Rabu, 24 Desember 2008

Stroke Iskemik

TINJAUAN ATAS MEKANISME STROKE ISKEMIK

I. PENDAHULUAN

i. LATAR BELAKANG

Skenario:

KELEMAHAN ANGGOTA GERAK

Seorang laki-laki umur 48 tahun diantar oleh istri dan anaknya ke Instalasi Rawat Darurat RSU oleh karena sakitnya. Diceritakan oleh istrinya bahwa dua hari yang lalu penderita tiba-tiba sulit bicara dan kemudian sembuh sendiri tanpa pertolongan dokter. Tadi pagi, setelah bangun tidur yaitu kurang lebih 8 jam sebelum masuk rumah sakit tiba-tiba penderita terjatuh, dikatakan bahwa anggota gerak sebelah kanan terasa kesemutan, tidak bisa digerakkan dan bicara pelo. Tidak ada riwayat nyeri kepala, penurunan kesadaran maupun muntah.

Penderita mempunyai riwayat penyakit serupa kurang lebih satu tahun yang lalu dan mondok selama satu minggu. Diceritakan juga oleh istrinya bahwa setelah mondok, penderita sering lupa terhadap nama anaknya dan sering berulang-ulang menanyakan hal-hal yang sama padahal sudah dijawab pertanyaan tersebut.

Kurang lebih sudah empat tahun penderita secara teratur kontrol di Puskesmas dan oleh dokter diberi obat untuk tekanan darah tinggi. Dokter Puskesmas tersebut selalu menasihati pada penderita tersebut untuk berhenti merokok, tetapi tidak pernah diindahkannya. Penderita memiliki kegemaran makan makanan berlemak dan kurang olahraga.

Penderita disarankan untuk rawat inap untuk mendapatkan perawatan, pengobatan dan pemulihan anggota geraknya. Pasien setuju untuk dirawat inap dan dia mempertanyakan apakah dia bisa sembuh kembali.

Dalam setiap gerakan voluntar normal, diperlukan koordinasi dari sistem saraf pusat, neuron-neuron yang menghantarkan impuls serta dari otot sendiri. Jika kegiatan kooperasi antara otot-otot itu ditinjau dari mekanisme neuronal, maka hanya kegiatan otot-otot agonis saja direalisasi atas kedatangan impuls dari korteks motorik primer. Sedangkan kegiatan otot-otot antagonis, sinergis dan fiksator diatur secara reflektorik segmental di bawah pengarahan serebelum atas tanggapannya terhadap impuls proprioseptif.

Jika terjadi gangguan pada otot, neuron atau sistem saraf pusat maka dapat terjadi gangguan terhadap gerakan otot voluntar. Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf disebut lesi. Lesi dapat diakibatkan oleh perdarahan, trombosis atau embolisasi, peradangan, degenerasi dan penekanan oleh proses desak ruang dan sebagainya. Suatu lesi yang melumpuhkan fungsi kawasan yang didudukinya dikenal sebagai lesi paralitik sebagai tandingan dari lesi iritatif, yaitu lesi yang merangsang daerah yang didudukinya.

ii. RUMUSAN MASALAH

  1. Hubungan kebiasaan pasien, riwayat penyakit dahulu dengan kondisi sekarang?
  2. Mekanisme kelemahan anggota gerak pada pasien?
  3. Faktor risiko dan prognosis penyakit yang diderita pasien?

iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

  1. Menjelaskan mekanisme terjadinya stroke iskemik.
  2. Mengetahui prognosis dan faktor risiko stroke iskemik.
  3. Mengetahui gejala dan tanda stroke iskemik.

II. STUDI PUSTAKA

Timbulnya gangguan pada gerakan voluntar terjadi bilamana salah satu komponen dari susunan neuromuskuler tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Berdasarkan komponen susunan neuromuskuler mana yang terkena lesi, maka gangguan gerakan voluntar itu dapat berupa:

  1. Kelumpuhan, yaitu hilangnya tonus otot sehingga gerakan voluntar sukar atau sama sekali tidak bisa dilakukan akibat lesi di:

a. Susunan piramidal

b. ‘final common path

c. ‘motor end plate’

d. otot

  1. Hilangnya ketangkasan gerakan voluntar (namun dengan utuhnya tenaga muskular) akibat lesi di susunan ekstrapiramidal, yaitu di:

a. ganglia basalia

b. serebelum

Penyakit yang timbul akibat lesi vaskular di susunan saraf merupakan penyebab kematian nomor dalam urutan daftar kematian di Amerika Serikat. Sebagai masalah kesehatan masyarakat, penyakit ini juga merupakan penyebab utama kecacatan(Price, 2006).

Lesi vaskular di susunan saraf dapat terjadi pada otak, batang otak atau mungkin medula spinalis. Penyakit dengan lesi vaskular di otak dikenal dengan nama CVD (cerebral vascular disease). CVD ini memiliki manifestasi klinis yang lebih kita kenal sebagai “stroke” (Anderson, 2002).

Stroke dalam bahasa Inggris berarti serangan, dalam dunia medis stroke berarti serangan mendadak dan berat karena gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologik akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi darah otak (Mardjono, 2008).

Stroke dibagi menjadi dua, stroke hemoragik dan non hemoragik. Stroke hemoragik diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro aneurisma dari Charcot atau etat crible di otak. Dibedakan diantara: perdarahan intraserebral, subdural dan subaraknoid. Stroke ini merupakan sekitar 20% dari semua stroke (Mardjono, 2008).

Perdarahan dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur-struktur saraf di dalam tengkorak. Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan spontan ataupun traumatik. Mekanisme terjadinya iskemia dibagi menjadi dua. Pertama, tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah dalam tengkorak yang volumenya tetap. Kedua, terjadi vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh darah yang terpajan ke darah bebas di dalam ruang antara lapisan araknoid dan pia mater menings. Biasanya stroke hemoragik terjadi secara akut dan menyebabkan kerusakan fungsi otak serta penurunan kesadaran. Jika perdarahan terjadi lambat, kemungkinan pasien akan mengalami nyeri kepala hebat (Mardjono, 208).

Stroke non hemoragik atau stroke iskemik pada dasarnya diakibatkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis arteri otak atau yang mevaskularisasi otak atau suatu emboli dari arteri di luar otak yang kemudian tersangkut di arteri otak. Stroke jenis ini merupakan 80% dari semua stroke (Price, 2006).

Sumbatan pada arteria karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang yang berusia lebih lanjut, yang sering mengalami pembentukkan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga terjadi penyepitan atau stenosis. Pangkal arteria karotis interna (tempat arteria karotis komunis bercabang menjadi arteria karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya arterosklerosis. Aterosklerosis arteria serebri media dan anterior lebih jarang terjadi. Darah terdorong melalui sistem vaskular oleh gradien tekanan, tetapi pada pembuluh darah yang menyempit, aliran darah yang lebih cepat pada lumen yang lebih kecil akan menurunkan gradien tekanan di tempat konstriksi tersebut. Apabila stenosis mencapai suatu tingkat kritis tertentu, maka meningkatnya turbulensi di sekitar penyumbatan akan mengakibatkan penurunan tajam kecepatan aliran. Penyebab lain stroke ini adalah vasospasme, yang sering merupakan respon vaskular reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan pia mater meningen. Sebagian besar stroke iskemik tidak menimbulkan nyeri, karena jaringan otak tidak peka terhadap nyeri. Namun pada pembuluh darah besar di leher dan batang otak memiliki banyak reseptor nyeri, dan cedera pada pembuluh-pembuluh darah ini saat serangan iskemik dapat mengakibatkan nyeri kepala (Mardjono, 2008).

Gejala umum stroke bisa berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau tungkai, terutama di salah satu sisi tubuh. Karena lesi vaskular regional di otak timbullah gejala hemiparalisis atau hemiparesis yang kontralateral terhadap sisi lesi. Ini disebabkan karena adanya persilangan saraf pada decusatio pyramidal sehingga gangguan pada hemisfer kiri akan mengakibatkan gangguan pada tubuh sebelah kanan dan begitu juga sebaliknya. Jika gangguan terletak pada batang otak sesisi maka terjadi hemiparesis atau hemiparestesi alternans. Yaitu pada tingkatan lesi hemiparesis atau hemiparestesi bersifat ipsilateral sedangkan distal dari lesi bersifat kontralateral. Gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata; bingung mendadak; tersandung selagi berjalan, pusing bergoyang, hilangnya keseimbangan atau koordinasi, dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas juga merupakan tanda-tanda stroke. Secara umum gejala bergantung pada besar dan letak lesi pada otak, yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut (Martono, 2007).

III. DISKUSI / BAHASAN

Setelah umur 50 tahun terdapat kecenderungan arteri-arteri serebral kecil mengalami proses aterosklerosis. Sehingga pada pasien yang telah berusia 48 tahun terdapat predisposisi untuk mengalami aterosklerosis. Aterosklerosis menyebabkan plak yang dapat menutup 80-90% lumen arteri. Arteri-arteri yang mengalami plak cenderung mengalami trombosis karena intima arteri sudah rusak dan lumen arteri sudah sempit. Pada keadaan ini terjadi turbulensi yang mudah mengakibatkan trombus. Trombus yang terbentuk dapat terlepas dan mengakibatkan embolisasi (Mardjono, 2008).

Dua hari yang lalu pasien tiba-tiba sulit bicara dan kemudian sembuh sendiri. Pada otak terdapat arteri-arteri kolateral yang akan saling mengkompensasi kekurangan oksigen jika terjadi oklusi arteri pada salah satu sisi. Sehingga jika terjadi oklusi arteri pada satu sisi maka kerusakan tidak akan terjadi kerusakan terlalu parah karena sirkulasi kolateral akan mengkompensasi kekurangan oksigen. Namun sampai arteri kolateral dapat mengkompensasi kekurangan oksigen tetap terjadi keluhan tergantung area yang mengalami kekurangan oksigen. Tetapi jika terjadi pada daerah-daerah yang kurang memiliki sirkulasi kolateral maka kerusakan yang terjadi permanen karena sel saraf tidak dapat beregenerasi. Serangan iskemik transien (TIA) adalah defisit neurologik mendadak dan singkat akibat iskemi otak fokal yang kembali membaik kurang dari 24 jam (Price, 2006).

Di dalam otak juga terdapat faktor yang mempengaruhi perdarahan regional yang dinamakan autoregulasi otak. Pembuluh serebral menyesuaikan lumennya pada ruang lingkupnya. Apabila tekanan intraluminal meninggi maka arteri mengalami konstriksi dan arteri pada perifer mengalami dilatasi sehingga aliran darah yang mengalir pada otak tetap relatif konstan. Begitu juga sebaliknya, jika tekanan intraluminal menurun maka arteri mengalami dilatasi dan arteri perifer mengalami konstriki sehingga pengaliran darah lebih diutamakan pada organ-organ vital tubuh (Mardjono, 2008).

Faktor-faktor biokimiawi regional juga mempengaruhi lumen arteri serebral. Dalam lingkungan dengan CO2 tinggi, arteri serebral berdilatasi dan CBF(Cerebral Blood Flow) bertambah karena resistensi vaskular menurun. Jika kadar CO2 menurun misalnya saat hiperventilasi, arteri serebral menyempit dan CBF cepat menurun (Mardjono, 2008).

Iskemia serebri regional akibat stenosis salah satu arteri, namun yang tidak disertai dengan kemunduran metabolismenya akan menghasilkan peningkatan PCO2­ regional, yang akan membangkitkan vasodilatasi di arteri-arteri kolateral dan menggiatkan sirkulasi kolateral. Akan tetapi apabila iskemia melumpuhkan metabolisme regional, mekanisme untuk mengadakan peningkatan sirkulasi kolateral tidak dapat beroperasi lagi. Pada iskemi serebral yang bersifat regional akibat penyumbatan arteri, CO2 tertimbun di dalam daerah iskemik dan PO2 regional menurun. Keadaan ini menggiatkan sirkulasi kolateral untuk meningkatkan CBF daerah yang iskemik itu (Mardjono, 2008).

Pada daerah iskemik didapati tekanan perfusi yang rendah, PO2 menurun serta tertimbunnya asam laktat dan CO2. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat daerah iskemik itu tetap tidak dapat diselamatkan oleh mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Mekanisme autoregulasi sendiri akan berkurang seiring dengan usia. Baroreseptor pada arteri juga akan rusak pada plak aterosklerosis sehingga akan mempersulit mekanisme kompensatorik pada daerah iskemi (Mardjono, 2008).

Selain kompensasi melalui autoregulasi, kompensasi juga bisa dilakukan dengan meninggikan tekanan perfusi untuk mengkompensasi arteri serebral yang sudah menyempit. Ambang kritis tekanan perfusi daerah tersebut lebih tinggi dari daerah otak lainnya yang tidak mengalami trombosis parsial. Pada adanya kecenderungan hipotensi seperti yang sering dijumpai pada orang tua dengan arterosklerosis, penderita penyakit jantung dengan aritmia dan heart block serta hipotensi ortostatik akibat obat antihipertensi jenis blokade ganglion, maka tekanan perfusi dapat menurun melewati ambang kritis sehingga CBF regional tidak dapat memenuhin kebutuhan daerah itu (Mardjono, 2008).

Pada penyumbatan arteri serebral maka tiap tindakan yang dapat menimbulkan vasodilatasi serebral, seperti inhalasi CO2 atau pemberian obat vasodilator akan memperbesar CBF daerah otak yang sehat namun menyedot darah dari daerah yang iskemik. Inilah keadaan yang dinamakan steal syndrome. Tetapi bila vasokonstriksi serebral diadakan dengan jalan hiperventilasi misalnya, maka darah dari bagian otak yang sehat akan diterima secara pasif oleh pembuluh darah di dalam daerah iskemik itu. Oleh karena itu di situ terdapat vasoparalisis yang berarti bahwa resistensi vaskularnya minimal. Fenomenom ini dinamakan inverse steal syndrome (Mardjono, 2008).

Penderita mengalami keluhan setelah bangun tidur. Dapat disebabkan karena saat tidur, pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun sehingga memungkinkan untuk terjadinya trombosis pembuluh besar dengan aliran darah lambat (Price, 2006).

Tiba-tiba penderita terjatuh, kesemutan pada sebelah kanan tubuh dan bicara pelo. Jika terjadi oklusi pada arteri dan menyebabkan lesi pada hemisfer sebelah kiri maka dapat terjadi kelumpuhan pada bagian tubuh sebelah kanan, begitu juga sebaliknya. Jika gangguan terdapat pada upper motoneuron akibat lesi di otak maka terjadi hemiplegia atau hemiparesis. Jika gangguan terdapat pada batang otak daerah susunan piramidal maka terjadi hemiplegia alternans. Lesis sesisi pada atau hemilesi yang terjadi pada otak jarang dijumpai di medula spinalis, sehingga kelumpuhan upper motoneuron akibat lesi di medula spinalis umumnya berupa tetraplegia atau paraplegia. Lesi juga mungkin terjadi pada lower motoneuron akibat kerusakan pada final common path, motor end plate, dan otot. Kelumpuhan juga mungkin terjadi pada otot penderita. Gangguan yang terdapat pada saraf atau otot akan mengganggu sistem duromuskuler dan menakibatkan kelumpuhan. Kelumpuhan pada otot lidah atau gangguan kerja sama antara bibir, pita suara, dan otot-otot masseter akan menyebabkan penderita mengalami disartria misalnya pada paralisis bulbaris. Lesi pada korteks mempunyai gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak sisi. Hilangnya sensasi kortikal (stereognosis, diskriminasi dua titik) ambang sensorik yang bervariasi. Kurang perhatian terhadap rangsangan sensorik, dan mungkin juga mengganggu bicara dan penglihatan. Lesi pada kapsula mengenai daerah kontralateral yang lebih luas, sensasi primer menghilang, dan juga mengganggu bicara dan penglihatan. Lesi di batang otak juga mengakibatkan kelumpuhan kontralateral yang luas, mengenai saraf kepala sesisi dengan letak lesi (III-IV otak tengah), (V,VI,VII dan VIII di pons), (IX,X,XI,XII di medula) (Martono, 2007).

Jika kerusakan terjadi pada otak sebelah kiri maka akan terjadi paralisis sisi kanan tubuh. Serta terjadi defisit bahasa-bicara, dengan tipe perilaku hati-hati lambat dan defisit ingatan (bahasa). Jika kerusakan terjadi pada otak sebelah kanan maka akan terjadi paralisis sisi kiri tubuh. Disertai defisit persepsi bicara dengan tipe perilaku impulsif cepat dan defisit ingatan (tampilan) (Martono, 2007).

Penderita ternyata juga menderita keluhan yang sama satu tahun yang lalu dan kemudian sering lupa. Ini berarti juga penderita telah beberapa kali mengalami TIA yang juga bisa menjadi tanda akan terjadinya infark serebrum di masa mendatang. Penderita juga mengalami gangguan kualitas kesadaran berupa gangguan memori. Pada demensia terjadi gangguan daya kognitif global serta gangguan fungsi luhur oleh karena metabolisme neuron-neuron kedua belah hemisferium tertekan atau dilumpuhkan oleh berbagai sebab. Demensia tidak disertai gangguan derajat kesadaran namun bergandengan dengan perubahan tabiat yang dapat berkembang secara mendadak atau sedikit demi sedikit pada setiap orang dari semua golongan usia. Tidak demikian halnya dengan amnesia, pada amnesia gangguan ingatan tidak disertai dengan gangguan kognitif (Mardjono, 2008).

Tekanan darah tinggi, merokok, makanan berlemak dan kurang olahraga akan menaikkan risiko untuk arterosklerosis. Rokok akan menaikkan kadar fibrinogen yang mengakibatkan penyempitan arteri. LDL teroksidasi yang masuk ke dalam lapisan subendotel juga mengakibatkan arterosklerosis (Mardjono, 2008).

IV. KESIMPULAN

1) Stroke iskemik diakibatkan oleh oklusi pembuluh darah serebral yang kerusakannya tidak terkompensasi oleh mekanisme kompensatorik.

2) Jika sudah terjadi kematian sel saraf maka kerusakannya irreversibel.

3) Aterosklerosis dapat menyebabkan trombus yang kemudian menyebabkan embolisasi arteri serebral.

4) Hipertensi, merokok, makan makanan berlemak dan kurang olahraga menaikkan faktor risiko terkena serangan stroke.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign