Sabtu, 11 April 2009

TINJAUAN ATAS GAGAL JANTUNG HIPERTENSIF

TINJAUAN ATAS GAGAL JANTUNG HIPERTENSIF





I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO III
Seorang laki-laki umur 54 tahun, datang ke RS dengan keluhan sesak napas kumat-kumatan sejak satu bulan yang lalu, memberat sejak satu minggu terakhir. Sesak napas dirasakan timbul saat aktivitas ringan dan mau tidur, disertai batuk berdahak warna merah muda, berdebar-debar, sukar tidur, kencing berkurang, kedua kaki tidak membengkak. Satu tahun yang lalu, pernah dirawat di rumah sakit karena menderita sakit serupa. Kemudian setelah diberi obat-obatan dan istirahat di rumah sakit, keadaannya membaik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: tekanan darah 180/100 mmHg, heart rate 120x/menit, regular, respirasi rate 32x/menit, suhu badan 36,5°C, JVP tidak meningkat. Inspeksi menunjukkan dinding dada simetris, ictus cordis bergeser ke lateral bawah. Palpasi: ictus cordis bergeser ke lateral bawah, batas jantung kanan SIC V parasternal kanan. Auskultasi: bunyi jantung I intensitas meningkat, bunyi jantung II normal, terdapat bising pansistolik di apek menjalar ke lateral, irama gallop positif. Pemeriksaan paru didapatkan vesikuler normal, ronkhi basa basal halus. Pemeriksaan abdomen: tidak didapatkan hepatomegali, tidak ada ascites.
Pemeriksaan laboratorium kadar Hb: 14 gr/dl, serum ureum: 65, serum kreatinin: 1,4. Pemeriksaan EKG didapatkan Left Atrial Hipertrophy dan Left Ventricel Hipertrophy. Foto thorak tampak kardiomegali dengan CTR 0,60, apeks bergeser ke lateral bawah, pinggang jantung menonjol, vaskularisasi paru meningkat. Pada pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan asidosis metabolis terkompensasi.
Hipertensi dikenal sebagai salah satu pembunuh utama di Amerika serikat. Sekitar 25% penduduk dewasa menderita hipertensi. Di Indonesia sendiri prevalensi hipertensi berkisar antara 5-10%, sedangkan tercatat pada 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia (Panggabean, 2006; Brown, 2005)
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat bergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35% (Panggabean, 2006).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi jantung?
2. Fisiologi pengaturan tekanan darah?
3. Klasifikasi gagal jantung?
4. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari gagal jantung hipertensif?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer dalam bidang kardiologi.
b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan jantung yang diakibatkan gagal jantung.
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang gagal jantung hipertensif dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan bidang kardiologi, baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI JANTUNG
Sebelum membahas tentang penyakit jantung hipertensif, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami tentang anatomi dan fisiologi jantung. Jantung atau cor terletak di mediastinum medium. Cor dibagi menjadi dua ke dalam bagian kanan dan kiri oleh septum longitudinal yang berjalan miring. Masing-masing bagian terdiri dari ruangan yang disebut atrium, yang menerima darah dari vena dan suatu kamar yang disebut ventriculus, yang mendorong darah masuk ke dalam arteri. Cor terletak lebih ke arah kiri dari linea mediana. Pada manusia yang masih hidup, axisnya membentang ke arah postero-anterior dan ke kiri dan bawah (Hadiwidjaja, 2002).
Dinding cor dilapisi oleh pericardium yang terdiri dari dua lapisan: pericarium visceralis dan pericardium parietalis. Kedua lapisan ini dilapisi oleh pelumas sehingga mengurangi gesekan akibat pompa jantung (Price, 2005). Lamina visceralis pericardium biasa juga disebut sebagai epicardium. Arteria coronaria yang memvaskularisasi cor terdapat di epicardium sebelum memasuki myocardium (Hadiwidjaja, 2002).
Myocardium terdiri atas otot lurik dengan diskus interkalatus. Jaringan otot pada ventriculus cordis sinister lebih tebal dari ventriculus cordis dexter, sedangkan lapisan paling tipis terdapat pada atrium cordis sinistrum (Budianto, 2005). Modifikasi myocardium membentuk sistem automatisasi cor yang terdiri atas:
1. Nodus sinoauricularis (SA Node) merupakan pacemaker
2. Nodus atrioventricularis
3. Berkas His
4. Crus dextrum dan sinistrum
Endocardium merupakan lapisan terdalam yang halus mengkilat pada cor. Lapisan ini tersusun atas endothel dan jaringan pengikat subendothelial (Hadiwidjaja, 2002).
Basis cor terletak di sebelah superior dan terbentuk oleh atrium. Vena cava superior dan inferior serta vv.pulmonales masuk cor melalui basis. Septum interatriale terkadang diindikasikan sebagai alur tipis di basis, tepat di sebelah kanan vv.pulmonales dexter (Hadiwidjaja, 2002). Pada septum interatriale ini terdapat fossa ovalis yang dibatasi oleh limbus ovalis. Fosa ovalis merupakan obliterasi dari foramen ovale pada waktu lahir (Budianto, 2005).
Di sebelah kanan dan lateral dinding atrium dextrum ada alur kecil, membentang dari ventral muara vena cava superior menuju ke sebelah kana vena cava inferior. Alur ini disebut sulcus terminalis, dapat merupakan petunjuk letak dari crista terminalis, yang menonjol ke rongga atrium dextrum. Bagian cranial sulcus terminalis ditempati oleh SA node (Hadiwidjaja, 2002). Serabut-serabutnya berjalan ke AV node yang terletak di endocardium septum interatriorum dekat muara sinus koronaria. Kemudian bercabang menjadi crus dextrum dan sinistrum. Crus dextrum berjalan ke caudal dalam endocardium bercabang-cabang dan berakhir pada mm.papillares ventriculus cordis dexter. Kadang ada serabut yang berjalan bersama dengan crus dextrum menuju ke m.papillaris anterior yang kita sebut dengan moderator band (DeBeasi, 2005).
Pada daerah perbatasan atrium dan ventrikel dextrum dilengkapi dengan valva tricuspidalis yang memiliki tiga cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Katup mitralis merupakan pemisah antara atrium dan ventrikel sinister yang memiliki dua cuspis (Hadiwidjaja, 2002). Kedua katup ini tertambat melalui berkas-berkas tipis yang disebut korda tendinea. Korda tendinea akan meluas menjadi m.papillaris. Korda tendinea menyokong katup pada waktu kontraksi ventrikel agar saat ventrikel berkontraksi katup tidak kembali ke atrium (DeBeasi, 2005).
Katup aorta terletak antara ventrikel sinister dan aorta, sedangkan katup pulmonalis terletak antara arteria pulmonalis dan ventrikel dexter. Katup semilunaris ini mencegah agar aliran kembali darah dari aorta atau arteria pulmonalis ke dalam ventrikel dalam keadaan istirahat (DeBeasi, 2005).
Skeleton cordis tersusun atas jaringan fibrosa mengelilingi ostium atrioventriculare dan ostium semilunaris, tempat perlekatan valvula dan otot jantung. Jadi termasuk dalam skeleton cordis ini adalah: anuli fibrosi cordis, trigonum fibrosum dexter dan sinistrum, pars membranacea septum interventriculare dan tendo infundibuli (Hadiwidjaja, 2002).
Jantung mendapat vaskularisasi dari sistem sirkulasi koroner. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan epicardium jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke myocardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil (DeBeasi, 2005).
B. FISIOLOGI PENGATURAN TEKANAN DARAH
Sistem pengaturan tekanan darah dilakukan oleh beberapa mekanisme tubuh. Mekanisme ini dengan sangat ketat melakukan pengawasan terhadap perubahan-perubahan tekanan darah. Berikut ini akan dibahas pengaturan tekanan darah oleh sistem RAA.
Fungsi pengaturan dan pengawasan tekanan darah oleh sistem RAA (Renin-Angiotensis Aldosteron) dilakukan di ginjal. Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin dalam sel-sel jukstaglomerular (Sel JG) pada ginjal. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik dalam ginjal itu sendiri menyebabkan banyak molekul protein dalam sel JG terurai dan melepaskan renin (Guyton, 1997).
Renin adalah enzim dan bukan bahan vasoaktif. Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, suatu globulin yang disebut angiotensin untuk melepaskan peptida yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor ringan tetapi tidak cukup untuk mengakibatkan perubaha fungsional yang bermakana dalam sirkulasi (Guyton, 1997).
Setelah pembentukkan angiotensin I, endotelium pembuluh paru mengeluarkan suatu enzim yang disebut angiotensin converting enzyme untuk mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin terutama mengakibatkan vasokonstriksi arteriol dan lebih lemah pada vena. Konstiksi pada arteriol ini akan menaikkan tahanan perifer yang juga akan menaikkan tekanan darah (Guyton, 1997).
Angiotensin juga menurunkan ekskresi garam dan air. Ini akan memperlambat kenaikkan cairan ekstrasel, yang kemudian akan menaikkan tekanan arteri. Efek jangka panjang ini, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokostriktor akut yang akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal (Guyton, 1997).
Masih terdapat beberapa mekanisme pengaturan lainnya, baik yang berlangsung cepat maupun lebih lambat. Mekanisme baroreseptor, mekanisme iskemis sistem saraf pusat, mekanisme kemoreseptor adalah beberapa contoh mekanisme yang terjadi dalam beberapa detik atau menit. Mekanisme selanjutnya yang bekerja lebih lambat adalah mekanisme vasokonstriksi RAA, vaskularisasi dari relaksasi stress, pergeseran cairan melelui dinding kapiler ke dalam dan keluar dari sirkulasi untuk menyesuaikan kembali volume darah sebagaimana yang dibutuhkan. Untuk jangka panjang digunakan mekanisme tekanan darah yang diatur oleh ginjal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Guyton, 1997).


III. DISKUSI / BAHASAN
Mekanisme-mekanisme pengawasan tekanan darah dengan begitu ketat membantu supaya jika terjadi kelainan, mekanisme-mekanisme ini akan mengembalikan tekanan darah ke keadaan normal. Tetapi pada kasus-kasus hipertensi primer, terjadi kelainan sehingga mekanisme pengawasan ini tidak mengembalikan tekanan darah ke keadaan normal. Sehinnga tekanan darah tetap dipertahankan tinggi yang nantinya akan mengakibatkan gangguan yang serius.





Klasifikasi hipertensi

Table 241-1 Blood Pressure Classification


Blood Pressure Classification Systolic, mmHg Diastolic, mmHg
Normal <120 and <80
Prehypertension 120–139 or 80–89
Stage 1 hypertension 140–159 or 90–99
Stage 2 hypertension 160
or 100

Isolated systolic hypertension 140
and <90


Source: Adapted from Chobanian et al.

Hipertensi menaikkan risiko penyakit kardivaskuler dua kali lipat, termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke iskemik dan hemoragik, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer. Hipertensi muncul di semua kalangan dan bagian kecuali pada sedikit orang yang hidup primitif dan kebudayaan yang terisolasi (Fauci et. al., 2008).
Dengan penanganan yang adekuat dan pemberian obat anti hipertensi sebenarnya dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. Namun pada beberapa orang kelainan ini tetap sulit ditangani dan akhirnya menjadi hipertensi yang tidak terkendali. Hipertensi yang tidak terkendali ini pada akhirnya dapat berakibat buruk pada organ-organ target, misalnya ginjal, otak, mata, jantung, aorta dan pembuluh darah tepi. Penyulit pada keadaan ini dapat berupa hipertrofi otot jantung dan juga terjadi aterosklerosis koroner (Basha, 2003).
Penyulit utama pada penyakit jantung hipertensif adalah hipertrofi ventrikel kiri yang terjadi sebagai akibat langsung dari peningkatan bertahap tahanan pembuluh darah perifer dan beban akhir ventrikel kiri. Faktor yang menentukan hipertrofi ventrikel kiri adalah derajat dan lamanya peningkatan diastol. Pengaruh beberapa faktor humoral seperti rangsangan simpato-adrenal yang meningkat dan peningkatan aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron belum diketahui, mungkin hanya sebagai penunjang saja dalam peningkatan beban akhir ventrikel kiri. Pengaruh faktor genetik disini lebih jelas. Fungsi pompa ventrikel kiri selama hipertensi berhubungan erat dengan penyebab hipertrofi dan terjadinya aterosklerosis koroner. Pada dasarnya kedua faktor ini saling mempengaruhi (Basha, 2003).
Setelah proses kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri ini berlangsung terlalu lama, akhirnya kemampuan ventrikel kiri untuk mempertahankan curah jantung akhirnya terlampaui. Terjadi dilatasi dan payah jantung, jantung menjadi semakin terancam oleh semakin parahnya aterosklerosis koroner. Bila proses ateroskelosis berlanjut, penyediaan oksigen menuju miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan oksigen pada miokardium terjadi akbiat hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya akan mengakibatkan angina atau infark miokardium atau gagal jantung (Brown, 2005).
Gagal jantung yang diakibatkan oleh hipertensi dapat mengenai sisi kiri jantung. Gagal jantung kiri dapat terjadi mengingat kompensasi yang dilakukan oleh jantung berupa hipertrofi ventrikel kiri sudah tidak mampu mempertahankan curah jantung. Gagal jantung akan memberikan gambaran mudah lelah, sesak napas, edema yang jika tidak ditangani dengan baik akan menurunkan kualitas dan harapan hidup penderita (Fauci et. al., 2008).
Gagal jantung merupakan penyakit yang berjalan progresif yang dapat dipicu oleh berbagai sebab dan mengakibatkan gangguan fungsi pada miosit, atau mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi sebagaimana seharusnya. Pada gagal jantung tubuh mencoba mengatasi dengan melakukan kompensasi. Beberapa mekanismenya adalah (1) pengaktifan RAA dan saraf adrenergik, yang akan meningkatkan cardiac output serta retensi air dan garam. Pada awalnya mekanisme ini akan mengaktifkan mekanisme pompa Frank-Starling, tetapi jika mekanisme ini diteruskan akan mengakibatkan kenaikan beban jantung yang memperburuk kondisi pasien. (2) Peningkatan kontraktilitas miokardium. Juga terjadi peningkatan atrial and brain natriuretic peptides (ANP dan BNP), prostaglandins (PGE2 and PGI2), dan nitric oxide (NO), yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (3) perangsangan simpatis membuat jantung bekerja lebih cepat dan kuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh(Fauci, et. al, 2006; Guyton, 1997; Sugeng., Sitompul, 2005).
Jika mekanisme kompensasi tubuh sudah tidak mampu lagi menyediakan curah jantung yang cukup, maka akan timbun tanda dan gejala yang khas pada gagal jantung. Gejala yang muncul salah satunya adalah kelelahan dan sesak nafas.
(A) Mudah lelah dapat dengan mudah dimengerti karena pada gagal jantung, curah jantung ke otot berkurang. Namun selain itu ternyata pada gagal jantung juga terjadi kelainan otot rangka dan kelainan di luar jantung (e.g., anemia) juga berkontribusi pada kelainan ini. Pada awal-awal gagal jantung, dispneu hanya muncul saat melakukan aktifitas berat. Sejalan dengan perjalanan penyakit, dispneu juga makin progresif pada aktifitas yang lebih ringan sampai puncaknya terjadi dispneu saat isitirahat. Faktor lain yang juga mempengaruhi dispneu adalah menurunnya komplians dari jaringan paru (Fauci, et. al, 2006).
(B) Orthopnea adalah dispnea yang terjadi saat posisi berbaring, biasanya merupakan manifestasi dari gagal jantung. Orthopnea merupakan hasil dari redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstremitas bawah menuju sirkulasi sentraln saat posisi berbaring, yang mengakibatkan kenaikan tekanan kapiler paru. Nocturnal cough adalah manifestasi yang sering terjadi pada proses ini dan biasanya terlihat sebagai gejala gagal jantung. Orthopnea biasanya menghilang dengan mengubah posisi menjadi duduk atau tidur dengan bantal tambahan (Fauci, et. al, 2006).
(C) Paroksismal Nocturnal Disease adalah episode dari sesak nafas berat dan batuk yang biasanya muncul pada malam hari dan saat pasien bangun dari tidur, biasanya terjadi 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk atau wheezing, mungkin dikarenakan peningkatan tekanan pada arteri bronkialis mengakibatkan kompresi jalan nafas, disertai oedem pulmonar mengakibatkan peningkatan resisteni jalan nafas. Tidak seperti orthopnea, PND tidak langsung membaik sekalipun pasien sudah merubah posisi dari tidur ke duduk. Cardiac asthma berhubungan dengan PND, ditandai dengan wheezing disertai bronkospasme, dan harus dibedakan dengan asma primer dan pulmonar yang mengakibatkan wheezing (Fauci, et. al, 2006).
(D) Pernafasan cheyne stokes biasa terjadi pada gagal jantung yang telah parah dan biasanya berhubungan dengan low cardiac output. Respirasi cheyne stokes diakibatkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap PCO2. Terdapat fase apneu, berakibat pada turunnya PO2 dan kenaikan PCO2. Perubahan pada gas darah menstimulasi sentrum respirasi yang kurang sensitif, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti kembalinya fase apnea (Fauci, et. al, 2006).
(E) Edema pulmonar diakibatkan oleh akumulasi cairan pada interstisial paru. Akumulasi cairan pada interstisial paru bergantung pada keseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik kapiler paru dan jaringan sekitarnya. Tekanan hidrostatik membawa cairan dari kapiler menuju interstisial. Tekanan onkotik, dijaga oleh konsentrasi protein dalam darah, membawa cairan menuju pembuluh darah. Kelainan jantung dapat mengakibatkan kenaikan tekanan vena pulmonalis yang mengganggu keseimbangan tekanan kapiler dan interstisial. Tekanan hidrostatik meningkat dan cairan keluar dari kapiler mengakibatkan edema interstisial, dan pada kasus yang lebih berat menjadi edema alveolar (Fauci, et. al, 2006).
Tanda pertama edema pulmonar adalah dispnea dan orthopnea. Saat edema pulmonar terus berkembang, alveoli dipenuhi cairan. Saat cairan ini terus bertambah, mungkin akan berhubungan dengan rhonki dan wheezing (Basha, 2005).
Pada keadaan normal, selalu ada volume sisa di dalam ventrikel ketika sistol. Pada gagal jantung, volume sisa ini bertambah. Pada fase diastol berikutnya maka darah akan bertambah lagi sehingga tekanan diastol akan meninggi. Pada akhirnya akan terjadi bendungan hingga atrium kiri yang meningkatkan tekanan diastolik, hal ini juga akan diikuti dengan peninggian tekanan vena pulmonalis dan dalam pembuluh kapiler paru. Karena ventrikel kanan masih sehat maka darah yang dipompa ventrikel kanan masih normal, sehingga tekanan hidrostatik paru menjadi begitu tinggi dan terjadi transudasi paru. Jika ini terus berlanjut maka kelainan akan sampai ke ventrikel kanan dan akan terjadi gagal jantung kanan (Sugeng., Sitompul, 2005).
Pada keadaan gagal jantung kanan akut karena ventrikel kiri gagal berkontraksi dengan optimal, terjadi bendungan di atrium kanan dan vena kava superior dan inferior. Dalam keadaan ini gejala edema perifer, hepatomegali, splenomegali belum sempat terjadi, tetapi yang mencolok adalah tekanan darah akan menurun dengan cepat sebab darah balik berkurang. Pada keadaan kronis, ventrikel kanan pada saat sistol tidak mampu berkontraksi sehingga tekanan akhir diastol akan meningkat. Hal ini menyebabkan bendungan pada atrium kanan, vena kava dan seluruh sistem vena. Hal ini secara klinis dapat dilihat dengan adanya bendungan vena jugularis eksterna, vena hepatika, hepatomegali, bena lienalis, splenomegali, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik perifer menyebabkan edema perifer (Sugeng., Sitompul, 2005).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami gagal jantung hipertensif yang masih mengenai bagian kiri jantung.
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis dengan pasti.

B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan kardiovaskuler. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang hipertensi agar kasus gagal jantung hipertensif dapat ditekan dengan maksimal.










V. DAFTAR PUSTAKA
Basha, Adnil. 2003. Penyakit Jantung Hipertensif. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 209-211
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 43-59
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Anatomi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 518-526
DeBeasi, Linda Coughlin. 2005. Fisiologi Sistem Kardiovaskuler. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC. pp : 530-540
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Fauzi, Braunwald., Kasper., Hauser., Longo., Jameson., Loscalzo. 2008. Harrison's Edisi 17. United States of America : McGraw’s Hill.
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 134-175
Hadiwidjaja, Satimin. 2002. Thorax et Situs Viscerum Thoracis. Surakarta : Sebelas Maret University Press. pp: 112-160
Harun, Sjaharuddin., Nasution, Sally Aman. Edema Paru Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 1636-1638
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins, S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., dan Rodwell, V.W. 2003. Biokimia Harper Edisi 25. Alih Bahasa: Andry Hartono. Jakarta: EGC. pp: 625-626, 813-814.
Panggabean, Marrulam M. 2006. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 1639-1649
Sitompul, Barita., Sugeng, Irawan J. 2003. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 115-123

1 komentar:

  1. numpang bacaa, lumayan buat bahan tutorial :) ternyata skenario nya masih sama, antara kardio th 2009 dan kardio 2013 :s

    BalasHapus

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign