk pemberian antibiotic yang tepat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abidin, Taufik. 2009. Otitis Media Akut. http://library.usu.ac.id (10 September 2009)

Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Dewi Asih Mahanani dkk (eds). Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 441-443

Djaafar, Z.A., Helmi, dan Restuti, R. 2007. Kelainan Telinga Tengah, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Eds. Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Resturi, R.D. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 64-77

Dorland, W.A. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Huriawati Hartanto dkk (eds). Edisi 29. Jakarta: EGC, hal : 2386

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., Setiowulan, W. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius , hal: 79-82

Paparella, Michael M., George L. Adams, Samuel C.Levine. 1997. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid, dalam BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Harjanto Effendi (Ed). Jakarta : EGC, hal: 95-99

 

2 komentar:

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign