Jumat, 05 Juni 2009

GAGAL GINJAL

TIJAUAN UMUM ATAS GAGAL GINJAL KRONIK
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
SKENARIO II
Seorang laki-laki umur 60 tahun (Tn.S) datang dengan keluhan utama badan terasa lemes, dirasakan sejak 1 bulan, kadang berkunang-kunang, sering mual. Sejak 1 tahun BAK sering mengejan, rasa tidak puas setelah BAK, BAK 4-5 gelas sehari. Pasien sering mengeluh nyeri pinggang kiri sejak 2 tahun. Menderita DM sejak 4 tahun yang lalu, berobat tidak teratur. Riwayat hipertensi tidak tahu. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 170/100 mmHg, nadi 110 kali/menit, laju pernafasan 24 kali/menit, suhu 36,7 C. Laboratorium didapatkan Hb:8,2 g/dl, leukosit 5400/ul, trombosit 150.000/ul. Ureum 150 mg/dl, kreatinin 8,4 mg/dl, kalium 6,5 mmol/l. Analisa gas darah didapatkan asidosis metabolik.
Ginjal memiliki fungsi yang kompleks. Ginjal mengatur keseimbangan air dan elektrolit, mengatur konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, mengatur keseimbangan asam basa, ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan tekanan arteri, sekresi hormon, juga glukoneogenesis. Dengan fungsi yang sangat kompleks ini tubuh hanya membutuhkan 25% dari jumlah nefron pada ginjal untuk bekerja secara nomal. Nefron yang telah rusak tidak dapat beregenerasi, sehingga jika terjadi kerusakan ginjal yang merusak sejumlah besar nefron maka akan terjadi kerusakan permanen pada ginjal. Jika terjadi kegagalan fungsi pada ginjal, dapat kita bayangkan gangguan fungsi yang terjadi pada tubuh (Guyton, 1997; Wilson, 2005; Budianto, 2005).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi ginjal
2. Fisiologi ginjal
3. Etiologi, patofisiologi, gambaran klinis dari gagal ginjal
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar ilmu biomedik, klinik, etika medis, dan ilmu kesehatan masyarakat guna mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat primer dalam kasus gagal ginjal

b. Tujuan Khusus:
Mengetahui tanda-tanda kelainan-kelainan gagal ginjal
2. Manfaat
a. Bagi Penulis
Guna dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dengan mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga, ataupun masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan kolaboratif dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat primer, khususnya berkaitan dengan kelainan gagal ginjal.
b. Bagi Universitas Sebelas Maret
Sebagai bahan dokumentasi pembahasan tentang gagal ginjal dan bahan tinjauan untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah
Sebagai salah satu bahan pertimbangan memberikan perhatian lebih terhadap penyakit yang berkaitan dengan kasus gagal ginjal baik dalam pengambilan kebijakan umum maupun upaya pengembangannya.
d. Bagi Masyarakat
Guna memacu semangat hidup sehat sehingga dapat ikut serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat pada khususnya dan taraf kesehatan nasional pada umumnya.
II. STUDI PUSTAKA
A. ANATOMI GINJAL
Ginjal terletak di bagian posterior abdomen, pada bagian posterior masih terlindung oleh costae XI-XII serta oleh musculus trasversus abdominis, musculus kuadratus lumborum, musculus psoas major. Pada bagian anterior ginjal dilindungi oleh lapisan usus yang tebal. Ginjal dipertahankan pada posisinya oleh jaringan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak di atas ginjal (Wilson, 2005; Budianto, 2005).
Pada orang dewasa panjang ginjal sekitar 13-15 cm, lebar 6 cm, tebal 2,5 cm, dan beratnya sekitar 150 gram. Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral ginjal memiliki bentuk cembung sedangkan tepi medialnya berbentuk cembung karena adanya hilus. Struktur yang memasuki dan keluar dari hilus ini adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh lymphe, dan ureter. Ginjal diliputi oleh kapsula fibrosa tipis dan mengkilat, yang berikatan longgar dengan jaringan di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal (Wilson, 2005; Budianto, 2005).
Potongan longitudinal ginjal adanya daerah korteks dan medulla. Medula dibagi menjadi segitiga-segitiga yang disebut piramis renalis. Piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut kolumna Bertini. Apeks dari tiap piramid membentuk duktus papillaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor akan membentuk kaliks major, yang selanjutnya bersatu sehingga membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesica urinaria (Wilson, 2005).
Vaskularisasi ginjal oleh arteri renalis cabang aorta abdominalis setinggi VL I. Arteri ini kemudian masuk dan bercabang-cabang di dalam ginjal. Saat arteri renalis masuk, dia bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan di antara piramid, selanjutnya membentuk cabang arkuata yang melengkung pada basis-basis piramid tersebut. Arteri arkuata tersebut membentuk arteriol interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya nenbentuk arteriola aferen. Aliran darah venosa ginjal dibawa oleh vena renalis dan masing-masing ginjal mengalirkan ke dalam vena cava inferior (Wilson, 2005; Budianto, 2005).
Satuan terkecil dalam unit mikroskopis ginjal adalah nefron. Dalam setiap ginjal kurang lebih terdapat satu juta nefron. Setiap nefron terdiri atas kapsula bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerolus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke ductus koledokus. Manusia normal masih mampu bertahan hanya dengan 1% dari jumlah nefron total walaupun dengan susah payah (Wilson, 2005).
Kapsula dilapisi oleh epitel. Sel epitel parietalis berbentuk squamosa dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel visceralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari glomerolus. Sel visceralis membentuk tonjolan-tonjolan yang dikenal sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga ada daerah yang bebas dari kontak dengan epitel (Wilson, 2005).
Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di antara epitel-epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yang menjalin serat kolagen. Pada membrana basalis terdapat celah sebesar 70-100 Å (Wilson, 2005).
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam glomerolus. Tidak seperti sel-sel epitel, sel endotel langsung berbatasan dengan membrana basalis. Namun terdapat beberapa pelebaran fenestrata yang berdiameter 600 Å. Sel-sel endotel berlanjut dengan endotel yang membatasi aretriola aferen dan eferen (Wilson, 2005).
Pada ginjal terdapat aparatus juktaglomerular yang terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat dengan kutub vaskular masing-masing glomerolus yang berperan penting dalam mengatur pelepasan renin dan mengontrol volume cairan ekstravaskuler dan tekanan darah. Aparatus jukstaglomerular memiliki tiga macam sel : (1) sel granular atau sel jusktaglomerolus (2) makula densa tubulus distal, dan (3) mesangial ekstraglomerular atau sel lacis. Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresis renin (Wilson, 2005).
B. FISIOLOGI GINJAL
1. FUNGSI GINJAL DALAM PEMBENTUKKAN URINE
Seperti telah disebutkan di atas ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dan elektrolit, mengatur konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, mengatur keseimbangan asam basa, ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan tekanan arteri, sekresi hormon, produksi eritropoietin, produksi vitamin D, juga glukoneogenesis. Kali ini penulis hanya akan menyinggung sedikit dari tiap-tiap fungsi ginjal (Guyton, 1997).
Dalam fungsinya sebagai organ untuk membuang produk-produk sisa metabolisme juga sebagai pengontrol volume dan komposisi tubuh, ginjal dalat melakukannya melalui pembuangan urine (Guyton, 1997).
Pembentukkan urine dihasilkan oleh filtrasi glomerolus, reabsorbsi tubulus dan sekresi tubulus. Pembentukkan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang bebas protein dari kapiler glomelorus menuju kapsula Bowman. Prinsip filtrasi ini adalah perbedaan tekanan dan membran kapiler glomelorus sendiri. Kebanyakan zat dalam plasma kecuali untuk protein difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomelorus hampir sama dengan plasma. Protein dengan ukuran lebih kecil dari kapiler glomerolus juga tidak terfiltrasi, karena membran dasar glomerolus yang bermuatan negatif dan albumin sendiri bermuatan negatif sehingga akan terjadi respon fisis saling menolak muatan. Kemudian dalam proses selanjutnya terjadi pemekatan dan sekresi zat-zat buangan metabolisme seperti kreatinin dan ureum, juga terjadi absorbsi zat-zat yang dibutuhkan tubuh seperti asam amino dan glukosa. (Guyton, 1997, Wilson, 2005).
Miksi atau berkemih merupakan suatu refleks yang ada pada orang dewasa normal dikendalikan oleh pusat-pusat yang lebih tinggi di otak. Refleks diawali oleh peregangan musculus detrussor urine waktu terisi oleh urin. Impuls afferen berjalan menuju n. splancnicus pelvicus dan masuk ke segmen sacralis II-IV medulla spinalis. Impuls efferent meninggalkan medulla spinalis dari segmen yang sama dan berjalan melalui serabut saraf preganglion parasimpatis menuju n. splanchnicus pelvicus dan plexus hypogastricus inferior menuju dinding vesica urinaria, di mana mereka bersinaps dengan neuron postganglioner. Melalui lintasan saraf ini, m. detrussor urine berkontraksi, dan m. spinchter vesicae relaksasi. Impuls efferent juga berjalan ke spinchter uretra melalui n. pudendus, dan m. spinchter ini melemas. Bila urin masuk ke uretra, impuls afferent tambahan berjalan ke medulla spinalis dari uretra memperkuat refleks (Budianto, 2005).
Pada anak muda, berkemih merupakan refleks sederhana dan berlangsung bila vesica urinaria teregang. Pada orang dewasa, reflex regang sederhana ini dihambat oleh cortex serebri sampai waktu dan tempat berkemih tersedia. Serabut penghambat berjalan ke bawah bersama tractus corticospinalis menuju segmen sacralis II-IV medulla spinalis. Kontraksi m. spinchter uretra, menutup urethra, dikendalikan secara volunter tetapi tidak mungkin melemaskan otot ini secara involunter. Pengendalian volunter berkemih dalam keadaan normal berkembang dalam tahun pertama dan kedua kehidupan (Budianto, 2005).
2. AUTOREGULASI GINJAL
Untuk mempertahankan pengeluaran produk urin secara tepat, ginjal memiliki mekanisme autoregulasi. Mekanisme autoregulasi ini memang tidak 100% sempurna, tetapi dapat mencegah perubahan yang besar pada laju filtrasi glomelorus serta eksresi air dan zat terlarut, yang akan terjadi dengan besar yang terbalik dengan tekanan darah. Autoregulasi ginjal mencegah perubahan besar pada laju filtrasi glomelorus yang sebaliknya akan terjadi dan terdapat mekanisme adaptif tambahan pada tubulus renalis yang memungkinkannya untuk meningkatkan laju reabsorbsinya bila laju filtrasi glomelorus meningkat (Guyton, 1997).
Dua mekanisme yang sangat berperan dalam autoregulasi : (1) reseptor tegangan miogenik dalam otot polos vaskular arteriol aferen dan (2) timbal balik tubuloglomerular. Selain itu, norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi autoregulasi. Kapiler gomelorus memiliki dua arteriol, yaitu arteriol aferen dan eferen. Sebagai konsekuensinya, tekanan hidrostatik intrakapiler ditentukan oleh tiga faktor: (1) tekanan darah sistemik, (2 dan 3) resistensi arteriol aferen dan eferen. Pengaturan ini mengikuti regulasi cepat laju fitrasi glomelorus dengan mengubah resistensi dalam arteriol aferen dan eferen. Jika terjadi hipotensi sistemik sistem renin-angiotensin diaktifkan dengan pembentukkan angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen. Akibatnya adalah reduksi tekanan perfusi ginjal serta aliran darah ginjal (karena peningkatan resistensi arteriol aferen) dan peningkatan tekanan pada glomelorus (karena peningkatan arteriol eferen). Norepinefrin yang dilepas dari korteks adrenal meningkatkan vasokonstriksi dari angiotensin II. Angiotensin II juga meningkatkan produksi prostaglandin vasodilator dari glomelorus, yang meminimalkan kemungkinan terjadinya iskemi ginjal dalam keadaan hipotensi sistemik (Wilson, 2005; Guyton, 1997).
Mekanisme selanjutnya yang berperan dalam autoregulasi laju fitrasi glomelorus (yaitu tubuloglomerular feedback) mengacu pada perubahan yang dapat ditimbulkan oleh perubahan kecepatan aliran di tubulus distal. Tubuloglomerular feedback diperantarai oleh sel makula densa dalam tubulus distal, yang sensitif terhadap perubahan komposisi klorida cairan tubulus. Angka NaCl yang tinggi pada tubulus distal menyebakan konstriksi arteriol aferen sehingga mengurangi laju fitrasi glomelorus dari nefron (Wilson, 2005).

3. PERAN GINJAL DALAM PEMBENTUKKAN DARAH
Ginjal menyekresikan eritropoietin, yang merangsang pembentukkan eritrosit. Salah satu rangsangan yang penting untuk sekresi eritropoietin oleh ginjal ialah hipoksia. Pada manusia normal, ginjal menghasilkan hampir semua eritropoietin yang disekresi ke dalam sirkulasi. Pengaruh utama eritropoietin adalah adalah merangsang produksi proeritroblas dari sel-sel stem hemopoietik dalam sumsum tulang. Begitu proeritroblas terbentuk, maka eritropoietin juga menyebabkan sel-sel ini dengan cepat melalui berbagai tahap eritroblastik ketimbang dalam keadaan normal (Guyton, 1997; Soebandiri, 2007).
4. PENGATURAN ASAM BASA
Pada fungsi sel yang normal pH cairan ekstra sel harus dipertahankan antara 7,35 sampai 7,45. Ada empat sistem buffer tubuh, yaitu buffer bikarbonat dan hemoglobin yang terletak ekstrasel, dan buffer protein dan fosfat yang terletak intrasel. Sistem buffer utama dalam darah adalah buffer bikarbonat.
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-
Paru membuang CO2 yang terbentuk bila H+ didapar oleh HCO3- (reaksi bergeser ke kiri), dan dengan demikian berperan penting dalam proses menstabilkan pH. Peran ginjal dalam mempertahankan keseimbangan asam basa adalah reabsorbsi sebagian besar HCO3- yang difiltrasi. Selain reabsorbsi dan penyelamatan sebagian besar HCO3-, ginjal juga membuang H+ yang berlebihan. Setiap hari tubuh juga menghasilkan asam-asam yang tidak dapat diekskresikan lewat sistem respirasi sehingga disebut asam tetap. Asam-asam ini dibuang melalui cairan tubulus, sehingga urine dapat mencapai pH sampai serendah 4,5. Di sepanjang tubulus, H+ akan disekskresi ke dalam cairan tubulus dalam bentuk kombinasi dengan amonia atau dengan HPO4=. NH3 berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus, tetapi bila telah berikatan dengan H+ dan membentuk ion amonium maka tidak dapat lagi kembali ke sel tubulus. Karena pH urine terendah adalah 4,5 maka jumlah H+ bebas yang diekskresi menjadi terbatas. Oleh karena itu mekanisme pengikatan dengan amonium dan mekanisme fosfat dapat membantuk mengatur kadar pH tubuh (Wilson, 2005; Sacher, et. al., 2005).
III. DISKUSI / BAHASAN
Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Gagal ginjal menyebabkan kerusakan progresif ginjal dan ireversibel. Perkembangan gagal ginjal sampai tahap terminal bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Di amerika diabetes dan hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi End Stage Renal Disease (ESRD) yang paling besar. Glomerulonefritis adalah penyebab ketiga. Infeksi nefritis tubulointerstisial (pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit ginjal polikistik masing-masing sebanyak 3,4% (Wilson, 2005).
Pada gangguan di skenario disebutkan pasien mengalamirasa tidak puas setelah miksi dan perlu mengejan untuk memulai miksi. Pada tinjauan pustaka telah kita lihat mekanisme miksi yang seharusnya memompa urine hingga vesica urinaria kosong kembali. Sisa urine dapat menjadi faktor predisposisi untuk infeksi vesica urinaria. Mengejan pada saat miksi juga dapat kita lihat sebagai kelainan vesika urinaria. Kelainan vesika urinaria dibagi menjadi lima tipe disfungsi:
a. Vesika urinaria neurogenik tak terhambat
Melibatkan defek pada jaras pengatur dari korteks. Keadaan ini sering ditemukan pada pasien yang memiliki lesi pada korteks serebri, seperti gangguan pembuluh darah otak, atau pada pasien dengan lesi batang otak yang tersebar. Keadaan ini menyerupai vesika urinaria pada bayi, pasien sadar akan rasa ingin berkemih namun tidak dapat menahannya.
b. Vesika urinaria neurogenik refleks
Disebabkan putusnya lengkung refleks sakral dari pusat yang lebih tinggi, seperti pada cedera batang otak atau cedera di atas tingkat SII. Semua sensasi vesika urinaria hilang dan pengosongan terjadi secara refleks bila tekanan di dalam vesika urinaria meningkat di atas batas tertentu. Pengosongan vesika urinaria tidak dapat tuntas karena kurangnya input motorik dari pusat yang lebih tinggi, dan karena terjadi refluks vesikoureter akibat tekanan dalam vesika urinaria yang tinggi.
c. Vesika urinaria neurogenik otonom
Terjadi akibat kerusakan pada kedua jaras lengkung refleks vesika urinaria, seperti pada lesi sakral atau kauda ekuina. Pasien tidak dapat merasakan penuhnya vesika urinaria dan juga tidak dapat memulai miksi dengan pola normal. Namun mereka dapat memulai miksi dengan meninggikan tekanan intraabdominal (mengedan) dan menekan bagian atas suprapubik (perasat Crede).
d. Vesika urinaria neurogenik paralitik sensorik
Disebabkan adanya lesi pada bagian sensorik lengkung refleks vesika urinaria seperti pada pasien neuropati diabetik atau sklerosis multipel. Timbul kehilangan sensasi vesika urinaria secara bertahap, jarang buang air kecil, dan distensi berlebihan. Distensi berlebihan menyebabkan otot vesika urinaria kehilangan tonus sehingga pengosongan tidak sempurna dan terdapat sisa urine.
e. Vesika urinaria neurogenik paralitik motorik
Disebabkan oleh adanya gangguan pada bagian motorik lengkung refleks vesika urinaria yang sering terjadi berkaitan dengan poliomielitis, tumor, atau trauma. Sensasi penuhnya vesika urinaria tidak terganggu, tetapi pasien tidak memiliki kemampuan dalam memulai proses berkemih. Dapat terjadi nyeri berlebihan, yang membutuhkan kateterisasi dan drainase (Wilson, 2005).
Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kelebihan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana laju filtrasi glomerolus masih normal atau sedikit meningkat. Kemudian secara perlahan, akan terjadi penurunan nefron yang progresif, yang ditandai dengan kenaikkan ura dan kreatinin serum. Sampai pada laju filtrasi glomerolus di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, penurunan berat badan, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebgainya (Suwitra, 2007).
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, pada pasien ini adalah diabetes mellitus, tapi dalam perkembangannya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti kenaikan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak ada. Adanya peningkatan sistem renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progeresifitas tersebut. Beberapa hal yang juga dianggap berperan dalam progresifitas gagal ginjal adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia (Suwitra, 2007).
Riwayat perjalan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi lima stadium. Stadium I, atau fase perubahan fungsional dini ditandai dengan hipertrofi dan hiperfiltrasi ginjal. Stadium I sebenarnya ditemukan pada semua pasien yang didiagnosis DM tipe I dan berkembang pada awal penyakit. Sering terjadi peningkatan GFR hingga 40% di atas normal. Peningkatan ini disebabkan oleh banyak faktor seperti kadar glukosa darah yang tinggi, glukagon yang abnormal, hormon pertumbuhan, efek renin, angiotensin II dan prostaglandin. Ginjal yang menunjukkan peningkatan laju filtrasi glomerolus memiliki ukuran lebih besar dan glomerolus yang bersangkutan akan lebih besar dengan daerah yang bersangkutan.
Stadium II disebut perubahan struktural dini, ditandai dengan penebalan membran basalis kapiler glomerolus dan penumpukkan sedikit demi sedikit bahan matriks mesangial. Stadium ini terjadi sekitar lima tahun setelah awitan diabetes tipe I. Kerasanya penebalan atau perluasan mesangial yang terlihat pada stadium II secara positif berkaitan dengan perkembangan proteinuria yang akan datang dan penurunan fungsi ginjal. Penumpukkan matriks mesangial dapat mengenai lumen kapiler glomerolus, menyebabkan iskemia dan menurunkan daerah permukaan filtrasi, namun laju filtrasi glomerolus biasanya tetap dalam kisaran normal tinggi, menurun dari stadium I.
Hiperglikemia persisten kelihatannya menjadi faktor terpenting dalam patogenesis glomerulosklerosis diabetik dan melibatkan beberapa mekanisme termasuk (1) vasodilatasi dengan meningkatkan permeabilitas mikrosirkulasi yang menyebabkan peningkatan kebocoran zat terlarut ke dalam dinding pembuluh darah dan jaringan sekitarnya; (2) pembuangan glukosa melalui jalur polylol (insulin independen), menyebabkan penimbunan polylol dan penurunan komponen selular utama, termasuk glomerolus; (3) glikosilasi protein struktur glomerolus. Pada hiperglikemia, glukosa memberikan reaksi dengan mengedarkan protein struktural secara nonenzimatik. Glikosilasi membran basalis dan protein mesangial dapat menjadi faktor utama yang bertanggung jawab dalam peningkatan matriks mesangial dan perubahan permeabilitas membran yang menyebabkan proteinuria.
Stadium III terjadi nefropati insipien dan secara khas berkembang dalam 10 tahun. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbumiuria yang menetap (ekskresi albumin urine antara 30 hingga 300 mg/24 jam). Laju filtrasi glomerolus normal hingga normal tinggi, peningkatan tekanan darah juga terjadi.
Stadium IV atau fase nefropati diabetik klinis ditandai dengan proteinuria (>300mg/24 jam) dan dengan penurunan Laju filtrasi glomerolus yang progresif. Retinopati diabetik, serta hipertensi hampir selalu ada. Kira-kira muncul 15 tahun setelah awitan diabetes.
Stadium V atau fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif, ditandai dengan azotemia (peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum) disebabkan penurunan laju filtrasi glomerolus yang cepat, yang pada akhirnya akan menyebabkan berkembangnya ESRD dan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. Waktu yang dibutuhkan kira-kira 20 tahun dari awitan diabetes.
Pada gagal ginjal jelas akan terjadi gangguan biokimiawi. Beberapa diantaranya adalah:
a) Asidosis Metabolik
Pada gagal ginjal akan terjadi gangguan pada mekanisme pembuangan H+ ditambah gangguan sistem buffer bikarbonat sehingga akan menurunkan pH tubuh. Gejala asidosis tampak sebagai anoreksia, mual, dan lelah. Terjadi pernapasan kussmaul yaitu pernapasan yang cepat dan dalam.
b) Ketidakseimbangan Kalium
Peningkatan kadar kalium serum selain disebabkan karena kerusakan ginjal sendiri, juga disebabkan karena peningkatan kadar H+. Ketika terjadi asidosis maka akan terjadi kenaikan kadar H+ dalam darah. Hal ini mengakibatkan sistem buffer tubuh akan berkerja untuk netralisasi ion H+. Buffer protein intrasel juga berusaha untuk menetralkan H+ dengan memasukkan ion H+ ke dalam sel dan melakukan buffering intrasel. Namun di saat yang bersamaan pula terjadi perubahan muatan intrasel, sehingga sel sendiri akan mengkompensasi dengan mengeluarkan ion K+ yang memang banyak di dalam sel. K+ yang dilepas ke darah akan membuat kadar kalium serum menjadi lebih tinggi.
c) Ketidakseimbangan Natrium
Pada insufisiensi ginjal dini (bila terjadi poliuria) terjadi kehilangan natrium karena peningkatan beban zat terlarut pada nefron tubuh. Diuresis osmotik mengakibatkan kehilangan natrium secara obligat. Apabila gagal ginjal terminal diikuti oleh oligouria, maka pasien cenderung mempertahankan Na+. Retensi Na+ dan air dapat mengakibatkan beban sirkulasi berlebihan, edema, hipertensi, dan gagal jantung kongestif.
d) Hipermagnesemia
Penderita uremia akan kehilangan kemampuan mengekskresi magnesium. Pembebanan magnesium secara tiba-tiba seperti susu magnesia dan magnesium sitrat dapat menyebabkan kematian
e) Azotemia
Peningkatan tajam kadar BUN dan kreatinin plasma biasanya merupakan tanda timbulnya gagal ginjal terminal dan menyertai gejala uremik. Beberapa zat yang ditemukan dalam darah pasien azotemia seperti guanidin, fenol, amin, urat, kreatinin, dan asam hidroksi aromatik, dan indikan. Beberapa senyawa ini bertindak sebagai penghambat enzim yang kuat.
f) Hiperurisemia
Peningkatan asam urat serum dan pembentukkan kristal-kristal yang menyumbat ginjal dapat menyebabkan gagal ginjal akut atau kronisk. Sebaliknya pada stadium dini gagal ginjal kronik dapat timbul gangguan ekskresi ginjal sehingga kadar asam urat serum biasanya meningkat.
Anemia normositik normokromik yang khas selalu terjadi pada sindrom uremik. Biasanya Hct menurun 20-30% sesuai dengan derajat azotemia. Penyebab utama anemia adalah penurunan produksi ertitrosit karena penurunan pembentukkan eritropoietin oleh ginjal. Juga terdapat bukti bahwa racun uremik dapat menginaktifkan eritropoietin atau menekan respons sumsum tulang terhadap eritropoietin. Faktor kedua yang ikut berperan dalam anemia adalah masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya separuh dari masa hidup normal.
Kelainan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak juga terjadi. Pemecahan protein pada pasien gagal ginjal menyebabkan uremik yang lebih parah. Diet pembatasan protein perlu untuk menekan gejala-gejala letih, lesu, mual anoreksia dan dipercaya diet pembatasan protein dapat menghambat kerusakan ginjal lebih lanjut. Alasan lain dilakukan pembatasan protein adalah H+, K+, dan fosfat terutama dihasilkan dari protein sehingga harus dibatasi agar tidak terjadi penimbunan di dalam darah.
Gangguan metabolisme karbohidrat seringkali disebabkan oleh uremia. Kadar gula darah puasa meningkat pada lebih dari 50% pasien uremia, tetapi biasanya tidak melebihi 200mg/100ml. Mungkin yang menjadi penyebabbnya adalah jaringan perifer yang tidak peka insulin. Sebaliknya pada pasien dengan diabetes mellitus yang menderita uremia, metabolisme karbohidrat membaik dan kebutuhan insulin menjadi lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena pada kondisi normal ginjal menonaktifkan sekitar 20% dari insulin serum, sehingga terjadi perpanjangan waktu paruh insulin. Metabolisme karbohidrat akan menjadi normal dengan hemodialisis teratur.
Bila pasien gagal ginjal kronik dapat bertahan cukup lama, maka akan terjadi kerusanan rankga atau biasa disebut osteodistrofi ginjal yang terdiri dari tiga lesi. Osteomalasia merupakan gangguan tulang yang paling sering ditemukan dan terlihat pada 60% dari semua penderita gagal ginjal kronik. Kasus ini berupa gangguan mineralisasi tulang disebabkan defisisiensi 1,25-dihidroksikolekalsiferol (1,25[OH]2D3) atau kalsitriol, bentuk paling aktif vitamin D yang dimetabolisme ginjal. Dalam tulang osteoblas membentuk osteoid, tetapi kadar kalsium serum yang rendah dan vitamin D yang tidak aktif mengakibatkan minerlisasi tidak dapat terjadi. Jaringan osteoid akhirnya menggantikan tulang normal, sehingga terjadi osteomalasian pada orang dewasa dan rakitis pada anak-anak.
Osteitis fibrosa ditemukan pada lebih dari 30% pasien ditandai dengan resorpsi osteoklastik tulang serta penggantian dengan jaringan fibrosa. Demineralisasi tulang mungkin bersifat lokal dan tampak lesi kistik atau sebagai pernurunan densitas umum pada radiogram. Disebabkan oleh kenaikkan PTH (hiperparatiroidisme sekunder) pada gagal ginjal.
Osteosklerosis merupakan jenis gangguan tulang ketiga yang lebih jarang terjadi, sering bermanifestasi pada vertebra yang tampak berpita atau bergaris (rugger-jersey spine) pada radiogram. Osteosklerosis sendiri terjadi karena selang-seling antara pengurangan dan peningkatan densitas tulang.
Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, akan terjadi penumpukkan ureum dan banyak zat sisa metabolisme pada darah yang bersifat toksik. Karena itu pasien dengan gagal ginjal memerlukan terapi dialisis. Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh membran semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah sampai terjadi keseimbangan (Rahardjo, et. al., 2007).


IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada kasus skenario ada kemungkinan pasien mengalami gagal ginjal kronik.
2. Pasien mungkin memerlukan hemodialisis sebagai terapi penyakitnya
3. Gagal ginjal kronik adalah penyakit yang progresif
B. Saran
1. Secara aplikatif, hendaknya Pemerintah memberikan perhatian dan bantuan lebih terhadap dunia kesehatan, khususnya pada penanganan kelainan sistem uropoietica, dalam hal ini pada kasus-kasus gagal ginjal. Dengan meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan masyarakat.



V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy 2. Surakarta : Keluarga Besar Anatomi FK UNS. pp : 43-59
Dorland, W.A.N., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC. pp: 1159, 1288, 1786
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 29. Alih Bahasa: Irawati setiawan et. al. Jakarta: EGC. pp: 375-379, 397-414, 417-437, 439-477, 481-502
H.M.S, Markum. 2007. Gagal Ginjal Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 574-578
Hirlan. 2007. Gastritis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 335-336
J, Pudji, Raahardjo., Endang, Susalit., Suhardjono. 2007. Hemodialisis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 579-560
Ketut, Suwitra. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 570-573
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Sacher, Ronald A., McPherson, Richard A. 2005. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Alih Bahasa : Brahm U. Pendit, Dewi Wulandari. Jakarta : EGC
Soebandiri. 2007. Hemopoiesis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 2. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 619-620
Wilson, Lorraine M. 2005. Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. pp : 867-894
Wilson, Lorraine M. 2005. Gagal Ginjal Kronik. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. pp : 912-948
Wilson, Lorraine M. 2005. Penyakit Ginjal Stadium Akhir: Sindrom Uremik. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. pp : 950-960
Wilson, Lorraine M. 2005. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam : Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. pp : 964-989

1 komentar:

  1. Termakasih Informasinya
    Saya juga mau berbagi informasi kesehatan juga, jika berkenan silahkan kunjungi website kami juga tentang Obat Gagal Ginjal

    BalasHapus

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign