Jumat, 04 April 2008

HIPERSENSITIVITAS

REAKSI IMUN YANG BERLEBIH
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Tubuh manusia memiliki mekanisme untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sebab lingkungan hidup kita mengandung berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup seperti bakteri, virus, jamur, parasit maupun yang mati.
Imunitas spesifik merupakan mekanisme yang ampuh untuk menyingkirkan pathogen dan antigen asing. Mekanisme efektor sistem imun, seperti komplemen, fagosit, sitokin, dan lain-lain tidak spesifik untuk antigen asing. Karena itu respons imun dan reaksi inflamasi yang menyertai respons imun kadang-kadang disertai kerusakan jaringan tubuh sendiri, baik lokal maupun sistemik. Pada umumnya efek samping demikian dapat dikendalikan dan membatasi diri dan juga berhenti sendiri dengan hilangnya antigen asing. Di samping itu, dalam keadaan normal ada toleransi terhadap antigen self (sendiri) sehingga nantinya tidak akan terjadi respons imun terhadap jaringan tubuh sendiri. Namun ada kalanya respons atau reaksi imun itu berlebihan atau tidak terkontrol dan reaksi yang demikian disebut dengan reaksi hipersensitivitas (Abbas, 2000).
Seharusnya sistem pertahanan tubuh kita akan melindungi tubuh dari pajanan dari luar. Tetapi pada keadaan reaksi imun yang berlebihan, sistem imun tubuh kita akan menghasilkan reaksi imun yang patologik, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Pada beberapa kejadian reaksi imun yang tak lazim ini disebabkan kecenderungan “alergik”, yang keadaan alerginya disebabkan alergi atopik. Kecenderungan alergi ini diturunkan secara genetis.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Respon imun normal terhadap pajanan dari luar.
2. Reaksi hipersensitivitas dan klasifikasinya.
3. Alergen pemicu reaksi hipersensitivitas.
4. Apa saja yang berperan dalam hipersensitivitas?
5. Apakah reaksi hipersensitivitas diturunkan?
iii. TUJUAN PENULISAN
1. Mempelajari semua hal yang menyebabkan manifestasi klinis pada Siti dan Ibunya.
2. Memahami reaksi hipersensitivitas tipe I-IV.
iv. MANFAAT PENULISAN
1. Memahami konsep-konsep dasar imunologi manusia.
2. Memahami respon imun fisiologis dan patologis manusia.
II. STUDI PUSTAKA
Tubuh kita sepanjang waktu terpapar dengan bakteri, virus, jamur, dan parasit, semuanya terjadi secara normal dan dalam berbagai tingkatan dalam kulit, mulut, jalan nafas, traktus intestinal, membran yang melapisi mata, dan bahkan traktus urinarius. Banyak dari bahan ini mampu menyebabkan penyakit yang serius jika mereka menyerbu ke jaringan yang lebih dalam. Selain itu, secara intermiten kita berhubungan dengan bakteri dan virus yang sangat infeksius di samping bentuk yang memang dijumpai dalam keadaan normal, dan dapat menimbulkan penyakit yang mematikan, misalnya penumonia, infeksi streptokokus, dan demam tifoid. Namun tubuh kita mempunyai suatu sistem khusus untuk memberantas bermacam-macam bahan yang infeksius dan toksik (Guyton, 1997).
Mekanisme pertahanan ini terdiri atas alamiah atau non spesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired) (Baratawidjaja, 1996).
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung terhadap antigen. Komponen-komponen sistem imun nonspesifik dapat dibagi sebagai berikut :
A. Pertahanan fisik dan mekanik.
Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen yang masuk ke dalam tubuh
B. Pertahanan biokimia (bahan larut).
Beberapa mikroorgnisme dapat masuk melalui badan melalui kelenjar sebaseus, berbagai asam lemak dan enzim yang mempunyai efek antimkrobial, akan mengurangi kemungkinan infeksi melalui kulit. Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas dan telinga berperan dalam pertahanan tubuh. Lisozim dalam keringat, ludan, air mata dan air susu, melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antimikrobial terhadap E.coli dan staphylococcus. HCl dalam lambung, enzim proteolitik dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak mikroorganisme.
C. Pertahanan humoral (bahan larut).
Bahan-bahan yang berperan dalam sistem pertahanan humoral:
1.Komplemen berperan meningkatkan fagositosis (opsonisasi) dan mempermudah destruksi bakteri dan parasit.
2. Interferon (IFN) adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon memiliki sifat antivirus dengan jalan meninduksi sel-sel di sekitarnya sehingga menjadi resisten terhadap virus. Juga berfungsi mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK).
3. C-Reactive protein (CRP) merupakan salah satu contoh dari protein fase akut, yaitu berbagai protein yang meningkat kadarnya dalam darah pada infeksi akut.
D. Pertahanan selular.
Fagosit, makrofag, sel NK dan sel K berperanan dalam sistem imun nonspesifik seluar (Baratawidjaja, 1996).
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang masuk dalam tubuh akan segera dikenal oleh sistem imun spesifik tersebut dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun spesifik dibagi menjadi dua: sistem imun spesifik humoral (limfosit B) dan sistem imun spesifik selular (limfosit T) (Baratawidjaja, 1996).
Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Bila sel dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan mengalami proliferasi dan berdifirensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk zat antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi adalah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan melakukan netralisasi toksin (Soeparman dkk, 1996).
Yang berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel T umumnya ialah:
- membantu sel B memproduksi antibodi
- mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus
- mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
- mengontrol ambang dan kualitas sistem imun
(Soeparman dkk, 1996).
Sel T terdiri atas beberapa subset
a. Sel Th (T helper)
Sel Th berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk membentuk antibodi, kebanyakan antigen harus dikenal lebih dahulu baik oleh sel B maupun oleh sel T. Sel Th juga berpengaruh atas sel Tc dalam mengenal sel yang terinfeksi virus dan jaringan cangkok allogenic.
b. Sel Ts (T Suppresor)
Berperan menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya sel Ts dibagi menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan Ts non spesifik.
c. Sel Td (delayed hypersensitivity)
Berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi hypersensitivitas tipe lambat. Dalam fungsinya sel Td sebenarnya menerupai sel Th.
d. Sel Tc (cytotoxic)
Mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel allogenic dan sel sasaran yang mengancung virus. Th dan Ts disebut sel regulator dan sel Td dan Tc disebut sel T efektor.
Antigen (Ag) adalah zat-zat yang mampu, dalam kondisi yang tepat, menginduksi suatu respon imun spesifik dan bereaksi dengan produk respons tersebut, yakni, dengan antibodi spesifik atau limfosit-limfosit T yang disensitisasi secara khusus, atau keduanya. Antigen dapat berupa zat terlarut, seperti toksin dan protein asing, atau partikel, seperti bakteri dan sel jaringan; akan tetapi, hanya bagian molekul protein atau polisakaridanya saja yang diketahui sebagai antigenic determinant yang bergabung dengan antibodi atau suatu reseptor spesifik suatu limfosit (Dorland, 2002).
Imunogen adalah suatu bahan yang dapat menimbulkan respon imun, dalam kebanyakan konteks bersinonim dengan antigen; dalam beberapa konteks imunogen digunakan untuk menggambarkan perbedaan dengan zat yang mampu bereaksi hanya dengan antibodi (antigen atau hapten) atau untuk menunjukkan bentuk suatu antigen yang menyebabkan respons imun bila dihadapkan pada tolerogen, suatu bentuk yang menyebabkan toleransi (Dorland, 2002)
Antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antibodi mengikat antigen yang menimbulkannya secara spesifik.
Satu klon limfosit hanya responsif terhadap satu tipe antigen tunggal (atau terhadap beberapa antigen yang sifat stereokiminya sama). Sebab pada limfosit B, pada permukaan setiap membran selnya terdapat kira-kira 100.000 molekul antibodi yang hanya akan bereaksi secara sangat spesifik terhadap hanya satu macam antigen spesifik saja. Jadi, bila antigen ini cocok, maka antigen ini segera melekat pada membran sel; keadaan ini menimbulkan proses aktivasi. Pada limfosit T, pada permukaan membran sel T-nya terdapat molekul yang sangat mirip dengan antibodi, yang disebut protein reseptor permukaan (penanda sel T), dan ternyata protein ini juga bersifat sangat spesifik terhadap satu macam antigen tertentu yang mengaktivasinya (Guyton, 1997).
Dalam jaringan limfoid, selain limfosit terdapat juga berjuta-juta makrofag. Kebanyakan organisme yang menyerang difagositosis dan sebagian dicernakan oleh makrofag, dan produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian melewatkan antigen-antigen tersebut dengan cara kontak sel-ke-sel langsung ke limfosit, jadi menimbulkan aktivasi klon yang khusus. Selain itu, makrofag juga menyekresi IL-1 yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik (Guyton, 1997).
Respon imun normal bekerja dengan jalur seperti ini: patogen memasuki jaringan melalui luka pada jaringan. Patogen tersebut diserang oleh makrofag pada tempat infeksi. Kemudian antigen dari patogen dimunculkan pada permukaan makrofag (antigen presenting cell). Sel T memiliki reseptor yang mengenali antigen dan kemudian terikat pada antigen di makrofag. Atau dapat pula Sel B langsung melekat padaantigen. Yang kemudian dibantu oleh limfosit T helper yang melekat pada antigen di sel B untuk merangsang sel B memproduksi sel plasma. Sebagian besar plasma sel memproduksi antibodi yang melekat pada antigen dari sel yang terinfeksi. Sel B juga mempunyai sel B memori untuk kemudian bersama dengan antibodi berada di darah melawan infeksi dari patogen yang sama (Jphjohor, 2008).
Bila terjadi perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respons imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing, keadaan ini disebut hipersensitivitas (Dorland, 2002). Hipersensitivitas yang terjadi akibat respon imun yang berlebih dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Baratawidjaja, 1996)
Reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III dan IV.
I. Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah badan terpapar terhadap alergen. Pada reaksi ini alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun dengan dibentuknya IgE.
Pada hipersensitivitas tipe I, secara berurutan, sebagai berikut (Kresno, 2003) :
1. Produksi IgE oleh sel B sebagai respons terhadap antigen paparan pertama
2. Pengikatan IgE pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil
3. Interaksi antigen paparan kedua dengan IgE pada permukaan sel yang mengakibatkan aktivasi sel yang bersangkutan dan penglepasan berbagai mediator yang tersimpan dalam granula sitoplasma sel tersebut.
Paparan ulang pada IgE yang telah melekat pada mastosit dan basofil oleh alergen spesifik mengakibatkan alergen diikat oleh IgE sedemikian rupa sehingga alergen tersebut membentuk suatu jembatan antara 2 molekul IgE pada permukaan sel, hal ini disebut sebagai crosslinking (Abbas, 2000). Namun, crosslinking hanya bisa terjadi dengan antigen yang bivalen atau multivalen dan tidak terjadi pada antigen yang univalen (Kresno, 2003). Crosslinking yang sama dapat terjadi bila fragmen Fc-IgE bereaksi dengan anti-IgE, atau apabila reseptor FcεRI dihubungkan satu sama lain oleh anti-reseptor Fc. (Kresno, 2003). Dan crosslinking inilah yang merupakan mekanisme awal atau sinyal untuk degranulasi basofil (Abbas, 2000).
Sifat khusus IgE adalah adanya kecenderungan yang kuat untuk melekat pada sel mas dan basofil. Pada saat sel mast dan basofil mengeluarkan beberapa bahan seperti histamin, SRS-A, substansi kemotaktik eosinofil, protease, substansi kemotaktik netrofil, heparin dan faktor pengaktif trombosit. Substansi-substansi ini menyebabkan suatu fenomena seperti dilatasi pembuluh darah setempat, penarikan eosinofil dan netrofil menuju tempat yang reaktif, kerusakan jaringan setempat karena protease, peningkatan permeabilitas kapiler dan hilangnya cairan ke dalam jaringan, dan kontraksi otot polos setempat.
II. Reaksi Hipersensitivitas tipe II
Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut mengaktifkan sel K sebagai efektor Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Selanjutnya ikatan antigen-antibodi dapat mengaktifkan komplemen yang melalui reseptor C3b memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ialah destruksi sel darah merah akibat transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.
Pada hipersensitivitas tipe II, antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen (Kresno, 2003). Konsekuensinya adalah (Abbas, 2000) :
1. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menatikdan mengaktivasi sel efektor lain.
2. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi dan C3d pada membran sel sasaran.
3. Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan membrane attack complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.

III. Reaksi Hipersensitivitas tipe III
Reaksi tipe III ini disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepaskan enzim yang dapat merusak jaringan di sekitarnya.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur) atau dari jaringan sendiri (autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
Sebenarnya dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks imun kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi (Baratawidjaja, 1996).
Pada hipersensitivitas tipe III, pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan antibodi yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Anibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen-antibodi yang kemudian dapat mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh. Pembentukan kompleks imun (kompleks antigen-antibodi) itu akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sitem komplemen, menyebabkan pelepasan anafilatoksin yang kemudian merangsang penglepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Di lain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel-sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim-enzim proteolitik di antaranya proteinase, kolagenase dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi tersebut mengendap di jaringan, prosdes di atas bersama-sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks (Abbas, 2000).
IV. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, Cell Mediated Immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberkulin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar dengan antigen. Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu. Di sini tidak ada peranan antibodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T mengeluarkan limfokin, antara lain Macrophage Inhibition Factor (MIF) dan Macrophage Activation Factor (MAF). Makrafag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing, mikroorganisme intraselular, protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
Untuk reaksi tipe IV diperlukan masa sensitisasi selama 1-2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan serentetan reaksi yang menimbulkan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI (Baratawidjaja, 1996).
Pada hipersensitivitas tipe IV, terdapat 3 macam reaksi penting (Kresno, 2003), yaitu :
1. Reaksi kontak
Ada 2 fase, yaitu fase sensitasi dan elisitasi (Kresno, 2003). Pada fase sensitasi, sel Langerhans membawa antigen ke area parakortikal kelenjar getah bening regional, mempresentasikan antigen yang telah diproses (bersama MHC kelas II) kepada sel CD4+ dan menghasilkan populasi sel CD4+ memori (Barnetson, 2003).
Pada fase elisitasi terjadi degranulasi dan penglepasan sitokin oleh sel mastosit segera estela kontak. TNF-α dan IL-1 yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel, khusunya makrofag, merupakan faktor yang poten untuk menginduksi molekul adhesi endotel. Penglepasan sitokin lokal ini merupakan sinyal bagi sel-sel mononuklear untuk bermigrasi ke kulit dan menimbulkan reaksi kontak. Sebagian besar sel infiltrat adalah CD4+, dan hanya sedikit CD8+. Supresi reaksi inflamasi dapat diperantarai oleh berbagai sitokin. Makrofag dan keratinosit menghasilkan Prostaglandin E yang menghambat produksi IL-1 dan IL-2; sel T mengikat keratinosit yang aktif dan konjugat hapten mengalami degradasi enzimatik (Barnetson, 2003).
2. Reaksi tuberkulin
Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan adanya agregasi dan proliferasi makrofag membentuk granuloma yang menetap selama beberapa minggu (Kresno, 2003). Pemaparan ulang sel T memori pada kompleks antigen MHC kelas II yang ditampilkan oleh APC merangsang sel T CD4+ untuk melakukan transformasi blast disertai pembentukan DNA dan proliferasi sel. Sebagian dari populasi limfosit teraktivasi mengeluarkan berbagai mediator yang menarik makrofag ke tempat bersangkutan. Dalam hal ini makrofag adalah APC utama yang berperan, di samping adanya sel-sel CD1+ yang membuktikan keterlibatan sel Langerhans dalam reaksi ini (Abbas, 2000).
3. Reaksi granuloma
Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas yang jenis lambat yang paling penting karena dapat menyebabkan berbagai keadaan patologis pada penyakit-penyakit yang melibatkan respons imun selular (Kresno, 2003). Biasanya reaksi ini terjadi karena makrofag tidak ampu menyingkirkan mikroorganisme atau partikel yang ada di dalamnya, sehingga partikel itu menetap. Kadang-kadang reaksi ini juga diakibatkan oleh kompleks imun yang persisten. Proses ini mengakibatkan pembentukan granuloma (Barnetson, 2003).
III. DISKUSI / BAHASAN
Skenario II
SITI SERING BIDUREN
Seorang anak, bernama Siti, berusia 10 tahun, sering menderita biduren. Keluhan biduren ini biasanya timbul setelah makan udang. Menurut ibunya, beberapa hari setelah lahir dulu pipinya timbul eczem, yang berwarna kemerahan dan selalu digaruk-garuk. Pada waktu bayi selain mendapat ASI juga mendapat susu formula. Sejak kecil, sehabis makan udang dan kepiting langsung keluar bentol-bentol merah terasa gatal dan juga disertai kolik abdomen disertai diare. Selanjutnya Siti tidak berani lagi makan udang, telur dan semua ikan laut. Setelah diperiksakan ke dokter, dianjurkan pemeriksaan laboratorium darah lengkap dengan hasil Hemoglobin: 13,2 gr/dL; Anthal lekosit: 7,5X103; AT 337X103 Hitung jenis lekosit: eosinofilia relatif. Selanjutnya dokter memberikan obat dan dianjurkan dilakukan pemeriksaan skin prick test.
Ibu dari Siti sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin dan juga menderita asma, dengan gejala sesak nafas dan mengi. Pada waktu hamil ibunya Siti sudah khawatir kalau asmanya menurun kepada anaknya. Mereka konsultasi kepada dokter mengenai hal tersebut.
Ibunya Siti pernah berobat ke praktek dokter diberikan suntikan dan syok. Dokter berusaha menangani syonya tersebut, tetapi tidak membaik dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit.
Pada kasus skenario Siti sering mengalami biduren setelah makan udang. Biduran/ urtikaria sendiri adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan hilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk.
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan penumpukan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat dengan kemerahan.
Vasodilatasi dan penigkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator, misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mas dan basofil. Selain itu terjadi pula inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik, misalnya kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin dalam sel mas.
IgE terikat pada permukaan sel mas dan atau basofil karena adanya reseptor Fc, bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE, maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mas dan basofil (Aisah, 1994).
Siti sering menderita biduren setelah memakan udang. Penelitian membuktikan telah mengidentifikasi alergen tersebut adalah protein pada otot udang, tropomyosin. Tropomyosin adalah protein dengan berat molekul rendah sehingga tidak tercerna dan akhirnya terserap dan megakibatkan alergi (Hererro, 2001).
Beberapa hari sesudah lahir, dia menderita eczem, dan pada waktu bayi dia diberi minum susu formula dan ASI. Eczem adalah dermatitis papulovesikular yang gatal yang timbul sebagai reaksi terhadap banyak agen eksogen dan endogen, pada stadium akut ditandai dengan eritema, edema yang disertai eksudat serosa diantara sel-sel epidermis dan infiltrat radang di dalam dermis, basah dan vesikulasi.
Bisa diakibatkan oleh alergi yang diturunkan melalui gen atopik dari ibunya, yang kemudian manifestasinya adalah eczem. Sampai usia lima tahun kurang lebih 20-25% orang berkulit putih dan 90-95% orang berkulit hitam akan mengalami intoleransi laktosa (Steinman, 2002). Baik susu formula maupun ASI sama-sama memiliki laktosa, namun pada ASI kadarnya jauh lebih rendah.
Setelah makan udang dan ikan laut dia juga menderita kolik abdomen dan diare. Kolik abdomen dan diare adalah tanda-tanda inflamasi yang diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas dari protein.
Hitung darah anak ini ada eosinofilia relatif. Eosinofilia relatif adalah persentase eosinofil >5% tetapi hitung eosinofil <450sel/µL . Kenaikan jumlah eosinofil pada inflamasi ini dialami anak tersebut karena pelepasan-pelepasan substansi-substansi kemotaktik eosinofil, sehingga ada kenaikan jumlah eosinofil pada jaringan yang mengalami alergi (Rodriguez dkk, 2008).
Ibu dari Siti sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin dan juga menderita asma, dengan gejala sesak nafas dan mengi. Disebabkan oleh gen atopik yang ada pada dirinya, sehingga jika terpapar dengan allergen maka bisa menghasilkan reaksi alergi.
Dalam granula-granula basofil/sel mas terdapat trypthase dan chymase. Trythase menyebabkan reaksi berlebihan pada bronkus dan chymase menyebabkan peningkatan sekresi mukus, yang menjadi ciri asma. Penyempitan saluran nafas pada asma terjadi karena Selaput dalamsaluranudara menjadi merah dan bengkak (radang) dan banyakmukus(lendir)mungkin dihasilkan serta otot dikeliling saluran udara menyempit (bronkokonstriksi).
Jika asma ini dipicu karena gen atopik serta lingkungan yang mendukung, maka mungkin anak yang dikandung mempunyai predisposisi untuk asma. Hipersensitivitas yang terjadi karena gen atopik diturunkan kepada keturunannya, dan yang diturunkan hanyalah predisposisi untuk asma. Pada anak bisa muncul dalam bentuk yang lain, bukan hanya asma.
Reaksi anafilaksis yang dialami oleh ibu Siti terjadi karena reaksi sistemik akut sebagai akibat dari kontak dengan antigen. Terdapat kontraksi otot-otot polos dan peninggian permeabillitas pembuluh darah. Akibat pelepasan-pelepasan mediator setelah kontak dengan antigen terjadi dilatasi pembuluh darah, peninggian permeabilitas pembuluh darah, perangsangan sekresi mukus dan kontraksi otot bronkus, tekanan darah dapat menurun dengan cepat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN :
1. Ibu Siti memiliki gen atopik sehingga jika terjadi pajanan dari luar dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas seperti asma dan syok.
2. Siti mewarisi gen atopik sehingga Siti juga mengalami reaksi hipersensitivitas seperti saat makan ikan atau udang, juga saat minum susu formula.
3. Siti mengalami hipersenstivitas tipe I
4. Dalam hipersensitivitas, yang diturunkan adalah gen atopik, sehingga anak yang lahir dari pasangan yang memiliki gen atopik dapat membawa faktor predisposisi untuk hipersensitivitas.
5. Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
SARAN:
1. Hindari makanan atau apapun yang sudah diketahui dapat menimbulkan reaksi alergi pada Siti.
2. Lakukan pemeriksaan skin prick test untuk mengetahui penyebab alergi pada Siti.
















V. DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman MH, 1997. Reaksi Anafilaksis. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak I, 7th ed. Jakarta, Infomedika, pp : 37-40
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS, 2000. Disease caused by immune response: Hypersensitivity and autoimmunity. Dalam: Cellular and molecular immunology, 4th ed. Philadelphia, WB Saunders Co, pp: 404-23
Adhi Djuanda, 1993. Penyakit Kulit: Urtikaria. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 2nd ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI , pp : 133-140
Baratawidjaja K .Garna, 1996. Reaksi Hipersensitivitas. Dalam: Imunologi Dasar. 3th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI , pp : 2-97
Barnetson R, Gawkrodger D dan Briton W. Hypersensitivity type IV. Dalam: Roitt IM, Brostoff J, Male D. (eds). Immunology, 7th ed. London, Mosby Co. 2003; 22.1-22.9
Guyton, Hall, 1997. Resistensi Tubuh Terhadap Infeksi : II. Imunitas dan Alergi. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta, EGC , pp : 555-577
Herrero, Gómez, P. Ojeda , E. Aldaya,I. Moneo. 2001. Shellfish Hypersensiivity and Spesific IgE Detection. http://revista.seaic.es/febrero2001e/13-17.pdf. (25 Maret 2008)
Kresno SB, 2002. IMUNOLOGI: Diagnosis dan Proseur Laboratorium, 4th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp: 136-159
Rodriguez C.Carranza, LIedias J.Pardo, Alvarez A.Muro, Arrelano J.L.Perez. 2008. Cryptic Parasite Infection in Recent West African Immigrants with Relative Eosinophilia. http://www.journals.uchicago.edu/doi/pdf/10.1086/528865 (25 Maret 2008)
Soeparman, Waspadji S, 1990. Asma Bronkial. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam, 2nd ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 21-39
Steinman H. 2002. Milk Allergy and Lactose Intolerance. http://www.scienceinafrica.co.za/2002/may/milk.htm. (25 Maret 2008)

1 komentar:

  1. siip. . .
    LengkaP bgT ni !
    mksh y,,,
    bwT nambah referensi Q TuToriaL nnTi. . .
    :)

    BalasHapus

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign