FUNGSI EKG DALAM PEMERIKSAAN FAAL JANTUNG
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO I
Laki-laki 40 tahun, datang ke RS, dengan keluhan nyeri dada. Pada anamnesis tidak didapatkan sesak nafas, lekas capek maupun dada berdebar-debar. Kebiasaan merokok dua bungkus sehari. Kebiasaan olahraga jarang, kadang-kadang seminggu sekali. Riwayat penyakit tidak menderita diabetes mellitus. Dia takut terkena penyakit jantung karena ayahnya pernah mengeluh nyeri dada, dirawat inap, dan dinyatakan menderita sakit jantung koroner.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data : kesadaran compos mentis, tekanan darah: 120/80 mmHg, denyut nadi : 80X/menit, irama reguler, isian cukup. Respirasi rate:18x/menit, JVP tidak meningkat.
Pada inspeksi menunjukkan apeks tidak ada heaving, nampak di linea medioclavicularis sinistra SIC IV. Pada palpasi didapatkan apeks di SIC IV linea medioclavicularis sinistra, tidak ada Thrill. Pada perkusi didapatkan pinggang jantung normal, apeks di SIC IV linea medioclavicularis sinistra. Pada auskultasi : Bunyi jantung I intensitas biasa, bunyi jantung II intensitas biasa, normal splitting. Tidak ada bising. Tidak ada gallop. Tidak ada ronkhi.
Pemeriksaan laboratorium normal. Pemeriksaan tambahan EKG normal. Pada foto thorax : CTR = 0,49, vascularisasi perifer normal. Apeks tidak bergeser ke lateral atau lateral bawah. Pemeriksaan exercise stress test (treadmill test) normal. Pemeriksaan echo cardiografi menunjukkan jantung dalam batas normal.
Dengan meningkatnya angka harapan hidup, angka kejadian penyakit kardiovaskuler juga meningkat. Bahkan penyakit jantung aterosklerotik koroner merupakan pembunuh nomor satu di Amerika Serikat saat ini. Oleh karena itu, penentuan diagnosis penyakit jantung merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin ketepatan pengobatan (De Beasi, 2005).
Saat ini semakin banyak tersedia tekhnik diagnostik canggih untuk mendeteksi penyakit jantung dan sekuele klinisnya. Namun penggunaan tekhnik-tekhnik ini dan interpretasi hasil pemeriksaan hanyalah sebagai pelengkap penilaian klinis dan sistematis pasien bersangkutan, dan bukan pemeriksaan yang menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap pasien tersebut (De Beasi, 2005).
Sejak Einthoven pada tahun 1903 berhasil mencatat potensial listrik yang terjadi pada waktu jantung berkontraksi, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) menjadi pemeriksaan yang penting. Bahkan saat ini pemeriksaan jantung tanpa pemeriksaan EKG terasa belum lengkap. Beberapa kelainan jantung bahkan diketahui hanya dengan pemeriksaan EKG saja (Pratanu, et. al. 2006).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi jantung?
2. Fisiologi tekanan dan arus darah yang melalui jantung?
3. Fisiologi sistem konduksi pada jantung?
4. Prinsip kerja EKG?
5. Fungsi EKG dalam pemeriksaan jantung.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang kardiologi.
b. Tujuan Khusus:
a. Mengetahui prinsip kerja EKG dalam fungsinya sebagai pemeriksaan penunjang dalam kelainan jantung.
b. Mengetahui interpretasi hasil dalam pemeriksaan EKG.
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang pemeriksaan EKG dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang kardiologi, baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI JANTUNG
Sebelum mempelajari tentang prinsip kerja EKG, akan dibahas tentang anatomi dan fisiologi pada jantung. Jantung atau cor terletak di mediastinum medium. Cor dibagi menjadi dua ke dalam bagian kanan dan kiri oleh septum longitudinal yang berjalan miring. Masing-masing bagian terdiri dari ruangan yang disebut atrium, yang menerima darah dari vena dan suatu kamar yang disebut ventriculus, yang mendorong darah masuk ke dalam arteri. Cor terletak lebih ke arah kiri dari linea mediana. Pada manusia yang masih hidup, axisnya membentang ke arah postero-anterior dan ke kiri dan bawah (Hadiwidjaja, 2002).
Dinding cor dilapisi oleh pericardium yang terdiri dari dua lapisan: pericarium visceralis dan pericardium parietalis. Kedua lapisan ini dilapisi oleh pelumas sehingga mengurangi gesekan akibat pompa jantung (Price, 2005). Lamina visceralis pericardium biasa juga disebut sebagai epicardium. Arteria coronaria yang memvaskularisasi cor terdapat di epicardium sebelum memasuki myocardium (Hadiwidjaja, 2002).
Myocardium terdiri atas otot lurik dengan diskus interkalatus. Jaringan otot pada ventriculus cordis sinister lebih tebal dari ventriculus cordis dexter, sedangkan lapisan paling tipis terdapat pada atrium cordis sinistrum (Price, 2005). Modifikasi myocardium membentuk sistem automatisasi cor yang terdiri atas:
1. Nodus sinoauricularis (SA Node) merupakan pacemaker
2. Nodus atrioventricularis
3. Berkas His
4. Crus dextrum dan sinistrum
Endocardium merupakan lapisan terdalam yang halus mengkilat pada cor. Lapisan ini tersusun atas endothel dan jaringan pengikat subendothelial (Hadiwidjaja, 2002).
Basis cor terletak di sebelah superior dan terbentuk oleh atrium. Vena cava superior dan inferior serta vv.pulmonales masuk cor melalui basis. Septum interatriale terkadang diindikasikan sebagai alur tipis di basis, tepat di sebelah kanan vv.pulmonales dexter. Pada septum interatriale ini terdapat fossa ovalis yang dibatasi oleh limbus ovalis. Fosa ovalis merupakan obliterasi dari foramen ovale pada waktu lahir (Hadiwidjaja, 2002).
Di sebelah kanan dan lateral dinding atrium dextrum ada alur kecil, membentang dari ventral muara vena cava superior menuju ke sebelah kana vena cava inferior. Alur ini disebut sulcus terminalis, dapat merupakan petunjuk letak dari crista terminalis, yang menonjol ke rongga atrium dextrum. Bagian cranial sulcus terminalis ditempati oleh SA node (Hadiwidjaja, 2002). Serabut-serabutnya berjalan ke AV node yang terletak di endocardium septum interatriorum dekat muara sinus koronaria. Kemudian bercabang menjadi crus dextrum dan sinistrum. Crus dextrum berjalan ke caudal dalam endocardium bercabang-cabang dan berakhir pada mm.papillares ventriculus cordis dexter. Kadang ada serabut yang berjalan bersama dengan crus dextrum menuju ke m.papillaris anterior yang kita sebut dengan moderator band (DeBeasi, 2005).
Pada daerah perbatasan atrium dan ventrikel dextrum dilengkapi dengan valva tricuspidalis yang memiliki tiga cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Katup mitralis merupakan pemisah antara atrium dan ventrikel sinister yang memiliki dua cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Kedua katup ini tertambat melalui berkas-berkas tipis yang disebut korda tendinea. Korda tendinea akan meluas menjadi m.papillaris. Korda tendinea menyokong katup pada waktu kontraksi ventrikel agar saat ventrikel berkontraksi katup tidak kembali ke atrium (DeBeasi, 2005).
Katup aorta terletak antara ventrikel sinister dan aorta, sedangkan katup pulmonalis terletak antara arteria pulmonalis dan ventrikel dexter. Katup semilunaris ini mencegah agar aliran kembali darah dari aorta atau arteria pulmonalis ke dalam ventrikel dalam keadaan istirahat (DeBeasi, 2005).
Skeleton cordis tersusun atas jaringan fibrosa mengelilingi ostium atrioventriculare dan ostium semilunaris, tempat perlekatan valvula dan otot jantung. Jadi termasuk dalam skeleton cordis ini adalah: anuli fibrosi cordis, trigonum fibrosum dexter dan sinistrum, pars membranacea septum interventriculare dan tendo infundibuli (Hadiwidjaja, 2002).
Jantung mendapat vaskularisasi dari sistem sirkulasi koroner. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan epicardium jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke myocardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil (DeBeasi, 2005).
B. FISIOLOGI JANTUNG
Otot jantung memiliki diskus interkalatus. Diskus interkalatus sebenarnya adalah membran sel yang memisahkan sel otot jantung yang satu dengan yang lain. Serat-serat otot jantung yang tampak pada pemeriksaan histologis merupakan sel-sel otot jantung yang saling beranyaman membentuk suatu rangkaian. Diskus interkalatus memiliki tahanan listrik hanya sebesar 1/400 dari tahanan yang melewati bagian luar membran otot jantung, karena membran selnya saling membentuk hubungan satu sama lain dengan membentuk gap junction, terjadi difusi ion-ion secara relatif bebas yang nantinya akan mempermudah penjalaran potensial aksi (Guyton, 1997).
Potensial aksi pada otot jantung terjadi akibat aliran ion-ion natrium, kalium dan kalsium (Na+, K+, Ca++) melewati membran sel jantung (DeBeasi, 2005). Pada otot rangka potensial aksi hampir seluruhnya mengandalkan pembukaan saluran cepat ion natrium dan diakhiri dengan cepat oleh proses repolarisasi. Sedang pada otot jantung terdapat dua saluran yaitu (1) saluran cepat untuk natrium dan (2) saluran lambat untuk kalsium-natrium, hal inilah yang nantinya akan membedakan karakteristik kontraksi otot rangka dan otot jantung (Guyton, 1997).
Sel-sel yang mengatur sistem konduksi pada jantung memiliki ciri khas, yaitu automatisasi, yang berarti serabut ini dapat mengeksitasi diri sendiri, atau menghasilkan potensial aksi secara spontan. Nodus SA sebagai pacemaker dominan pada jantung memiliki kemampuan untuk mengeksitasi diri 80-100x/ menit, nodus AV 60-80x/menit, serabut purkinje 15-40x/menit (DeBeasi, 2005). Nodus SA menjadi pacemaker dominan disebabkan karena kecepatan eksitasinya merupakan yang paling cepat, sehingga sebelum nodus lain mengeksitasi dirinya, mereka sudah menerima penjalaran potensial aksi yang berasal dari nodus SA (Guyton, 1997).
Pada kondisi normal ion natrium banyak terdapat di luar sel sedangkan ion kalium banyak terdapat di dalam sel. Pada sel-sel nodus sinus terdapat sedikit kebocoran natrium pada sel-selnya sehingga natrium bocor ke dalam sel sehingga potensial membran menjadi lebih positif yang mengakibatkan lebih mudahnya sel ini untuk dirangsang mencapat potensial aksi (Guyton, 1997). Karena hal ini pula, perlahan potensial membran terus menjadi positif sampai mencapai potensial aksinya dibantu dengan terbukanya saluran kalsium sehingga terjadilah potensial aksi. Keluarnya ion kalium dari dalam sel menormalkan kembali potensial aksi pada membran dan terulang lagi proses seperti di atas (DeBeasi, 2005).
Penjalaran potensial aksi ini diteruskan ke otot jantung. Pada kontraksi jantung terjadi pembukaan saluran cepat natrium karena datangnya impuls yang berasal dari nodus sinus. Terjadi kenaikan potensial membran dengan sangat cepat. Ion natrium masuk ke dalam sel sampai terjadi pembukaan saluran kalium dan mengakibatkan kalium keluar ke dalam sel, terjadi sedikit penurunan potensial membran (DeBeasi, 2005). Tetapi kemudian saluran lambat kalsium-natrium terbuka dan mengakibatkan terjadinya plateau, membuat kontraksi menjadi lebih lama jika dibandingkan dengan otot rangka. Pada kondisi ini jantung tidak dapat dirangsang oleh rangsangan lainnya sebab kondisi potensial membran masih belum mencapai kondisi sebelumnya. Setelah saluran kalsium ini tertutup, kalium keluar dengan cepat dan potensial membran menjadi kembali normal (Guyton, 1997).
Potensial aksi pertama kali berasal dari nodus SA. Menyebar ke atrium dextrum dan atrium sinistrum mengakibatkan atrium berkontraksi untuk memasukkan darah ke dalam ventrikel. Kemudian potensial aksi berjalan menuju nodus AV melalui jalur internodal. Di nodus AV terjadi potensial aksi dihambat beberapa saat sampai atrium selesai berkontraksi sehingga darah bisa dipompa dengan optimal (DeBeasi, 2005). Satu-satunya jalur yang dimiliki oleh nodus SA adalah melalui nodus AV, sebab terdapat skeleton cordis yang juga memblokade potensial aksi. Kecuali pada beberapa kelainan yang menyebabkan adanya jalur pintas antara nodus AV dan nodus SA mengakibatkan kontraksi atrium dan ventrikel secara bersamaan (Guyton, 1997).
Setelah mencapai nodus AV dan ditahan beberapa saat, potensial aksi diteruskan menuju ventrikel melalui berkas-berkas his dan serabut purkinje. Kemudian terjadi kontraksi yang hampir bersamaan pada ventrikel untuk memompa darah menuju sirkulasi sistemik (Guyton, 1997).
Darah venosa yang berasal dari vena cava superior dan inferior diteruskan menuju atrium dextrum. Sekitar 80% dari jumlah darah masuk ke dalam atrium langsung menuju ventrikel sebab katup atrioventrikularis dexter terbuka pada saat diastol. Kemudian saat sekitar 20% volume darah tersisa, atrium berkontraksi untuk mengoptimalkan pengisian ventrikel. Ventrikel dexter kemudian memompa darah menuju pulmo melalui arteri pulmonalis. Berasal dari atrium pulmonalis darah kembali menjadi bersifat darah arteriel dan dialirkan menuju atrium sinistrum. Atrium sinistrum kemudian mengalirkan darah menuju ventrikel sinister dan berkontraksi untuk mengoptimalkan pengisian. Ventrikel sinister berkontraksi untuk memompa darah menuju sirkulasi sistemik. Pada saat ventrikel berkontraksi, katup mitralis tertutup karena tekanan darah. Pada saat yang sama muskulus papillaris juga berkontraksi, mencegah katup terdorong dan mengakibatkan darah kembali ke atrium. Disebabkan oleh tekanan aorta yang tinggi yaitu sekitar 115mmHg, maka ventrikel sinister memerlukan tekanan yang lebih dari ini untuk memompa darah menuju aorta. Fase isovolumetrik merupakan fase dimana ventrikel berkontraksi untuk menaikkan tekanan di dalam ventrikel namun darah belum dialirkan ke dalam aorta (Guyton, 1997). Sedikit saja tekanan aorta terlewati maka darah akan langsung diejeksikan ke dalam aorta dan mengalir ke dalamnnya. Aorta mengembang untuk menyimpan darah. Tekanan dalam aorta naik lebih tinggi lagi mengakibatkan penutupan katup aorta, turbulensi disini mengakibatkan suara jantung II (Guyton, 1997).
C. PRINSIP KERJA EKG
Elektrokardiograf mencatat perubahan impuls yang diakibatkan penjalaran potensial membran jantung. Penjalaran potensial membran ini dapat dicatat karena tubuh mampu untuk menjalarkan impuls ini. Sehingga elektroda yang ditempelkan pada ujung-ujung ekstremitas merupakan interpretasi dari perubahan impuls yang terjadi di jantung (Guyton, 1997).
Seperti telah diungkapkan di atas, rangsangan listrik jantung yang berasal dari nodus SA dan menyebar ke atrium, nodus AV dan akhirnya ke ventrikel dapat direkam dalam bentuk EKG. Gelombang yang terekam secara alfabetis diberi nama P, Q, R, S, T dan U. Lihat gambar di bawah ini.
R
P T U
Q S
Gelombang P, QRS, T dan U direkam pada kertas khusus. Ada dua macam sistem yang biasa digunakan untuk mecatat gelombang EKG yaitu dengan menggunakan pemanas atau menggunakan semprotan tinta. Pada sistem dengan pemanas, jarum (stylus) yang dipanasi menempel pada kertas EKG sehingga menyebabkan bekas hitam atau biru membentuk gambaran EKG. Makin panas maka makin tebal gambaran garis pada kertas EKG, sistem inilah yang paling banyak dipakai. Sistem kedua adalah dengan menggunakan injektor tinta, dimana rekaman EKG dibuat dari semprotan tinta (Munawar, 2003).
Kertas EKG sudah siap dengan garis-garis halus vertikal dan horizontal. Garis-garis ini membentuk bujur sangkar kecil dengan sisi 1mm. Setiap 5mm garis vertikal maupun horizontal terdapat garis yang lebih tebal membentuk bujur sangkar yang memiliki sisi 5mm. Yang harus diperhatikan dalam membuat EKG adalah kecepatan kertas dan amplitudo (Munawar, 2003).
Aliran listrik pada jantung memiliki besar dan arah (vektor). Karena aliran listrik jantung merupakan vektor maka pencatatan dilakukan dari berbagai tempat. Ada 12 tempat sadapan EKG. Enam sandapan yaitu sandapat ekstremitas terdiri dari I, II, III, aVR, aVL, aVF (Munawar, 2003). Sandapan I,II,III merupakan sandapan bipolar yang ditujukan untuk menilai perbedaan potensial pada dua titik. Sandapan aVR, aVL, aVF merupakan sandapan unipolar yang ditujukan untuk menilai perbedaan potensial dengan potensial nol (Price, 2005). Enam sandapan lainnya merupakan sandapan prekordial. Sandapan V1 terletak pada SIC IV linea sternalis dextra, V2 pada SIC IV lenia sternalis sinistra, V4 terletak pada SIC 5 linea midsternalis, V3 terletak antara V2 dan V4, V5 dan V6 terletak setinggi V4 di sebelah lateral V4 (Guyton, 1997).
Sandapan I merekam perbedaan tegangan antara lengan kiri dan lengan kanan. Sandapan II merekam perbedaan tegangan antara lengan kanan dengan kaki kiri. Sandapan III merekam perbedaan tegangan antara tangan kiri dengan kaki kiri (Munawar, 2003).
III. DISKUSI / BAHASAN
Dalam bahasan di atas jelas bahwa EKG merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat membantu dalam penegakkan diagnosis kelainan jantung. EKG merupakan pemeriksaan yang relatif sederhana, murah, praktis, dan dapat dibawa kemana-mana, tetapi perlu diingat sekalipun alat ini sangat berguna, tetapi tetap ada kelemahannya (Munawar, 2003).
Banyak variasi mengenai EKG normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah habitus tubuh, sumbu listrik jantung, ukuran dada dan keadaan lain seperti obesitas dan penyakit paru. Pada pemeriksaan EKG dengan hasil normal, akan memberikan gambaran gelombang P, Q, R ,S, dan T yang normal seperti pada gambar di atas. Gelombang P merupakan hasil dari depolarisasi atrium. Kompleks QRS merupakan hasil dari depolarisasi ventrikel. Sebenarnya pada saat ini juga terjadi repolarisasi atrium, tetapi karena tertutup oleh impuls yang jauh lebih besar dari depolarisasi ventrikel maka repolarisasi atrium tidak tercatat. Gelombang T yang muncul sesudah kompleks QRS merupakan gambaran dari repolarisasi ventrikel (Guyton, 1997).
Ada hal yang unik pada gambaran EKG yaitu gelombang T yang secara normal positif. Pada otot lurik setelah terjadi depolarisasi, sel otot segera mengalami repolarisasi yang mungkin disebabkan karena kontraksi diakibatkan oleh pembukaan saluran cepat natrium-kalium. Sehingga sel otot yang pertama kali mengalami kontraksi mengalami repolarisasi lebih dulu. Hal demikian tidak terjadi pada otot jantung. Depolarisasi dimulai dari atrium menuju ventrikel. Setelah mencapai nodus AV di septum interventrikulare, impuls merambat dari endokardium menuju menuju serat-serat miokardium. Sehingga dengan kata lain bagian dalam jantung terlebih dahulu mengalami depolarisasi dibanding bagian luar. Seharusnya bagian dalam jantung mengalami repolarisasi terlebih dahulu. Jika jantung bagian dalam mengalami repolarisasi terlebih dahulu, maka gambaran gelombang T seharusnya menjadi negatif, tetapi pada pemeriksaan EKG, normalnya gelombang T memberikan gambaran positif. Ini menunjukkan bahwa bagian luar otot jantung mengalami repolarisasi terlebih dahulu, dan kemudian disusul oleh bagian dalam jantung. Fenomena ini mungkin disebabkan karena pada saat sistol, ventrikel berkontraksi dan memberikan tekanan yang besar pada dinding dalam jantung sehingga mengakibatkan bagian dalam jantung mengalami vaskularisasi yang lebih lambat dibandingkan bagian luarnya. Karena lebih lambatnya vaskularisasi ini mungkin mengakibatkan repolarisasi tidak terjadi, dan bagian luar jantung yang mendapat tekanan lebih kecil terlebih dulu mengalami repolarisasi, memberikan gambaran gelombang T pada EKG normal menjadi positif (Guyton, 1997).
EKG mencatat perubahan potensial membran yang terjadi pada jantung. Sehingga kelainan yang mengakibatkan perubahan penjalaran impuls jantung akan dengan sangat mudah tercatat oleh EKG. Karena hal inilah mungkin EKG jadi pemeriksaan yang cukup peka terhadap kelainan pada jantung, karena kelainan jantung tentunya akan mengubah penjalaran impuls jantung (Munawar, 2003).
Misalnya jika terjadi hipertrofi otot sebagai respon atas kelebihan beban pada salah satu bagian jantung, maka impuls yang dibutuhkan untuk membuat bagian ini berkontraksi tentunya akan lebih besar. Hal ini akan tercatat dalam pemeriksaan EKG. Contohnya, jika terjadi hipertrofi ventrikel kanan di mana jantung harus melalui katup pulmonalis yang stenosis, dan hipertrofi ventrikel kiri bila terjadi hipertensi. Jumlah otot akan meningkat akan dengan langsung menaikkan jumlah arus listrik di sekeliling jantung. Sebagai akibatnya, potensial listrik yang ditangkap dari sadapan menjadi lebih besar dari biasanya (Munawar, 2003).
Ada beberapa hal pula yang bisa mengakibatkan penurunan tegangan pada pemeriksaan EKG. Salah satu penyebab yang dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada kompleks QRS adalah serangkaian infark miokardial yang lama yang mengakibatkan berkurangnya massa otot. Keadaan ini juga akan mengakibatkan gelombang depolarisasi yang bergerak melalui ventrikelm menjadi lambat dan akan mencegah sebagian besar jantung mengakami depolarisasi bersama-sama. Akibatnya, kondisi ini akan menyebabkan timbulnya perpanjangan yang cukup lama pada kompleks QRS bersamaan dengan penurunan tegangan (Pratanu, et.al, 2006).
Kondisi-kondisi di sekeliling jantung juga dapat mengakibatkan perubahan pada pemeriksaan EKG. Misalnya jika terdapat cairan pada pericardium, tentunya hal ini dapat mengakibatkan penurunan tegangan pada pemeriksaan EKG. Karena cairan ekstrasellular mudah sekali menjalarkan arus listrik, maka sebagian besar arus listrik yang mengalir keluar dari jantung akan dihantarkan ke bagian jantung lewat efusi perikardial. Jadi, cairan ini secara efektif merupakan “shortcut” potensial listrik yang dicetuskan jantung, sehingga menurunkan besarnya tegangan elektrokardiografik yang mencapai permukaan tubuh. Efusi pleura juga dapat sedikit memperpendek arus sekeliling jantung sehingga besarnya tegangan pada permukaan tubuh dan elektrokardiogram akan menurun. Emfisema paru juga dapat menurunkan besarnya potensial pada gambaran EKG namun dengan cara yang berbeda dari efusi perikardial. Pada emfisema pulmonum, penjalaran arus listrik yang melewati paru akan sangat tertekan karena di dalam paru terdapat banyak sekali udara. Juga, rongga paru akan sangat membesar, dan paru akan relatif lebih banyak menutupi jantung ketimbang biasanya. Karena itu, paru-paru bekerja sebagai isolator yang mencegah penyebaran arus listrik jantung ke permukaan tubuh, dan hal ini pada umumnya akan menyebabkan turunnya potensial elektrokardiografik dari bermacam-macan sadapan (Guyton, 1997).
Dalam interpretasi hasil pemeriksaan EKG harus selalu diperhatikan kondisi klinis pasien, karena banyak kasus yang memberikan gambaran EKG normal tetapi ternyata pasien mengalami kelainan yang serius, atau gambaran EKG yang abnormal padahal pasien tidak mengalami gangguan jantung. Tetapi beberapa penyakit dapat ditegakkan hampir secara pasti hanya dengan pemeriksaan EKG. Bagaimanapun, EKG hanyalah alat bantu untuk menegakkan diagnosis dalam pemeriksaan jantung (De Beasi, 2005).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. EKG merupakan alat bantu diagnosis yang sangat membantu para dokter untuk menegakkan diagnosis kelainan jantung
2. Perlu diingat bahwa EKG hanya alat bantu sehingga pemeriksaan fisik, anamnesis dan keadaan umum pasien juga perlu mendapat perhatian khusus dalam penegakkan diagnosis
B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan kardiovaskuler. Dengan menyediakan alat bantu diagnosis seperti EKG di tempat-tempat yang masih kekurangan alat bantu diagnostik.
V. DAFTAR PUSTAKA
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Anatomi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 518-526
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Fisiologi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 530-540
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 134-175
Hadiwidjaja, Satimin. 2002. Thorax et Situs Viscerum Thoracis. Surakarta : Sebelas Maret University Press. pp: 112-160
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins, S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
Munawar, Muhammad., Sutandar, Hartoyo .2003. Elektrokardiografi. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FK UI. pp : 41-48
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., dan Rodwell, V.W. 2003. Biokimia Harper Edisi 25. Alih Bahasa: Andry Hartono. Jakarta: EGC. pp: 625-626, 813-814.
Pratanu, Sunoto., Yamin M., Harun, Sjahharudin. 2006. Elektrokardiografi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 1455-1466
Sabtu, 11 April 2009
EKG
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
- Bedah (1)
- Endokrinologi (2)
- Gizi (1)
- Imunologi (4)
- Kardiovaskuler (1)
- Metabolisme (2)
- Neoplasma (3)
- Neurologi (5)
- Pediatri (1)
- Penyakit Dalam (14)
- Penyakit Menular Seksual (1)
- THT (1)
- pendapat (16)
- reproduksi (2)

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign
Tidak ada komentar:
Posting Komentar