Jumat, 05 Juni 2009

abortus dan kehamilan

TIJAUAN UMUM ATAS KEHAMILAN DAN ABORTUS
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO I
Seorang perempuan 19 tahun mengeluarkan darah dari vagina sedikit-sedikit selama tiga hari. Penderita menikah 3 bulan yang lalu dan sejak saat itu haidnya tidak datang, payudara terasa tegang. Sebelumnya haid teratur tiap bulan dan tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi. Penderita merasa mual dan muntah-muntah terutama pagi hari, setiap kali makan atau minum selalu muntah lagi, badannya lemah sampai tidak dapat beraktivitas. Sudah tiga tahun ini penderita mengkonsumsi rokok.
Penderita datang ke poliklinik diperiksa oleh dokter umum. Di sana dokter memeriksa penderita untuk mendapatkan gejala dan tanda lainnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan normal, mulut kering dan turgor kulit menurun, fundus uteri teraba 1 cm di atas simfisis. Pada pemeriksaan inspekulo tampak ostium uteri eksternum tertutup dan keluar darah segar. Dokter tersebut menyarankan agar penderita dirawat inap untuk memperbaiki keadaan umum dan menjalani pemeriksaan ultrasonografi.
Amenorrhea dapat terjadi pada wanita pada kondisi fisiologis maupun patologis. Kondisi fisiologis yang mengakibatkan amenorrhea misalnya pada masa prapubertas, kehamilan, masa laktasi dan menopause. Dalam hal ini jika amenorrhea terjadi pada masa subur seorang wanita, dapat dipikirkan kemungkinan hamil yang ditegakkan dengan beberapa tes kehamilan (Simanjuntak, 1997).
Kehamilan karena beberapa alasan bisa berakhir pada abortus. Abortus sendiri adalah pengeluaran hasil konsepsi secara prematur dari uterus, dengan embrio atau fetus yang dikeluarkan belum dapat hidup. Karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat bertahan hidup, maka abortus juga ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau umur 20 minggu. Diperkirakan abortus terjadi pada hampir 15% kehamilan. (Dorland, 2005; Wibowo., Wiknjosastro, 1997; Schneider., Steinberg, 2009).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi organa reproduksi feminina
2. Fisiologi organa genitalia feminina
3. Gambaran dan tanda-tandan kehamilan
4. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari abortus
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam kasus abortus dan kehamilan
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kehamilan dan abortus
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kehamilan dan abortus.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang kehamilan dan abortus dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan kasus abortus baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI ORGANA GENITALIA FEMININA
Organa genitalia feminina dibagi menjadi organa gentalia externa dan interna. Yang termasuk organa genitalia interna adalah ovarium, tuba uterina, uterus, dan vagina. Sedangkan yang termasuk organa genitalia externa adalah mons pubis, labia majora, labia minora, clitoris, vestibulum vaginae, glandula vestibularis major dan bulbus vestibuli (Budianto, 2005).
Ovarium berfungsi untuk menghasilkan ovum. Ovarium homolog dengan testis pada pria. Organ ini melekat pada ligamentum latum uteri, terletak pada sebelah dorsocaudal dari tuba uterina. Biasanya ovarium terletak pada sumbu vertikal, tetapi juga ikut dalam pergerakan ligamentum dan uterus (Budianto, 2005).
Tuba uterina disebut juga tuba falopii atau oviduct. Merupakan saluran yang berfungsi menyalurkan ovum dari ovarium ke dalam cavum uteri. Pada ujung tuba uterina terdapat fimbriae-fimbriae yang salah satunya akan berhubungan dengan ovarium. Ini mengakibatkan adanya ruang kosong yang terbentuk antara tuba uterina dengan ovarium. Namun demikian pada siklus ovulasi, ovum tetap dapat dengan mudah masuk ke dalam tuba uterina, mekanisme dari hal ini akan dibahas kemudian. Bangunan yang menjorok ke ovarium disebut infundibulum. Terdapat pembesaran tuba pada lengkungan tuba di atas ovarium, yaitu ampulla tubae. Pada tempat ini biasanya terjadi pembuahan. Semakin mendekati uterus terdapat bangunan tubae yang menyempit, dinamakan isthmus tubae. Serta bagian yang menjorok ke arah cavum uteri adalah pars intramural (Guyton, 1997; Budianto, 2005).
Uterus merupakan organ muskuler dengan rongga di sebelah dalamnya. Terdapat rongga antara uterus dengan vesica urinaria di depannya dan rectum di belakangnya. Uterus pada bagian bawah akan berhubungan dengan vaginae. Uterus pada bagian atas terdapat fundus uteri, yaitu bangunan menyerupai kubah. Uterus pada bagian tengah terdapat corpus uteri yang merupakan bagian terbesar uterus. Di bawah corpus uteri terdapat serviks uteri yang akan menjorok hingga ke dalam vaginae. Uterus dibagi menjadi tiga lapisan, perimetrium, miometrium dan endometrium. Miometrium terdiri dari tiga lapis, terdapat stratum longitudinal (pars submukosa), stratum sirkuler (pars vaskulosa), dan stratum longitudinal (pars supravasculosa). Endometrium adalah permukaan dalam uterus, yang pada siklus menstruasi akan mengalami peluruhan. Stratum kompakta dan spongiosa akan mengalami peluruhan, sedangkan stratum basal tidak mengalami peluruhan. Di dalam endometrium ini juga sel telur yang telah dibuahi akan bernidasi. Pada kehamilan, uterus akan membesar dan menjadi tempat bagi janin berkembang hingga aterm (Guyton, 1997; Budianto, 2005).
Vagina adalah alat kopulasi wanita yang berupa stuktur muskulomembranosus berbentuk tabung menghubungkan vulva dengan uterus. Dalam vagina terdapat penonjolan serviks uteri yaitu portio vaginalis (Budianto, 2005).
B. FISIOLOGI ORGANA GENITALIA FEMININA
1. FISIOLOGI MENSTRUASI
Pada wanita, menstruasi terjadi secara periodik. Hal ini disebabkan oleh keseimbangan beberapa faktor, diantaranya adalah regulasi hormon. Siklus ini rata-rata berlangsung tiap 28 hari, dengan nilai normal terendah 20 hari dan tertinggi 45 hari. Pada satu kali siklus hanya terdapat satu ovum yang mengalami ovulasi, sehingga normalnya hanya ada satu janin yang akan tumbuh. Pada masa ini endometrium juga disiapkan untuk implantasi ovum yang telah dibuahi pada saat tertentu pada masa subur wanita (Guyton, 1997).
Perubahan ovarium selama siklus seksual bergantung seluruhnya pada hormon gonadotropik, FSH dan LH. Ketiga hormon ini nantinya akan berperan dalam perkembangan folikel primordial, menjadi foliker primer, folikel sekunder, folikel matang yang kemudian terjadi ovulasi (Guyton, 1997; Hanafiah, 1997; Wiknjosastro, 1997).

Tahap pertama perkembangan folikel dimulai dengan pertumbuhan sel ovum menjadi lebih besar. Kemudian diikuti dengan pertumbuhan lapisan granulosa tambahan, dan terbentuk folikel primer. FSH dapat mempercepat pertumbuhan 6-12 folikel tiap bulan. Sehingga sisa dari folikel yang bertumbuh namun tidak mengalami ovulasi ini akhirnya akan mengalami atresia (Guyton, 1997; Hanafiah, 1997).
Secara umum, siklus ovarium dimulai dengan pelepasan GnRH yang merangsang hipofisis anterior untuk mengeluarkan FSH dan LH. FSH kemudian akan merangsang folikel yang sudah matang untuk memproduksi estrogen(Hanafiah, 1997; Wiknjosastro, 1997; Guyton, 1997).
Estrogen mengakibatkan folikel menjadi lebih peka pada rangsangan FSH dan LH. LH akibat perangsangan estrogen memberikan efek tambahan pada rangsangan FSH dan mempercepat fase sekresi folikuler. Estrogen ternyata juga memiliki efek umpan balik negatif bagi FSH, sehingga pada kadar tertentu produksi FSH akan semakin ditekan hingga produksi estrogen sangat berkurang. Pada fase ini selain terjadi perkembangan folikel, dinding endometrium juga mengalami proliferasi dan menebal dengan sangat cepat (Guyton, 1997).
LH yang bekerja akan mengakibatkan kenaikan progesteron, dan terjadi fase sekresi. Kenaikan ini akan mengakibatkan ovulasi, dan ovum akan keluar dari folikel. Folikel yang tertinggal akan berubah menjadi korpus luteum yang kemudian mensekresikan estrogen dan progesteron. Pada fase ini juga masih terjadi perkembangan endometrium untuk mempersiapakan implantasi. Jika ovum tidak segera dibuahi maka 14 hari setelahnya akan terjadi menstruasi. Dinding endometrium yang tadinya disiapkan untuk implantasi ovum yang telah dibuahi, akan luruh bersama dengan pecahnya pembuluh darah di endometrium dan mengakibatkan perdarahan (Guyton, 1997; Hanafiah, 1997; Wiknjosastro, 1997).
Pada saat ovulasi, ovum yang lepas dari ovarium akan ditangkap oleh tuba uterina melalui fimbriae. Aliran arus yang diakibatkan silia tubae uterina menyebabkan ovum dapat ditangkap oleh fimbriae. Juga dapat terjadi sekalipun tubae uterina dipotong dan ovarium sisi berlawanan dipotong, ovum yang terlepas dari sisi ovarium yang berlawanan tetap dapat ditangkap tubae uterina dari sisi yang berlawanan (Guyton, 1997).
2. FISIOLOGI KEHAMILAN, NIDASI, PLASENTASI
Jutaan spermatozoon dikeluarkan di forniks vagina dan di sekitar portio pada waktu koitus. Hanya beberapa ratus ribu spermatozoon dapat meneruskan ke cavum uteri dan tuba, dan hanya beberapa ratus dapat sampai ke bagian ampulla tuba, di mana spermatozoon dapat memasuki ovum yang telah siap dibuahi (Wiknjosastro, 1997; Budianto, 2005).
Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung banyak asam amino dan enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi, maka pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan dengan lancar, dan dalam 3 hari hasil konsepsi berada pada stadium morula. Energi untuk pembelahan ini diperoleh dari vitellus, hingga volume vitellus berkurang dan seluruhnya diisi oleh morula. Hasil konsepsi ini kemudian diteruskan menuju cavum uteri. Dalam cavum uteri, hasil konsepsi mencapai stadium blastula (Wiknjosastro, 1997).
Pada stadium blastula ini sel-sel yang lebih kecil yang membentuk dinding blastula, akan menjadi trofoblas. Dengan demikian, blastula dikelilingi oleh trofoblas. Trofoblas memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel-sel desidua (perkembangan endometrium). Sehingga blastula dapat masuk dengan mudah ke dalam sel-sel desidua. Kadang-kadang pada saat nidasi yakni masuknya ovum ke dalam endometrium terjadi perdarahan akibat luka desidua (tanda Hartman) (Wiknjosastro, 1997).
Pada umumnya blastula masuk di endometrium dengan bagian dimana inner-cell mass berlokasi. Dikemukakan bahwa hal inilah yang menyebabkan tali pusat berpangkal sentral atau para sentral. Umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakan uterus, dekat pada fundus uteri. Jika nidasi ini terjadi barulah dapat disebut adanya kehamilan (Wiknjosastro, 1997).
Dalam tingkat nidasi trofoblas antara lain menghasilkan hormon human chorionic gonadotropin. Produksi hormon human chorionic gonadotropin meningkat sampai kurang lebih hari ke 60 kehamilan kemudian turun lagi. Diduga bahwa fungsinya adalah mempengaruhi korpus luteum untuk tumbuh terus, dan menghasilkan terus progesteron, sampai plasenta cukup membentuk progesteron sendiri. Hormon inilah yang khas menentukan ada tidaknya kehamilan. Hormon ini dapat ditemukan dalam urine wanita hamil (Wiknjosastro, 1997).
Umumnya plasenta lengkap terbentuk pada usia kehamilan 16 minggu. Letak plasenta seperti telah disebutkan sebelumnya umumnya di depan atau di belakang dinding uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri. Plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili koroalis bagian korion, dan sebagian kecil bagian ibu yaitu desidua basalis (Wiknjosastro, 1997).
Fungsi plasenta antara lain adalah: (1) sebagai alat yang memberi makanan pada janin, (2) sebagai alat yang mengeluarkan sisa-sisa metabolisme, (3) sebagai alat yang memberi zat asam, dan mengeluarkan CO2, (4) sebagai alat yang membentuk hormon, (5) sebagai alat menyalurkan berbagai antibodi ke janin. Perlu dikemukakan juga bahwa plasenta juga dapat dilewati bakteri, dan obat-obatan tertentu. Plasenta juga tempat pembuatan hormon-hormon tertentu, khususnya human chorionic gonadotropin, korionik somato-mammotropin (placental lactogen), estrogen dan progesteron. Korionik tirotropin dan relaksin juga dapat diisolasi dari jaringan plasenta (Wiknjosastro, 1997).
Kehamilan dapat memberikan beberapa tanda dan gejala. Diantaranya merupakan tanda dan gejala tidak pasti seperti amenore, nausea, mengidam, konstipasi/obstipasi, sering kencing, pingsan dan mudah lelah, anoreksia, pigmentasi kulit, leukore, epulis, perubahan payudara, pembesarah abdomen, kenaikkan suhu basal 37,2-37,80C dan tes kehamilan (hormon hCG). Sedangkan yang merupakan tanda pasti kehamilan pada palpasi dirasakan bagian janin dan ballotement serta gerakan janin, pada auskultasi didengar denyut janin, dengan USG didapatkan gambaran janin (Wiknjosastro, 1997; Mansjoer, 2001).


III. DISKUSI / BAHASAN
Kehamilan karena beberapa alasan bisa berakhir pada abortus. Abortus merupakan komplikasi tersering pada kehamilan, terjadi pada sekitar 15% jumlah kehamilan yang dilaporkan. Beberapa hal dapat mengakibatkan kenaikan risiko terjadinya aborsi, yaitu (1) dilihat dari terjadinya aborsi pada kehamilan sebelumnya (tabel 1), (2) 25-50% dari semua wanita yang pernah mengalami abortus spontan, 50% diantaranya diakibatkan kelainan kromosom, khususnya trisomi. Sehingga, risiko ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, (3) wanita berusisa 20-24 tahun memiliki risiko 9% untuk keguguran, untuk perempuan 45 tahun ke atas sekitar 75%, (4) keguguran yang berturut-turut pada usia subur, terjadi pada sekitar 1% pasangan
Tabel 1 : Risiko aborsi dilihat dari kasus aborsi sebelumnya
Tiap Kehamilan 11-15%
Setelah Keguguran pertama 12-24%
Setelah keguguran dua kali berturut-turut 19-35%
Setelah keguguran tiga kali berturut-turut 25-46%
(S. Pildner von Steinburg, K. T. M. Schneider, 2009)
Hal-hal yang dapat mengakibatkan abortus dapat dibagi sebagai berikut :
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
1) Kelainan kromosom
2) Lingkungan kurang sempurna
3) Pengaruh dari luar (radiasi, virus, obat, dll)
b. Kelainan pada plasenta
Endarteritis dapat terjadi dala villi korialis dan menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin. Keadaan ini dapat terjadi pada kehamilan muda, misalnya pada hipertensi menahun
c. Penyakit ibu
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, malaria, dll
d. Kelainan traktus genitalis
(Wiknjosastro, 1997; Mansjoer, 2001; Steinburg, Schneider, 2009)
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal ini menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi korialis belum menembus desidua basalis secara mendalam. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu villi korialis menembus desidua basalis lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna dan dapat mengakibatkan banyak perdarahan. Pada kehamilan di atas 14 minggu, biasanya janin dikeluarkan dan perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas (Wiknjosastro, 1997).
Secara klinik dapat dibedakan antara abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkompetus, abortus kompletus. Dikenal pula abortus servikalis, missed abortion, abortus habitualis, dan abortus septik (Mansjoer, 2001).
Abortus imminens adalah terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan dibawah 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih di dalam uterus, tanpa disertai dilatasi serviks. Pada kondisi ini serviks tidak mengalami pembukaan, tes kehamilan positif, uterus membesar sesuai kehamilan dan perdarahan melalui ostium uteri eksternum. Hal ini disebabkan oleh penembusan villi korialis ke dalam desidua, pada saat implantasi ovum. Penanganan abortus imminens yang terutama adalah tirah baring, karena cara ini akan meningkatkan aliran darah ke uterus sehingga rangsangan mekanik menjadi berkurang. Cara ini juga memungkinkan plasenta untuk melekat ke dalam uterus, sehingga tirah baring penting untuk usaha penyelamatan janin (Wiknjosastro, 1997).
Abortus Insipiens adalah perdarahan uterus pada kehamilan dibawah 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa muler terjadi lebih sering dan hebat, perdarahan bertambah. Pengeluaran hasil konsepsi dapat dilaksanakan dengan kuret vakum atau cunam ovum, disusul dengan kerokan. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu biasanya perdarahan tidak banyak dan bahaya perforasi pada kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus dipercepat dengan pemberian infus oksitosin. Apabila janin sudah keluar namun plasenta masih tertinggal, dapat dilakukan pengeluaran plasenta secara digital (Wiknjosastro, 1997).
Abortus inkompletus adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal di dalam uterus. Pada pemeriksaan dalam, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam cavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum. Perdarahan dapat banyak sekali, sehingga menyebabkan syok. Perdarahan tidak akan berhenti sampai sisa hasil konsepsi dikeluarkan seluruhnya. Jika terjadi syok dapat diatasi dengan infus cairan NaCl fisiologik kemudian atau cairan ringer lactat yang disusul dengan transfusi. Setelah syok diatasi dapat dilakukan kerokan. Pasca tindakan disuntikkan intramuskuler ergometrin untuk mempertahankan kontraksi uterus (Wiknjosastro, 1997).
Pada abortus kompletus semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil (Wiknjosastro, 1997).
Pada abortus servikalis keluarnya hasil konsepsi dalam uterus dihalangi oleh ostium uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga semuanya terkumpul dalam kanalis servikalis dan serviks uteri menjadi besar. Pada pemeriksaan ditemukan serviks membesar dan di atas sotium uteri eksternum dapat teraba jaringan (Wiknjosastro, 1997).
Missed abortion adalah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Etioligi missed abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormon progesteron. Pemakaian hormon progesteron pada abortus imminens mungkin juga menyebabkan missed abortion (Wiknjosastro, 1997).
Abortus infeksiosus adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedang abortus septik ialah abortus infeksiosus berat disertai penyebaran kuman atau toksin ke dalam perdaran darah atau peritoneum. Umumnya infeksi terjadi pada desidua (Wiknjosastro, 1997).
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih berturut-turut. Penyebab kelainan yang mengakibatkan abortus habitualis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok : anatomis, infeksi, endokrin, genetik, imunologis, trompofilik. Lingkungan juga dapat mempengaruhi seperti konsumsi alkohol, kafein, kokain, merokok. Sekitar 25-40% abortus habitualis spontan tidak tiketahui etiologinya (Wiknjosastro,1997; Steinburg., Schneider, 2009).
Kelainan endokrin yang menjadi penyebab abortus habitualis masih banyak diselidiki. Misalnya pada kasus diabetes, pada wanita dengan kadar gula darah dan glycoslated hemoglobin yang tinggi pada trimester pertama, risiko aborsi naik dengan signifikan. Antibodi tiroid, khususnya tyroperoxidase (TPO) antibodi, berhubungan dengan aborsi (Steinburg., Schneider, 2009).
Kehamilan seperti tantangan yang tidak biasa bagi sistem imun ibu mengijinkan fetus berkembang. Pada penelitian baru-baru ini disebutkan, ada hubungan antara sistem imun ibu dan antigen fetus yang membuat sistem imun ibu tidak responsif terhadap antigen fetus. Sel NK pada lamina mukosa uterus berhubungan dengan immunotolerance pada antigen janin, dan telah banyak dihipotesiskan bahwa gangguan pada sistem immunoteolerance ini dapat berakibat pada abortus habitualis spontan, tetapi mekanismenya belum sepenuhnya dipahami (Steinburg., Schneider, 2009).



IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dilihat dari gejalanya pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami abortus.
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis.
3. Abortus merupakan komplikasi tersering kehamilan
4. Tindakan penyelamatan janin pada kasus ini dilakukan dengan tirah baring

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kehamilan, dalam hal ini pada kasus-kasus abortus. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat.

V. DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer., et. al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. pp : 253-254; 260-265
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 220-235
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. p: 5
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 1283-1289
Hanafiah, Jusuf, M. 1997. Haid dan Siklusnya. Dalam : Ilmu Kandungan Edisi 2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :103-120
Wibowo, Budiono., Wiknjosastro, Gulardi H. 1997. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :302-320
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Anatomi Alat Kandungan. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :31-44
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Fisiologi Haid. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :45-54
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Pembuahan, Nidasi dan Plasentasi. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :55-65
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Plasenta dan Likuor Amnii. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :66-70
Wiknjosastro, Hanifa. 1997. Diagnosis Kehamilan. Dalam : Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp :125-131
S. Pildner von Steinburg, K. T. M. Schneider. 2009. Recurrent Spontaneous Abortions – An Update on Diagnosis and Management. http://www.nature.com/oby/journal/v10/n6/full/oby200274a.html (20 Mei, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign