Selasa, 22 Juli 2008

SEPSIS

I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
 Skenario :
KEJANG DAN TIDAK SADAR
 Seorang laki-laki 45 tahun diantar oleh keluarganya ke UGD RS. Dr. Moewardi Surakarta karena tidak sadar. Satu minggu sebelumnya pasien mengeluh badan tidak enak, panas, berkurang bila minum obat flu. Sebelum dibawa ke Rumah sakit pasien kejang satu kali. Pasien pernah bekerja di Papua selama 3 tahun, bekerja di Pelabuhan.
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 132 X/menit. Frekuensi nafas 32 X/menit, suhu 39,2 C axiller, kesadaran GCS E3 M4 V3. Rongga mulut didapatkan adanya plaque berwarna putih, paru infiltrat di apex paru kanan, jantung dalam batas normal, abdomen dalam batas normal.
 Pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan Hb=13,7 g%, leukositosis 16.800/UL, trombosit 243.000 /uL. Sedimen urin = leukosit 10-15/LPB, eritrosit 0-1/LPB, silinder (-), Widal (-), di bangsal pasien dilakukan pemeriksaan kultur darah dan urin, hasil pemeriksaan mikroskopis darah didapatkan kuman gram negatif coccus. Hasil identifikasi kultur masih menunggu hasil. Setelah pemberian antibiotika selama 3 hari keadaan umum masih panas.
 Dalam lingkungannya, manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi tersebut mampu mengakibatkan infeksi pada tubuh manusia yang mungkin mengakibatkan manifestasi klinis.
 Pada beberapa kasus, sistem imunitas manusia mampu mengatasi agen-agen infeksi ini sehingga tidak diperlukan pengobatan lebih lanjut. Namun pada beberapa kasus, sistem imun tubuh kadang kurang efektif dalam mengeliminir agen-agen infeksi ini, sehingga terjadilah kondisi yang tidak diingankan tubuh yang mungkin mengakibatkan gejala klinis yang nyata.
 Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara klinis mungkin tidak tampak atau timbul cedera seluler lokal akibat kompetisi metabolisme, toksin, replikasi intrasel, respons antigen-antibodi. Infeksi dapat tetap terlokalisasi, subklinis, dan bersifat sementara jika mekanisme pertahanan tubuh efektif. Infeksi lokal dapat menetap dan menyebar menjadi infeksi klinis atau kondisi penyakit yang bersifat akut, subakut, atau kronik. Infeksi lokal yang dapat menjadi sistemik bila mikroorganisme mencapai sistem limfatik atau vaskular (Anderson, 2002). Infeksi juga dapat mengakibatkan inflamasi.
 Inflamasi adalah respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk akutnya ditandai oleh tanda klasik: dolor, kalor, rubor, tumor, fungsiolesa. Secara histologis, menyangkur rangkaian kejadian yang rumit, mencakup dilatasi arteriol, kapiler, dan venula, disertai peningkatan permeabilitas dan aliran darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma; dan migrasi leukositik ke dalam fokus peradangan (Anderson, 2002).
 Jika terjadi infeksi dan tubuh belum berhasil untuk mengeliminir, maka tubuh berusaha untuk melokalisasi infeksi tersebut. Permasalahan akan muncul bila sistem imun tubuh sedang lemah dan mengakibatkan tubuh tidak berhasil melokalisasi infeksi sehingga akan mengakibatkan infeksi sistemik. Akan lebih berbahaya jika infeksi sistemik ini diikuti oleh komoplikasi.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu sepsis?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya sepsis?
3. Gejala klinis yang muncul pada sepsis?
4. Mengapa panas penderita mereda saat diberikan obat flu? 
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui mekanisme sepsis dan infeksi yang mengakibatkan sepsis.
2. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang membantu pada penegakkan diagnosis.
3. Mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada sepsis.
II. STUDI PUSTAKA
 Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan maka disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbullah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik (A. Guntur H, 2007).
 Pada saat tubuh terkena infeksi, reaksi pertama pada infeksi adalah reaksi umum yang melibatkan susunan saraf dan sistem hormon yang menyebabkan perubahan metabolik. Pada saat itu terjadi reaksi jaringan limforetikularis di seluruh tubuh berupa proliferasi sel fagosit dan sel pembuat antibodi (limfosit B).
 Reaksi kedua berupa reaksi lokal yang disebut inflamasi akut. Reaksi ini terus berlangsung selama masih terjadi proses pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas, maka sisa jaringan yang rusak disebut debris akan difagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon (Jong, 1998).
 Kalor atau panas seperti sudah disebutkan di atas, terjadi bersamaan dengan tanda-tanda lain pada reaksi peradangan akut. Sebenarnya panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingan dari 370C yang merupakan suhu inti tubuh. Daerah peradangan di kulit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya karena lebih banyak darah dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena dibandingkan dengan ke daerah yang normal. Fenomena hangat lokal ini tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang terletak jauh di dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti 370C dan hipermia lokal tidak menimbulkan perbedaan(Price, 2002).
 Pengatur suhu berada pada hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis prostaglandin. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik (P. Freddy Wilmana, 1995).
 Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi. Ada perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut, misalnya parasetamol (asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya rendah sekali (P. Freddy wilmana, 1995).
 Sebagai analgesik, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia dan nyeri lain yang berasal dari intergumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Obat mirip aspirin mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Sebagai antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. (P. Freddy wilmana, 1995).
 Infeksi mengakibatkan demam. Misalnya pada perdangan akut parenkim paru atau pneumonia. Pneumonia juga merupakan infeksi nosokomial yang banyak terjadi di rumah sakit. Hampir 60% dari pasien-pasien yang kritis di ICU dapat menderita pneumonia, dan setengah dari pasien-pasien tersebut akan meninggal. Selain karena munculnya organisme yang resisten terhadap antibiotik, bertambahnya jumlah penderita pneumonia juga disebabkan bertambahnya pejamu yang lemah daya tahan tubuhnya dan adanya penyakit seperti AIDS semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan penyebab-penyebab pneumonia. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respons imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Pneumonia Pneumocytis carinii belakangan ini menjadi infeksi berat yang fatal bagi penderita AIDS (Price, 2006).
 AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang sudah berlangsung lama. Saat ini, AIDS dijumpai pada hampir semua negara dan merupakan suatu pandemi di seluruh dunia (Price, 2006).
 Berikut ini adalah patogenesis dari AIDS. Setelah HIV masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritik dalam beberapa hari. Kemudian timbul gejala retroviral seperti flu, disertai viremia hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh timbul respon imun humoral maupun selular. Sindrom ini akan hilang sendiri setela 1-3 minggu. Kadar virus dalam darah yang tinggi dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukkan virus baru dan upaya eliminasi oleh sistem imun. Titik kesimbangan disebut set point dan amat penting karena akan menunjukkan gejala penyakit selanjutnya. Bila tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan lebih cepat (Mansjoer, 2002).
 Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi postif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relatif konstan. CD4 adalah reseptor pada limfosit T¬4 yang menjadi target sel utama HIV. Rata-rata masa dari infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tapi pada 2 tahun terakhir penurunan menjadi cepat, 50-100 per tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai di bawah 200 (Mansjoer, 2002). 
III. DISKUSI / BAHASAN
 Manifestasi klinis seperti terlihat pada skenario mengarah pada inflamasi sitemik. Manifestasi klinis yang demikian disebut sistemic inflammation respons syndrome (SIRS). Sepsis adalah SIRS dengan dugaan infeksi.
 Sistemic Inflammation Respons Syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria berikut : 1. Suhu > 380C atau <> 90 denyut/menit; 3. Respirasi > 20/menit atau PaCO2 <> 12.000/mm3 atau >10% sel imatur.
 Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (yang ditentukan dengan biakan positip terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya dihubungakan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakterimia. Bakteremia adalah keberadaan komponen bakteri dalam cairan darah. Bakteremia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa atau seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskular atau ekstravaskular.
 Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan persentase 60-70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk mengeluarkan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi. Gram positif lainnya jarang yang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20-40% dari keseluruhan kasus.
 Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat mengakibatkan agregasi trombosit.
 Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai sumber bakteremia, hal ini disebut sebagai bakteremia sekunder. Sepsis gram negatif merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi appendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke uretra atau kandung kemih. Selain itu sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran genitourinarum, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram positif biasanya tibul dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga bisa berasal dari luka terbakar, misalnya pada luka bakar.
 Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesisfik, biasanya didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesisfik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah, atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat yang paling sering : paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadinya berat atau tidaknya gejala sepsis. Gejala sepsis itu akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia.
 Sepsis memiliki angka kematian yang tinggi. Banyak laporan yang menunjukan bahwa pada sepsis terjadi gangguan pembekuan, dimana dapat menyebabkan terjadinya komplikasi suatu sindroma Disseminated Intravascular Coagulation ( DIC). Mekanisme yang amat penting dalam patogenesis DIC pada sepsis adalah aktifasi dari jalur pembekuan ekstrinsik pada sistim pembekuan darah, sedangkan jalur instrinsik pada sepsis tidak memainkan peran yang dominan. Dari jalur ekstrinsik tersebut maka banyak laporan yang menunjukan bahwa tissue factor (TF) banyak terlibat didalam kejadian DIC pada sepsis. Hal ini terbukti bahwa inhibisi dari TF oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dapat mencegah terjadinya DIC. Selain tissue factor, faktor VII (F VII) juga merupakan komponen dari jalur ekstrinsik, tetapi perannya pada sepsis masih kurang jelas dan penelitian faktor VII pada sepsis hingga saat ini masih sedikit sekali. Padahal pasien-pasien sepsis yang berkembang menjadi DIC mempunyai angka kematian yang lebih tinggi daripada pasien-pasien sepsis tanpa tanda-tanda DIC. Pada suatu studi prospektif pada pasien-pasien sepsis dan septic-shock dengan neutropenia yang diinduksi kemoterapi, dilaporkan bahwa terjadinya penurunan aktifitas faktor VIIa dan faktor VII Ag yang secara signifikan lebih besar pada pasien-pasien yang menderita septic–shock.
 Salah satu penyulit yang paling memberikan efek yang sangat berbahaya pada sepsis adalah terjadinya kerusakan organ ( organ damage), yang apabila dalam fase lanjut akan melibatkan lebih dari satu organ ( multiple organ failure=MOF). Keadaan MOF ini biasanya berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. Pada masa lalu dianggap bahwa MOF tersebut suatu keadaan yang semata-mata hanya diakibatkan oleh terjadinya penumpukan fibrin pada micro-thrombus yang terbentuk. Dari keadaan inilah dianggap sebagai awal dari proses yang memacu terjadinya Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Namun demikian, para peneliti juga melihat kenyataan yang agak kontradiktif antara DIC dan sepsis. Pada awalnya para peneliti beranggapan bahwa DIC adalah suatu kelainan peradarahan massif yang tidak dapat dihentikan, tetapi pengamatan yang lebih teliti memperlihatkan bahwa pada sepsis yang sering terlihat adalah MOF yang lebih dominan dan bahkan kadang-kadang perdarahan dapat tidak terjadi sama sekali. Kalaupun perdarahan timbul biasanya terjadi pada fase yang sangat lanjut. Hal ini menyebabkan peneliti menyadari bahwa ada satu mekanisme lain akan terjadinya MOF pada sepsis diluar jalur pemacuan pembekuan darah semata. Pada masa akhir-akhir ini telah dicapai kemajuan yang sangat pesat akan pengetahuan mengenai patogenesis dari DIC pada sepsis dan penyulitnya yaitu MOF. Pada keadaan normal terjadi keseimbangan antara faktor procoagulant dan proinflammatory, sedangkan pada sepsis keseimbangan tersebut terganggu. Pada sepsis, kompleks interaksi antara inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis, tidak seimbang sehingga menimbulkan keadaan dimana proinflammatory pada sepsis sering terjadi lebih dominan ataupun sebaliknya. Dan apabila gangguan keseimbangan ini terjadi meluas (disseminated) maka terjadilah syndroma DIC beserta MOF. Peran terjadinya DIC pada sepsis ini telah banyak dibuktikan oleh para peneliti dengan terpacunya sistim pembekuan darah endotoksin maupun eksotoksin melalui mediator tumor necrosis factor (TNF) ataupun interleukin-1 (IL-1). Bukti-bukti memperlihatkan bahwa ternyata jalur instrinsik pembekuan darah pada sepsis tidak memainkan peran yang dominan. Sedangkan banyak bukti kuat yang menunjukan bahwa jalur ekstrinsik yang memegang peran yang kuat. Dari jalur ekstrinsik tersebut maka banyak sekali laporan yang menunjukan bahwa tissue factor banyak terlibat dalam kejadian DIC pada sepsis. Hal ini diperlihatkan oleh turunnya kadar tissue factor pathway inhibitor( TFPI), yang merupakan inhibitor dari tissue factor pada sepsis. Sangat mungkin turunnya TFPI tersebut disebabkan oleh pemakaian yang berlebihan (over-consumption) dari inhibitor tersebut oleh karena dipakai untuk menetralkan tissue factor yang terus menerus dihasilkan oleh proses sepsis. Sangat banyak bukti-bukti keterlibatan tissue factor dan TFPI pada sepsis. Selain tissue factor maka ada juga suatu komponen lain pada jalur ekstrinsik yaitu coagulant factor VII (FVII) tetapi perannya pada sepsis masih kurang jelas.
 Shock sepsis adalah suatu sindroma klinik dimana akhir-akhir ini sangat populer. Kondisi ini umumnya terjadi dirumah sakit sebagai komplikasi serius dari penyakit yang sudah ada pada pasen tersebut. Shock sepsis mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu antara 40-90% (Bone, 1987).
 Penyebab tersering dari shock sepsis ini adalah infeksi gram negatif 30-80%, infeksi gram positif 6-24%, sedangkan penyebab lain adalah virus dan jamur (Glauser, 1991). Infeksi gram negatif biasanya berasal dari infeksi traktus urinarius, traktus biliaris, traktus digestivus, dari paru dan dapat juga dari infeksi kulit, tulang dan sendi tapi kurang sering. Sepsis akibat bakteri gram positif biasanya berasal dari infeksi kulit, traktus respiratorius, dapat juga berasal dari abses metastase. Sepsis karena jamur oportunistik sering terdapat pada pasen yang mendapatkan pengobatan imunosupresan dan pasen pasca operasi (Root, 1991).
 Terjadinya shock sepsis dapat melalui dua cara yaitu aktivasi lintasan humoral dan aktivasi cytokines. Lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada dinding bakteri gram negatif dan endotoksinnya serta komponen dinding sel bakteri gram positif dapat mengaktifkan: 
• Sistim komplemen 
• Membentunk kompleks LPS dan protein yang menempel pada sel monosit 
• Faktor XII (Hageman faktor) 
 Sistim komplemen yang sudah diaktifkan akan merangsang netrofil untuk saling mengikat dan dapat menempel ke endotel vaskuler, akhirnya dilepaskan derivat asam arakhidonat, enzim lisosom superoksida radikal, sehingga memberikan efek vasoaktif lokal pada mikrovaskuler yang mengakibatkan terjadi kebocoran vaskuler. Disamping itu sistim komplemen yang sudah aktif dapat secara langsung menimbulkan meningkatnya efek kemotaksis, superoksida radikal, ensim lisosom. LBP-LPS monosit kompleks dapat mengaktifkan cytokines, kemudian cytokines akan merangsang neutrofil atau sel endotel, sel endotel akan mengaktifkan faktor jaringan PARASIT-INH-1. Sehingga dapat mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah dan DIC. Cytokines dapat secara langsung menimbulkan demam, perobahan-perobahan metabolik dan perubahan hormonal. Faktor XII (Hageman factor) akan diaktivasi oleh peptidoglikan dan asam teikot yang terdapat pada dinding bakteri gram positif. Faktor XII yang sudah aktif akan meningkatkan pemakaian faktor koagulasi sehingga terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC). Faktor XII yang sudah aktif akan merobah prekallikrein menjadi kalikrein, kalikrein merobah kininogen sehingga terjadi pelepasan hipotensive agent yang potensial bradikinin, bradikinin akan menyebabkan vasodiltasi pembuluh darah. Terjadinya kebocoran kapiler, akumulasi netrofil dan perobahan-perobahan metabolik, perobahan hormonal, vasodilatasi, DIC akan menimbulkan sindroma sepsis. Hipotensi respiratory distress syndrome, multiple organ failure akhirnya kematian. Shock sepsis sering didefenisikan terjadi akibat tidak adekuatnya perfusi 
jaringan. Tetapi menurut Bone (1992) sebenarnya shock sepsis lebih cocok terjadi akibat hipotensi sehingga berkurangnya perfusi jaringan, yang akhirnya menyebabkan disfungsi organ (multiple organ failure). Pada keadaan multiple organ failure terjadi koagulasi, respiratory distress syndrome, payah ginjal akut, disfungsi hepatobiller, dan disfungsi susunan saraf pusat.
IV. KESIMPULAN 
1. Infeksi biasanya dilokalisir oleh tubuh, tetapi jika tidak berhasil maka dapat terjadi reaksi infeksi sistemik
2. Penyembuhan infeksi oleh virus dilakukan oleh sistem imunitas tubuh
3. Antipiretik berfungsi untuk menurunkan panas tubuh
4. Infeksi sistemik harus segera diatasi untuk mencegah hal yang lebih buruk

V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, pp : 1095,1097
Ganiswara, Sulistia, 1995. Farmakologi dan Terapi, 4th ed. Jakarta , Gaya Baru, pp : 207-210
Guntur, H, 2007. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam, 4th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 415-417
Jong, Wim de, 1998. Infeksi dan Inflamasi (Umum dan Khusus). Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC, pp : 3-70
Mansjoer, Arif, et al, 2002.Human Immunodeficiency Virus/AIDS. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 573-574
Price, Sylvia A, 2006.Respons Tubuh Terhadap Cedera: Peradangan dan Penyembuhan. Dalam : Patofisiologi, 6th ed vol.1. Jakarta, EGC, pp : 56-77
Price, Sylvia A, 2006.HIV dan AIDS : Patofisiologi, 6th ed vol.2. Jakarta, EGC, pp : 225-228
Buchori, Prihatini, 2006. Diagnosis Sepsis Menggunakan Procalcitonin. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-3-06.pdf (24 juli 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign