Sabtu, 11 April 2009

TINJAUAN ATAS KELAINAN JANTUNG KONGENITAL NON SIANOTIK

TINJAUAN ATAS KELAINAN JANTUNG KONGENITAL NON SIANOTIK


TINJAUAN ATAS KELAINAN JANTUNG KONGENITAL NON SIANOTIK
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
SKENARIO II
 Seorang anak laki-laki umur 10 tahun diantar ke Puskesmas dengan keluhan sering batuk pilek, cepat lelah. Menurut cerita ibunta, anak tersebut lahir prematur, bila menangis bibir tidak tampak kebiruan. Nafsu makan sedikit terganggu, tumbuh kembang dalam batas normal. Pada saat balita pernah diperisakan ke dokter anak dan dinyatakan mempunyai kelainan jantung.
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan data : tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi : 90x/menit. Pada inspeksi dinding dada tampak normal. Pada palpasi iktus kordis teraba di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri, tidak teraba thrill. Pada perkusi batas jantung di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri. Pada auskultasi jantung terdengar bising pansistolik dengan punctum maksimum SIV IV-V parasternal kiri. Pada ekstremitas tidak terlihat jari-jari tabuh dan sianosis.
 Pemeriksaan hematologi rutin normal. Pemeriksaan EKG menunjukkan aksis ke kiri, LVH, LAH. Pemeriksaan thorak foto : CTR 0,60 apeks bergeser ke lateral bawah. Oleh dokter Puskesmas merujuk ke dokter spesialis.
 Apa yang sesungguhnya terjadi pada anak tersebut?
 Gangguan kardiologi pada anak dapat berakibat buruk pada tumbuh kembang anak. Anak yang mengalami gangguan kardiologi dapat terhambat pertumbuhannya, lekas lelah dan mudah sakit. Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ditangani, maka akan berdampak pada produktivitas anak.
 Gangguan kardiologi pada anak dapat disebabkan karena kelainan jantung kongenital maupun didapat. Gangguan jantung didapat biasanya paling banyak disebabkan oleh jantung reumatik. Sedangkan gangguan kongenital dapat disebabkan karena infeksi maternal pada trimester pertama, atau memang terjadi defek pada pengkode gen, serta dapat pula karena hal lain yang menyebabkan pertumbuhan jantung janin tidak normal.
 Dalam penegakkan diagnosis kelainan jantung bawaan diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, serta diperlukan pemeriksaan tambahan seperti EKG, ekokardiogram, foto thorax, dsb untuk menunjang diagnosis.
 Saat ini semakin banyak tersedia tekhnik diagnostik canggih untuk mendeteksi penyakit jantung dan sekuele klinisnya. Namun penggunaan tekhnik-tekhnik ini dan interpretasi hasil pemeriksaan hanyalah sebagai pelengkap penilaian klinis dan sistematis pasien bersangkutan, dan bukan pemeriksaan yang menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap pasien tersebut.
 
ii. RUMUSAN MASALAH
• Bagaimana anatomi jantung?
• Fisiologi tekanan dan arus darah yang melalui jantung?
• Fisiologi sistem konduksi pada jantung?
• Klasifikasi kelainan jantung kongenital?
• Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari penyakit-penyakit jantung kongenital?
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
A. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang kardiologi.
2. Tujuan Khusus:
a. Mengetahui kelainan-kelainan jantung yang diderita sejak anak-anak.
b. Mengetahui tindakan yang harus diambil seorang dokter untuk mengatasi permasalahan di atas.
B. Manfaat
1. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler.
2. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang penyakit jantung kongenital dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
3. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang kardiologi, baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
4. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya. 

II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI JANTUNG
 Sebelum membahas tentang penyakit jantung kongenital, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami tentang anatomi dan fisiologi jantung. Jantung atau cor terletak di mediastinum medium. Cor dibagi menjadi dua ke dalam bagian kanan dan kiri oleh septum longitudinal yang berjalan miring. Masing-masing bagian terdiri dari ruangan yang disebut atrium, yang menerima darah dari vena dan suatu kamar yang disebut ventriculus, yang mendorong darah masuk ke dalam arteri. Cor terletak lebih ke arah kiri dari linea mediana. Pada manusia yang masih hidup, axisnya membentang ke arah postero-anterior dan ke kiri dan bawah (Hadiwidjaja, 2002).
 Dinding cor dilapisi oleh pericardium yang terdiri dari dua lapisan: pericarium visceralis dan pericardium parietalis. Kedua lapisan ini dilapisi oleh pelumas sehingga mengurangi gesekan akibat pompa jantung (Price, 2005). Lamina visceralis pericardium biasa juga disebut sebagai epicardium. Arteria coronaria yang memvaskularisasi cor terdapat di epicardium sebelum memasuki myocardium (Hadiwidjaja, 2002).
 Myocardium terdiri atas otot lurik dengan diskus interkalatus. Jaringan otot pada ventriculus cordis sinister lebih tebal dari ventriculus cordis dexter, sedangkan lapisan paling tipis terdapat pada atrium cordis sinistrum (Budianto, 2005). Modifikasi myocardium membentuk sistem automatisasi cor yang terdiri atas:
 Nodus sinoauricularis (SA Node) merupakan pacemaker
 Nodus atrioventricularis
 Berkas His
 Crus dextrum dan sinistrum
 Endocardium merupakan lapisan terdalam yang halus mengkilat pada cor. Lapisan ini tersusun atas endothel dan jaringan pengikat subendothelial (Hadiwidjaja, 2002).
 Basis cor terletak di sebelah superior dan terbentuk oleh atrium. Vena cava superior dan inferior serta vv.pulmonales masuk cor melalui basis. Septum interatriale terkadang diindikasikan sebagai alur tipis di basis, tepat di sebelah kanan vv.pulmonales dexter (Hadiwidjaja, 2002). Pada septum interatriale ini terdapat fossa ovalis yang dibatasi oleh limbus ovalis. Fosa ovalis merupakan obliterasi dari foramen ovale pada waktu lahir (Budianto, 2005).
 Di sebelah kanan dan lateral dinding atrium dextrum ada alur kecil, membentang dari ventral muara vena cava superior menuju ke sebelah kana vena cava inferior. Alur ini disebut sulcus terminalis, dapat merupakan petunjuk letak dari crista terminalis, yang menonjol ke rongga atrium dextrum. Bagian cranial sulcus terminalis ditempati oleh SA node (Hadiwidjaja, 2002). Serabut-serabutnya berjalan ke AV node yang terletak di endocardium septum interatriorum dekat muara sinus koronaria (DeBeasi, 2005). Kemudian bercabang menjadi crus dextrum dan sinistrum. Crus dextrum berjalan ke caudal dalam endocardium bercabang-cabang dan berakhir pada mm.papillares ventriculus cordis dexter. Kadang ada serabut yang berjalan bersama dengan crus dextrum menuju ke m.papillaris anterior yang kita sebut dengan moderator band (Budianto, 2005).
 Pada daerah perbatasan atrium dan ventrikel dextrum dilengkapi dengan valva tricuspidalis yang memiliki tiga cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Katup mitralis merupakan pemisah antara atrium dan ventrikel sinister yang memiliki dua cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Kedua katup ini tertambat melalui berkas-berkas tipis yang disebut korda tendinea. Korda tendinea akan meluas menjadi m.papillaris. Korda tendinea menyokong katup pada waktu kontraksi ventrikel agar saat ventrikel berkontraksi katup tidak kembali ke atrium (DeBeasi, 2005).
 Katup aorta terletak antara ventrikel sinister dan aorta, sedangkan katup pulmonalis terletak antara arteria pulmonalis dan ventrikel dexter. Katup semilunaris ini mencegah agar aliran kembali darah dari aorta atau arteria pulmonalis ke dalam ventrikel dalam keadaan istirahat (DeBeasi, 2005).
 Skeleton cordis tersusun atas jaringan fibrosa mengelilingi ostium atrioventriculare dan ostium semilunaris, tempat perlekatan valvula dan otot jantung. Jadi termasuk dalam skeleton cordis ini adalah: anuli fibrosi cordis, trigonum fibrosum dexter dan sinistrum, pars membranacea septum interventriculare dan tendo infundibuli (Hadiwidjaja, 2002).
 Jantung mendapat vaskularisasi dari sistem sirkulasi koroner. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan epicardium jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke myocardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil (DeBeasi, 2005). 
B. FISIOLOGI JANTUNG
 Otot jantung memiliki diskus interkalatus. Diskus interkalatus sebenarnya adalah membran sel yang memisahkan sel otot jantung yang satu dengan yang lain. Serat-serat otot jantung yang tampak pada pemeriksaan histologis merupakan sel-sel otot jantung yang saling beranyaman membentuk suatu rangkaian. Diskus interkalatus memiliki tahanan listrik hanya sebesar 1/400 dari tahanan yang melewati bagian luar membran otot jantung, karena membran selnya saling membentuk hubungan satu sama lain dengan membentuk gap junction, terjadi difusi ion-ion secara relatif bebas yang nantinya akan mempermudah penjalaran potensial aksi (Guyton, 1997).
 Potensial aksi pada otot jantung terjadi akibat aliran ion-ion natrium, kalium dan kalsium (Na+, K+, Ca++) melewati membran sel jantung (DeBeasi, 2005). Pada otot rangka potensial aksi hampir seluruhnya mengandalkan pembukaan saluran cepat ion natrium dan diakhiri dengan cepat oleh proses repolarisasi. Sedang pada otot jantung terdapat dua saluran yaitu (1) saluran cepat untuk natrium dan (2) saluran lambat untuk kalsium-natrium, hal inilah yang nantinya akan membedakan karakteristik kontraksi otot rangka dan otot jantung (Guyton, 1997).
 Sel-sel yang mengatur sistem konduksi pada jantung memiliki ciri khas, yaitu automatisasi, yang berarti serabut ini dapat mengeksitasi diri sendiri, atau menghasilkan potensial aksi secara spontan. Nodus SA sebagai pacemaker dominan pada jantung memiliki kemampuan untuk mengeksitasi diri 80-100x/ menit, nodus AV 60-80x/menit, serabut purkinje 15-40x/menit (DeBeasi, 2005). Nodus SA menjadi pacemaker dominan disebabkan karena kecepatan eksitasinya merupakan yang paling cepat, sehingga sebelum nodus lain mengeksitasi dirinya, mereka sudah menerima penjalaran potensial aksi yang berasal dari nodus SA (Guyton, 1997).
 Pada kondisi normal ion natrium banyak terdapat di luar sel sedangkan ion kalium banyak terdapat di dalam sel. Pada sel-sel nodus sinus terdapat sedikit kebocoran natrium pada sel-selnya sehingga natrium bocor ke dalam sel sehingga potensial membran menjadi lebih positif yang mengakibatkan lebih mudahnya sel ini untuk dirangsang mencapat potensial aksi (Guyton, 1997). Karena hal ini pula, perlahan potensial membran terus menjadi positif sampai mencapai potensial aksinya dibantu dengan terbukanya saluran kalsium sehingga terjadilah potensial aksi. Keluarnya ion kalium dari dalam sel menormalkan kembali potensial aksi pada membran dan terulang lagi proses seperti di atas (DeBeasi, 2005).
  Penjalaran potensial aksi ini diteruskan ke otot jantung. Pada kontraksi jantung terjadi pembukaan saluran cepat natrium karena datangnya impuls yang berasal dari nodus sinus. Terjadi kenaikan potensial membran dengan sangat cepat. Ion natrium masuk ke dalam sel sampai terjadi pembukaan saluran kalium dan mengakibatkan kalium keluar ke dalam sel, terjadi sedikit penurunan potensial membran (DeBeasi, 2005). Tetapi kemudian saluran lambat kalsium-natrium terbuka dan mengakibatkan terjadinya plateau, membuat kontraksi menjadi lebih lama jika dibandingkan dengan otot rangka. Pada kondisi ini jantung tidak dapat dirangsang oleh rangsangan lainnya sebab kondisi potensial membran masih belum mencapai kondisi sebelumnya. Setelah saluran kalsium ini tertutup, kalium keluar dengan cepat dan potensial membran menjadi kembali normal (Guyton, 1997).
 Potensial aksi pertama kali berasal dari nodus SA. Menyebar ke atrium dextrum dan atrium sinistrum mengakibatkan atrium berkontraksi untuk memasukkan darah ke dalam ventrikel. Kemudian potensial aksi berjalan menuju nodus AV melalui jalur internodal. Di nodus AV terjadi potensial aksi dihambat beberapa saat sampai atrium selesai berkontraksi sehingga darah bisa dipompa dengan optimal (DeBeasi, 2005). Satu-satunya jalur yang dimiliki oleh nodus SA adalah melalui nodus AV, sebab terdapat skeleton cordis yang juga memblokade potensial aksi. Kecuali pada beberapa kelainan yang menyebabkan adanya jalur pintas antara nodus AV dan nodus SA mengakibatkan kontraksi atrium dan ventrikel secara bersamaan (Guyton, 1997).
 Setelah mencapai nodus AV dan ditahan beberapa saat, potensial aksi diteruskan menuju ventrikel melalui berkas-berkas his dan serabut purkinje. Kemudian terjadi kontraksi yang hampir bersamaan pada ventrikel untuk memompa darah menuju sirkulasi sistemik (Guyton, 1997).
 Darah venosa yang berasal dari vena cava superior dan inferior diteruskan menuju atrium dextrum. Sekitar 80% dari jumlah darah masuk ke dalam atrium langsung menuju ventrikel sebab katup atrioventrikularis dexter terbuka pada saat diastol. Kemudian saat sekitar 20% volume darah tersisa, atrium berkontraksi untuk mengoptimalkan pengisian ventrikel. Ventrikel dexter kemudian memompa darah menuju pulmo melalui arteri pulmonalis. Berasal dari atrium pulmonalis darah kembali menjadi bersifat darah arteriel dan dialirkan menuju atrium sinistrum. Atrium sinistrum kemudian mengalirkan darah menuju ventrikel sinister dan berkontraksi untuk mengoptimalkan pengisian. Ventrikel sinister berkontraksi untuk memompa darah menuju sirkulasi sistemik. Pada saat ventrikel berkontraksi, katup mitralis tertutup karena tekanan darah. Pada saat yang sama muskulus papillaris juga berkontraksi, mencegah katup terdorong dan mengakibatkan darah kembali ke atrium. Disebabkan oleh tekanan aorta yang tinggi yaitu sekitar 115mmHg, maka ventrikel sinister memerlukan tekanan yang lebih dari ini untuk memompa darah menuju aorta. Fase isovolumetrik merupakan fase dimana ventrikel berkontraksi untuk menaikkan tekanan di dalam ventrikel namun darah belum dialirkan ke dalam aorta (Guyton, 1997). Sedikit saja tekanan aorta terlewati maka darah akan langsung diejeksikan ke dalam aorta dan mengalir ke dalamnnya. Aorta mengembang untuk menyimpan darah. Tekanan dalam aorta naik lebih tinggi lagi mengakibatkan penutupan katup aorta, turbulensi disini mengakibatkan suara jantung II (Guyton, 1997).
C. EMBRIOLOGI JANTUNG
 Susunan pembuluh darah janin manusia tampak pada pertengahan minggu ketiga. Ini disebabkan karena embrio tidak mampu lagi hanya mengandalkan pengelolaan metabolismenya hanya dengan difusi. Sel-sel mesenkim di dalam lapisan mesoderm splanknik embrio pramosit lanjut, bereplikasi dan membentuk kelompok-kelompok angiogenetik yang terpisah satu sama lain (Langman, 1988). 
 Jantung juga berasal dari lapisan mesoderm. Walaupun pada permulaan berupa pasangan, menjelang perkembangan hari ke-22, kedua buluh membentuk buluh jantung yang tunggal, agak melengkung, terdiri atas suatu buluh endokardium di sebelah dalam dan suatu pelapis epimiokardium di sekelilingnya. Selama minggu keempat dan ketujuh, jantung terbagi dalam suatu bangunan kahas berkamar empat (Langman, 1988).
 Pembentukkan sekat dalam atrium dimulai pada septum primum. Suatu tonjolan berupa bulan sabit turun dari atap atrium, tidak pernah membagi dua atrium, tetapi meninggalkan lubang “ostium primum” untuk perhubungan kedua bagian atrium tersebut. Kemudian terbentuklah septum secundum, tetapi ia juga gagal membagi atrium communis menjadi dua bagian. Hanya pada saat kelahiran, ketika tekanan di atrium kiri meningkat, kedua sekat tertekan satu terhadap yang lainnya dan hubungan di antara keduanya tertutup. Kelainan sekat atrium dapat berkisar dari total tidak adanya lubang hingga satu lobang kecil yang dikenal sebagai “porbe patency of ovale foramen.” (Langman, 1988).
 Pembentukkan sekat dalam canalis atrioventricularis dimulai pada saat dua bantalan endokardium yang besar membagi canalis AV menjadi canalis triucuspidalis kanan dan canalis bicuspidalis kiri atau canalis mitralis AV. Menetapnya canalis atrioventricularis communis dan pembelahan abnormal seperti atresia canalis tricuspidalis merupakan kelainan-kelainan congenital yang biasa terjadi pada pembentukkannya (Langman, 1988).
 Septum interventriculare terdiri atas bagian muscularis yang tebal dan pars membranacea yang tipis, terbentuk dari (a) bantalan inferior endokardium AV, (b) rigi conus kanan, dan (c) rigi conus kiri. Pada banyak kasus, ketiga komponen ini gagal bersatu, mengakibatkan suatu foramen interventricularis yang terbuka. Walaupun kelainan ini dapat terpisah, biasanya dapat disertai cacat lain sebagai kompensasinya (Langman, 1988).
 Bulbus terbagi dalam (a) truncus (batang aorta dan pulmonalis), (b) bagian ventriel kanan yang bertrabekulasi, (c) conus (saluran keluar batang aorta dan pulmonalis). Daerah truncus dibagi oleh septum aorticopulmonalis yang berbentuk ulir menjadi dua arteri utama. Rigi-rigi conus membagi saluran keluar dari saluran aorta dan pulmonalis serta menutup foramen interventriculare. Beberapa kelainan pembuluh seperti transposisi pembuluh pembuluh besar dan atresia valvularis pulmonaris, disebabkan oleh pembagian abnormal daerah truncus dan conus (Langman, 1988).
D. KELAINAN JANTUNG KONGENITAL
 Kelainan jantung pada anak sebenarnya dapat dibagi menjadi kelainan jantung didapat dan bawaan. Pada bagian ini penulis hanya akan menguraikan tentang kelainan jantung bawaan (kongenital). Kelainan jantun bawaan berarti kelainan susunan jantung, mungkin sudah terdapat sejak lahir. Perkataan “susunan” berarti menyingkirkan aritmia jantung, sedangkan “mungkin” sudah terdapat sejak lahir berarti tidak selalu dapat ditemukan selama beberapa minggu/bulan setelah lahir. Ada beberapa pembagian mengenai kelainan jantung bawaan. Jika kita melihat tandan yang tampak pada kelainan maka pembagian penyakit jantung kongenital berdasarkan (a) golongan PJB dengan sianosis dan (b) golongan PJB tanpa sianosis (Staff Pengajar IKA FK UI, 1997).
 Sianosis merupakan manifestasi saturasi oksigen arteri yang berkurang dan terlihat sebagai warna kebiruan di sekitar mulut dan di ujung-ujung jari dan bisa timbul saat menangis atau melakukan aktifitas. Orang tua yang belum berpengalaman seringkali tidak dapat mengenali sianosis yang ringan, bahkan yang sedang sekalipun. Bayi dan anak dengan kelainan jantung bawaan sianotik, khususnya tetralogi fallot dapat mengalami serangan sianotik. Bayi dan anak yang mengalami kelainan jantung sianotik yang sudah bisa berjalan, mungkin akan menunjukkan gejala “squatting” (jongkok) setelah berjalan/bermain (Staff Pengajar IKA FK UI, 1997).
 Keadaan sianotik dan non sianotik dapat terjadi karena adanya pirau (shunt) antara sirkulasi jantung sebelah kanan dan kiri. Jika setelah lahir terjadi pirau kiri ke kanan seperti pada atrial septal defect, ventricle septal defect, patent ductus arteriosus botalli, maka tidak terjadi gambaran sianotik pada pasien. Tetapi jika setelah lahir terdapat pirau dari kanan ke kiri seperti pada transposition of great arteries, tetralogi of Fallot, eissenmenger syndrome, dll, maka akan terdapat gambaran sianosis pada penderita. Ini diakibatkan karena darah yang dialirkan ke sirkulasi sistemik mengalami pencampuran dengan darah venosa, sehingga terjadi kekurangan oksigen jaringan yang memberikan gambaran sianotik (Staff Pengajar IKA FK UI, 1997).
Berikut akan diuraikan tentang beberapa kelainan jantung kongenital yang tidak menimbulkan sianosis:
i. Duktus Arteriosus Persisten (PDA)
 Duktus arteriosus adalah saluran yang menghubungkan antara arteri pulmonalis dengan aorta descendens. Pada bayi normal saluran ini akan menutup dalam 10-15 jam setelah lahir dan secara anatomis menjadi ligamentum arteriosum botalli dalam 2-3 minggu. Mekanisme penutupannya belum diketahui secara pasti namun terdapat beberapa hal yang mempengaruhi penutupannya. Kadar oksigen dalam udara mempengaruhi penutupannya, pada kadar oksigen yang rendah seperti pada pegunungan, maka kekerapan penyakit ini lebih tinggi. Pada bayi prematur angka kejadian penyakit ini juga lebih tinggi (Roebiono, 2003).
 Pada PDA terjadi pirau dari kiri ke kanan (dari aorti ke arteri pulmonalis). Hal ini disebabkan karena tekanan pada aorta lebih tinggi jika dibandingkan dengan arteri pulmonalis. Besarnya aliran tergantung pada ukuran PDA dan tahanan arteri pulmonalis (Roebiono, 2003).
 Adanya aliran berlebih menuju arteri pulmonalis mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal dengan tahanan vaskuler paru yang tinggi. Sianosis sebenarnya dapat terlihat bila aliran pirau terbalik dari kanan ke kiri (Pada sindrom Eissenmenger), terjadi kurang dari 10% kasus. Risiko terkena endokarditis infektif sangat tinggi, terutama setelah usia dekade pertama (Roebiono, 2003).
 Keluhan timbul bila aliran ke paru cukup besar, sehingga penderita sering batuk, tampak lelah saat melakukan aktivitas, sesak napas dan pertumbuhan fisik yang lambat.
ii. Defek Septum Atrium (ASD)
 Defek septum atrium merupakan kelainan jantung bawaan akibat adanya lubang pada septum interatriale. Berdasarkan letak lubangnya, defek septum akan dibagi menjadi tiga tipe yaitu: 1) Defek septum atrium sekundum, bila lubang terletak di daerah fossa ovalis; 2) Defek septum atrium primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum (termasuk salah satu bentuk defek septum atrioventrikuler); 3) Defek sinus venosus, bila lubang terletak di daerah sinus venosus (dekat muara vena cava superior et inferior) (Rahajoe, 2003).
 Defek septum atrium sering tidak ditemukan pada pemeriksaan rutin karena keluhan baru timbul pada dekade 2-3 dan bising yang terdengan tidak terlalu keras. Pada saat lahir, tahanan vaskular paru masih sedang menyesuaikan diri dengan kondisi luar. Karena itu pada awal kelahiran tekanan pulmonal masih cukup tinggi sehingga pada ASD wajar jika tidak timbul gejala pada awalnya, sebab tekanan atrium kiri dan kanan masih relatif seimbang. Pada kasus dengan aliran pirau besar, keluhan cepat lelah timbul lebih lelah. Gagal jantung pada neonatus hanya dijumpai pada ± 2% kasus. Sianosis terlihat apabila terjadi aliran pirau balik (Sindrom Eissenmenger) (Rahajoe, 2003). 
 Penderita ASD seringkali disertai bentuk tubuh yang tinggi dan kurus, dengan jari-jari tangan dan kaki yang panjang. Aktifitas ventrikel kanan meningkat, dan tak teraba thrill. Bunyi jantung I mengeras, bunyi jantung II terpisah lebar dan tak mengikuti variasi pernafasan. Bila terajdi hipertensi pulmonal, komponen pulmonal bunyi jantung II mengeras dan pemisahan kedua komponen tidak lagi lebar (Rahajoe, 2003).
iii. Defek Septum Ventrikel (VSD)
 Defek septum ventrikel adalah kelainan jantung bawaan berupa lubang pada septum interventrikuler. Lubang tersebut dapat hanya satu atau lebih (Swiss cheese VSD) yang terjadi akibat kegagalan fusi septum interventrikuler senasa janin dalam kandungan (Rilantono, 2003).
 Berdasarkan lokasi lubang, VSD diklasifikasikan dalam 3 tipe: 1) Perimembranosus, bila lubang terletak di daerah septum membranosum dan sekitarnya; 2) Subarterial doubly commited bila lubang terletak dai daerah septum infundibuler; 3) Muskuler, bila lubang terletak di daerah septum muskuler inlet, outlet ataupun trabekuler.
 VSD merupakan kelainan jantung bawaan yang tersering dijumpai, yaitu sekitar 33% dari seluruh kelainan jantung bawaan.
 Adanya lubang pada septum interventrikuler memungkinkan adanya aliran dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan, sehingga aliran darah yang ke paru bertambah.
 Penampakan klinis pada penderita tergantung pada besarnya aliran pirau yang mengalir pada lubang VSD, dan ini ditentukan oleh besarnya lubang VSD serta besarnya tahanan pembuluh paru. Pada usia tahun pertama (terutama 6 bulan pertama), besar aliran pirau dapat berubah-ubah sesuai dengan penurunan tahanan paru akibat maturasi dari paru yang berlangsung cepat pada periode tersebut. Penurunan maksimal biasanya terjadi pada usia 1-6 minggu, tapi kadang-kadang baru terjadi pada usia 12 minggu. Aliran pirau dari kiri ke kanan akan bertambah dengan menurunnya tahanan pembuluh paru, sehingga gagal jantung pada VSD yang besar biasanya terjadi pada usia 2-3 bulan (Rilantono, 2003).
 Bila aliran pirau kecil umumnya tidak menimbulkan keluhan, tetapi bila besar akan memberikan keluhan seperti kesulitan waktu minum atau makan karena cepat lelah atau sesak dan sering mengalami batuk serta infeksi saluran nafas berulang. Ini mengakibatkan pertumbuhan yang lambat (Rilantono, 2003).
 Dalam perjalanannya, beberapa tipe VSD dapat menutup secara spontan (tipe perimembranosus dan muskuler), terjadi hipertensi pulmonal, hipertrofi infundibulum, atau prolaps katup aorta yang dapat disertai regurgitasi (tipe subarterial dan perimembranosus).
 Endokarditis infektif pada kelainan jantung bawaan ini juga merupakan komplikasi yang sering dijumpai(Rilantono, 2003).
iv. Stenosis Aorta
 Stenosis aorta adalah obstruksi atau hambatan aliran darah melalui katup aorta sewaktu ejeksi sistolik dari ventrikel kiri. Kelainan ini adalah ± 5% dari seluruh kelainan jantung bawaan yang ditemukan pada masa bayi dan anak-anak. Stenosis aorta lebih sering ditemukan pada penderita sindrom turner, meskipun lebih jarang dibandingkan koarktasio aorta. Pada neonatus, stenosis aorta yang berat atau atresia sering disertai dengan hipoplasia ventrikel kiri. Kompleks kelainan ini disebut Hypoplastic Left Heart Syndrome (Staff Pengajar IKA FK UI).
 Stenosis aorta yang berat dapat terlihat pada masa bayi sebagai gagal jantung atau kematian mendadak. Sedang pada anak yang lebih tua akan muncul gejala seperti sesak nafas, angina, sinkop atau berkunang-kunang waktu bekerja. Makin besar anak, gejala yang timbul dari penyakit ini akan sama saja dengan stenosis aorta yang disebabkan demam reumatik (Haryono, 2003).
v. Insufisiensi Aorta
 Kelainan katup aorta pada kelainan ini berupa penebalan daun katup dengan pinggir mengkerut dan separasi daun katup pada komisuranya sehingga menyebabkan bocornya katup ini. Bocornya katup ini dapat berakibat terjadinya regurgitasi darah ke ventrikel (Haryono, 2003).


vi. Stenosis Mitral
 Kelainan ini menyebabkan obstruksi pada katupnya sendiri atau sebagai supravalvar fibrous ring. Kelainan tersebut bisa terjadi sendiri-sendiri atau kombinasi keduanya (Haryono, 2003).
 Stenosis mitral bawaan yang terisolir sangat jarang terjadi. Biasanya ditemukan bersamaan dengan atresia aorta dan koarktasio. Kelainan bawaan ini tertadi karena displasia katup mitral, daun katup menebal dan korda tendinea memendek dan menyatu menjadi bentuk seperti corong di bawah katup, sehingga pembukaan katup menjadi sangat sempit (Staff Pengajar IKA FK UI, 1997).
 Parachute Mitral Stenosis, kelainan bawaan ini terjadi karena korda dari kedua daun katup bersatu dan menempel pada muskulus papillaris tunggal. Darah akan mengalir dari celah katup yang tebal dan korda yang sempit (Haryono, 2003).
 Stenosis supravalvar, adalah suatu cincin tebal yang terjadi persis di atas basis katup mitral.
 Pada Hypoplastic Left Heart Syndrome, katup mitral sangat hipoplastik sehingga lubangnya sangat kecil sekalipun bentuk katupnya merupakan miniatur dari katup normal. Kadang-kadang pada Hypoplastic Left Heart Syndrome ini dapat terjadi atresia katup mitral yang menyebabkan obstruksi total dari katup (Haryono, 2003).
vii. Insufusiensi Mitral
 Insufisiensi mitral akibat dari abnormalitas katup mengakibatkan darah kembali ke ventrikel sinister pada waktu sistol.
 Pada insufisiensi mitral bawaan, jarang kelainan ini berdiri sendiri. Biasanya juga disertai kelainan kongenital lain seperti endocardial cushion disease, endokardial fibroelastosis, kardiomiopati hipertropik obstruktif, prolaps katup mitral (Haryono, 2003).
 Pada insufisiensi katup mitral terjadi kelainan berupa celah daun anterior katup mitral, korda yang pendek atau tak ada korda tendinea, lubang tambahan kelemahan dan kebocoran daun katup posterior. Perjalanan penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada bayi bila kelainannya berat. Kelainan yang ringan dapat ditoleransi secara normal lebih lama (Haryono, 2003).
III. DISKUSI / BAHASAN
 Pada kelainan jantung bawaan yang mengakibatkan kenaikan aliran darah pulmonal, dapat menyebabkan bendungan pada paru. Hal ini disebabkan karena kenaikan tekanan dan aliran yang terus menerus tanpa disertai dengan penyaluran yang adekuat, mengakibatkan tertimbunnya cairan pada rongga paru. Tekanan osmotik sel menjadi lebih tinggi dari normal dan mengakibatkan cairan keluar dan tertimbun lebih banyak lagi di luar sel. Hal ini membuat sistem drainase menjadi lebih buruk dan dapat menjadi tempat yang subur bagi mikroorganisme untuk bertumbuh. Sehingga pada anak dengan kelainan jantung bawaan sering terjadi infeksi yang berulang.
 Kelainan jantung juga mengakibatkan aliran darah sistemik menjadi relatif berkurang. Pada kasus-kasus ringan, kelainan ini dapat terkompensasi dengan baik oleh tubuh. Namun pada kasus berat, pada kondisi normal dan tanpa aktifitas sekalipun mungkin sudah terlihat gelajanya. Misalnya ketika makan atau menangis, anak dengan gangguan jantung akan menjadi lebih cepat lelah.
 Pada kasus skenario didapatkan bising pansistolik dengan punctum maximum pada SIC IV-V parasternal kiri. Proyeksi katup mitral terdapat pada SIC III hingga cartilago costa IV linea parasternal kiri, sehingga titik punctum maximum anak ini seharusnya berdekatan dengan proyeksi katup mitral. Tetapi pada anak ini didapatkan LVH dan LAH yang dibuktikan dengan pemeriksaan EKG ataupun foto thorax yang menunjukkan pergeseran apeks ke caudolateral. Sehingga proyeksi normal tentunya akan tergeser.
  Bising pansistolik biasa terdapat pada beberapa kelainan-kelainan jantung, diantaranya seperti insufisiensi mitral, VSD, PDA, stenosis aorta, insufisensi katup trikuspid, stenosis katup pulmonal. Tetapi pada insufisiensi katup trikuspid yang mengalami penambahan beban adalah ventrikel dexter, sehingga pada kasus ini insufisiensu katup trikuspid dapat dieliminir. Sedangkan pada stenosis pulmonar juga terjadi penambahan beban ventrikel dexter, sehingga bukan stenosis pulmonar juga yang terjadi pada anak ini.
 Stenosis Aorta
 Stenosis aorta mengakibatkan penyempitan katup aorta. Mengakibatkan pengisian aorta yang terjadi pada saat sistol terganggu dan menimpulkan bising. Stenosis aorta membuat beban ventrikel kiri bertambah, dan dapat terjadi LVH yang akan diikuti oleh LAH. Pada stenosis aorta tidak terjadi sianosis kecuali jika diikuti dengan penyakit lain.
 Arteri koronaria juga merupakan cabang dari aorta, sehingga pada kelainan ini jelas juga memberi dampak buruk pada arteri koronaria. Pada aktifitas yang berat jantung membutuhkan pasokan darah yang lebih, sedangkan pada kelainan ini terjadi penyempitan aorta sehingga aliran darah menjadi terganggu. Menyebabkan seluruh komponen sistemik mengalami kekurangan pasokan oksigen, termasuk jantung. Keadaan hipoksemia dan asidosis ini memberi gejala seperti sakit pada dada saat melakukan aktifitas atau keadaan lain. Pada stenosis aorta juga dapat didapatkan pembesaran aorta dan arteri pulmonalis.
 PDA
 PDA lebih sering terjadi pada kasus bayi yang lahir prematur. Duktus arteriosus botalli yang seharusnya menutup dalam beberapa jam setelah kelahiran menjadi tetap terbuka yang nantinya akan mengakibatkan adanya aliran pirau dari kiri ke kanan. Pada awal kelahiran tidak ditemukan gejala sebab PVP (Pulmonary Vascular Pressure) relatif sama dengan tekanan pada atrium sinistrum. Kemudian PVP akan terus menurun karena paru-paru bayi sudah siap untuk bekerja dan menyebabkan terjadinya aliran pirau dari aorta menuju arteri pulmonalis dan terjadi bising sistolik.
 Kekurangan pasokan menuju aliran sistemik karena adanya aliran pirau ini membuat mekanisme kompensasi bekerja. Ventrikel Sinister akan meningkatkan kerjanya karena kekurangan ini, menyebabkan hipertrofi ventrikel sinister yang akan diikuti oleh hipertrofi atrium sinistrum. 
 VSD
 VSD mengakibatkan adanya aliran pirau dari kiri ke kanan selama sistol, dan menyebabkan bising sepanjang fase sistol. Pada awal kelahiran juga tidak ditemukan gejala sebab PVP (Pulmonary Vascular Pressure) relatif sama dengan tekanan pada atrium sinistrum. Kemudian PVP akan terus menurun karena paru-paru bayi sudah siap untuk bekerja dan menyebabkan terjadinya aliran pirau dari kiri ke kanan.
 Kekurangan pasokan menuju aliran sistemik karena adanya aliran pirau ini membuat mekanisme kompensasi bekerja. Ventrikel Sinister akan meningkatkan kerjanya karena kekurangan ini, menyebabkan hipertrofi ventrikel sinister yang akan diikuti oleh hipertrofi atrium sinistrum. 
 Insufisiensi Mitral
 Insufisiensi mitral mengakibatkan aliran balik (regurgitasi) ke atrium sinistrum. Darah yang seharusnya menuju aorta tetapi karena terjadi penutupan yang tidak sempurna dari katup mitral mengakibatkan darah tidah seluruhnya terpompa menuju aorta.
 Pada kondisi normal, saat fase sistol terjadi penutupan katup mitral karena perbedaan tekanan yang sangat besar antara atrium dan ventrikel. Penutupan ini dijaga oleh korda tendinea dan muskulus papillaris agar katup tidak masuh ke atrium karena tekanan yang besar dari ventrikel. Tetapi pada kelainan ini terjadi penutupan katup yang tidak sempurna sehingga darah dapat mengalir masuk kembali ke atrium sinistrum dan terjadi bising sepanjang fases sistol.
 Pengurangan pasokan secara relatif akan terjadi karena darah tidak selurunya dipompa masuk ke aorta. Mengakibatkan fungsi pompa ventrikel menjadi meningkat untuk mengatasi kelainan ini.
 Karena terus mengalami aliran balik, atrium juga mengalami gangguan. Juga disebabkan oleh fungsi ventrikel dexter yang masih baik, maka darah yang mengalir ke atrium sinistrum masih normal. Tetapi pemompaan darah yang terus mengalami regurgitasi akan menyebabkan bendungan pada ventrikel sinister ditambah dengan darah yang berasal dari vena pulmonalis. Untuk mengkompensasi hal ini, atrium dextrum berkontraksi lebih kuat agar darah dapat seluruhnya dialirkan ke ventrikel, menyebabkan hipertrofi atrium.
 Kelainan-kelainan seperti yang disebutkan di atas memberikan gambaran seperti yang disebutkan pada skenario. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui dengan pasti diagnosis pasien. Pemeriksaan ekokardiografi dapat sangat membantuk untuk mengetahui letak defek jantung pasien. Jika hasil pemeriksaan masih meragukan dapat dilakukan kateterisasi jantung.




















IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada beberapa kemungkinan yang mendekati diagnosis pasien. Insufisiensi mitral, VSD, PDA, stenosis aorta merupakan differential diagnosis pada kasus ini.
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis dengan pasti. Ekokardiografi atau kateterisasi jantung merupakan beberapa pilihan yang dapat digunakan.

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan kardiovaskuler. Dengan meningkatkan penyuluhan kesehatan pada ibu hamil sehingga mengurangi angka kejadian kelainan kongenital.














V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 43-59
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Anatomi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 518-526
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Fisiologi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 530-540
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 134-175
Hadiwidjaja, Satimin. 2002. Thorax et Situs Viscerum Thoracis. Surakarta : Sebelas Maret University Press. pp: 112-160
Haryono, Nur. 2003. Penyakit Jantung Katup Non Rematik. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FK UI. pp : 152-157
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins, S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC. 
Munawar, Muhammad., Sutandar, Hartoyo .2003. Elektrokardiografi. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FK UI. pp : 41-48
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., dan Rodwell, V.W. 2003. Biokimia Harper Edisi 25. Alih Bahasa: Andry Hartono. Jakarta: EGC. pp: 625-626, 813-814.
Rahajoe, Anna U. 2003. Defek Septum Atrium. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. pp : 229-231
Rilantono, Lilly I. 2003. Defek Septum Ventrikel. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. pp : 232-235
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. pp : 661-720

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign