Sabtu, 11 April 2009

TIJAUAN UMUM ATAS HUBUNGAN GASTRITIS DAN ULKUS PEPTIKUM

TIJAUAN UMUM ATAS HUBUNGAN GASTRITIS DAN ULKUS PEPTIKUM


I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO I
Seorang wanita umur 30 tahun datang ke unit gawat darurat RS Dr. Moewardi Surakarta dengan keluhan sakit perut dan diare.
Riwayat penyakit sekarang : Satu bulan sebelum mauk rumah sakit penderita sering merasakan perut tidak enak, nyeri daerah epigastrium, nausea kadang-kadang vomittus, terlambat makan juga sakit, nocturnal pain positif sehingga terbangun. Penderita sering minum obat maag (lambung) dan anti muntah bila merasakan keluhan di atas. Penderita pernah berobat ke dokter dan dikatakan menderita sakit gastrits atau ulkus peptikum.
Sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami diare sehari rata-rata 10 kali. Konsistensi encer tanpa disertai lendir dan darah, warna kuning berbau amis, juga disertai nausea dan vomitus. Vomitus terjadi setiap kali penderita makan atau minum. Badan lemah, kalau makan terasa pahit, sehingga penderita semakin tidak mau makan dan minum. Kencing sedikit.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum lemah, gizi cukup, keadaan apatis. Tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 110 kali/menit, respirasi 28 kali /menit (pernapasan kussmaul). Suhu 37,0 C. Mata cekung, bibir kering, abdomen : epigastric tenderness positip, turgor perut menurun. Kedua tangan keriput.
Oleh dokter, pasien tersebut diberikan terapi cairan.
Ulkus peptikum merupakan gangguan yang mengenai sekitar 4 juta orang per tahun. Diperkirakan ada 15.000 kematian per tahun akibat eksaserbasi dan komplikasi daru ulkus peptikum di Amerika Serikat. Biasanya ditandai dengan rasa nyeri atau panas di daerah epigastrium, dan dapat berkurang dengan pemberian antasid atau dengan pemberian makanan (Fauci, et. al, 2008; Lindseth, 2005).
Ulkus peptikum merupakan putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai ke bawah epitel. Dapat dibedakan menjadi erosi, ulkus akut dan ulkus kronis. Dikatakan sebagai erosi jika mukosa lambung terputus namun luka tidak meluas sampai di bawah epitel. Ulkus akut terjadi jika luka sudah sampai menembus epitel tetapi tidak membentuk jaringan ikat di dasar luka. Ulkus kronis terjadi jika mukosa lambung terputus dan luka sampai menembus epitel, sedang pada dasar luka sendiri sudah terbentuk jaringan ikat (Lindseth, 2005).


B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi ventriculus
2. Fisiologi ventriculus
3. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari gastritis
4. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari ulkus peptikum
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang gastrointestinal
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan gastritis dan ulkus peptikum
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kelainan gastrointestinal.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang ulkus peptikum dan gastritus dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang gastrointestinal baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI VENTRICULUS
Ventriculus atau gaster merupakan salah satu organ dalam sistema digestivus. Ventriculus atau lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk seperti huruf J, dan bila penuh dapat berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas lambung sekitar 1 sampai 2 L (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, corpus, antrum pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan curvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat curvatura major. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan makanan dalam lambung. Sfingter cardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung ke dalam esofagus. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
Lambung tersusu atas empat lapisan. Tunica serosa atau lapisan luar merupakan bagian dari peritoneum visceralis. Dua lapisan peritoneum visceralis menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ menuju organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum minus (disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah membentuk omentum majus yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron besar (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
Bagian muskularis lambung tersusun dari tiga lapisan otot polos. Dari luar ke dalam terdapat lapisan otot longitudinal, sirkular di bagian tengah dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan otot seperti ini memungkinkan terjadinya kontraksi yang beragam, dan memungkinkan gerakan peristaltik pada lambung untuk mencampur makanan dan mendorong makanan ke dalam duodenum (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
Submucosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa ikut bergerak dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandun pleksus saraf, pembuluh darah, limfe (Lindseth, 2005).
Mucosa, lapisan dalam lambung tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini. Kelenjar kardia berada dekat orifisium kardia dan menyekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe sel utama. Chief cell menyekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasanan asam. Sel-sel parietal menyekresikan asam lambung (HCl) dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik digunakan untuk mengabsorbsi vitamin B12 di dalam usus halus. Sel-sel mukus pada bagian leher ditemukan di leher kelenjar fundus dan menyekresikan mukus. Hormon gastrin yang diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama Na, K, Cl (Lindseth, 2005).
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mempercabangkan ramus gastrica, pilorika, hepatika, dan seliaka. Persarafan simpatis melalui nervus splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus Mienterikus Auerbach dan submucosa Meissner membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005)..
Seluruh suplai darah lambung dan pankreas terutama berasal dari arteri seliaka dan trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura mayor dan minor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum (Budiyanto,2005; Lindseth, 2005).
B. FISIOLOGI VENTRICULUS
Fungsi motorik lambung mecakup penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses di duodenum, pencampuran makanan ini dengan sekresi lambung sampai membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus, pengosongan makanan dengan lambat dari labung ke usus halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus (Guyton,1997).
Pada saat makanan memasuki lambung, maka akan membentuk lingkaran konsentris pada lambung. Pada saat yang sama terjadi distensi akibat makanan yang berada dalam lambung. Maka terjadi refleks vasovagal yang mengakibatkan lambung dapat mengurangi tonusnya sehingga makanan dapat tersimpan sementara dalam lambung (Guyton,1997).
Di lambung juga terjadi pencampuran makanan. Saat makanan masuk ke dalam lambung, gerak peristaltik lambung membuat makanan terdorong ke arah pilorus. Pada saat yang bersamaan juga terjadi kontraksi dari sfingter pilori, sehingga makanan tidak dapat sepenuhnya menuju duodenum. Sebagian makanan “menyemprot” ke arah duodenum, sedangkan sebagian besar lainnya kembali ke lambung dengan gerakan ke atas dan terjadi pencampuran makanan (Guyton,1997).
Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastrik dan intestinal. Fase sefalik dimulai akibat mencium, melihat, memikirkan atau mengecap makanan. Fase ini seluruhnya diperantarai oleh saraf vagus. Hal ini mengakibatkan kelenjar gastrik menyekresikan HCl, pepsinogen, dan menambah mukus. Fase sefalik menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal (Tarigan, 2007).
Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi antrum juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis pada reseptor dinding lambung. Impuls dikirim melalui saraf aferen vagus menuju medula dan kembali ke lambung; impuls ini merangsang pengeluaran hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang kelenjar-kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari antrum dan kemudian dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar lambung, untuk merangsang sekresi. Pelepasan gastrin juga dirangsang oleh pH alkali, garam empedu di antrum, dan terutama oleh protein makanan dan alkohol. Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari dua pertiga sekresi lambung total setelah makan (Guyton,1997; Budianto, 2005).
Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum. Adanya protein yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus-menerus menyekresikan sejumlah kecil cairan lambung. Meskipun demikian, peranan usus kecil sebagai penghambat sekresi lambung jauh lebih besar (Guyton,1997).
Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik, diperantarai oleh pleksus mienterikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi dan pengosongan lambung. Adanya asam (pH kurang dari 2,5), lemak, dan hasil-hasil pemecahan protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin, kolesitokinin, gastric inhibiting peptide, semuanya memiliki efek inhibisi terhadap sekresi asam lambung (Guyton,1997).
Lambung mempunyai beberapa mekanisme pertahanan. Lapisan pre-epitel berisi mukus bikarbonat bekerja sebagai rintangan fisikokemikal terhadap molekul seperti ion hidrogen, mukus yang disekresi sel epitel permukaan mengandung 95% air dan campuran lipid dengan glikoprotein. Mucin, unsur utama glikoprotein dalam ikatan dengan ikatan dengan fosfolipid, membentuk lapisan penahan air/ hidrofobik dengan asam lemak yang muncul keluar dari membran sel. Lapisan mukosa yang tidak tembus air merintangi difusi ion dan molekul seperti pepsin. Bikarbonat memiliki kemampuan mempertahankan pH sekitar 1-2 di dalam lumen lambung. Sekresi bikarbonat dirangsang oleh Ca++, PG, cholinergik, dan keasaman lumen (Tarigan, 2007).
Sel epitel permukaan adalah lapisan pertahanan kedua dengan kemampuan menghasilkan mukus, transportasi ionik sel epitel serta produksi bikarbonat yang dapat mempertahankan pH, intracellular tight junctoin (Tarigan, 2007).
III. DISKUSI / BAHASAN
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai. Istilah dispepsia sendiri merupakan kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Gastritis dan ulkus peptikum dapat mengakibatkan dispepsia. (Djojoningrat, 2007).
Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung. Dulu dianggap hanya sebagai kelainan fungsional sekresi asam lambung yang berlebihan. Sekarang telah ditemukan bahwa penyebab gastritis banyak diakibatkan oleh H. pylori. H. pylori melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa, meninggalkan daerah epitel yang tidak terlindungi. Endotoksin bakteri, kafein, alkohol, dan aspirin juga merupakan agen pencetus yang lazim. Obat juga dapat mengakibatkan gastritis misalnya anti-inflamasi non steroid, sulfonamid, steroid dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung (Lindseth, 2005).
Prevalensi infeksi kuman H. pylori di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju. Prevalensi pada negara maju sekitar 30-40%, sedangkan di negara berkembang mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya 10-20% yang akan menjadi penyakit gastroduodenal (Fauzi, Rani, 2007).
H. pylori adalah patogen gram negatif berbentuk batang/spiral, microaerofilik berflagela hidup pada permukaan epitel, mengandung urease (Vac A, cag A, PAI, dapat mentrans lokasi cag A ke dalam sel host), hidup di antrum, migrasi ke proksimal lambung dapat berubah menjadi kokoid suatu bentuk dormant bakteri. Infeksi kuman H. pylori akut dapat menimbulkan pan gastritis kronis diikuti atrofi sel mukosa korpus dan kelenjar, metaplasie intestinal dan hipoasiditas. Ulkus lambung kebanyakan disebabkan oleh infeksi H. pylori (30%-60%) dan OAINS sedangkan ulkus duodenum hampir 90% disebabkan H. pylori, penyebab lain adalah sindroma Zollinger Elison (Tarigan, 2007).
Apabila terjadi infeksi H. pylori, host akan memberi respons untuk mengeliminasi melalui mobilisasi PMN/limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan mengeluarkan berbagai macam mediator inflamasi atau sitokinin, yang bersama-sama dengan reaksi imun justru akan menyebabkan kerusakan sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi H. pylori dan menjadi infeksi kronis (Akil, 2007).
H. pylori dapat bertahan dalam suasana asam di lambung, kemudian terjadi penetrasi dalam mukosa lambung dan akhirnya H. pylori berkolonisasi di lambung. Sebagai akibatnya H. pylori dapat berproliferasi dan dapat mengabaikan mekanisme pertahanan tubuh. Pada keadaan ini beberapa faktor penting H. pylori memainkan peranan. Seperti urease yang memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah dan dapat melindungi bakteri dan mempunyai sifat toksik terhadap sel epitel lambung. Sedangkan protease dan fosfolipase A2 menekan sekresi mukus yang mengakibatkan pertahanan mukus berkurang, merusak lapisan yang kaya lipid pada apikal sel epitel dan melalui kerusakan-kerusakan ini, asam lambung berdifusi balik dan terjadi nekrosis yang lebih luas (Tarigan, 2007; Akil, 2007).
H. pylori yang terkonsentrasi terutama dalam antrum menyebabkan antrum predominant gastritis sehingga kerusakan pada sel D, produksi somatostatin menurun sehingga produksi gastrin meningkat yang merangsang sel-sel parietal mengeluarkan asam lambung yang berlebihan (Akil, 2007).
Pada gastritis superfisialis akut, mukosa memerah, edema, ditutupi oleh mukus yang melekat. Juga sering terjadi erosi kecil dan perdarahan. Derajat peradangan sangat bervariasi. Bila terjadi peradangan yang menembus pertahanan mukosa maka sel epitel yang berbatasan dengan daerah itu akan dengan segera bermigrasi/resititusi. Kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki dengan restitusi dilaksanakan dengan proliferasi sel (Lindseth, 2005; Tarigan, 2007).
Bila kondisi terus berlanjut dapat terjadi gastritis kronis, ditandai oleh atrofi progresif epitel kelenjar disertai hilangnya sel parietal dan chiel cell. Dinding lambung menjadi tipis, dan mukosa mempunyai permukaan yang rata. Gastritis kronis digolongkan menjadi dua kategori: gastritis tipe A (atrofik atau fundal) dan tipe B (antral) (Lyndseth, 2005).
Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan adanya autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik dan berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan sekresi HCl dan menyebabkan tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan yang sangat berat tidak terjadi sekresi faktor intrinsik yang mengakibatkan gangguan absorbsi vitaminB12 (Lyndseth, 2005).
Gastritis kronis tipe B umumnya mengenai daerah antrum dan lebih sering terjadi dibanding gastritis kronis tipe A. Penyebab utama gastritis kronis tipe B adalah infeksi kronis H. pylori. Faktor etiologi lainnya adalah alkohol yang berlebihan, merokok, refluks empedu kronis dengan kofaktor H. pylori. Gastritis atrofik kronis dapat mencetuskan ulkus peptikum dan karsinoma (Lyndseth, 2005).
Ulkus peptikum adalah putusnya mukosa lambung sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai di bawah epitel dinamakan erosi. Ulkus kronis berbeda dengan ulkus akut karena terdapat jaringan parut pada dasar ulkus (Lyndseth, 2005).
Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang merusak mukosa lambung mengubah permeabilitas sawar epitel lambung, sehingga memungkinkan difusi balik HCl yang mengakibatkan kerusakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas vaskuler terhadap protein. Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam patogenesis ulkus peptikum. Telah dikeatahui bahwa antrum lebih rentan difus ketimbang fundus (Lyndseth, 2005).
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat fungsi kelenjar Brunner yang memproduksi sekret yang sangat alakali (pH sekitar 8) dan kental, untuk menetralkan kimus asam. Penderita ulkus duodenum sering mengalami sekresi asam yang berlebihan (Lyndseth, 2005).
Asam lambung yang tinggi pada duodenum menimbulkan gastrik metaplasia yang dapat merupakan tempat hidup H. pylori dan sekaligus dapat memproduksi asam sehingga lebih menambah keasaman dalam duodenum. Keasaman yang tinggi dapat menekan produksi mukus dan bikarbonat, menyebabkan daya tahan mukosa lebih menurun dan mempermudah ulkus duodenum (Akil, 2007).



















IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami gastritis atau mungkin juga terjadi ulkus peptikum.
2. Ada hubungan antara gastritis dan ulkus peptikum.
3. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan gastrointestinal, dalam hal ini pada kasus-kasus gastritis. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat.
















V. DAFTAR PUSTAKA
Akil, H.A.M. 2007. Tukak Duodenum. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 345-348
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 43-59
Djojoningrat, Dharmika. 2007. Dispepsia Fungsional. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 352-354
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Fauzi, Achmad., Rani A, Azis. 2007. Infeksi Helycobacter Pylori dan Penyakit Gastro-duodenal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 329-330
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: ,1002-1004, 1018-1020,1052
Hirlan. 2007. Gastritis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 335-336
Lindseth, Glenda N. 2005. Gangguan Lambung dan Duodenum. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. JakartaG : EGC. pp : 437-450
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Tarigan, Penggarapen. 2007. Tukak Gaster. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 338-341

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign