Sabtu, 11 April 2009

Hepatits B

TIJAUAN UMUM ATAS HEPATITIS B





I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO III
MUNTAH DARAH
Seorang wanita umur 50 tahun datang ke unit gawat darurat RS Dokter Moewardi diantar keluarga dengan keluhan muntah darah
Riwayat penyakit sekarang :
Satu bulan sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan perut sebah dan terasa panas, bila diberi makan perut nyeri, nafsu makan turun, mual kadang-kadang muntah. Tiga hari sebelumnya pernah muntah darah dan melena, dan dirawat di puskesmas terdekat. Karena belum ada perbaikan kemudian dirujuk ke rumah sakit dr Moewardi Surakarta.
Riwayat penyakit dahulu :
Pernah sakit kuning delapan tahun yang lalu, riwayat sakit gastritis (+)
Pemeriksaan fisik : keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, tanda vital baik, ikterik, hepar membesar, nyeri tekan epigastrik. Rectal toucher : hemorrhoid grade 3
Laboratorium : SGOT : 250 IU, SGPT : 235 IU, protein total : 6,2 mg/dL, albumin : 2,8 mg/dL, bilirubin direk : 3,15 mg/dL, bilirubin indirek : 2,15 mg/dL.
Kesimpulan pemeriksaan ultrasonografi abdomen (USG abdomen) : kolelitiasis, tidak ada hidrop vesica felea, pancreas normal, terdapat sirosis hepatis dengan hipertensi portal.
Kesimpulan endoskopi :
Esofagus : terdapat varises
Gaster : lesi erosi hemoragik difus
Duodenum : erosi hemoragik difus
Pada penderita direncanakan untuk dilaksanakan pemeriksaan marker hepatitis (hepatisis B dan C) dan direncanakan pula untuk dilakukan terapi endoskopi. Selanjutnya pasien dikirim ke bangsal perawatan. Di bangsal penderita diberi cairan ringer lactat, proton pump inhibitor dan realimentasi segera (early feeding).

Hepatitis merupakan peradangan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus hepatitis ke dalam hepar. Penyakit ini merupakan infeksi sistemik yang dapat juga ditularkan pada pasca transfusi (Dorland, 2006; Santiyoso, 2007).
Hepatitis virus merupakan masalah kesehatan yang penting di seluruh dunia. Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dari seluruh penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit tersebut mengakibatkan sekitar 1-2 juta kematian setiap tahunnya (Sanityoso, 2007; Lindseth, 2005).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi sistem hepatobilier.
2. Fisiologi sistem hepatobilier.
3. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dan komplikasi dari hepatitis B.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang kesehatan pencernaan.
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan hepatitis B.
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kelainan sistem pencernaan.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang hepatitis dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.


c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang sistem pencernaan baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI HEPAR
Hepar/hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% dari berat badan orang dewasa normal. Hepar menempati hampir seluruh regio hypochondriaca dextra, sebagian besar regio epigastrica dan kadang-kadang memanjang sampai regio hypochondriaca sinistra. Hepar terletak di bawah diafragma dan hampir selurunya terlindung oleh costa (Amirudin, 2007; Budianto, 2003).
Hepar memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hepar berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus (Lindseth, 2005).
Hati memiliki dua lobus utama, yaitu lobus dexter dan lobus sinister. Lobus dexter dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis dexter yang tidak terlihat dari luar. Lobus sinister dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falciforme hepatis yang terlihat dari luar. Ligamentum falciforme hepatis berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum visceralis, kecuali pada bagian kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma dinamakan bare area of the liver (Lindsteth, 2005; Budianto, 2003).
Beberapa ligamentum yang merupakan peritoenum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ; bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka untuk cabang vena porta, arteri hepatika dan ductus biliverus. Porta hepatis adalah fissura pada hati tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta tempat keluarnya dutus hepatikus (Lindseth, 2005).
Satuan mikroskopis dan fungsional hati terkecil dinamakan lobulus. Setiap lobulus berbentuk hexagonal, dan terdiri dari sel-sel hepar atau hepatosit yang tersusun seperti batu bata. Hepatosit-hepatosit ini tersusun radier dengan sebuah vena centralis di tengah (Budianto, 2003; Amirudin, 2007).
Di setiap sudut dari lobulus terdapat portal tiad (trigonum portal). Dinamakan demikian karena pada bangunan tersebut selalu ditemukan tiga struktur yaitu sebuah cabang dari A. hepatica yatu A. interlobularis (memasok darah kaya O2 ke hepar), sebuah cabang dari V. porta hepatis yaitu V. interlobularis (membawa darah vena yang memuat zat-zat nutrisi dari organ-organ pencernaan lain) dan sebuah ductus biliverus. Ketiga struktur ini berjalan di dalam sarung fibrosa yang disebut capsula Glisson (Budianto, 2003).
Di antara hepatosit-hepatosit terdapat kapiler-kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan jalur pertukaran. Di antara dinding pembuluh kapiler sinusoid dan permukaan sel hepatosit terdapat ruangan yang disebut spatium Disse yang diduga mencurahkan lymphe ke vasa lymphatica interlobularis. Darah dari A. hepatica dan V. porta tersaring dari trigonum porta melalui sinusoid-sinusoid ini yang kemudian mengalir ke V. centralis. Dari V. centralis darah memasuki V. hepatica kemudian bermuara ke V. cava inferior (Budianto, 2003; Amirudin, 2007).
Di dalam sinusoid terdapat sel makrofag yang berbentuk stelat disebut juga sel kupffer yang berfungsi memindahkan debris, seperti bakteri dan cacing, keluar melalui eritrosit ketika darah mengalir melaluinya (Budianto, 2003; Amirudin, 2007).
Vesica fellea (gallbladder) adalah sebuah kantong muskuler berwarna hijau seperti buah pear dengan dinding yang tipis dan panjang sekitar 10 cm. Vesica fellea terletak pada fossa vesica fellea pada fascies visceralis hepar. Bagian-bagian dari vesica fellea adalah fundus, corpus, infundibulum dan collum. Infundibulum dan collum kadang membentuk ampulla (Budianto,2003).
B. FISIOLOGI HEPAR
Selain merupakan orga parenkim terbesar, hati juga menduduki urutan pertama dalam jumlah, kerumitan, dan ragam fungsi. Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperan dalam hampir setiap fungsi metabolik tubuh, dan terutama bertanggung jawab atas lebih dari 500 aktivitas berbeda. Namun hati juga memiliki kapasitas cadangan yang besar,dan hanya membutuhkan 10-20% jaringan yang berfungsi untuk tetap bertahan. Destruksi total atau pengangkatan menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari 10 jam. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang mengagumkan. Pada kebanyakan kasus, pengangkatan sebagian hati akan merasang tumbuhnya hepatosit untuk mengganti sel yang sudah mati atau sakit. Proses regenerasi akan berlangsung lengkap dalam waktu 4 hingga 5 minggu (Lindseth, 2005; Guyton, 1997).
Sel hepar semuanya merupakan suatu kolam reaksi kimia besar dengan laju metabolisme yang tinggi, saling memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lainnya, dan melakukan berbagai fungsi metabolisme lain (Guyton, 1997).
Dalam metabolisme karbohidrat, hepar melakukan fungsi spesifik ini : (1) menyimpan glikogen, (2) mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, (3) glukoneogenesis, dan (4) mengubah banyak senyawa kimia penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. Hati terutama penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Misalnya, penyimpanan glikogen memungkinkan hati mengambil kelebihan glukosa dari darah, menyimpannya dan kemudian mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah mulai turun terlalu rendah (Guyton, 1997).
Metabolisme lemak juga dapat terjadi di semua sel tubuh, tetapi aspek metabolisme lemak tertentu terutama terjadi di hati. Beberapa fungsi spesifik hati dalam metabolisme lemak : (1) kecepatan oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk mensuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, (2) pembentukkan sebagian besar lipoprotein, (3) pembetukkan sejumlah besar kolesterol dan fosfolipid, dan (4) pengubahan sejumlah besar karbohidrat dan protein menjadi asam lemak. Untuk memperoleh energi dari lemak netral, lemak pertama-tama dipecah menjadi gliserol dan asam lemak; kemudian asam lemak dipecah oleh oksidasi beta menjadi radikal asetil berkarbon dua yang kemudian membentuk asetil-KoA. Asetil-KoA ini kemudian dapat memasuki siklus asam sitrat dan dioksidasi untuk membebaskan sejumlah energi yang sangat besar. Oksidasi beta dapat terjadi di semua sel tubuh, namun terjadi dengan sangat cepat di sel hepar (Guyton, 1997).
Hati juga berperan dalam metabolisme protein dengan fungsi : (1) deaminasi asam amino, (2) pembentukkan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, (3) pembentukkan protein plasma, dan (4) interkonversi di antara asam amino yang berbeda demikian juga dengan ikatan penting lainnya untuk proses metabolisme tubuh. Pada dasarnya semua protein plasma, kecuali bagian dari gamma globulin, dibentuk oleh sel hati. Sel hati menghasilkan kira-kira 90% dari semua protein plasma (Guyton, 1997).
Fungsi utama hati adalah pembentukkan dan ekskresi empedu. Hati mengekskresikan empedu sebanyak satu liter per hari ke dalam usus halus. Kira-kira 80% kolesterol yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang kemudian disekresikan ke dalam empedu. Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu. Walaupun bilirubin merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak memiliki peran aktif, tapi penting sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya (Amirudin, 2007; Guyton, 1997).
Vesica fellea berfungsi untuk menyimpan empedu yang sedang tidak dibutuhkan tubuh dan mengentalkannya dengan mengabsorbsi sejumlah cairan dan ion pada empedu. Dalam beberapa kasus, empedu yang dikeluarkan dapat mencapai 10X lebih kental dibanding saat masuk. Ketika kosong atau menyimpan sedikit empedu, mucosa vesica fellea membentuk rugae. Jika ototnya berkontraksi, empedu dialirkan ke dalam saluran empedu, ductus cysticus, dan kemudian mengalir ke ductus choledochus (Budianto, 2003; Guyton, 1997).
Banyak zat diekskresi ke dalam empedu dan kemudian dikeluarkan ke dalam feses.Salah satunya adalah pigmen bilirubun. Bilirubin merupakan hasil akhir pemecahan hemoglobin yang penting. Bila sel darah merah sudah habis masa hidupnya dan menjadi terlalu rapuh, membran selnya akan pecah dan hemoglobin terlepas dan difagositosis oleh makrofag di seluruh tubuh. Di sini hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Kemudian cincin heme dibuka untuk melepaskan besi ke dalam darah serta pembentukkan pirol yaitu suatu substrat yang darinya pigmen empedu akan dibentuk. Pigmen pertama yang terbentuk adalah biliverdin, tetapi ini dengan cepat direduksi menjadi bilirubin bebas, yang secara bertahap dilepaskan ke dalam plasma. Bilirubin bebas dengan segera bergabung dengan sangat kuat dengan albumin plasma dan ditranspor dalam kombinasi ini melalui darah dan cairan interstisial. Sekalipun berikatan dengan protein plasma, bilirubin ini masih disebut bilirubin bebas (Guyton, 1997; Lindseth, 2005).
Dalam beberapa jam, bilirubin bebas diabsorbsi melalui membran sel hati. Bilirubin kemudian dilepaskan dari albumin dan setelah itu 80% dikonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentuk asam glukoronida, kira-kira 10% konjugasi dengan sulfat membentuk bilirubin sulfat, dan akhirnya 10% lainnya dikonjugasi dengan zat lainnya. Dalam bentuk ini bilirubin dikeluarkan melalui proses transpor aktif ke dalam kanalikuli empedu dan kemudian masuk ke dalam usus (Guyton, 1997).
Sekali berada di dalam usus, kira-kira setengah bilirubin terkonjugasi diubah oleh kerja bakteri menjadi urobilinogen, yang mudah larut. Beberapa urobilinogen direabsorbsi melalui mukosa usus kembali ke dalam darah. Sebagian besar diekskresikan kembali oleh hati ke dalam usus, tetapi kira-kira 5% diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin, urobilinogen teroksidasi mejadi urobilin, atau dalam feses urobilinogen diubah dan dioksidasi menjadi sterkobilin (Guyton, 1997).
III. DISKUSI / BAHASAN
A. ETIOLOGI
Infeksi hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang terutama menyerang hati. Sebagian besar kasus infeksi virus hepatitis disebabkan oleh salah satu dari lima virus ini : virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), dan virus hepatitis E (HEV). Semua virus hepatitis adalah virus RNA, kecuali hepatitis B yang merupakan virus DNA. Walaupun diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium, tetapi semua virus hepatitis ini memiliki gejala klinis yang serupa. Bervariasi dari asimtomatik hingga fulminan dan infeksi akut dan fatal, juga dapat berjalan menjadi kronis bahkan karsinoma hepatoseluler atau sirosis hati. Sekirar 15% hingga 40% pasien yang terinfeksi akan berkembang menjadi sirosis, karsinoma hepatoseluler dan liver failure (Fauzi, 2008; Anna, 2002).
Virus hepatitis B merupakan virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm yang memiliki lapisan permukaan dan bagian inti. Penanda serologis pertama yang digunakan dalam identifikasi HBV adalah antigen permukaan (HBsAg) yang kira-kira positif dua minggu sebelum timbulnya gejala klinis, dan biasanya menghilang pada masa kosvalesen dini. Pada sekitar 1% sampai 5% penderita hepatitis kronis HBsAg dapat menetap selama lebih dari 6 bulan. Adanya HBsAg pada penderita menandakan bahwa mereka dapat menularkan HBV ke orang lain. Cara utama penularan HBV adalah melalui parenteral dan menembus membran mukosa, terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata 60 hingga 90 hari. HBsAg ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang yang terinfeksi, terutama darah, semen dan saliva telah terbukti bersifat infeksius (Lindseth, 2005).
Penanda berikutnya adalah antibodi terhadap antigen inti (anti-HBc). Antigen inti sendiri tidak terdeteksi secara rutin karena terletak di dalam kulit luar HBsAg. Antibodi anti-HBc dapat terdeteksi segera setelah timbul gejala klinis dan menetap untuk seterusnya, antibodi ini merupakan penanda kekebalan yang paling jelas didapat dari infeksi HBV (Lindseth, 2005).
Antibodi yang muncul berikutnya adalah antibodi terhadap antigen permukaan (anti-HBs). Anti-HBs timbul setelah infeksi membaik dan berguna untuk memberikan kekebalan jangka panjang (Lindseth, 2005).
Antigen “e” (HBeAg) merupakan bagian HBV yang larut dan timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg menghilang. HbeAg selalu ditemukan pada semua infeksi akut dan hal ini menunjukkan adanya replikasi virus dan penderita dalam keadaan sangat menular. HBeAg yang menetap mungkin menunjukkan infeksi replikatif yang kronis (Lindseth, 2005).
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5% sampai 25,61%, sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara Asia diperkirakan bahwa penyebaran perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi infeksi virus hepatitis B yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBeAg positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga dalam kehidupannya. Adanya HBeAg pada ibu berperan penting untuk penularan. Walaupun ibu mengandung HBsAg positif namun jika HBeAg dalam darah negatif, maka daya tularnya menjadi rendah (Sanityoso, 2007).
B. GAMBARAN KLINIS
Karena hati memiliki kapasitas cadangan yang luar biasa, kerusakan hepatosit harus sedemikian besar sebelum timbulnya manifestasi klinis. Kita dapat mendeteksi kerusakan hepatoseluler yang sedang berlangsung dengan mengukur indeks fungsional dan dengan mengamati produk hepatosit yang rusak atau nekrotik di dalam sirkulasi. Uji enzim menjadi satu-satunya petunjuk adanya cedera sel pada penyakit hati akut atau lokal karena perubahan ringan mungkin masih dapat dikompensasi bagian hati lain yang masih normal. Bilirubin biasanya digunakan sebagai indikator kerusakan hati sedang sampai berat (Sacher, et.al. 2004).
Dua enzim yang paling sering berkaitan dengan kerusakan hepatoseluler adalah aminotransferase yang berguna untuk pembentukkan asam amino yang tepat dalam menyusun protein di hati adalah (1) aspartat aminotransferase (AST/ SGPT) dan (2) alanin aminotransferase (ALT/SGOT). ALT spesifik pada kelainan hati, sedangkan AST juga terdapat pada miokardium, otot rangka, otak, dan ginjal. Secara kasar, peninggian kadar aminotransferase setara dengan luas kerusakan hepatoseluler (Sacher, et.al. 2004).
Pada saat HBV masuk ke tubuh dengan jalur parenteral. Partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus, selanjutnya akan memproduksi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Kemudian hal ini akan merangsang innate immunity untuk mengatasi infeksi, namun jika innate immunity gagal menanggulangi infeksi maka adaptive immunity akan digunakan oleh tubuh mengatasi infeksi HBV(Soemohardjo et. al., 2007).
Aktivasi CD8+ terjadi saat reseptor sel T kontak dengan VHB-MHC class I yang ada pada permukaan sel hati dan pada permukaan APC dibantu dengan sel T yang kontak dengan VHB-MHC class II pada APC. Peptida kapsid VHB HBcAg atau HBeAg pada permukaan sel hati menjadi sasaran antibodi. Sel T CD 8+ akan mengeliminasi virus dalam sel hati yang terinfeksi. Bisa terjadi dengan nekrosis sel hati yang akan mengakibatkan naiknya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu juga terjadi elminasi intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi atau aktivitas interferon gamma dan TNF alfa yang dihasilkan oleh sel CD 8+. Aktivasi sel B dengan bantuan CD 4+ akan menyebabkan produksi antibodi anti-HBs, anti-HBc, anti Hbe.F ungsi anti–HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus dari sel ke sel (Soemohardjo et. al., 2007).
Gambaran klinis hepatitis akut terbagi menjadi 4 tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus dengan rata-rata 60-90 hari.
2. Fase Prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artralgia, mudah lelah, berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Serum sickness dapat muncul pada hepatitis B akut di awal infeksi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang mengakibatkan kolestisitis.

3. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan prodormal, tetapi justru terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase Konvalesen
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada 5-10% kasus mungkin perjalanan klinisnya lebih sulit ditangani dan menjadi kronis, hanya <1% yang menjadi fulminan (Sanityoso, 2007)
C. PERJALANAN PENYAKIT HEPATITIS B KRONIS
Hepatitis B disebut kronis jika terdapat persitensi virus hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan, sehingga pemakaian istilah carrier sehat sudah tidak dianjurkan lagi. Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap HBsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita hepatitis B kronik, sedangkan hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi infeksi (Soemohardjo, et. al., 2007).
Ada tiga fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance dan fase nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT relatif normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi jarang terjadi serokonversi secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi tersebut biasanya tidak efektif. Pada 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan titer ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif. Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini titer HBsAg rendah secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30% pasien hepatitis B kronis dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan (Soemohardjo, et. al., 2007; Fauzi, et. al., 2008).
Semua infeksi hepatitis B akut menunjukkan HBsAg dan HBeAg positif serta peninggian serum aminotransferase. Pada sebagian besar orang, peninggian aminotransferase menjadi turun sampai ke level normal. Pasien dengan kondisi ini juga mengalami serokonversi HBeAg menjadi anti-Hbe, dan semua mempunyai serum DNA polimerase yang negatif. Kebanyakan mengalami penurunan titer HBsAg. Serokonversi ini terjadi pada beberapa bulan sebelum serum aminotransferase mengalami penurunan. Sebaliknya pada sebagian kecil pasien yang HBeAgnya tetap positif tetap mengalami peninggian serum aminotransferase. Dengan demikian sebagian besar pasien dengan hepatitis B kronis akhirnya mengalami remisi spontan terhadap kondisi klinis dan biokimia penyakit, biasanya dengan menghilangnya HBeAg dan DNA polimerase (Hoofnagle, et. al., 1981).
Pada sebagian pasien pada fase residual, pada waktu terjadi serkonversi HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual, replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi hepatitis B menjadi tenang justru risiko untuk terjadi karsinoma hepatoseluler mungkin meningkat (Soemohardjo, et. al., 2007).
D. TERAPI
Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah supresi replikasi HBV dan remisi dari penyakit hepatoseluler. Pada pasien hepatitis kronis dengan HBeAg positif, respon pengobatan biasanya diukur dengan reduksi DNA HBV ke level yang tidak dapat dideteksi oleh non–polymerase-chain-reaction assays dabn oleh lenyapnya HBeAg (Anna, 2002).
Terapi yang digunakan dalam pengobatan hepatitis B kronis diantaranya interferon alfa dan lamivudine. Pengobatan tiga sampai enam bulan menggunakan interferon alfa akan memberikan respon sekitar 30-40%. Hasil pengobatan pada anak seperti pada pengobatan orang dewasa. Lamividune merupakan suatu analog nucleosid yang diberikan secara oral, bertujuan untuk menghambat replikasi HBV. Sehingga akan bersaing dengan nukleosid asli yang menyebabkan penghambatan infeksi sel yang sehat. Lamividune juga bertujuan untuk menghambat aktivitas enzim reverse transcryptase yang berperan dalam replikasi VHB (Anna, 2002; Soemohardjo, et. al., 2007).
E. KOMPLIKASI
Sejumlah kecil pasien mengalami hepatitis kronis aktif bila terjadi kerusakan hati seperti digerogoti (piece meal) dan terjadi sirosis. Kondisi ini dibedakan dengan hepatitis kronis persisten melalui pemeriksaan biopsi hati. Terapi kortikosteroid dapat memperlambat kerusakan hati, namun prognosisnya tetap buruk. Kematian biasanya terjadi dalam 5 tahun pada lebih dari separuh pasien-pasien ini akibat gagal hati dan komplikasi dari sirosis (Lindseth, 2005).
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, membagi hati menjadi daerah-daerah makronodular dan mikronodular. Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik, dan pada kasus lanjut dapat mengakibatkan kerusakan hati yang bertahap. (Dorland, 2006; Lindsteh, 2005; Guyton, 1997).
Gejala dini untuk sirosis bersifat samar dan tidak spesifik seperti kelelahan, dispepsia, flatulen, konstipase atau diare, dan berat badan berkurang, mual dan muntah yang terutama pada pagi hari, nyeri tumpul atau perasaan berat pada epigastrium atau kuadran kanan atas (Lindseth, 2005).
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal hepatoseluler adalah ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palmaris, angioma laba-laba, fetor hepatikum, dan ensefalopati hepatik. Gambaran klinis yang terutama berkaitan dengan hipertensi portal adalah splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta manifestasi kolateral lain. Asites dapat dianggap sebagai manifestasi kegagalan hepatoseluler dengan hipertensi portal (Lindseth, 2005).
Pada sirosis hati jelas akan terjadi gangguan sintesis albumin. Sehingga akan mengakibatkan terjadinya beberapa gejala seperti asites, edema tungkai dan efusi pleura Pada keadaan dimana kadar albumin dalam plasma menurun, transfusi albumin menjadi salah satu pilihan tatalaksana yang telah dipakai sejak lama. Umumnya indikasi pemberian albumin pada sirosis hati adalah untuk mengurangi pembentukan asites atau untuk memperbaiki fungsi ginjal dan sirkulasi.Sebagian dari indikasi tersebut ditunjang oleh data uji klinis yang memadai, tetapi beberapa hanya berdasarkan pengalaman klinis dan belum pernah dibuktikan lewat penelitian yang sahih. Oleh karenanya penggunaan albumin pada pasien sirosis hati masih mengandung unsur kontroversi. Dalam upaya meninggikan kadar albumin pada kondisi sirosis diet nabati bisa menjadi pilihan karena sifat protein dan nilai biologis yang tinggi. Dan pada penelitian juga sudah dibuktikan bahwa pemberian tempe kedelai pada pasien sirosis dapat meninggikan kadar albumin dan perbaikan ensefalopati hepatik (Hasan, et. al., 2008; Ratnasari et. al., 2001).
Komplikasi lanjut hepatitis yang cukup bermakna adalah berkembangnya karsinoma hepatoseluler primer. Kanker hepatoseluler cukup sering terjadi terutama di negara-negara berkembang. Dua faktor penyebab terkait dalam patogenesis adalah infeksi HBV kronis dan sirosis terkait (Lindseth, 2005).




IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami hepatitis B
2. Hepatitis yang tidak teratasi dapat menjadi hepatitis kronis
3. Sebagian besar pasien hepatitis B mengalami serokonversi spontan
4. Komplikasi dari hepatitis B kronis aktif dapat berupa sirosis hati dan karsinoma primer
5. Hasil pemerkisaan laboratorium pasien diperlukan untuk menegakkan diagnosis

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan hati, dalam hal ini pada kasus-kasus hepatitis. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat dan screening saat donor darah lebih diperketat.














V. DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 102-111
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 993,438
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 1103-1110
Lindseth, Glenda N. 2005. Gangguan Hati, Kandung Empedu dan Pankreas. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. JakartaG : EGC. pp : 437-450
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Sacher, Ronald A., McPherson, Richard A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Alih bahasa: Brahm U Pendit et. al. Jakarta : EGC. pp: 369-370
Sanityoso, Andri. 2007. Hepatitis Virus Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 427-431
Soemohardjo, Soewignjo., Gunawan, Stephanus. 2007. Hepatitis B Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 433-437
Anna S.F. Lok. 2002. Chronic Hepatitis B. http://content.nejm.org/cgi/content/full/346/22/1682 (5 April 2009)
Hoofnagle, JH., Dusheiko, GM., Seeff, LB., Jones, EA., Waggoner, JG., Bales, ZB. 1981. Seroconversion from hepatitis B e antigen to antibody in chronic type B hepatitis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7235415 (5 April 2009)
Irsan, Hasan., Tities, Anggraeni Indra. 2008. Peran Albumin dalam Penatalaksanaan Sirosis Hati. http://equilab-int.com/images/publish_upload080711257643001215763044FA%20MEDICINUS%208%20MEI%202008%20rev.pdf (5 April 2009)
Ratnasari, Neneng.,Nurdjanah, Siti., Wiyono, Paulus. 2001. Diet Tempe Kedelai Pada Penderita Sirosis Hati Sebagai Upaya Meningkatkan Kadar Albumin dan Perbaikan Ensefalopati Hepatik. http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/bik/article/view/1204/1201 (5 April 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign