Rabu, 24 Desember 2008

Gangguan somestesi

TINJAUAN ATAS MEKANISME GANGGUAN SOMESTESI

I. PENDAHULUAN

i. LATAR BELAKANG

Skenario

JEPITAN SARAF

Seorang wanita 48 tahun, dengan kesemutan dan merasa lemah pada tangan kanan. Sejak dua tahun yang lalu keluhan ini sudah muncul tetapi hilang timbul. Gangguan ini lebih jelas apabila untuk bekerja menggunakan tangan kanan yang berlebihan (misalnya saat mencuci dengan tangan, mengendarai sepeda motor). Penderita juga sering terbangun pada malam hari karena merasa kesemutan pada tangan kanannya.

Gangguan ini dapat berkurang apabila tangan kanan dikibas-kibaskan, dan juga hilang bila istirahat. Keluhan ini semakin lama semakin berat. Hasil pemeriksaan didapat : kekuatan otot normal, ada atrofi pada otot tangan (thenar). Terdapat gangguan sensibilitas berupa hipoaesthesi. Test Tinel positif. Tes Phalen positif.

Dokter memberikan obat NSAID dan penanganan di Rehabilitasi Medik. Dokter juga memberikan nasehat agar pasien menghindari posisi-posisi tangan yang salah yang akan menyebabkan keluhan bertambah berat.

Perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh yang berasal dari somatopleura, yaitu kulit, tulang dan jaringan pengikat, dinamakan somaestesia. Di samping itu dikenal juga viseroestesia, yaitu perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh yang tumbuh dari viseropleura, seperti usus, paru, limpa dan sebagainya.

Dalam penghidupan sehari-hari, berbagai macam perasaan dapat dirasakan. Rasa sakit bila ditusuk, rasa panas bila menyentuh api, dan berbagai rangsang dapat dirasakan dan dibedakan. Perasaan dapat muncul karena interpretasi dari rangsang terhadap saraf sensoris yang juga dipengaruhi oleh subjektivitas. Perasaan tersebut kemudian diinterpretasikan oleh sistem saraf sebagai sebuah sensasi rasa.

Sistem saraf manusia merupakan jaringan yang saling berhubungan, saling berjalinan dan sangat kompleks. Sistem saraf memiliki fungsi untuk mengkoordinasikan, mengatur, dan juga menginterpretasikan stimulus yang diterima dari dunia luar.

ii. RUMUSAN MASALAH

  • Anatomi dari susunan saraf tepi.
  • Fisiologi penerimaan rangsang.
  • Jenis-jenis gangguan somestesi.
  • Penyebab-penyebab terjadinya gangguan somestesi.

iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

  • Mengetahui anatomi susunan saraf tepi ekstremitas superior.
  • Mengetahui fisiologi susunan saraf tepi.
  • Mengetahui fisiologi penerima rangsang.
  • Mengetahui Mengetahui jenis-jenis gangguan somestesi.
  • Mengetahui penyebab-penyebab gangguan somestesi.

II. STUDI PUSTAKA

ANATOMI SUSUNAN SARAF TEPI

Saraf tepi yang memberi inervasi ekstremitas superior berasal dari pleksus brachialis. Plexus brachialis adalah anyaman serabut saraf yang dibentuk oleh rami primarii anteriores nervus cervicales IV- nervus thoracalis II. Plexus brachialis ini terletak dalam satu bungkus dengan arteri et vena axillaris dan pada tepi bawah lateral dari musculus pectoralis minor, pleksus ini memberi cabang terminal

Banyak variasi dari susunan serabut-serabut yang membentuk pleksus tersebut, tetapi yang paling banyak didapat adalah:

  1. Rami primarii anteriores dari nervi cervicales V-VI bersatu untuk membentuk truncus superius.
  2. Ramus primarius nervus cervicales VII tetap tunggal untuk nantinya membentu truncus medius.
  3. Ramus primarii anteriores dari nervus cervicales VIII dan nervus thoracalis I bersatu untuk membentuk truncus inferius.

Tiap-tiap truncus kemudian akan terbagi ke dalam pars anterior dan posterior yang masing-masing akan menuju ke bagian depan dan belakan dari ekstremitas superior.

  1. Pars anterior dari truncus superius dan medius bersatu membentuk fasciculus lateralis.
  2. Pars anterior dari truncus inferior membentuk fasciculus medialis.
  3. Pars posterior ketiga truncus tersebut membentuk fasciculus posterior.

Dari fasciculus-fasciculus yang terbentuk akan memiliki cabang-cabang terminal dari pleksus brachialis yang menginervasi ekstremitas superior. Cabang-cabang terminal pleksus brachialis yang penting adalah nervus medianus, nervus ulnaris, nervus radialis, nervus axillaris, dan nervus musculocutaneus.

Saraf tepi yang memberi inervasi ekstremitas inferior sebagian besar berasal dari cabang-cabang plexus lumbalis dan plexus sacralis.

Plexus lumbalis merupakan anyaman serabut-serabut saraf yang dibentuk oleh rami primarii anteriores nervus thoracalis XII dan nervi lumbales I-IV. Cabang-cabang dari plexus sacralis adalah sebagai berikut:

  1. Nervus iliohypogastricus
  2. Nervus ilioinguinalis
  3. Nervus genitofemoralis
  4. Nervus cutaneus femoris lateralis
  5. Nervus obturatorius
  6. Nervus femoralis

Nervus ini keluar dari cavum pelvicum melalui lacuna musculorum bersama musculus iliopsoas.Nervus femoralis melanjutkan diri sebagai nervus saphenus, yang kemudian bersama arteri genu suprema menembus vesto adductoria.

Plexus sacralis merupakan anyaman-anyaman serabut saraf yang dibentuk oleh rami primarii anteriores nervi lumbales IV-V dan nervi sacrales I-IV. Cabang-cabangnya adalah sebagai berikut:

  1. Nervus gluteus superior
  2. Nervus gluteus inferior
  3. Nervus cutaneus femoris posterior
  4. Nervus ischiadicus
  5. Nervus cutaneus medius inferior
  6. Nervus splanchnicus pelvini
  7. Nervus pudendus

FISIOLOGI RANGSANG SENSORIK

Rangsang sensorik dapat diterima oleh saraf berasal dari reseptor-reseptor yang ada pada tubuh. Terdapat reseptor-reseptor sensorik misalnya untuk raba, cahaya, tekan, nyeri, dingin, hangat. Modalitas sensorik yang kita terima berasal dari penjalaran impuls dari reseptor yang menerima rangsang dan kemudian menjalarkannya pada suatu titik tertentu pada susunan saraf pusat.

Penjalaran impuls saraf berlangsung sama seperti sel saraf lainnya. Stimulus menurunkan potensial membran dan membuat potensial membran berjalan sepanjang sel saraf dan diteruskan menuju saraf berikutnya melalui sinaps. Bersama dengan neurotransmitter terjadi penjalaran rangsang menuju sel saraf berikutnya.

Rangsang sensorik dapat diinterpretasikan sebagai rangsang somestesi atau viseroestesi. Dalam klinik somestesilah yang menjalani pemeriksaan. Somestesi mencakup perasaan yang menyekiti atau perasaan protopatik dan perasaan yang diperlukan untuk mengatur diri sendiri atau perasaan proprioseptif. Rangsang protopatik mencakup rasa nyeri, suhu dan rasa tekan, sedang rangsang proprioseptif mencakup rasa gerak, getar, sikap dan rasa halus. Integrasi perasaan protopatik dan proprioseptif dalam tingkat selanjutnya memungkinkan terwujudnya kesadaran luhur. Dalam hal ini fungsi asosiasi, korelasi dan intelegensi ikut mengolah somestesi sehingga suatu benda dapat diketahui bentuk tanpa melihat benda tersebut.

JENIS-JENIS GANGGUAN SENSORIK

Gejala sensorik dapat diklasifikasikan dalam lima golongan:

  1. Hilang perasaan kalau dirangsang (anestesia).
  2. Perasaan terlalu berlebihan saat dirangsang (hiperestesia).
  3. Perasaan yang timbul secara spontan, tanpa adanya perangsangan (parestesia).
  4. Nyeri.
  5. Gerakan yang canggung serta simpang siur.

Anestesia dapat terjadi kalau reseptor impuls protopatik musnah atau penghantaran perifer dan sentralnya terhalang atau terputus. Pada kulit yang rusak karena luka bakar, reseptor impuls protopatik musnah seluruhnya, sehingga kawasan kulit yang mengalami kerusakan ini menjadi anestetik.

Hiperestesia biasanya berupa perasaan tidak enak atau perasaan tidak menyenangkan pada suatu daerah tubuh bila dirangsang secara wajar. Jika reseptor impuls protopatik atau serabut saraf perifer atau lintasan spinotalamiknya mengalami gangguan sehingga ambang rangsangnya menurun, maka perangsangan yang wajar menghasilkan perasaan yang berlebihan. Gangguan ini dapat bersifat mekanik, toksik atau vaskular yang ringan.

Parestesia dinyatakan sebagai kesemutan. Namun arti parestesia sesungguhnya ialah terasanya perasaan pada daerah permukaan tubuh tertentu yang tidak dibangkitkan oleh perangsangan khusus dari dunia luar. Tercakup dalam parestesia ialah perasaan dingin atau panas, kesemutan, rasa berat atau rasa dirambati sesuatu (Anderson, 2002).

III. DISKUSI / BAHASAN

Gangguan pada saraf perifer umumnya akan mengakibatkan gangguan sensorik negatif, yaitu hipoestesia/anestesia atau parestesia. Jika nyeri diakibatkan dari saraf perifer yang terjebak/terlibat dalam proses patologik pada tempat yang dilewati saraf perifer yang bersangkutan, ini dinamakan entrapment neuritis. Manifestasi gangguannya berupa sensorik dan gangguan motorik.

Pada kasus di skenario terdapat gangguan fungsional motorik dan sensorik pada ekstremitas superior penderita. Bisa disimpulkan ini adalah gangguan pada saraf perifer yang berasal dari plexus brachialis. Cabang-cabang penting dari plexus brachialis yang menginervasi ekstremitas superior adalah:

1. Nervus musculocutaneus

Saraf ini dipercabangkan oleh fasciculus lateralis dan di dalam perjalanannya akan menembus musculus coracobrachialis. Saraf ini akan menginervasi otot-otot flexores dari lengan atas dan articulatio cubiti.

2. Nervus medianus

Saraf ini dibentuk oleh persatuan dari fasciculus medialis dan fasciculus lateralis. Saraf ini terdistribusi pada kulit bagian anterior dan lateral dari tangan dan sebagian besar otot-otot flexores di bagian depan regio antebrachium.

3. Nervus radialis

Nervus ini disebut juga nervus musculospiralis. Nervus ini merupakan cabang dari fasciculus posterior dan merupakan cabang terbesar plexus brachialis. Nervus ini akan memberi inervasi bagian dorsal dari ekstremitas superior, yaitu kulit bagian dorsal regio brachium, antebrachium, dan regio manus. Nervus ini juga menginervasi musculus-musculus extensores di bagian dorsal regio brachium dan antebrachium. Dalam perjalanannya, nervus ini berjalan bersama arteri profunda brachii.

4. Nervus axillaris

Nervus ini berasal dari fasciculus posterior dan akan melewati fissura axillaris lateralis bersama dengan arteri circumflexa humeri posterior. Nervus ini akan menginervasi musculus deltoideus dan musculus teres minor. Cabang dari nervus ini yang memberi inervasi kulit regio brachium bagian dorsal adalan nervus cutaneus brachii lateralis.

5. Nervus ulnaris

Nervus ini merupakan cabang dari fasciculus medialis, terdistribusi di kulit bagian depan dan belakang dari tangan juga menginervasi beberapa otot flexor di bagian depan regio antebrachium.

Musculus thenar dinervasi oleh nervus medianus. Terjadi atrofi dan gangguan sensorik pada musculus thenar dapat diartikan adanya gangguan pada nervus medianus. Juga terdapat parestesia pada daerah tangan yang diinervasi oleh nervus medianus. Yaitu daerah volar dan dorsum dari falangs satu sampai setengah dari falangs empat.

Kerusakan pada upper motoneruon tidak akan menyebabkan atrofi pada musculus. Jika terjadi pengurangan pada ukuran otot bukan diakibatkan oleh atofi melainkan karena disuse atrophy. Tetapi kerusakan pada lower motoneuron akan menyebabkan atrofi otot. Karena lower motoneuron dan musculus yang diinervasinya merupakan satu kesatuan fisiologis dan jika terjadi gangguan maka akan terjadi atrofi.

Nervus medianus sering terjepit pada terowongan karpal, sehingga mengakibatkan parestesia yang menyakitkan. Karena kerja tangan yang terlalu keras misalnya pada mencuci (hiperaktivitas musculus pronator teres), nervus medianus mengalami iritasi di dekat caput musculus pronator teres dan juga terjadi kompresi di retinakulum volar pada nervus medianus. Kemudian akan meningkatkan tekanan intravasikuler yang menghambat aliran darah vena. Kekurangan nutrisi akan mengakibatkan anoksia yang berakibat pada kerusakan endotel sehingga terjadi kebocoran protein. Edema epineural terjadi karena kebocoran protein ini yang jika berlanjut dapat terjadi fibrosis epineural yang merusak nervus medianus.

Langkah pertama yang sering efektif adalah pemberian obat anti inflamasi non-steroid (NSAID). Tersedia bermacam-macam NSAID dengan efek antipiretik, analgesik dan antiinflamasi. Asam asetilsalisilat dan ibuprofen merupakan NSAID yang paling sering digunakan.

NSAID menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin (terutama PGE­1, PGE2, PGI2) mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergistis dengan produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian NSAID mengganggu mekanisme transduksi nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin.

Pengembangan tipe NSAID baru yang lebih spesifik bergantung pada pemahaman mengenai dua kelas sikooksigenase (COX) utama. Enim golongan ini membentuk salah satu dari beberapa jalur untuk metabolisme asam arakidonat., yaitu produk pemecahan sel manusia yang rusak atau mati. Salah satu kelas COX-1, secara konstitusif diekspresikan dan diperlukan untuk fungsi fisiologik normal di banyak sistem tubuh. Kelas kedua COX-2, diinduksi oleh peradangan dan bertanggung jawab menghasilkan berbagai hasil akhir peradangan yang menghasilkan nyeri. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat jalur COX-2. Sehingga akan memperkecil efek samping yang dihasilkan NSAID.

Pemberian NSAID hanya akan memperingan gejala tetapi bukan terapi kuratif. Gangguan pada terowongan karpal (carpal tunnel syndrome) harus menjalani terapi rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi dari nervus medianus yang tertekan. Jika terapi konservatif tidak berhasil karena parahnya kondisi makan dapat dilakukan sayatan retinakulum yang dapat dikerjakan secara endoskopik.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

  • NSAID bekerja melalui penghambatan enzim COX­­2.
  • Gangguan pada saraf perifer umumnya akan mengakibatkan gangguan sensorik negatif, yaitu hipoestesia/anestesia atau parestesia.
  • Modalitas sensorik yang kita terima adalah penerjemahan stimulus pada suatu titik tertentu pada susunan saraf pusat.
Diperlukan rehabilitasi medik untuk mengembalikan kondisi pasien

V. DAFTAR PUSTAKA

Mardjono, Mahar,. Sidharta, Priguna., 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta, Dian Rakyat, pp: 80-110

Hartwig, Mary S., Wilson, Lorraine M., 2006. Nyeri. Dalam : Price, Sylvia A. Patofisiologi, 6th ed vol.2. Jakarta, EGC, pp : 1063-1101

Syamsuhidajat R., Jong, Wim de., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC, pp : 1245-1246

Guyton, Arthur C., Hall, John E., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 9thed. Jakarta, EGC, pp : 727-740

Budianto, Anang., Azizi, M Syahrir., 2004. Guidance to Anatomy 1. Surakarta, Keluarga Besar Asisten Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, pp : 163-241

Douglas, Anderson M., Dorland, W.A Newman, 2002. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, p : 1607

Selengkapnya...

Kejang

TINJAUAN ATAS MEKANISME KEJANG

I. PENDAHULUAN

i. LATAR BELAKANG

Skenario :

KEJANG

Seorang wanita berumur 16 tahun datang di poliklinik penyakit saraf setelah sebelumnya mendapat serangan kejang untuk yang ke dua kalinya. Kedua serangan kejang tersebut diikuti dengan tidak sadar selama kira-kira 3 menit. Kemudian kesadarannya normal kembali dan dapat bekerja seperti sebelumnya. Penderita menyangkal adanya riwayat demam sebelumnya. Penderita juga menyatakan belum pernah periksa ke dokter maupun minum obat anti kejang setelah serangan kejang yang pertama kali. Dikatakan oleh penderita bahwa pada kejang yang kedua ini sebelum kejang penderita sedang bermain game di komputer.

Kemudian di poliklinik tersebut pada penderita akan dilakukan pemeriksaan EEG dan pemeriksaan laboratorium.

Sebelum umur satu tahun, penderita sering mengalami kejang pada saat badannya panas. Diriwayatkan juga bahwa jika penderita mengikuti upacara atau olahraga sering mengalami pingsan dan akan membaik setelah mendapat pertolongan dari petugas UKS, kejadian ini mulai sejak penderita menduduki bangku Sekolah Dasar.

Dalam setiap gerakan voluntar normal, diperlukan koordinasi dari sistem saraf pusat, neuron-neuron yang menghantarkan impuls serta dari otot sendiri. Jika kegiatan kooperasi antara otot-otot itu ditinjau dari mekanisme neuronal, maka hanya kegiatan otot-otot agonis saja direalisasi atas kedatangan impuls dari korteks motorik primer. Sedangkan kegiatan otot-otot antagonis, sinergis dan fiksator diatur secara reflektorik segmental di bawah pengarahan serebelum atas tanggapannya terhadap impuls proprioseptif. Jika terjadi pelepasan berlebihan dari neuron-neuron kortikal maka dapat terjadi kejang.

Kejang merupakan masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Diperkirakan bahwa satu dari sepuluh orang akan mengalami kejang pada suatu saat dalam hidup mereka. Dua puncak insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Seperti sudah disebutkan di atas, kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga menganggu fungsi normal otak. Kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam-basa atau elektrolit. Kejang jika terjadi dalam waktu singkat sebenarnya jarang mengakibatkan kerusakan, tetapi kejang yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan.

ii. RUMUSAN MASALAH

  1. Apa saja jenis-jenis kejang?
  2. Bagaimana mekanisme kejang?
  3. Apa saja faktor pencetus kejang?

iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

  1. Menjelaskan mekanisme terjadinya kejang.
  2. Menjelaskan fisiologi pelepasan muatan dalam sel saraf.
  3. Menjelaskan jenis-jenis kejang.

II. STUDI PUSTAKA

Impuls adalah sinyal listrik yang bergantung pada aliran ion yang menembus membran plasma neuron. Sinyal tersebut berawal sebagai suatu perubahan dalam gradien listrik yang melintasi membran plasma sel.

Sebenarnya semua sel hidup memiliki perbedaan muatan listrik yang melintas di kedua sisi membran plasmanya. Namun hanya neuron dan sel-sel otot yang mempunyai kemampuan untuk membangkitkan perubahan potensial membran. Neuron mempunyai saluran ion khusus (gated ion channel), yang memungkinkan sel tersebut mengubah potensial membrannya sebagai respon terhadap stimulus yang diterima oleh sel tersebut. Pengaruh stimulus pada neuron bergantung pada jenis saluran ion bergerbang yang akan terbuka oleh saluran ion tersebut. Beberapa stimulus memivu hiperpolarisasi, suatu peningkatan gradien listrik melintasi membran. Salah satu stimulus menghasilkan hiperpolarisasi dengan membuka saluran kalium, sehingga aliran kalium meningkat, yang menyebabkan potensial membran menjadi lebih negatif. Sebaliknya depolarisasi adalah penurunan gradien listrik melintasi membran. Salah satu caranya adalah membuka saluran natrium dengan stimulus, yang menyebabkan peningkatan aliran masuk natrium, sehingga potensial membran menjadi kurang negatif.

Pada sel yang dapat dirangsang, seperti neuron, respons terhadap stimulus membuatnya terdepolarisasi, diurutkan sesuai dengan intensitas stimulus sampai ke level depolarisasi tertentu, yang disebut potensial ambang. Jika depolarisasi mencapai potensial ambang, satu jenis respon yang berbeda yang disebut potensial aksi akan dihasilkan. Stimulus yang menghasilkan hiperpolarisasi tidak menghasilkan potensial aksi; pada kenyataannya, hiperpolarisasi malah membuat membran menjadi lebih sulit untuk menghasilkan potensial aksi karena rangsangan ini membuat membran lebih sulit mencapai harga ambang.

Kemudian stimulus ini diteruskan ke sel saraf berikutnya melalui sinaps. Terdapat sinaps yang berupa sinaps listrik. Ditandai oleh adanya saluran langsung yang menjalankan aliran listrik dari satu sel ke sel berikutnya. Kebanyakan saluran ini terdiri atas struktur tubuler protein kecil yang disebut gap junction yang memudahkan pergerakan ion-ion secara bebas dari bagian suatu sel ke sel berikutnya. Di dalam sistem saraf pusat hanya sedikit dijumpai gap junction, dan artinya secara umum belum diketahui.

Hampir semua sinaps yang dipakai untuk menjalarkan sinyal pada sistem saraf pusat manusia adalah sinaps kimia. Pada sinaps kimia ini, neuron pertama yang menyekresi bahan kimia disebut neurotransmitter pada sinaps, dan bahan transmitter ini sebaliknya akan bekerja pada reseptor protein dalam membran neuron berikutnya sehingga neuron tersebut akan terangsang, menghambatnya, atau mengubah sensitivitasnya dalam berbagai cara. Beberapa diantara transmitter misalnya asetilkolin, norepinefrin, histamin, gamma-aminobutirat (GABA), glisin, serotonin dan glutamat.

Sinaps kimia selalu menjalarkan sinyal dalam satu arah, yakni dari neuron yang menyekresi transmitter yang disebut neuron presinaps, ke neuron di mana bahan transmiter tadi bekerja, yang disebut neuron postsinaps. Hal ini dikenal sebagai prinsip konduksi satu arah pada sinaps kimia, dan penjalaran melewati sinaps listrik yang dapat menjalarkan sinyal secara dua arah.

Kejang adalah kontraksi involunter otot atau sekelompok otot secara mendadak dan keras disertai nyeri dan gangguan fungsi, menghasilkan gerakan involunter dan distorsi episode tunggal epilepsi. Dapat pula diartika sebagai kejadian paroksisimal yang disebabkan oleh lepas muatan hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan neuron susunan saraf pusat yang diakibatkan oleh suatu kedaan patologik (Dorland).

Kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakrtanium, gejala putus obat, intoksikasi obat, atau ensefalopati hipertensi. Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalam fungsi motorik, sensorik dan otonom. Istilah kejang bersifat generik, dan dapat digunakan penjelasan lain mengenai kejang. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik sering disebut kejang. Kejang konvulsi biasanya menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter meluas dari satu bagian tubuh ke seluruh tubuh atau mungkin terjadi secara mendadak disertai keterlibatan seluruh tubuh. Status epileptikus adalah suatu kejang berkepanjangan atau serangkaian kejang repetitif tanpa pemulihan kesadaran antariktus.

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:

· Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

· Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.

· Keadaan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gamma-aminobutirat.

· Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa dan elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinal selama dan setelah kejang.

Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakan kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran menurun tetapi tidak hilang).

Kejang parsial dimulai biasanya di korteks serebrum. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia dan de javu adalah contoh gangguan psikis pada kejang parsial. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya kesadaran.

Lepas muatan pada kejang parsial kompleks sering berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan fungsi pada serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunter yang terkoordinasi dikenal sebagai perilaku otomatis. Kejang parsial kompleks dapat meluas menjadi kejang generalisata.

Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berwal dari kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau peringatan lebih dahulu.

Kejang absence (petit mal) ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak, awitan jarang dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin menghilang setelah pubertas atau diganti dengan kejang tipe lain.

Kejang tonik-klonik (grand mal) adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik diawali dengan hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkotinensia urin dan alvi disertai disfungsi autonom. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit karena spasme rahang dan lidah. Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit hingga 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya.

Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan menyebabkan efek neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebabkan oleh meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang mengakibatkan timbulnya efek sekunder atau lambat. Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat mengakibatkan henti jantung dan nafas.

Kejang tonik-klonik demam yang biasa disebut kejang demam, paling sering terjadi pada anak usia dibawa 5 tahun. Teori menyarankan bahwa kejang ini terjadi karena hipertermia yang muncul secara cepat karena infeksi bakteri atau virus. Kejang ini umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Biasanya kejang tidak berlanjut sampai dewasa, namun pada beberapa kasus kejang demam dapat berlanjut menjadi kejang tanpa demam pada usia dewasa.

III. DISKUSI / BAHASAN

Pada saat pasien berusia kurang dari satu tahun, pasien sering mengalami kejang pada saat badannya panas. Kejang demam ini merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 380C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam memang sering dijumpai pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun.

Keseimbangan potensial membran dibentuk oleh beberapa komponen misalnya ion Natrium yang dalam jumlah besar berada di luar sel juga ion kalium yang dalam jumlah besar berada dalam sel. Ion Natrium pada dasarnya lebih sulit untuk masuk ke dalam sel, sedangkan kalium lebih mudah untuk masuk ke dalam sel. Untuk menjaga keseimbangan ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:

  • Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
  • Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
  • Perubahan patofiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan pada membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lain dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda, mungkin disebabkan oleh kekurangan antikonvulsan alamia misalnya gamma-aminobutirat acid (GABA) sehingga neuron-neuron kortikal anak ini mudah terganggu dan bereaksi dengan mengeluarkan muatan listriknya secara menyeluruh.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Selanjutnya maka dapat terjadi kerusakan permanen dari neuron. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel seuron otak.

Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.

Demam sendiri merupakan keadaan di mana nuklei intralaminer talami menjadi lebih peka untuk diaktifkan atau merupakan keadaan dimana ambang lepas muatan listrik neuron-neuron kortikal direndahkan, sehingga kejang umum mudah terjadi.

Tiap neuron aktif akan melepaskan muatan listriknya. Pada kejang terjadi pelepasan berlebihan dari neuron-neuron kortikal. Aktifitas ini dapat terekam melalui alat yang dinamakan elektroensefalografi (EEG). EEG adalah alat yang mengukur aktifitas listrik di otak melalui elektroda yang ditempatkan di kulit kepala. Didapatkan kelainan pola EEG pada beberapa kelainan otak termasuk kejang, sehingga EEG dapat menjadi alat bantu untuk menegakkan diagnosis tetapi bukan merupakan gold standard dalam menentukan diagnosis kejang.

Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Potensial aksi ini disalurkan melalui akson yang bersinaps dengan dendrit neuron lain. Pada keadaan patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron., sehingga neuron melepaskan muatan listriknya. Manifestasi klinisnya berupa kejang atau terasanya suatu modalitas perasaan. Pengaruh keadaan patologik tersebut tidak terus menerus menggalakkan neuron-neuron di sekitarnya. Belum diketahui mengapa lepas muatan terjadi hanya sewaktu-waktu saja. Namun demikian beberapa penyelidikan mengungkapkan bahwa neurotransmittter asetilkolin merupakan zat yang merendahkan potensial membran postsinaptik. Apabila sudah cukup asetilkolin yang tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik neuron-neuron kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh neuron-neuron kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada keadaan awas-waspada lebih banta astelikolin merembes keluar dari permukaan otak daripada selama tidur. Pada jejas otak terdapat lebih banyak astelkolin daripada dalam keadaan otak sehat. Misalnya pada sikatriks setempat dapat menimbulkan penimbunan asetilkolin. Penimbunan astelikolin setempat harus mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan neuron dapat terjadi.

Hilangnya kesadaran pada saat kejang tidak dapat diterima sebagai manifestasi lepas muatan listrik neuron-neuron kortikal. Dalam hal ini yang secara primer melepaskan muatan listriknya adalah nuklei intralaminer talami, yang dikenal juga sebagai centrecephalic. Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan asendens ekstralemniskal. Input korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan menghasilkan kejang otot seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.

Penyelidikan juga mengungkapkan adanya bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti laminar talamik, sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot skeleta.

Inti-inti laminar talamik juga dapat digalakkan oleh lepasa muatan listrik dari sekelompok neuron-neuron kortikal. Pada gilirannya inti-inti intralaminar talamik melepaskan muatan listriknya dan merangsang seluruh neuron kortikal. Kejang tonik-klonik yang menyeluruh hampir selalu dapat dianggap sebagai manifestasi primer lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik.

IV. KESIMPULAN

  1. Kejang terjadi karena terjadi pelepasan berlebihan muatan listrik dari neuron-neuron kortikal.
  2. Tidak sadar dapat disebabkan oleh karena tidak adanya input korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik.
Selengkapnya...

Stroke Iskemik

TINJAUAN ATAS MEKANISME STROKE ISKEMIK

I. PENDAHULUAN

i. LATAR BELAKANG

Skenario:

KELEMAHAN ANGGOTA GERAK

Seorang laki-laki umur 48 tahun diantar oleh istri dan anaknya ke Instalasi Rawat Darurat RSU oleh karena sakitnya. Diceritakan oleh istrinya bahwa dua hari yang lalu penderita tiba-tiba sulit bicara dan kemudian sembuh sendiri tanpa pertolongan dokter. Tadi pagi, setelah bangun tidur yaitu kurang lebih 8 jam sebelum masuk rumah sakit tiba-tiba penderita terjatuh, dikatakan bahwa anggota gerak sebelah kanan terasa kesemutan, tidak bisa digerakkan dan bicara pelo. Tidak ada riwayat nyeri kepala, penurunan kesadaran maupun muntah.

Penderita mempunyai riwayat penyakit serupa kurang lebih satu tahun yang lalu dan mondok selama satu minggu. Diceritakan juga oleh istrinya bahwa setelah mondok, penderita sering lupa terhadap nama anaknya dan sering berulang-ulang menanyakan hal-hal yang sama padahal sudah dijawab pertanyaan tersebut.

Kurang lebih sudah empat tahun penderita secara teratur kontrol di Puskesmas dan oleh dokter diberi obat untuk tekanan darah tinggi. Dokter Puskesmas tersebut selalu menasihati pada penderita tersebut untuk berhenti merokok, tetapi tidak pernah diindahkannya. Penderita memiliki kegemaran makan makanan berlemak dan kurang olahraga.

Penderita disarankan untuk rawat inap untuk mendapatkan perawatan, pengobatan dan pemulihan anggota geraknya. Pasien setuju untuk dirawat inap dan dia mempertanyakan apakah dia bisa sembuh kembali.

Dalam setiap gerakan voluntar normal, diperlukan koordinasi dari sistem saraf pusat, neuron-neuron yang menghantarkan impuls serta dari otot sendiri. Jika kegiatan kooperasi antara otot-otot itu ditinjau dari mekanisme neuronal, maka hanya kegiatan otot-otot agonis saja direalisasi atas kedatangan impuls dari korteks motorik primer. Sedangkan kegiatan otot-otot antagonis, sinergis dan fiksator diatur secara reflektorik segmental di bawah pengarahan serebelum atas tanggapannya terhadap impuls proprioseptif.

Jika terjadi gangguan pada otot, neuron atau sistem saraf pusat maka dapat terjadi gangguan terhadap gerakan otot voluntar. Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf disebut lesi. Lesi dapat diakibatkan oleh perdarahan, trombosis atau embolisasi, peradangan, degenerasi dan penekanan oleh proses desak ruang dan sebagainya. Suatu lesi yang melumpuhkan fungsi kawasan yang didudukinya dikenal sebagai lesi paralitik sebagai tandingan dari lesi iritatif, yaitu lesi yang merangsang daerah yang didudukinya.

ii. RUMUSAN MASALAH

  1. Hubungan kebiasaan pasien, riwayat penyakit dahulu dengan kondisi sekarang?
  2. Mekanisme kelemahan anggota gerak pada pasien?
  3. Faktor risiko dan prognosis penyakit yang diderita pasien?

iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

  1. Menjelaskan mekanisme terjadinya stroke iskemik.
  2. Mengetahui prognosis dan faktor risiko stroke iskemik.
  3. Mengetahui gejala dan tanda stroke iskemik.

II. STUDI PUSTAKA

Timbulnya gangguan pada gerakan voluntar terjadi bilamana salah satu komponen dari susunan neuromuskuler tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Berdasarkan komponen susunan neuromuskuler mana yang terkena lesi, maka gangguan gerakan voluntar itu dapat berupa:

  1. Kelumpuhan, yaitu hilangnya tonus otot sehingga gerakan voluntar sukar atau sama sekali tidak bisa dilakukan akibat lesi di:

a. Susunan piramidal

b. ‘final common path

c. ‘motor end plate’

d. otot

  1. Hilangnya ketangkasan gerakan voluntar (namun dengan utuhnya tenaga muskular) akibat lesi di susunan ekstrapiramidal, yaitu di:

a. ganglia basalia

b. serebelum

Penyakit yang timbul akibat lesi vaskular di susunan saraf merupakan penyebab kematian nomor dalam urutan daftar kematian di Amerika Serikat. Sebagai masalah kesehatan masyarakat, penyakit ini juga merupakan penyebab utama kecacatan(Price, 2006).

Lesi vaskular di susunan saraf dapat terjadi pada otak, batang otak atau mungkin medula spinalis. Penyakit dengan lesi vaskular di otak dikenal dengan nama CVD (cerebral vascular disease). CVD ini memiliki manifestasi klinis yang lebih kita kenal sebagai “stroke” (Anderson, 2002).

Stroke dalam bahasa Inggris berarti serangan, dalam dunia medis stroke berarti serangan mendadak dan berat karena gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologik akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi darah otak (Mardjono, 2008).

Stroke dibagi menjadi dua, stroke hemoragik dan non hemoragik. Stroke hemoragik diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro aneurisma dari Charcot atau etat crible di otak. Dibedakan diantara: perdarahan intraserebral, subdural dan subaraknoid. Stroke ini merupakan sekitar 20% dari semua stroke (Mardjono, 2008).

Perdarahan dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur-struktur saraf di dalam tengkorak. Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan spontan ataupun traumatik. Mekanisme terjadinya iskemia dibagi menjadi dua. Pertama, tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah dalam tengkorak yang volumenya tetap. Kedua, terjadi vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh darah yang terpajan ke darah bebas di dalam ruang antara lapisan araknoid dan pia mater menings. Biasanya stroke hemoragik terjadi secara akut dan menyebabkan kerusakan fungsi otak serta penurunan kesadaran. Jika perdarahan terjadi lambat, kemungkinan pasien akan mengalami nyeri kepala hebat (Mardjono, 208).

Stroke non hemoragik atau stroke iskemik pada dasarnya diakibatkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis arteri otak atau yang mevaskularisasi otak atau suatu emboli dari arteri di luar otak yang kemudian tersangkut di arteri otak. Stroke jenis ini merupakan 80% dari semua stroke (Price, 2006).

Sumbatan pada arteria karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang yang berusia lebih lanjut, yang sering mengalami pembentukkan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga terjadi penyepitan atau stenosis. Pangkal arteria karotis interna (tempat arteria karotis komunis bercabang menjadi arteria karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya arterosklerosis. Aterosklerosis arteria serebri media dan anterior lebih jarang terjadi. Darah terdorong melalui sistem vaskular oleh gradien tekanan, tetapi pada pembuluh darah yang menyempit, aliran darah yang lebih cepat pada lumen yang lebih kecil akan menurunkan gradien tekanan di tempat konstriksi tersebut. Apabila stenosis mencapai suatu tingkat kritis tertentu, maka meningkatnya turbulensi di sekitar penyumbatan akan mengakibatkan penurunan tajam kecepatan aliran. Penyebab lain stroke ini adalah vasospasme, yang sering merupakan respon vaskular reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan pia mater meningen. Sebagian besar stroke iskemik tidak menimbulkan nyeri, karena jaringan otak tidak peka terhadap nyeri. Namun pada pembuluh darah besar di leher dan batang otak memiliki banyak reseptor nyeri, dan cedera pada pembuluh-pembuluh darah ini saat serangan iskemik dapat mengakibatkan nyeri kepala (Mardjono, 2008).

Gejala umum stroke bisa berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau tungkai, terutama di salah satu sisi tubuh. Karena lesi vaskular regional di otak timbullah gejala hemiparalisis atau hemiparesis yang kontralateral terhadap sisi lesi. Ini disebabkan karena adanya persilangan saraf pada decusatio pyramidal sehingga gangguan pada hemisfer kiri akan mengakibatkan gangguan pada tubuh sebelah kanan dan begitu juga sebaliknya. Jika gangguan terletak pada batang otak sesisi maka terjadi hemiparesis atau hemiparestesi alternans. Yaitu pada tingkatan lesi hemiparesis atau hemiparestesi bersifat ipsilateral sedangkan distal dari lesi bersifat kontralateral. Gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata; bingung mendadak; tersandung selagi berjalan, pusing bergoyang, hilangnya keseimbangan atau koordinasi, dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas juga merupakan tanda-tanda stroke. Secara umum gejala bergantung pada besar dan letak lesi pada otak, yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut (Martono, 2007).

III. DISKUSI / BAHASAN

Setelah umur 50 tahun terdapat kecenderungan arteri-arteri serebral kecil mengalami proses aterosklerosis. Sehingga pada pasien yang telah berusia 48 tahun terdapat predisposisi untuk mengalami aterosklerosis. Aterosklerosis menyebabkan plak yang dapat menutup 80-90% lumen arteri. Arteri-arteri yang mengalami plak cenderung mengalami trombosis karena intima arteri sudah rusak dan lumen arteri sudah sempit. Pada keadaan ini terjadi turbulensi yang mudah mengakibatkan trombus. Trombus yang terbentuk dapat terlepas dan mengakibatkan embolisasi (Mardjono, 2008).

Dua hari yang lalu pasien tiba-tiba sulit bicara dan kemudian sembuh sendiri. Pada otak terdapat arteri-arteri kolateral yang akan saling mengkompensasi kekurangan oksigen jika terjadi oklusi arteri pada salah satu sisi. Sehingga jika terjadi oklusi arteri pada satu sisi maka kerusakan tidak akan terjadi kerusakan terlalu parah karena sirkulasi kolateral akan mengkompensasi kekurangan oksigen. Namun sampai arteri kolateral dapat mengkompensasi kekurangan oksigen tetap terjadi keluhan tergantung area yang mengalami kekurangan oksigen. Tetapi jika terjadi pada daerah-daerah yang kurang memiliki sirkulasi kolateral maka kerusakan yang terjadi permanen karena sel saraf tidak dapat beregenerasi. Serangan iskemik transien (TIA) adalah defisit neurologik mendadak dan singkat akibat iskemi otak fokal yang kembali membaik kurang dari 24 jam (Price, 2006).

Di dalam otak juga terdapat faktor yang mempengaruhi perdarahan regional yang dinamakan autoregulasi otak. Pembuluh serebral menyesuaikan lumennya pada ruang lingkupnya. Apabila tekanan intraluminal meninggi maka arteri mengalami konstriksi dan arteri pada perifer mengalami dilatasi sehingga aliran darah yang mengalir pada otak tetap relatif konstan. Begitu juga sebaliknya, jika tekanan intraluminal menurun maka arteri mengalami dilatasi dan arteri perifer mengalami konstriki sehingga pengaliran darah lebih diutamakan pada organ-organ vital tubuh (Mardjono, 2008).

Faktor-faktor biokimiawi regional juga mempengaruhi lumen arteri serebral. Dalam lingkungan dengan CO2 tinggi, arteri serebral berdilatasi dan CBF(Cerebral Blood Flow) bertambah karena resistensi vaskular menurun. Jika kadar CO2 menurun misalnya saat hiperventilasi, arteri serebral menyempit dan CBF cepat menurun (Mardjono, 2008).

Iskemia serebri regional akibat stenosis salah satu arteri, namun yang tidak disertai dengan kemunduran metabolismenya akan menghasilkan peningkatan PCO2­ regional, yang akan membangkitkan vasodilatasi di arteri-arteri kolateral dan menggiatkan sirkulasi kolateral. Akan tetapi apabila iskemia melumpuhkan metabolisme regional, mekanisme untuk mengadakan peningkatan sirkulasi kolateral tidak dapat beroperasi lagi. Pada iskemi serebral yang bersifat regional akibat penyumbatan arteri, CO2 tertimbun di dalam daerah iskemik dan PO2 regional menurun. Keadaan ini menggiatkan sirkulasi kolateral untuk meningkatkan CBF daerah yang iskemik itu (Mardjono, 2008).

Pada daerah iskemik didapati tekanan perfusi yang rendah, PO2 menurun serta tertimbunnya asam laktat dan CO2. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat daerah iskemik itu tetap tidak dapat diselamatkan oleh mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Mekanisme autoregulasi sendiri akan berkurang seiring dengan usia. Baroreseptor pada arteri juga akan rusak pada plak aterosklerosis sehingga akan mempersulit mekanisme kompensatorik pada daerah iskemi (Mardjono, 2008).

Selain kompensasi melalui autoregulasi, kompensasi juga bisa dilakukan dengan meninggikan tekanan perfusi untuk mengkompensasi arteri serebral yang sudah menyempit. Ambang kritis tekanan perfusi daerah tersebut lebih tinggi dari daerah otak lainnya yang tidak mengalami trombosis parsial. Pada adanya kecenderungan hipotensi seperti yang sering dijumpai pada orang tua dengan arterosklerosis, penderita penyakit jantung dengan aritmia dan heart block serta hipotensi ortostatik akibat obat antihipertensi jenis blokade ganglion, maka tekanan perfusi dapat menurun melewati ambang kritis sehingga CBF regional tidak dapat memenuhin kebutuhan daerah itu (Mardjono, 2008).

Pada penyumbatan arteri serebral maka tiap tindakan yang dapat menimbulkan vasodilatasi serebral, seperti inhalasi CO2 atau pemberian obat vasodilator akan memperbesar CBF daerah otak yang sehat namun menyedot darah dari daerah yang iskemik. Inilah keadaan yang dinamakan steal syndrome. Tetapi bila vasokonstriksi serebral diadakan dengan jalan hiperventilasi misalnya, maka darah dari bagian otak yang sehat akan diterima secara pasif oleh pembuluh darah di dalam daerah iskemik itu. Oleh karena itu di situ terdapat vasoparalisis yang berarti bahwa resistensi vaskularnya minimal. Fenomenom ini dinamakan inverse steal syndrome (Mardjono, 2008).

Penderita mengalami keluhan setelah bangun tidur. Dapat disebabkan karena saat tidur, pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun sehingga memungkinkan untuk terjadinya trombosis pembuluh besar dengan aliran darah lambat (Price, 2006).

Tiba-tiba penderita terjatuh, kesemutan pada sebelah kanan tubuh dan bicara pelo. Jika terjadi oklusi pada arteri dan menyebabkan lesi pada hemisfer sebelah kiri maka dapat terjadi kelumpuhan pada bagian tubuh sebelah kanan, begitu juga sebaliknya. Jika gangguan terdapat pada upper motoneuron akibat lesi di otak maka terjadi hemiplegia atau hemiparesis. Jika gangguan terdapat pada batang otak daerah susunan piramidal maka terjadi hemiplegia alternans. Lesis sesisi pada atau hemilesi yang terjadi pada otak jarang dijumpai di medula spinalis, sehingga kelumpuhan upper motoneuron akibat lesi di medula spinalis umumnya berupa tetraplegia atau paraplegia. Lesi juga mungkin terjadi pada lower motoneuron akibat kerusakan pada final common path, motor end plate, dan otot. Kelumpuhan juga mungkin terjadi pada otot penderita. Gangguan yang terdapat pada saraf atau otot akan mengganggu sistem duromuskuler dan menakibatkan kelumpuhan. Kelumpuhan pada otot lidah atau gangguan kerja sama antara bibir, pita suara, dan otot-otot masseter akan menyebabkan penderita mengalami disartria misalnya pada paralisis bulbaris. Lesi pada korteks mempunyai gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak sisi. Hilangnya sensasi kortikal (stereognosis, diskriminasi dua titik) ambang sensorik yang bervariasi. Kurang perhatian terhadap rangsangan sensorik, dan mungkin juga mengganggu bicara dan penglihatan. Lesi pada kapsula mengenai daerah kontralateral yang lebih luas, sensasi primer menghilang, dan juga mengganggu bicara dan penglihatan. Lesi di batang otak juga mengakibatkan kelumpuhan kontralateral yang luas, mengenai saraf kepala sesisi dengan letak lesi (III-IV otak tengah), (V,VI,VII dan VIII di pons), (IX,X,XI,XII di medula) (Martono, 2007).

Jika kerusakan terjadi pada otak sebelah kiri maka akan terjadi paralisis sisi kanan tubuh. Serta terjadi defisit bahasa-bicara, dengan tipe perilaku hati-hati lambat dan defisit ingatan (bahasa). Jika kerusakan terjadi pada otak sebelah kanan maka akan terjadi paralisis sisi kiri tubuh. Disertai defisit persepsi bicara dengan tipe perilaku impulsif cepat dan defisit ingatan (tampilan) (Martono, 2007).

Penderita ternyata juga menderita keluhan yang sama satu tahun yang lalu dan kemudian sering lupa. Ini berarti juga penderita telah beberapa kali mengalami TIA yang juga bisa menjadi tanda akan terjadinya infark serebrum di masa mendatang. Penderita juga mengalami gangguan kualitas kesadaran berupa gangguan memori. Pada demensia terjadi gangguan daya kognitif global serta gangguan fungsi luhur oleh karena metabolisme neuron-neuron kedua belah hemisferium tertekan atau dilumpuhkan oleh berbagai sebab. Demensia tidak disertai gangguan derajat kesadaran namun bergandengan dengan perubahan tabiat yang dapat berkembang secara mendadak atau sedikit demi sedikit pada setiap orang dari semua golongan usia. Tidak demikian halnya dengan amnesia, pada amnesia gangguan ingatan tidak disertai dengan gangguan kognitif (Mardjono, 2008).

Tekanan darah tinggi, merokok, makanan berlemak dan kurang olahraga akan menaikkan risiko untuk arterosklerosis. Rokok akan menaikkan kadar fibrinogen yang mengakibatkan penyempitan arteri. LDL teroksidasi yang masuk ke dalam lapisan subendotel juga mengakibatkan arterosklerosis (Mardjono, 2008).

IV. KESIMPULAN

1) Stroke iskemik diakibatkan oleh oklusi pembuluh darah serebral yang kerusakannya tidak terkompensasi oleh mekanisme kompensatorik.

2) Jika sudah terjadi kematian sel saraf maka kerusakannya irreversibel.

3) Aterosklerosis dapat menyebabkan trombus yang kemudian menyebabkan embolisasi arteri serebral.

4) Hipertensi, merokok, makan makanan berlemak dan kurang olahraga menaikkan faktor risiko terkena serangan stroke.

Selengkapnya...

Selasa, 22 Juli 2008

TINJAUAN ATAS CACING TAMBANG PENYEBAB ANEMIA

I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
SKENARIO :
KENAPA SAYA DIARE?
 Seorang pria, petani, berumur 43 tahun, datang dengan keluhan sakit perut dan diare lendir, kadang berdarah, selama kurang lebih 1 bulan. Pasien juga mengeluh cepat lelah setelah beraktivitas, sering berkunang-kunang dan dada berdebar-debar, serta kadang tubuh terasa gatal.
 Pada pemeriksaa fisik ditemukan : pecah-pecah di tepi mulut, konjungtiva pucat. Nyeri tekan lepas daerah Mc Burney (-). Auskultasi didapatkan takikardi, bising sistolik dan ronki basah basal paru.
 Kondisi rumah pasien berlantai tanah, sumber air minum dari sumur yang berjarak 2 meter dari ‘jumbleng/sumuran terbuka’ (tempat BAB tradisional). Beberapa tetangganya juga mempunyai keluhan yang mirip (diare).
 Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia berat dan eosinofilia. Pemeriksaan mikroskopis tinja didapatkan telur cacing, protozoa dan bakteri.
 Anemia adalah penurunan konsentrasi eritrosit atau hemoglobin dalam darah di bawah normal, terjadi ketika keseimbangan antara kehilangan darah dan produksi terganggu (Anderson, 2002). Anemia dapat diakibatkan oleh berbagai hal, salah satunya infestasi parasit dalam tubuh. 
 Manifestasi parasit juga mengakibatkan eosinofilia. Eosinofil dalam darah naik untuk mengatasi infestasi parasit. Tergantung dari mekanisme pertahanan tubuh apakah mampu mengeliminasi parasit atau tidak mampu mengeliminasi seluruh parasit sehingga mengakibatkan infeksi kronis.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Mekanisme anemia yang ditimbulkan parasit
2. Gejala klinis pada infestasi parasit
3. Tinjauan mengenai diare yang diakibatkan oleh parasit
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui daur hidup parasit
2. Mengetahui gejala dan tanda yang menyertai
3. Mengetahui pengobatan yang tepat pada kasus
II. STUDI PUSTAKA
 Penyakit cacing tambang paling sering disebabkan oleh Necator americanus, Ancylostoma duodenale. Penyakit ini tersebar di daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak disebabkan oleh Necator americanus (Pohan, 1996).
 Cacing tambang ditularkan melalui tanah yang terkontaminasi tinja yang mengandung larva infektif. Telur dihasilkan cacing betina dan keluar melalui tinja. Bila telur tersebut jatuh di tempat yang hangat, lembab dan basah, maka telur berpotensi menetas. Telur cacing yang ditemukan dalam tinja akan menetas menjadi larva rhabditiform dalam 1-2 hari atau setelah 3 minggu. Larva rhabditiform kemudian berubah menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit manusia. Bila larva filariform menembus kulit manusia maka terjadi ground itch pada kulit. Jika larva filariformis kontak dengan kulit, maka ia akan mengadakan penetrasi melalui kulit, kemudian menuju jantung kanan, bermigrasi sampai paru-paru dan kemudian turun ke usus halus (Mansjoer, 2005).
 Gejala klinis yang muncul adalah rasa gatal di kaki, pruritus, dermatitis dan kadang makulopapula sampai vesikel merupakan gejala pertama yang disebabkan invasi larva cacing tambang. Selama larva ini berada di dalam paru-paru dapat menyebabkan gejala batuk darah, yang disebabkan pecahnya kapiler dalam alveoli paru, dan berat ringannya keadaan ini bergantung pada banyaknya jumlah larva cacing yang melakukan penetrasi ke dalam kulit (Pohan, 1996).
 Pada paru-paru larva memasuki alveoli dan dibawa menuju glottis dengan gerakan silia pada traktus respiratorius. Pada migrasi ini larva ini berganti kulit dua kali, membentuk kapsula bukalis dan menjadi bentuk dewasa. Menggunakan kapsula bukalis ini menempelkan dirinya pada kelenjar mukosa duodenum sebelah bawah, jejunum dan bagian proksimal dari ileum. Rasa tak enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus), diare merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi lebih kurang dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit (Pohan, 1996).
 Dapat terjadi kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh dermatitis berat jika pasien sensitif. Anemia berat yang terjadi juga sering menyebabkan gangguan pertumbuhan, perkembangan mental dan payah jantung (Pohan, 1996).
 Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa untuk menimbulkan gejala anemia tersebut tentunya juga bergantung pada kondisi gizi pasien (Pohan, 1996). Necator americanus dan Ancylostoma duodenale dapat menyebabkan anemia mikrositik hipokromik. Tiap cacing N.americanus menyebabkan kehilangan darah 0,005-0,100 ml sehari dan A.duodenale 0,08-0,34 ml sehari. Keadaan ini tidak menyebabkan kematian tetapi dapat menurunkan daya tahan tubuh dan prestasi kerja.
 Enzim proteolitik chatepsin D pada cacing tambang memainkan peranan dalam mendigesti hemoglobin (Loukas, 2002).
 Pada ibu yang masih menyusui bayi dapat terjadi penularan kepada bayi karena cacing tambang dapat menular melalui ASI dan colostrum.
 Pada pemeriksaan mikroskopis, N.americanus dan A.duodenale dapat dibedakan dengan melihat bagian gigi pada cacing.
III. DISKUSI / BAHASAN
 Diare pada kasus skenario dapat diakibatkan infeksi cacing tambang pada daerah usus. Diare merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi kurang lebih dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit (Pohan, 1996).
 Diare sebenarnya juga bisa disebabkan amebiasis, yang merupakan infeksi usus besar oleh E.histolytica. Diare pada amebiasis juga mengakibatkan tinja bercampur darah dan lendir. Namun pada amebiasis terjadi demam, sedangkan pada skenario pasien tidak menderita demam. Schistosomiasis juga dapat menyebabkan diare.
 Disentri juga merupakan salah satu penyebab diare. Disentri atau shigellosis adalah suatu radang akut disebabkan oleh kuman genus Shigella. Secara klinis mengakibatkan diare berlendir disertai darah, perut sakit dan tenesmus .
 Gejala-gejala seperti cepat lelah setelah beraktivitas, sering berkunang-kunang, dada berdebar-debar dan konjungtiva pucat merupakan tanda-tanda anemia. Anemia yang disebabkan oleh cacing tambang disebabkan enzim protease chatepsin D. Enzim proteolitik chatepsin D yang dimiliki oleh cacing tambang dapat digunakan untuk menghancurkan makromolekul kulit. Dengan jalan demikian cacing dapat masuk melalui kulit dan juga migrasi jaringan (Loukas, 2002). Gigi yang terdapat pada cacing tambang digunakan untuk menempel pada tunika mukosa, hal ini mengakibatkan perdarahan. Cacing mendisgesti darah yang keluar dari usus degan kaskade multienzim metalohemoglobinase. Saat cacing menempel pada tunika mukosa dia juga mengeluarkan antikoagulan yang langsung mencegah kerja dari antikoagulan Xa dan faktor jaringan VIIa untuk mencegah koagulasi.
 Apendisitis juga mungkin terjadi pada kasus infeksi oleh cacing tambang. Namun pada skenario tanda nyeri tekan lepas daerah Mc Burney negatif yang menandakan tidak adanya apendisitis. Daerah Mc Burney terletak pada 1/3 lateral garis khayal antara SIAS dan umbilikus.
 Pengobatan diberikan bergantung pada kondisi umum penderita. Pertama keadaan umum penderita harus diperbaiki dengan memberikan cukup protein dan makanan yang baik. Kemudian berikan obat cacing seperti alkopar, tetrakloetilen, pirantel pamoat dan mebendazol. Yang juga harus dilakukan adalah mengatasi anemianya, bisa dengan pemberian sulfas ferosus. Bila terdapat anemia megaloblastik dapat diberikan asam folat. Pada keadaan berat dengan kondisi umum yang buruk dapat diberikan transfusi darah dan preparat besi.
 Mebendazol adalah obat antelmintik yang paling luas spektrumnya. Mebendazol berupa bubuk berwarna putih kekuningan, tidak larut dalam air, tidak bersifat higrokopis sehingga stabil dalam keadaan terbuka dan rasanya enak.
 Mebendazol sangat efektif untuk mengobati infestasi cacing tambang, cacing gelang, cacing kremi, dan T.trichiura, maka berguna untuk infestasi cacing tersebut. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetikolinesterase cacing. Obat ini juga mengahambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing. Cacing akan mati perlahan-lahan dan hasil terapi yang memuaskan baru nampak setelah tiga hari pemberian obat. Obat ini juga menimbulkan sterilitas pada telur cacing T.trichiura, cacing tambang, dan askaris sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva (Ganiswara, 1995).
 Pada kasus ini terlihat pasien mengalami infeksi multipel. Terdapat bakteri, telur cacing dan protozoa. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat bakteri dan protozoa apa yang terdapat pada feses tersebut. Namun pada kasus ini gejala epidemiologi dan gejala klinis mengarah ke infeksi cacing tambang.
IV. KESIMPULAN
1. Pasien mengalami anemia karena infestasi cacing tambang
2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk memastika diagnosis
3. Pasien terinfeksi karena rumahnya berlantai tanah, juga profesinya sebagai petani yang sering terpapar dengan tanah
4. Banyak orang di daerah tempat tinggalnya juga terinfeksi cacing tambang
SARAN
1. Perbaikan higiene air minum, jika perlu gunakan PAM
2. Perbaikan lokasi BAB dan sumber air minum
3. Gunakan alas kaki saat bekerja
4. Berikan lantai keramik atau paling tidak alas pada tanah rumah


V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, pp : 92
Ganiswara, Sulistia, 1995. Farmakologi dan Terapi, 4th ed. Jakarta , Gaya Baru, pp : 526-527
Mansjoer, Arif, et al, 2002. Necatoriasis dan Ancylostomiasis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, p : 418
Pohan, Heriman T, 1996. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 3thed. Jakarta, Gaya Baru, pp : 515-516
American Family Physician , 2004. Common Intestinal Parasites. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=3&did=1401800551&SrchMode=1&sid=1&Fmt=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1214835042&clientId=44698 (31 Juni 2008)
Brindley, Loukas, Williamson, 2002. Hookworm cathepsin D aspartic proteases : contributing roles in the host-specific degradation of serum proteins and skin macromolecules. http://www.fsm.ac.fj/pws/Resources/1.05-Anemia/Hookworm%20adv%20NEJM.pdf (1 Juli 2008) Selengkapnya...

SEPSIS

I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
 Skenario :
KEJANG DAN TIDAK SADAR
 Seorang laki-laki 45 tahun diantar oleh keluarganya ke UGD RS. Dr. Moewardi Surakarta karena tidak sadar. Satu minggu sebelumnya pasien mengeluh badan tidak enak, panas, berkurang bila minum obat flu. Sebelum dibawa ke Rumah sakit pasien kejang satu kali. Pasien pernah bekerja di Papua selama 3 tahun, bekerja di Pelabuhan.
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 132 X/menit. Frekuensi nafas 32 X/menit, suhu 39,2 C axiller, kesadaran GCS E3 M4 V3. Rongga mulut didapatkan adanya plaque berwarna putih, paru infiltrat di apex paru kanan, jantung dalam batas normal, abdomen dalam batas normal.
 Pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan Hb=13,7 g%, leukositosis 16.800/UL, trombosit 243.000 /uL. Sedimen urin = leukosit 10-15/LPB, eritrosit 0-1/LPB, silinder (-), Widal (-), di bangsal pasien dilakukan pemeriksaan kultur darah dan urin, hasil pemeriksaan mikroskopis darah didapatkan kuman gram negatif coccus. Hasil identifikasi kultur masih menunggu hasil. Setelah pemberian antibiotika selama 3 hari keadaan umum masih panas.
 Dalam lingkungannya, manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi tersebut mampu mengakibatkan infeksi pada tubuh manusia yang mungkin mengakibatkan manifestasi klinis.
 Pada beberapa kasus, sistem imunitas manusia mampu mengatasi agen-agen infeksi ini sehingga tidak diperlukan pengobatan lebih lanjut. Namun pada beberapa kasus, sistem imun tubuh kadang kurang efektif dalam mengeliminir agen-agen infeksi ini, sehingga terjadilah kondisi yang tidak diingankan tubuh yang mungkin mengakibatkan gejala klinis yang nyata.
 Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara klinis mungkin tidak tampak atau timbul cedera seluler lokal akibat kompetisi metabolisme, toksin, replikasi intrasel, respons antigen-antibodi. Infeksi dapat tetap terlokalisasi, subklinis, dan bersifat sementara jika mekanisme pertahanan tubuh efektif. Infeksi lokal dapat menetap dan menyebar menjadi infeksi klinis atau kondisi penyakit yang bersifat akut, subakut, atau kronik. Infeksi lokal yang dapat menjadi sistemik bila mikroorganisme mencapai sistem limfatik atau vaskular (Anderson, 2002). Infeksi juga dapat mengakibatkan inflamasi.
 Inflamasi adalah respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk akutnya ditandai oleh tanda klasik: dolor, kalor, rubor, tumor, fungsiolesa. Secara histologis, menyangkur rangkaian kejadian yang rumit, mencakup dilatasi arteriol, kapiler, dan venula, disertai peningkatan permeabilitas dan aliran darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma; dan migrasi leukositik ke dalam fokus peradangan (Anderson, 2002).
 Jika terjadi infeksi dan tubuh belum berhasil untuk mengeliminir, maka tubuh berusaha untuk melokalisasi infeksi tersebut. Permasalahan akan muncul bila sistem imun tubuh sedang lemah dan mengakibatkan tubuh tidak berhasil melokalisasi infeksi sehingga akan mengakibatkan infeksi sistemik. Akan lebih berbahaya jika infeksi sistemik ini diikuti oleh komoplikasi.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu sepsis?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya sepsis?
3. Gejala klinis yang muncul pada sepsis?
4. Mengapa panas penderita mereda saat diberikan obat flu? 
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mengetahui mekanisme sepsis dan infeksi yang mengakibatkan sepsis.
2. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang membantu pada penegakkan diagnosis.
3. Mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada sepsis.
II. STUDI PUSTAKA
 Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan maka disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbullah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik (A. Guntur H, 2007).
 Pada saat tubuh terkena infeksi, reaksi pertama pada infeksi adalah reaksi umum yang melibatkan susunan saraf dan sistem hormon yang menyebabkan perubahan metabolik. Pada saat itu terjadi reaksi jaringan limforetikularis di seluruh tubuh berupa proliferasi sel fagosit dan sel pembuat antibodi (limfosit B).
 Reaksi kedua berupa reaksi lokal yang disebut inflamasi akut. Reaksi ini terus berlangsung selama masih terjadi proses pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas, maka sisa jaringan yang rusak disebut debris akan difagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon (Jong, 1998).
 Kalor atau panas seperti sudah disebutkan di atas, terjadi bersamaan dengan tanda-tanda lain pada reaksi peradangan akut. Sebenarnya panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingan dari 370C yang merupakan suhu inti tubuh. Daerah peradangan di kulit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya karena lebih banyak darah dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena dibandingkan dengan ke daerah yang normal. Fenomena hangat lokal ini tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang terletak jauh di dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti 370C dan hipermia lokal tidak menimbulkan perbedaan(Price, 2002).
 Pengatur suhu berada pada hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis prostaglandin. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik (P. Freddy Wilmana, 1995).
 Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi. Ada perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut, misalnya parasetamol (asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya rendah sekali (P. Freddy wilmana, 1995).
 Sebagai analgesik, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia dan nyeri lain yang berasal dari intergumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Obat mirip aspirin mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Sebagai antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. (P. Freddy wilmana, 1995).
 Infeksi mengakibatkan demam. Misalnya pada perdangan akut parenkim paru atau pneumonia. Pneumonia juga merupakan infeksi nosokomial yang banyak terjadi di rumah sakit. Hampir 60% dari pasien-pasien yang kritis di ICU dapat menderita pneumonia, dan setengah dari pasien-pasien tersebut akan meninggal. Selain karena munculnya organisme yang resisten terhadap antibiotik, bertambahnya jumlah penderita pneumonia juga disebabkan bertambahnya pejamu yang lemah daya tahan tubuhnya dan adanya penyakit seperti AIDS semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan penyebab-penyebab pneumonia. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respons imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Pneumonia Pneumocytis carinii belakangan ini menjadi infeksi berat yang fatal bagi penderita AIDS (Price, 2006).
 AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang sudah berlangsung lama. Saat ini, AIDS dijumpai pada hampir semua negara dan merupakan suatu pandemi di seluruh dunia (Price, 2006).
 Berikut ini adalah patogenesis dari AIDS. Setelah HIV masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritik dalam beberapa hari. Kemudian timbul gejala retroviral seperti flu, disertai viremia hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh timbul respon imun humoral maupun selular. Sindrom ini akan hilang sendiri setela 1-3 minggu. Kadar virus dalam darah yang tinggi dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukkan virus baru dan upaya eliminasi oleh sistem imun. Titik kesimbangan disebut set point dan amat penting karena akan menunjukkan gejala penyakit selanjutnya. Bila tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan lebih cepat (Mansjoer, 2002).
 Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi postif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relatif konstan. CD4 adalah reseptor pada limfosit T¬4 yang menjadi target sel utama HIV. Rata-rata masa dari infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tapi pada 2 tahun terakhir penurunan menjadi cepat, 50-100 per tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai di bawah 200 (Mansjoer, 2002). 
III. DISKUSI / BAHASAN
 Manifestasi klinis seperti terlihat pada skenario mengarah pada inflamasi sitemik. Manifestasi klinis yang demikian disebut sistemic inflammation respons syndrome (SIRS). Sepsis adalah SIRS dengan dugaan infeksi.
 Sistemic Inflammation Respons Syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria berikut : 1. Suhu > 380C atau <> 90 denyut/menit; 3. Respirasi > 20/menit atau PaCO2 <> 12.000/mm3 atau >10% sel imatur.
 Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (yang ditentukan dengan biakan positip terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya dihubungakan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakterimia. Bakteremia adalah keberadaan komponen bakteri dalam cairan darah. Bakteremia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa atau seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskular atau ekstravaskular.
 Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan persentase 60-70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk mengeluarkan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi. Gram positif lainnya jarang yang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20-40% dari keseluruhan kasus.
 Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat mengakibatkan agregasi trombosit.
 Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai sumber bakteremia, hal ini disebut sebagai bakteremia sekunder. Sepsis gram negatif merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi appendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke uretra atau kandung kemih. Selain itu sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran genitourinarum, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram positif biasanya tibul dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga bisa berasal dari luka terbakar, misalnya pada luka bakar.
 Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesisfik, biasanya didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesisfik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah, atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat yang paling sering : paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadinya berat atau tidaknya gejala sepsis. Gejala sepsis itu akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia.
 Sepsis memiliki angka kematian yang tinggi. Banyak laporan yang menunjukan bahwa pada sepsis terjadi gangguan pembekuan, dimana dapat menyebabkan terjadinya komplikasi suatu sindroma Disseminated Intravascular Coagulation ( DIC). Mekanisme yang amat penting dalam patogenesis DIC pada sepsis adalah aktifasi dari jalur pembekuan ekstrinsik pada sistim pembekuan darah, sedangkan jalur instrinsik pada sepsis tidak memainkan peran yang dominan. Dari jalur ekstrinsik tersebut maka banyak laporan yang menunjukan bahwa tissue factor (TF) banyak terlibat didalam kejadian DIC pada sepsis. Hal ini terbukti bahwa inhibisi dari TF oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dapat mencegah terjadinya DIC. Selain tissue factor, faktor VII (F VII) juga merupakan komponen dari jalur ekstrinsik, tetapi perannya pada sepsis masih kurang jelas dan penelitian faktor VII pada sepsis hingga saat ini masih sedikit sekali. Padahal pasien-pasien sepsis yang berkembang menjadi DIC mempunyai angka kematian yang lebih tinggi daripada pasien-pasien sepsis tanpa tanda-tanda DIC. Pada suatu studi prospektif pada pasien-pasien sepsis dan septic-shock dengan neutropenia yang diinduksi kemoterapi, dilaporkan bahwa terjadinya penurunan aktifitas faktor VIIa dan faktor VII Ag yang secara signifikan lebih besar pada pasien-pasien yang menderita septic–shock.
 Salah satu penyulit yang paling memberikan efek yang sangat berbahaya pada sepsis adalah terjadinya kerusakan organ ( organ damage), yang apabila dalam fase lanjut akan melibatkan lebih dari satu organ ( multiple organ failure=MOF). Keadaan MOF ini biasanya berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. Pada masa lalu dianggap bahwa MOF tersebut suatu keadaan yang semata-mata hanya diakibatkan oleh terjadinya penumpukan fibrin pada micro-thrombus yang terbentuk. Dari keadaan inilah dianggap sebagai awal dari proses yang memacu terjadinya Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Namun demikian, para peneliti juga melihat kenyataan yang agak kontradiktif antara DIC dan sepsis. Pada awalnya para peneliti beranggapan bahwa DIC adalah suatu kelainan peradarahan massif yang tidak dapat dihentikan, tetapi pengamatan yang lebih teliti memperlihatkan bahwa pada sepsis yang sering terlihat adalah MOF yang lebih dominan dan bahkan kadang-kadang perdarahan dapat tidak terjadi sama sekali. Kalaupun perdarahan timbul biasanya terjadi pada fase yang sangat lanjut. Hal ini menyebabkan peneliti menyadari bahwa ada satu mekanisme lain akan terjadinya MOF pada sepsis diluar jalur pemacuan pembekuan darah semata. Pada masa akhir-akhir ini telah dicapai kemajuan yang sangat pesat akan pengetahuan mengenai patogenesis dari DIC pada sepsis dan penyulitnya yaitu MOF. Pada keadaan normal terjadi keseimbangan antara faktor procoagulant dan proinflammatory, sedangkan pada sepsis keseimbangan tersebut terganggu. Pada sepsis, kompleks interaksi antara inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis, tidak seimbang sehingga menimbulkan keadaan dimana proinflammatory pada sepsis sering terjadi lebih dominan ataupun sebaliknya. Dan apabila gangguan keseimbangan ini terjadi meluas (disseminated) maka terjadilah syndroma DIC beserta MOF. Peran terjadinya DIC pada sepsis ini telah banyak dibuktikan oleh para peneliti dengan terpacunya sistim pembekuan darah endotoksin maupun eksotoksin melalui mediator tumor necrosis factor (TNF) ataupun interleukin-1 (IL-1). Bukti-bukti memperlihatkan bahwa ternyata jalur instrinsik pembekuan darah pada sepsis tidak memainkan peran yang dominan. Sedangkan banyak bukti kuat yang menunjukan bahwa jalur ekstrinsik yang memegang peran yang kuat. Dari jalur ekstrinsik tersebut maka banyak sekali laporan yang menunjukan bahwa tissue factor banyak terlibat dalam kejadian DIC pada sepsis. Hal ini diperlihatkan oleh turunnya kadar tissue factor pathway inhibitor( TFPI), yang merupakan inhibitor dari tissue factor pada sepsis. Sangat mungkin turunnya TFPI tersebut disebabkan oleh pemakaian yang berlebihan (over-consumption) dari inhibitor tersebut oleh karena dipakai untuk menetralkan tissue factor yang terus menerus dihasilkan oleh proses sepsis. Sangat banyak bukti-bukti keterlibatan tissue factor dan TFPI pada sepsis. Selain tissue factor maka ada juga suatu komponen lain pada jalur ekstrinsik yaitu coagulant factor VII (FVII) tetapi perannya pada sepsis masih kurang jelas.
 Shock sepsis adalah suatu sindroma klinik dimana akhir-akhir ini sangat populer. Kondisi ini umumnya terjadi dirumah sakit sebagai komplikasi serius dari penyakit yang sudah ada pada pasen tersebut. Shock sepsis mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu antara 40-90% (Bone, 1987).
 Penyebab tersering dari shock sepsis ini adalah infeksi gram negatif 30-80%, infeksi gram positif 6-24%, sedangkan penyebab lain adalah virus dan jamur (Glauser, 1991). Infeksi gram negatif biasanya berasal dari infeksi traktus urinarius, traktus biliaris, traktus digestivus, dari paru dan dapat juga dari infeksi kulit, tulang dan sendi tapi kurang sering. Sepsis akibat bakteri gram positif biasanya berasal dari infeksi kulit, traktus respiratorius, dapat juga berasal dari abses metastase. Sepsis karena jamur oportunistik sering terdapat pada pasen yang mendapatkan pengobatan imunosupresan dan pasen pasca operasi (Root, 1991).
 Terjadinya shock sepsis dapat melalui dua cara yaitu aktivasi lintasan humoral dan aktivasi cytokines. Lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada dinding bakteri gram negatif dan endotoksinnya serta komponen dinding sel bakteri gram positif dapat mengaktifkan: 
• Sistim komplemen 
• Membentunk kompleks LPS dan protein yang menempel pada sel monosit 
• Faktor XII (Hageman faktor) 
 Sistim komplemen yang sudah diaktifkan akan merangsang netrofil untuk saling mengikat dan dapat menempel ke endotel vaskuler, akhirnya dilepaskan derivat asam arakhidonat, enzim lisosom superoksida radikal, sehingga memberikan efek vasoaktif lokal pada mikrovaskuler yang mengakibatkan terjadi kebocoran vaskuler. Disamping itu sistim komplemen yang sudah aktif dapat secara langsung menimbulkan meningkatnya efek kemotaksis, superoksida radikal, ensim lisosom. LBP-LPS monosit kompleks dapat mengaktifkan cytokines, kemudian cytokines akan merangsang neutrofil atau sel endotel, sel endotel akan mengaktifkan faktor jaringan PARASIT-INH-1. Sehingga dapat mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah dan DIC. Cytokines dapat secara langsung menimbulkan demam, perobahan-perobahan metabolik dan perubahan hormonal. Faktor XII (Hageman factor) akan diaktivasi oleh peptidoglikan dan asam teikot yang terdapat pada dinding bakteri gram positif. Faktor XII yang sudah aktif akan meningkatkan pemakaian faktor koagulasi sehingga terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC). Faktor XII yang sudah aktif akan merobah prekallikrein menjadi kalikrein, kalikrein merobah kininogen sehingga terjadi pelepasan hipotensive agent yang potensial bradikinin, bradikinin akan menyebabkan vasodiltasi pembuluh darah. Terjadinya kebocoran kapiler, akumulasi netrofil dan perobahan-perobahan metabolik, perobahan hormonal, vasodilatasi, DIC akan menimbulkan sindroma sepsis. Hipotensi respiratory distress syndrome, multiple organ failure akhirnya kematian. Shock sepsis sering didefenisikan terjadi akibat tidak adekuatnya perfusi 
jaringan. Tetapi menurut Bone (1992) sebenarnya shock sepsis lebih cocok terjadi akibat hipotensi sehingga berkurangnya perfusi jaringan, yang akhirnya menyebabkan disfungsi organ (multiple organ failure). Pada keadaan multiple organ failure terjadi koagulasi, respiratory distress syndrome, payah ginjal akut, disfungsi hepatobiller, dan disfungsi susunan saraf pusat.
IV. KESIMPULAN 
1. Infeksi biasanya dilokalisir oleh tubuh, tetapi jika tidak berhasil maka dapat terjadi reaksi infeksi sistemik
2. Penyembuhan infeksi oleh virus dilakukan oleh sistem imunitas tubuh
3. Antipiretik berfungsi untuk menurunkan panas tubuh
4. Infeksi sistemik harus segera diatasi untuk mencegah hal yang lebih buruk

V. DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta , EGC, pp : 1095,1097
Ganiswara, Sulistia, 1995. Farmakologi dan Terapi, 4th ed. Jakarta , Gaya Baru, pp : 207-210
Guntur, H, 2007. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam, 4th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 415-417
Jong, Wim de, 1998. Infeksi dan Inflamasi (Umum dan Khusus). Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC, pp : 3-70
Mansjoer, Arif, et al, 2002.Human Immunodeficiency Virus/AIDS. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran, 3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 573-574
Price, Sylvia A, 2006.Respons Tubuh Terhadap Cedera: Peradangan dan Penyembuhan. Dalam : Patofisiologi, 6th ed vol.1. Jakarta, EGC, pp : 56-77
Price, Sylvia A, 2006.HIV dan AIDS : Patofisiologi, 6th ed vol.2. Jakarta, EGC, pp : 225-228
Buchori, Prihatini, 2006. Diagnosis Sepsis Menggunakan Procalcitonin. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-3-06.pdf (24 juli 2008) Selengkapnya...

onbux

Neobux

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign