Selasa, 22 Juli 2008

KARSINOMA NASOPHARYNX

KARSINOMA NASOPHARYNX
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
 Skenario
 Seorang penderita laki-laki umur 40 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan benjolan di leher kanan. Benjolan di leher kanan mula-mula sebesar kacang, makin lama makin membesar. Benjolan dirasakan muncul sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan sekarang sebesar telur itik. Penderita juga mengeluh sering keluar darah dari lubang hidung, hidung dirasakan makin tersumbat, telinga kanan terasa penuh, pandangan mulai kabur, kepala pusing.
 Hasil pemeriksaan dokter Puskesmas, tekanan darah 130/80 mmHg, benjolan keras sukar digerakkan, tidak nyeri tekan. Tidak didapatkan kelainan sistemik yang berarti. Selanjutnya dokter Puskesmas merujuk ke rumah sakit.
 Pembelahan sel bertujuan untuk pertumbuhan atau mengganti sel-sel yang rusak. Pembelahan ini diatur oleh mediato kimia tubuh. Jika terjadi kelainan pada beberapa sel akibat zat-zat yang karsinogenik, sel tersebut dapat menjadi tidak peka terhadap mediator tersebut dan membelah tanpa terkendali.
 Jika sel-sel neoplasma tersebut tumbuh pada nasofaring, dapat timbul gangguan pada organ dan menyebar ke organ-organ di dekatnya atau organ yang jauh. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak ditemukan di Indonesia. 
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Struktur normal nasofaring
2. EBV dalam kaitannya dengan karsinoma nasofaring
3. Kelainan yang diderita pasien pada skenario
4. Hubungan gejala dengan karsinoma nasofaring
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mampu menjelaskan struktur normal nasofaring
2. Mengetahui seluk beluk karsinoma nasofaring
II. STUDI PUSTAKA
• STRUKTUR NASOPHARYNX
 ANATOMI
 Nasopharynx disebut juga epifaring, merupakan bagian dari pharynx yang terletak paling kranial, tepatnya di belakang cavum nasi, berperan dalam respirasi. Dihubungkan dengan orofaring dibatasi isthmus pharyngeus, dibatasi oleh palatum molle, arcus palatopharyngeus, dan dinding dorsal faring. Berhubungan dengan cavum nasi melalui choanae.
 Fornix pharyngis melekat pada fascies inferior corpus ossis sphenoidalis dan pars basiaris ossis occipitalis. Pada dinding posterior nasopharnyx, terdapat massa limfoid yang disebut tonsilla pharyngealis. Di sebelah lateral terdapat OPTAE (Ostium Pharyngeum Auditiva Eustachii), yang merupaka muara dari tuba auditiva eustachius yang menghubungkan cavun tympani dengan nasopharynx. Dalam keadaan normal tertutup, tetapi jika diperlukan untuk menyamakan tekanan cavum tympani dan udara luar dapat dibuka oleh musuculus tensor velli palatini.
 Aliran limfe dari nasofaring bersama dengan aliran limfe dari palatum molle dan tonsil akan bermuara ke lymfonodi retropharyngeal terus ke nodi lymphatici cervicales laterales profundi superiores yang berada di regio colli.
 Di dekat nasopharynx terdapat jalur-jalur dari beberapa syaraf cranial, sehingga pembesaran abnormal dari nasopharynx dapat menganggu fungsi dari nervus-nervus tersebut (Budianto, 2005).
HISTOLOGI
 Epitel yang melapisi permukaan nasopharynx serupa dengan epitel yang melapisi traktus respiratorius yaitu epitel pseudocomplex columnair dengan silia dan sel goblet. Sedangkan epitel pada bagian pharynx yang lain adalah epitel squamous complex. Sehingga terdapat daerah taut squamo-columnair pada daerah nasopharynx. Daerah taut ini sering mengalami displasia epitel (Junqueira, 2003).
• EPSTEIN BARR VIRUS
 Virus famili Herpesviridae, genus Lymphocryptovirus, disebut juga human herpesvirus 4(Newman, 2006). Dari sudut imunologi, EBV membawa antigen: (1) Antigen inti (EBV nuclear agent atau EBNA); (2) Antigen awal R (Early Antigen atau EA-R); (3) Antigen awal D (EA-D); (4) Antigen kapsid (Viral capsid antigen atau VCA); dan (5) antigen limfositik (Lymphocyte-determined membrane antigen atau LYMDA). Antigen-antigen ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan serologis.
 Virus ini mampu menyerans manusia dan monyet, hospes seluruhnya sel limfosit B, sel epitel oropharynx dan nasopharynx. Penularan dapat terjadi melalui ciuman, sehingga sering disebut kissing disease. Dalam epitel, virus menghasilkan antigen: EA, VCA, dan MA. Infeksi pada sel limfosit menghasilkan imortalisasi sel dan mengubahnya menjadi sel limfoblas yang mengekspresikan antigen EBNA dan LYMDA. Sebagian kecil infeksi ditularkan melalui transfusi darah.
 Pada anak, infeksi sering asimtomatik. Walaupun asimtomatik, kira-kira 90% penderita secara intermiten mengeluarkan virus dalam salivanya dalam jangka waktu yang sangat lama. EBV sering tidak dapat menyebabkan terbentuknya karsinoma nasofaring, tetapi EBV sendiri tidak dapat menyebabkan karsinoma nasopharynx, dibutuhkan kofaktor lainnya seperti zat karsinogenik kimia yang berperan dalam karsinogenesis (Staf Pengajar FK UI, 1994)
III. DISKUSI / BAHASAN
 Pada skenario ditemukan pasien menderita benjolan di leher kanan. Penulis akan membahas beberapa differensial diagnosa pada kasus ini. Benjolan dapat disebabkan oleh Higroma colli. Anyaman pembuluh limfe yang pertama kali terbentuk di sekitar pembuluh vena mengalami dilatasi dan bergabung membentuk jala yang di daerah tertentu akan berkembang menjadi sakus limfatikus. Pada embrio usia dua bulan, pembentukkan sakus primitif telah sempurna. Bila hubungan saluran ke arah sentral tidak terbentuk maka timbullah cairan yang akhirnya membentuk kista berisi cairan. Namun karena pasien berusia 40 tahun dan benjolan baru muncul 3 bulan yang lalum, maka pasien bukan menderita higroma colli (Jong, 1997).
 Kemungkinan limpoma baik hodgkin maupun non-hodgkin dapat disingkirkan, karena walaupun tidak menimbulkan rasa nyeri, namun limpoma ini mengakibatkan rasa gatal (Newman, 2006). Sedangkan penyakit-penyakit radang seperti limfadenitis ataupun parotitis menyebabkan rasa nyeri sehingga tidak mungkin. Kemungkinan disebabkan oleh struma tiroid juga dapat dibuang karena letak tumor pada sebelah kanan leher.
 Kemungkinan besar pasien menderita karsinoma nasopharynx pada tahap lanjut karena terdapat manifestasi klinis yang sesuai antara karsinoma nasopharynx dengan kelainan yang diderita oleh pria tersebut.
 Gejala karsinoma nasopharynx dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasopharynx, telinga, mata dan syaraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Gangguan pada telinga karena tempat asal terletak dekat muara tuba Eustachius. Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga. Karena karsinoma nasopharynx berhubungan dan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III,IV,VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang menimbulkan gejala diplopia.
 Pada kasus kali ini metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong penderita untuk berobat, karena memang sebelumnya tidak ada keluhan lain.
 Diagnosa dapat ditegakkan melalui pemeriksaan CT-scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer tersembunyipun tidak akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B juga dapat digunakan untuk diagnosis karsinoma nasopharynx. Diagnosis pasti ditegakkan dengan biopsi nasopharynx.
 Untuk penatalaksanaan, radioterapi merupakan pengobatan utama, dilakukan 5-6 hari dalam seminggu. Karsinoma nasopharynx sangat peka terhadap pancaran radioaktif sehingga pengaobatan dengan radioterapi sangat efektif kecuali pada karsinoma dengan kornifikasi. Pengobatan tambahan yang dapat diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. Pembedahan diseksi leher lokal dilakukan terhadap benjolan pada leher kanan. 
IV. KESIMPULAN
1. Pasien kemungkinan besar menderita karsinoma nasopharynx.
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk penegakkan diagnosis.
3. Jika terbukti karsinoma maka diberikan pengobatan radioterapi.
4. Pasien mungkin memiliki prognosis baik karena belum ditemukan kelainan sistemik
V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang, 2005. Nasopharynx : I. Pharynx. Dalam : Guidance to Anatomy III. Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, pp : 58-60
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, p : 637
Mansjoer, Arif, et al, 2002. Bedah Tumor. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 370-377
Roezin, Averdi. 1997. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok 3th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 149-153
Widjoseno, Gardjito. 1998. Kepala dan Leher. Dalam : Jong, Wim de, Sjamsuidajat. R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC, pp : 501-503

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign